Oleh: Hamidatul Hasanah
Flat 29 Gang Bathneya, el-Darb el-Ahmar,
Hussein, Darrasa, Kairo, Mesir
Pendahuluan
Perkembangan waktu selalu menghadirkan sebuah capaian
baru, termasuk pada pemahaman nasionalisme, dari era sebelum kemerdekaan hingga
era kini. Dari sini terlihat bahwa pemaknaan suatu kata berbeda-beda tergantung
pada konteks kapan dan di mana ia dibicarakan. Saat masa penjajahan,
nasionalisme dipraktikkan dengan mengangkat senjata, perlawanan fisik melawan
penjajah. Jika tidak karena nasionalisme, bangsa Indonesia tidak akan pernah
ada. Setelah merdeka, Indonesia (harus) memaknai nasionalisme bukan sekadar
perolehan kemerdekaan ataupun mempertahankan. Lebih dari itu, nasionalisme
harus dikonseptualisasikan dalam laku-laku aktualisasi diri sebagai bangsa
berdaulat yang mampu bersaing global di dunia internasional.
Di sisi lain, ketika nasioanlisme menjadi latah,
tindakