Thursday 23 February 2023

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023

Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari, kami menikah. Karena ini adalah blog pertama setelah sekian lama, terutama setelah menikah, aku ingin menuangkan perasaan bagaimana keadaanku, apa yang aku pikirkan dan apa yang aku temui di sini. Namun untuk sekarang, aku akan menulis bagaimana aku bertemu dan perjalanan singkat dari pinangan hingga pernikahan.

Pertemuanku dengan suami adalah pengalaman magis. Yang aku maksud bukan pertemuan secara fisik, namun bagaimana jiwa kami 'bertemu' dan sepakat jauh sebelum akhirnya kami benar-benar berjumpa. 

Desember 2020 merupakan bulan kelahiranku. Sebulan sebelumnya, aku dan 200-an kawan Indonesia baru saja wisuda di KBRI, Garden City. Tak dinyana, aku dianugerahi wisudawan terbaik, satu-satunya dari Fakultas Usuludin. Tiga terbaik lainnya dari Fakultas Syariah. 

Kelulusan tak terduga itu pernah aku bayangkan di dua atau tiga tahun sebelumnya. Aku sempat berpikir bagaimana rasanya menjadi lulusan terbaik kampus ini. Pikiran itu lantas teralihkan oleh kesibukan ngaji, organisasi, diskusi dan kegiatan-kegiatan lain seperti menulis dan main, hehe. Lancar dan asiknya aku belajar selama empat tahun di lisens al-Azhar, sudah barang tentu adalah buah dari doa dan tirakat serta restu Bapak, Mama, guru-guru di pesantren dan sekolah, serta teman. Mungkin juga orang-orang lain. 

Dengan kesadaran begitu, aku menulis unggahan di Facebook sebagai tanda terima kasih, sebagai pengakuan perhatian dan kasih sayang mereka.

Di pertengahan Desember, Mamas menanyai perihal apakah aku ingin berkeluarga melalui temannya yang juga di Saudi. Ia mahasiswa PhD tahun kedua waktu itu, di King Fahd University of Petroleum and Minerals (KFUPM). Ini kampus lumayan bagus untuk bidang minyak dan sejenis itu. Beberapa saintisnya masuk ke daftar sekian besar tokoh berpengaruh versi Stanford. 

Itu, di Desember tadi, merupakan pintaan ketiga. Ia sudah mengutarakan hal yang sama sejak 2015. Baru lulus Aliyah, aku tak berpikiran untuk berkeluarga, sama sekali. Aku abaikan. Ia lantas mengirimi, menanyai hal yang sama pada Januari 2018. Aku sempat gelisah, terkesan oleh gaya bicaranya yang 'santri banget'. Tahu unggah-ungguh dan santun dalam bertutur. Sebab gelisah memikirkan bagaimana, aku malah lupa tak membalas. Yang ketiga, puji Tuhan, ia menemukan momentumnya. 

Aku mengirim fotonya ke Bapak untuk dilihat. "Bagus," ujar Bapak. Dari layar hp, aku melihatnya langsung menghitung dengan batu-batu kecil di meja ruang tengah saat aku telpon dan ku beri tahu ada laki-laki yang ingin melamarku. Bapak setuju. Aku masih tidak mengerti mengapa ia setuju.

Dua hari setelahh telpon, perasaanku ke Mamas berubah. Tadinya, aku tak merasakan apapun. Batinku lantas melunak, ada dorongan untuk membuka diri untuknya, membiarkannya masuk agar ku kenali lebih dalam. Aku curiga Bapak melakukan sesuatu padaku. Aku menanyainya, "Bapak ngapa-ngapain kulo, ngge?" (Bapak melakukan sesuatu untukku, ya?) "Hanya wasilah...", jawabnya. Hanya wasilah.

Kami akhirnya bertunangan pada 5 Rajab 1442 H, 17 Februari 2021. Doa dari teman dan guru beriringan, membuatku merasa telah mengambil keputusan yang benar meski pertanyaan 'bagaimana bisa' tak terelakkan. Kami belum pernah bertemu. Saat tunangan, hanya pihak keluarga yang melangsungkan. Aku tasyakuran kecil-kecilan di Kairo. Kami kirimkan berkat kecil ke teman-teman terdekat. 

Kami menikah pada 18 Januari 2023 kemarin. Itu berarti hampir dua tahun kami bertunangan. Waktu yang cukup lama dan tak biasa. Selama dua tahun ini, dua hal penting aku alami. Pertama, kehadiran Bapak lebih terasa. Mungkin masa-masa itu adalah waktu paling berharga yang aku alami dalam keluarga, bahwa aku memiliki keluarga. Bapak, Mama, Embak, dan dua Mamas sungguh-sungguh ngopeni hajatku ini. Mereka urun rasa, urun rembug, hadir membantu. Tanpa alasan. 

Kedua, aku mengenal Mamas mungkin, lebih baik. Aku mengenalnya melalui beberapa konflik yang terjadi dalam rentang hampir dua tahun itu. Ada banyak pengunduran tanggal acara, beberapa kali. Salah satu yang terhebat ialah Januari 2022. Pernikahan diundur untuk kesekian kalinya. Bapak, melalui pertimbangan yang hanya ia yang tahu betul, berubah pikiran, utamanya setelah Mamas memutuskan untuk final exit dari Saudi pada September 2022 tanpa mengabariku. Itu artinya, ia pulang selamanya ke Indonesia, tidak melanjutkan kuliahnya untuk sementara. Meski alasannya jelas dan itulah rekomendasi profesornya, aku tetap merasa tidak dilibatkan dalam keputusan ini. Sekembalinya dari Saudi, Mamas dan keluarga ke rumah untuk pertama kali sejak bertunangan. Mereka membahas tanggal.

Bapak, seperti biasa, melihat ules wajahnya (garis wajah, air muka). Ia menemukan sesuatu yang membuatnya sampai pada kesimpulan: jika pernikahan ini diteruskan, akibatnya kurang baik. Mamas sedang tidak sekolah, saat itu. Pekerjaan, juga tidak. Ia sebelumnya bekerja paruh waktu di laboratorium di kampusnya. Dengan fakta begini, Bapak khawatir aku akan sulit kembali ke Kairo melanjutkan masterku. Di sisi lain, Mamas terus teguh bahwa aku akan bisa kembali ke sana, bahwa ia sudah siap betul secara finansial dan sedang akan masuk ke pekerjaan baru. Sedang akan. Bapak tak bisa memegangi sesuatu yang belum terjadi. Pernikahan ditunda. Tanggal 24 Januari 2022 terlewat begitu saja. 

Ada beberapa pertimbangan mengapa pernikahan ditunda. Aku membacanya begini: perbedaan kultur antara Jawa Barat dan Jawa Tengah; kesiapan finansial (Mamas) dan mental (aku); dan uji seberapa mantap kami mengambil keputusan. Bapak ingin melihat seberapa kuat niat kami untuk menikah di usia sekolah begini. Ia ingin melihat bagaimana Mamas menyikapi peran baru nanti dan posisinya sebagai sandwich generation, utamanya soal keuangan dan perihal merge-and-center, penyerasian kultur keluarga masing-masing. Mamas mungkin agak kecewa waktu itu, sebab ia tak bisa ku hubungi selama tiga hari. Ia hanya menjawab pesan dengan singkat. Aku sadar ketika itu, ada tembok terbangun yang menjadi tantangan baru selain jarak dan kepercayaan.

Waktu berlalu, pelan dan menghimpit batin. Pada Februari 2022, Mamas berangkat ke Thailand. Ia diterima sebagai mahasiswa PhD di King Mongkut's University of Technology Thonburi (KMUTT) Bangkok. Ini kampus nomor satu di Thailand versi World QS 2022 dan tahun-tahun ke belakang, untuk bidang teknik. Awalnya ia mengajukan proposal penelitian di sebuah industri. Proposal diterima. Ia ditawari untuk sekalian mengambil PhD di bidang penelitian itu. Beasiswa penuh. 

Ia mengambil jurusan Kimia Energi di The Joint Graduate School of Energy and Environment (JGSEE). Dari program ini, rencananya, tahun depan ia akan sedang internship di Austria. Meneliti di sana. Semoga lancar dan terlaksana. Kekecewaan dari penundaan pernikahan, syukurnya, tak membuatnya hilang arah. Melihat sulitnya situasi, aku sempat berpikir untuk iya, melepas dan mengembalikan cincin ini padanya jika ia meminta. 

Setelah akhirnya menikah, aku bertanya: "Mengapa tiba-tiba tenang, setelah sebelumnya begitu ingin segera menikah?" Tidak tahu, jawabnya. Ia menambahi bahwa ada suara di batin yang memintanya tenang dan ia mendengarnya. Aku tak bisa memahami itu, tapi aku mempercayainya. Ada banyak hal di hidup kita yang di luar jangkauan akal. Bukan tak bisa dinalar, namun di luar jangkauan nalar. Wasilah. Taufik. Hal-hal semacam itu.

Pada 1 Desember 2022, Mamas lulus ujian komprehensif dan dinyatakan sebagai kandidat PhD. Aku, sedang berkutat dengan draf proposal tesis. Aku menjanjikan Bapak November bisa diterima. Namun prosesnya agak panjang. Aku bolak-balik perpustakaan Masjid al-Azhar, perpustakaan kampus di Sadis, dan berulang kali menemui Prof. Yusri. Kami berdiskusi banyak. Ia adalah pencerahan nalar. Alih-alih merasa tertekan sebab tenggat waktu habis, aku justru menikmatinya. Bapak tak keberatan soal itu.

Seminggu setelah ujian itu, aku menelponnya, memberi kabar bahwa Bapak memintanya pulang jika ia siap bertanggung jawab atasku kemudian. Itu permintaan tiba-tiba, tak ada yang menyangka sebab Bapak sedang sakit dan dalam pemulihan. Oktober pertengahan hingga akhir, Bapak dirawat di ICU RS Margono Purwokerto. Usus buntu, lambung bocor dan infeksi paru-paru, kata dokter. Itu sakit yang tiba-tiba sebab dua hari sebelum masuk ke RSUD Majenang sebelum dirujuk ke Margono, kami sempat berkelakar dalam telepon video; membicarakan apa saja, tertawa dan bertukar rasa. 

Biaya puluhan juta, fokus pulih kesehatan, proposal yang belum selesai membuatku, kami sekeluarga, dan Mamas tak berpikir akan menikah dalam waktu dekat. Bapak, melihat dari sudut yang lain. Di hampir tengah malam akhir November, Mama menelponku, menanyakan apakah aku bisa segera pulang. Tanpa latar suara di tengah malam begitu, jantungku sempat panik jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Aku tenang saat ku tahu ternyata Bapak sedang beristirahat di samping Mama. 

Bapak memikirkan konsep acara sendirian. Saat fisik begitu payah, kurus dan suara serak, belum bisa berjalan sebab operasi di perut kiri bawah; Bapak memikirkan bagaimana pernikahanku nanti bisa berjalan lancar. Banyak pihak keluarga yang tak mengerti mengapa Bapak mengambil keputusan begitu. Mengagetkan. Aku masih tak mengerti sepenuhnya juga, namun aku punya hati yang terlatih untuk mempercayai Bapak, apapun keputusannya. Batinku berucap, jika aku tak mengerti Bapak, itu bukan karena ia yang sulit dimengerti, namun karena ada hal diketahui Bapak yang belum aku ketahui. Bapak telah memilih, dan ia, hampir, tak pernah salah dalam pilihannya. 

Aku pulang ke Indonesia pada 6 Januari 2023, setelah tujuh setengah tahun merantau. Aku tiba di Jakarta pada Sabtu siang, 7 Januari. Mamas, dari Bangkok tiba di bandara yang sama pagi harinya. Ia menungguiku sepagian, menjemputku di pintu kedatangan internasional dan membawaku pulang. Itu adalah pertemuan pertama kami sejak pinangan, sejak ia pertama kali meminang 2015. Aku di Krapyak, ia di Pandanaran waktu itu. Lagi, jika bukan pilihan-Nya, sedekat apapun jarak, seniat apapun hati, semesta tak mungkin merestui. 

Membawaku pulang.. 

Bapak, baru kali ini kau begitu percaya pada seseorang untuk membawa anakmu pulang. Setelah sekian tahun tak bertemu, kau bahkan merestui orang lain untuk membawa masuk ke rumahnya sebelum anakmu menginjak rumahnya sendiri. 

Ya.. dari bandara, mobil kami menuju Indramayu, mengantar Mamas ke rumahnya. Mobil berhenti di sebuah rumah sederhana nan hangat sekitar pukul delapan malam. Kakak-kakaknya berkerumun di halaman rumah. Dari jendela mobil, aku melihat mereka menelisik mana adiknya di dalam mobil. Setelah membereskan diri, ia turun dari mobil. Aku, lantas turun dari pintu sebelah kanan, menyalami kakak-kakaknya dan, Miminya. Aku dipeluk, kepalaku diciumi Mimi. Aku lantas diajak masuk, minum dan disuguhi banyak pacitan. 

Niatku turun dari mobil ialah menjamak-qashar maghrib-isya. Aku bergegas ke kamar mandi dan, airnya, sungguh sejuk. Kesejukan air itu entah mengapa membuat jiwaku damai dan merasa ini rumah. Air yang biasa dipakai bersuci dan berwudu oleh orang-orang saleh, begitu, bukan? Rasanya begitu. Seingatku, kulah-kulah di tempat Mamas Hafidh, Sidareja, saat aku nyantri dulu, begitu. Sejuk. 

Selepas salat, aku lantas membuka koper dibantu kakak ipar perempuan Mamas, Yu Mami namanya. Ulesnya lembut, dan aku sayang padanya. Kami memisahkan beberapa yang sudah ku siapkan untuk rumah ini. Sedikit. Semoga suatu waktu dapat memberi banyak dari rizki yang halal baik. Aku memberikan bungkusan itu ke Mimi di ruang tamu dan langsung pamitan pulang. Mama, Bapak dan Mamas Barok, juga Tata, sudah menunggu di rumah. Jangan sampai terlalu larut, pikirku, sebab perjalanan masih panjang. Indramayu-Majenang. 

Aku tiba di rumah sekitar pukul dua dini hari Ahad, 8 Januari. Mama, Mamas Barok menjemput di bahu jalan samping rumah. Gelap, sepi. Mama berkaca-kaca, memelukku erat tanpa bicara. Koper diangkat Mamas Barok, yang tadi sedang membereskan bingkisan makanan ringan di ruang tamu. Itu ratusan. Mamas sendirian. Begitu tulusnya urun rasa padaku. Makasih, Mamas.. 

Aku memasuki rumah. Ku dapati persiapan acara sudah sedang dimulai. Aku bertanya ke Mama di mana Bapak. Baru saja tidur, katanya. Aku menuju kamar wetan, kamar Bapak setelah sebelumnya menyalakan lampu kamarnya lewat kabel di sebuah terminal di ruang tamu di bawah televisi. Aku membuka pintunya.. Ia sedang tidur. Aku duduk di sampingnya, mencium tangan dan wajahnya. Begitu kurus.. begitu payah.. begitu kuat. Semburat optimis sehat tergaris jelas di sela keriput wajah tuanya. Aku bisa merasai itu. 

Aku bersyukur sungguh, aku masih bisa pulang mendapati Mama dan Bapak.

**

Mobil kami melaju sore hari Sabtu dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aku melihat sore hari Indonesia dan Indomie pertama kali dengannya. Aku merasa pulang. Batinku berbisik sejak tatap pertama perjumpaan kita bahwa kau, adalah rumah. 

Ia rumah, Bapak.. Aku akan belajar mempercayainya, sebagaimana aku mempercayaimu selama ini. 

Tuesday 15 March 2022

Pergantian Musim

Maret 2022

Roti rasa keju Romawi ini tinggal seperempat bagian. Itu adalah makanan ringan dari kelas mantik pagi tadi. Mendedah model-model kias yang empat selama tiga jam membuatku lupa mendung dan dinginnya Kairo hari-hari ini. Beberapa hari yang lalu aku membaca berita singkat, tak sengaja muncul di dinding Instagram. Dengan bahasa Turki, ia mengabarkan bahwa salju di Eropa, termasuk Turki, mungkin tidak akan pernah berakhir. Aku menduga, musim dingin akan lebih panjang dari biasanya.

Musim dingin kerap disebut musim terberat di antara yang lain. Orang-orang suku Oguz di Anatolia di abad 13 selalu khawatir saat musim dingin menjelang. Mereka gusar. Mereka akan mengatur sedemikian rupa bahan makanan selama semusim ke depan. Selain disibukkan oleh pencarian persediaan bahan makan, mereka juga gelisah hendak ke arah mana tenda dialihkan. Suku Oguz, sering berpindah seiring perpindahan musim. Sebagaimana suku-suku Arab, yang juga berpindah-pindah mencari sumber mata air, suku Oguz berpindah mencari tempat selain lembah. Tempat yang cukup hangat untuk bertahan hidup selama salju menyelimuti tanahnya. 

Di musim dingin, aku lebih sering menggerutu. Badan yang menggigil dijerat angin membutuhkan lebih banyak kalori dari biasanya. Lantai dingin. Kaki enggan beranjak dari kasur. Dinding kamar mandi bak sekotak es. Menciduk segayung air di ember itu artinya menusuk tulang meski bentuknya cair, tak berkristal seperti salju. Tak ada pilihan selain berjaket tebal, menahan diri tak minum, sebab memasukkan air minum berisiko mengeluarkannya di kamar mandi. Aku memilih duduk di kamar, di lantai beralaskan lap pintu tamu. Aku kurang suka membaca di kasur, karena punggung jadi tidak tegak. Selain itu, aku rasa membaca di sana akan lebih meletihkan, karena lebih sering menghadapi kantuk, menghalaunya, daripada menyerap masuk kata dan makna dari buku ke otak yang juga hampir membeku. 

Kedinginan payah semacam ini tak pernah kurasa saat belajar dan mengajar, saat berinteraksi dengan orang lain. Kemarin lusa misalnya, angin dan matahari berebut masuk jendela ruang kelas. Matahari tak pelit menyiram meja panjang nan tua itu, membentuk siluet daun-daun jendela berlabuh di meja. Siluet dan sinar itu tak cukup mengusir kesuraman kelas. Mendung masih saja menggelayuti ruangan, suasana belajar di kelas, dan iklim belajar di bahwa langit Kairo secara menyeluruh. 

Ahad dan Sabtu kemarin adalah dua hari paling penting dari ribuan yang kulalui di Kairo. 

Tuesday 16 October 2018

Malas Menulis

Kuliah sudah mulai, aku baru masuk dua kali, sejak dibuka tahun ajaran baru pada tiga mingguan yang lalu.

Tadi saya lihat, terakhir nyoret di sini ternyata Juli lalu. Saya teringat, selama liburan ternyata saya ngga ngapa-ngapain. Bahkan ngga nulis di blog sendiri. Entah.. Masih kemana aja, Mid?!

Inipun, rasanya ada banyaaak cerita yang pengen dituliskan, tapi gegara wifi lagi mutung, nulis blog dari hape itu kurang enak je.. Huhu. Jadi ketambahan malas nulisnya.

Intinya, hari ini, tadi ke Pusat Bahasa di Distrik Enam, Universitas al-Azhar. Sowan sama Usth. Nisrin.. Memberikan daftar nama anak yang besok mau diapresiasi dari pihak markaz. Alhamdulillah..

Abis itu, lanjut ke Azhar, ngaji sama Prof. Dr. Abu Musa, Guru Besar Balaghah di Fakultas Bahasa Arab, dan Anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar. Sampai setengah dua siang, saya pulang.

Ini sudah adzan Ashar.. Pengen ke Markaz Qawmi tapi ko rada mager. Heu. Abis ini kw downtown sama Undul.. Terus ketemu Dr. Samih. Entah yang mana yang duluan, intinya itu.

Allah... Paringi kawula taufikkk. 

Sunday 29 July 2018

Nano-nano Rasanya

Bismillah..

Pagi ini, selesai piket masak sekitar jam sepuluhan. Emm agak lama, sebab selagi masak, bolak-balik liat wasap. Baru kali ini aja kok, kalo ngga mendesak juga, saya ngga suka buka-buka hape selagi kerja (piket masak, belajar, emm apapun itu yang bisa disebut kerja). Ehe. 

Semalem, seorang teman saya menanyakan foto Dr. Sonia. Pikirku, emm kayaknya untuk seminar. Untuk hal ini, saya udah cukup seneng, sebab ada yang menanti kehadiran beliau di seminar selain saya. :')) Sebenarnya, yang lain menanti sih.. Hanya saja, ngga sekuat saya. Iya sebab saya terlanjur melihat beliau sebagai sosok multidimensi yang mungkin, tidak diliaht oleh teman-teman selain saya. Guru, jelas. Ibu, kakak, teman, dan yang baru aku rasa akhir-akhir ini ialah.. Beliau ternyata murabbirruh, bagi diri ini. 

Setelah kukirim poto beliau, teman saya ini berujar, "Ternyata benar :D". Saya curiga, lantas kutanya, "Apanya?" Dari sini, obrolan pagi ini (belum beberes abis masak, belum ke kamar mandi, biarin) terus berlanjut. Hingga hatiku deg-degan saat tahu, bahwa beliau, Dr. Sonia, kini ada di Kairo. Aaaaa. Buncah bahagia campur sesal sebab kemarin ngga ikut ngaji memenuhi ruang tengah. Meski ini musim panas, ternyata lebih panas dari suasana hati yang bergemuruh. Getun. Saya sangat menyesal, merasa ditampar keras pipi kiri dan kanan. Pipi kiri, sebab mau ngaji, tapi malah ngga jadi. Sebab ketiduran lagi, setelah ketiduran yang ke berapa kali sejak bangun jam setengah dua kemarin. Pipi kanan, sebab, sekaliber Dr. Sonia aja masih berkenan mengaji, duduk bersimpuh di deoan Dr. Hasan Syafii.. Lha, ini, saya malah, ke mana aja?! :'(

Dari jawaban teman saya, ada tiga nama guru spesial yang disebut. Saya akhirnya memahami, ketiga guru ini, bagi saya, ada di kedudukan istimewa.. Dr. Hasan Syafii, meski saya belum ngaji secara langsung hingga hari ini (jadi tau kan, betapa saya di sini, selama ini, entah kemana aja, -_-) tapi beliau sangat saya kagumi. Beliau sudah sepuh. Beliau ketua Majma' al-Lughah yang ada di Zamalek sana. 

Kedua, Dr. Sonia.. Beliau, sebagaimana disinggung tadi. Saya kenal beliau sejak tingkat satu, saat diajar Mantik. Kemudian bertemu lagi di tingkat dua, beliau mendidik kami melalui mata kuliah Tauhid. Di samping mengaji di Masjid al-Azhar, di kuliah, saya cukup intens komunikasi dengan beliau lewat wa. Beliau sangat welcome, sangat perhatian dengan mahasiswinya, terutama pendatang. Ada banyak cerita dan pengalaman dengan beliau. Yah.. Barangkali, saya belum merasakan penyesalan sedalam ini atas apa yang terjadi, kecuali dua hal. Pertama, saat penutupan ngaji mantik dan tauhid  bareng beliau di Masjid al-Azhar, akhir Februari lalu. Kedua, mengetahui bahwa Dr. Sonia ikut mengaji Dr. Hasan Syafii, yang padahal kemarin sudah niat pengen hadir juga.. Namun urung. Hmpph. Semoga tiada penyesalan semacam ini, untuk ketiga kalinya. 

Ketiga, Dr. Muhanna.. Beliau, murabbirruh bagi saya, mungkin teman-teman lain juga. Beliau mengampu kajian tasawuf di tiga kali pertemuan dalam seminggu. Hari Rabu, kita ada Qawāid al-Tashawwuf, sore hari di Dzullah Utsmāniyyah, di mihrab utama Masjid al-Azhar. Berikutnya hari Jumat, tasawuf juga, kitabnya Ihyā Ulūmiddīn, di tempat yang sama. Alhamdulillah.. Insya Allah saya terus mulazamah dengan kedua majelis ini. Terakhir, ada Syarh al-Hikam al-Athāiyyah, Sabtu bakda Maghrib di Masjid Sayidah Nafisah, dekat benteng Shalahudddin al-Ayyubi. Yang ini, semoga Allah memperkenankan saya untuk duduk mendengar lembutnya kata-kata beliau. 

Ketiga nama ulama al-Azhar tadi, ternyata ialah sosok yang telah menempati sebagian ruang di hati ini. Dr. Muhanna, Dr. Hasan, Dr. Sonia, dalam hubungan ketiganya terdapat ikatan guru-murid yang sangat indah. Sejak dua tahun saya kenal beliau, saya melihat betapa Dr. Sonia sangat ta'dzim terhadap guru-guru beliau, dan masyayikh Azhar secara umum. Betapa beliau sangat bangga terhadap almamaternya. Betapa beliau dahulu, sosok pekerja keras dan ulet dalam belajar, sehingga bisa sampai dalam kedudukan seperti sekarang, dan dengan penuh kepercayaan diri berbangga atas al-Azhar. Pada beliau, saya melihat, bahwa untuk berbangga, kita mesti mati-matian menjaga nama baik dan jujur menapak jalan hidup sesuai manhajnya. Pada al-Azhar.. Saya memahami apa makna perjuangan menggali ilmu yang sejati. Meski belum, saya bertekad supaya bisa sehebat pendahulu kami di sini.. Dengan cita-cita dan semangat untuk menerima estafet dalam berjuang dan khidmah terhadap umat.

Intinya, saat ini, saya lagi gemes sama diri sendiri. Yhaa kemana ajaa selama ini. Miiid, Mid. Kapok kan?!

Semoga semangat belajar atau apapun itu, bukan karena seseorang. Bukan karena Dr. Sonia, bukan sebab Dr. Muhanna, Usth. Marwa, Usth. Nisrin atau beliau-beliau yang saya merasa dekat dan beliau juga ngga hanya sekali, mengungkapkan hal serupa, padaku. Hehe. Saya mesti memahami, kudu ada semangat dan kesadaran diri bahwa, beliau yang sudah ada di kursi dosen, syekh, profesor, semuanya berangkat dari ketekunan, keprihatinan, menahan lara dalam menuntut ilmu, dan berbagai upaya dalam menggapai cita-cita. Menjadi anak didik beliau artinya harus siap jungkir balik. Menjadi santri al-Azhar, artinya kudu siap belajar tenanan. Sebab sudah jauh dari rumah, kalau masih biasa aja, ya untuk apa?

Semoga tekad saya hari ini dicatat malaikat, untuk selalu mengingatkan saya bahwa masa ini, masa-masa untuk prihatin. Masa-masa mengilhami setiap laku dan cara pikir dari beliau-beliau guru dan masyayikh saya di sini. Bukan justru hanya berbangga, sebab saya berkesempatan meraup ilmu dari mereka. Bukan justru rajin ngutip quotesnya, ditaruh di wa, ig, fb atau apapun hal-hal sejenis itu, tapi nol dalam pengilhaman laku dan cara pikir. Atau kalau tidak nol, paling tidak, terlihat tiadanya usaha serupa, namun tenggelam dalam buncah bangga tak terasa. 

Pada akhirnya, semoga Dr. Sonia berkenan menerima undangan seminar kami, dalam rangkaian acara Grand Closing Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin 2017/2018. 

Ahad, 29/7/2018 setelah adzan Dhuhur. 

Friday 27 July 2018

Sibuk

Beberapa saat lalu sempat dibuat badmood sebab wifi lagi mutung. Ala kulli haal alhamdulillah..

Sejak awal bulan ini, aku merasakan kurangnya waktu untuk diri sendiri. Senat, Bedug, kajian, talaqqi, sekolah menulis, kelas opini, hingga kegiatan rutinan seminggu sekali memenuhi jadwal harianku. Semua ini membuatku cukup mengerti, bahwa semakin dewasa, amanah dan keputusan yang diambil mestinya semakin bijak. 

Aku sampai lupa. Kemarin, rasanya ada banyak hal yang pengen kutulis. Sayangnya, di malam hari, sering aku tak kuasa untuk membuka laptop, menukiskannya di sini. Selain lelah, wifi juga sama sekali tak mendukung. Yang kedua ini, jauh lebih menyakitkan daripada lainnya. Sama bayar, koneksi tetap lambat. 

Yasudah. Yang terkini ialah hasil ujian. Ada banyak kegiatan yang menguras tenaga, namun semuanya entah untuk apa. Kadang hati menghendaki, sudah mengaji saja. Bekal untuk pulang ke rumah. Kesibukanmu selain mengaji itu kurang guna. Iya, di satu sisi, aku membenarkannya. Namun di sisi lain, aku berpikir: kenyataan bahwa aku hidup di zaman entah ini, aku mesti berjalan mengiringi tabiat zaman di mana dan kapan aku berada. Zaman yang, ketika kita hanya berkutat dengan tradisi semacam mengaji kitab kuning, menghafal matan, dan sejenisnya, aku merasa, kita akan selamanya hidup dengan diri sendiri, jika terus seperti itu. 

Zaman ini, menuntut aku setidaknya, atau kita, untuk bisa menghidupi masa. Aku tidak berpikir bahwa yang khusyuk mengaji, tidak akan bisa mengimbangi tuntutan zaman. Tidak pupa menjamin bahwa yang sibuk dengan segala macam kesibukannya, akan melenggang dan mempunyai otoritas untuk mengiringi zaman. Barangkali, ketika keduanya sejalan, inilah yang menurutku cara paling ideal untuk bisa hidup di zaman seperti sekarang. Mengaji, namun juga bisa bersosialisasi. 

Kembali ke hasil ujian (natijah). 
Alhamdulillah, alhamdulillah.. Sebenarnya aku bingung mesti berekspresi macam apa. Allah selalu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Natijah tahun ini, membuktikan separuh awal dari kata bijak "bil imtihān yukramu al-mar'u aw yuhān".

Berkat doa dari banyak pihak; mama, bapak, guru, teman, kerabat, dan yang aku tahu siapa itu, alhamdulillah, pihak kantor administrasi menuliskan bahwa aku meraih predikat istimewa. 

Tentunya, ini menjadi sebuah alarm tersendiri bagiku. Pertama, bahwa, apapun yang kita lakukan, mesti dilandasi dengan niat yang baik. Meski masalah niat tak bisa dilihat ketika di dalam hati, namun bisa dilihat pada apa yang dilakukan di luar hati. 

Kedua, bahwa, Allah Maha Segala-galanya. Bisa membuat haru siapapun yang berprasangka di luar kehendak-Nya. 

Selama kuliah kemarin, aku jarang sekali masuk kelas. Aku selalu lebih sibuk di luar kampus, daripada duduk dan mendengar model ceramah yabg disampaikan para dosen. Kecuali satu, mata kuliah Tauhid, aku tak pernah benar-benar tertarik mengikuti kegiatan di kelas. 

Ini barangkali hal yang kurang baik. Namun, dengan segala macam kesibukan di luar kampus, aku ditampar, atas banyak kekhawatiran kemarin bahwa jika niatmu lurus, Allah yang akan mengurus segala perkaramu. Jika kita sepenuh hati khidmah di jalan-Nya, Allah akan selalu menunjukkan taufik menuju pintu-Nya. 

Kadang kala aku merasa belum berhak. Aku berpikir bahwa ini ujian dari-Nya. Justru ketika aku telah sampai di tahap ini, aku merasa semakin berat memikul amanah sebagai seorang pelajar yang kata orang, sibuk, organisasi, ada di mana-mana, tapi akademik tetap keren. Aku semakin membutuhkan rahmat-Nya agar bisa mempertahankan dan meningkatkan terus, apa yang telah aku capai di tahun sebelumnya. 

Meski tahun ini cukup banyak yang mendapat predikat itu, aku bersyukur, sebab Allah memberi kesempatan untuk ada di barisan mereka, yang notabene aktif kuliah. Ini secara hasil akhir. Di sisi lainnya, Allah izinkan aku untuk turut aktif di beberapa organisasi dan komunitas belajar yang, pada akhirnya, aku tak ketinggalan jauh sekali dari mereka pula. 

Allah.. Sebanyak apapun aku bersyukur, tetaplah itu hanya setitik, sedikit. 

Darrasa, 28 Juli 2018. 
Semoga rumah ini menjadi satu-satunya tempat aku kembali, selama di sini. 

Monday 16 July 2018

Permisif

Baiklah, aku sudah terlampau lama tidak menulis di sini.

Sejak awal bulan Juli ini, ada banyak sekali kegiatan yang harus kuikuti. Mengapa harus? Sebab, sederet kesibukan itu bukan tanpa alasan. Ada komitmen yang mesti membuatku terikat, sehingga dengan itu sangat bisa diketahui, seberapa kuatkah komitmen kita atas sesuatu. Atau sebaliknya, seberapa lalai dan lemah kita dalam menghadapi jalan hidup semacam itu.

Seberapa sibuk sih? Entah. Tapi intinya, saat itu aku merasa jadi orang paling sibuk sedunia rumah. Siang, jelas di luar. Pulang malem, paling cepet sore hari menjelang maghrib. Khusus hari Senin dan Kamis, sorenya, jam 8 malam harus ke Rumah Syariah, belajar bareng anak-anak baru, sampe jam 10. Jadi kalo Kamis, pagi sampe sore di SMW. Bakda asharnya, ada jadwal di ruwaq Azhar. Ini masih tanda tanya si sebenernya, sebab kalo kelas itu sering kali kita molor. Ngga tepat waktu. Jadi, rawan terlewat jadwal ngaji di sore harinya. Pulang, langsung mandi, siap-siap ke Rumah Syariah. Heuhe.

Entah, dengan segala ke-kemrungsung-an ini, aku merasa ada yang hilang dari aku dulu. Hatiku tetap kering. Ternyata benar, berkawan dengan banyak teman tak cukup membuat hatimu tenang. Terlalu sibuk bersosialisasi, sehingga lupa sekadar introspeksi diri. Terlalu sering keluar, hingga tak ada waktu untuk berkelakar di kamar dan belajar. 

Empat hari di awal bulan lalu, aku mengedit buletin Bedug, berturut-turut. Setelah itu, masuk di kelas SMW. Kelas Opini Bedug, rutinan Jumat; Kelas Ilmu Kalam, ditambah ngaji di ruwaq ilmu-ilmu syariat di Masjid al-Azhar. Yaa, ngga selalu di masjid sih, ada beberapa yang mesti di ruang kuliah Fakultas Ushuluddin, fakultas kesayangan.

Pada akhirnya, aku mensyukuri bahwa Allah masih memberikanku umur hingga hari ini, sehingga bisa melihat apa yang selama ini aku lakukan. Termasuk kemarin, saat aku merasa bosan, tak bisa mengatur nutrisi untuk diri sendiri, merasa banyak waktu terbuang di luar bersama kawan, aku merajuk. Pengen rasanya, sekali saja di rumah pada siang hari. Lagi-lagi, waktunya tidak pas. Saat itu waktu evaluasi buletin edisi 23 dan aku tidak menghadirinya. Aku menyesal. Awalnya, aku merasa boleh-boleh saja. Namun setelah dirasa, tak elok juga. 

Merasa boleh, ialah saat dimana keterjagaan komitmen kita diuji. Aku gagal saat ujian komitemn kemarin. Aku mengiyakan kepenatanku butuh waktu sejenak untuk sendiri, menjauh dari keriuhan orang-orang di sana. Semua kesibukan yang pada awalnya mampu kujaga dengan baik, pada akhirnya buyar begitu saja saat aku permisif terhadap diri sendiri. 

Pagi menjelang siang, Kairo, 17 Juli 2018 08.29 AM.

Monday 4 June 2018

Melepas Kangen

Sore ini, mendung. Akhir-akhir ini suasana di Kairo tak begitu panas.Alhamdulillah, hawa seperti ini sangat berarti bagi kami yang sedang menempuh UAS. 

Siang tadi ujian Tayyarat al-Fikriyyah al-Mu'ashirah (tapi saku salah sebut, malah mu'asharah, di depan Ustadzah Marwa pula). Alhamdulillah, kata Ertugrul, "al-juhdu minna wa al-tawfiqu min Allah." Kita wajib berusaha, di tangan Allahlah segala taufik. 

Setelah mampir di hammam sebentar, aku keluar dari gedung B FDI Banat Kaio. Menuruni tangga, aku melihat Undul telah menantiku, lama mungkin. Kami selalu berangkat-pulang bareng. Semoga Allah melanggengkan persahabatan kami. 

Aku keluarkan hape. Aku memencet ikon 'Kontak', mencari sebuah nama. Urung, aku akhirnya membuka kamera, ada teman pengen selfi bareng. Hehe. Selepas itu, kuteruskan niatku tadi.

Aku menelepon. Beberapa saat berdering akhirnya terdengar suara 'klik', jawaban panggilan dari sana. Awalnya sedikit gemetar, namun kuusahakan biasa, sebab kangen, dan kayaknya bakal cerita banyak. Hehe. 

"Assalamualaikum, Hamidah," sapa terdengar dari sana. "Waalaikumsalam, Ustadzati," dengan nada semringah aku jawab salam itu. Salam yang, beberapa bulan ini tak kudengar. Salam yang, selalau datang di mimpi di kala kangen. Beliau termasuk orang terkasihku. Aku bersaksi, demi Allah, aku menyayangi beliau, sebagaimana beliau bersaksi pada-Nya, bahwa ia menyayangiku. Berkali-kali aku dengar pengakuan ini dari beliau. Rasanya, hati lapang-selapang-lapangnya.

Setelah bertukar kabar, aku langsung masuk ke inti, "Selamat ulang tahun, Ustadzah. Barakallah fi 'umrik." Beliau menjawab dengan nada bahagia, mungkin semacam kejutan, di siang hari Ramadan ada yang memberi tahniah ulang tahun. Selepas itu, kami membahas banyak hal, termasuk bagaimana kabar suami beliau. "Apakah membuatmu marah, Ustadzah?" "Iya, sedikit. Alhamdulillah ia... " beliau melanjutkan, semangat cerita tentang suaminya, diselingi tawa renyah. Bangga dan bahagia, batinku. :)

Alhamdulillah. Aku cerita kalau hari itu baru selesai ujian, masih ada seminggu lagi. Bahwa, akhir ujian, ialah akhir Rmadan. Beliau sedikit terperangah, lantas bertanya, ujian apa hari ini? Tayyarat, jawabku. Aha.. ini penting, sambung beliau. Beajar apa aja? Tanya beliau. Ateis(me), globalisasi, liberalism dan sejenisnya, Ustazdah. Sebab kemunculan, cara menghadapi dan semacam itulah. Aa, moga-moga mengantarkan pada hal-hal yang baik dan benar. Aamiin, aku mengiyakan.

Setelah beberapa waktu saat aku masih berbicara dengan beliau, datang Lathif. Aku menyapa dengan isyarat tangan, ia mendekat. Lantas aku bilang, Ustadzah, ini Lathif lagi sama aku, pengen bilang sepatah-dua patah kata. Aku pindah tangankan hape, ke Lathif. Ia cerita sama Ustadzah tentang ujian, tanya kabar, Ramadan dan sejenis itu. Pada akhirnya, ia hanya ingin menyampaikan tahniah ulang tahun, tak kasi tau sebelumnya. Hehe, bahagianya hari itu. 

Aku mohon pamit, sebab Undul mau beli sesuatu di Maktabah Star. Tamam, beliau mengizinkan, namun sebelum ditutup beliau memotong, "Tapi aku pengen nyempein ini ke kamu, beneran." Aku pasang telinga siap mendengarkan. Beliau secara langsung pengen nyampein sesuatu, tandanya aku ngga ganggu waktu beliau, beliau lagi selo, dan seneng aku telpon. Hehe. 

Beliau bilang, katanya, kami seneng banget, kamu ngomong pake bahasa fusha kek gini. Bisa ngomong banyak, bias nyusun kalimat dengan baik, ngomongnya lancer, Alhamdulillah. Kami seneng sekali. Kata beliau. Aah, aku malu. Aku bilang, ini belum aa-apa, Ust. Jalanku masih panjang, dan belum berhak kek gitu. Engga, berhak. Kamu berhak, Nda. Sebab usaha keras dan ijtihadmu setelah taufik Allah, kamu bias meraihnya. Dipesani atau tidak, pokoknya harus tekun dan rajin. Ini pesan ustadzah. Pun, kamu itu contoh yang selalu tak sampaikan ke anak-anak, contoh santri yang berhasil dan ngomong Arab fusha. Ya Allah, aku merasa di hadapan beliau saat itu.

Akhirnya, aku sambal jalan ke maktabah, kuteruskan nelpon beliau. Ngobrol banyak hal, terutama tentang pilihan jurusan di tahun ketika ini, insya Allah. Aku cerita ke beliau tentang keinginanku untuk masuk akidah-filsafat atau tafsir al-Quran. Beliau diam sebentar, lantas membuka: Semuanya tergantung keinginanmu, Nda. Tapi, tak bilang, ini nasihatku... Beliau lanjut cerita benyak, bagaimana sekiranya aku milih tafsir. Beliau mensyen kitab Tafsir wa al-Mufassirun karya Syekh Dzahabi juga. Bahwa kau akan bias ngerti keindahan makna al-Quran lebih dalam, bias tau tafsir yang diterima dari yang ditolak, dan seterusnya. Hingga saat aku tiba di maktabah, beliau sampe di bagian jurusan filsafat-akidah. Tetiba, telepon mati. Aku dapat pesan, pulsamu tingggal 0,5 sekian. Yah, pulsa habis. 

Aku tanya Undul, dia ngga punya pulsa juga. Kucoba berkali-kali, hape ini menolak sinyal untuk kesana. Ah, yasudah. Aku kirim pesan wa saja nanti, setiba di rumah, batinku. Tak selang satu menit, beliau memanggil. Tanya kenapa mati, dan seterusnya. Hal ini (putus sinyal) terjadi sampe tiga kali. Sebanyak itu pula, beliau meneleponku ulang. Bahagia, namun malu juga. Sebab aku sudah merepotkan beliau, menghabiskan pulsa pula. Bagaimana tidak, sejak telepon terputus kali pertama tadi, kami masih ngobrol lebih dari tiga puluh menit. Waktu yang cukup panjang, untukku, yang sebatas anak didik beliau tiga tahunan lalu di DL, yang barangkali ngga ada teman yang masih kontak sesering ini, untuk mendengar cerita dan tawa renyah beliau. 

Cerita berlanjut, kami tertawa, sejenak saksama mendengar beliau, sejenak manggut-manggut, sesekali agak bersorak. Aku tanya buku beliau yang Alhamdulillah sudah ketemu, sudah diprin, beliau minta doa agar segera rampung tesisnya.. Terus menyinggung dedek bayi hehe. Aku ngga jelas bilangnya, isyarat-isyarat gitu, kata beliau: Opo to Nda yang jelas. Akhirnya, aku terang-terangan, udah ada dedek bayi belum, ustadzah? Hehe. Doain aja, semoga segera. 

Masjid sebelah sudah iqamah. Selamat berbuka. Selamat menjalankan shalat maghrib, isya dan tarawih. 

16 Ramadan 1439/ 4 Juni 2018. 

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...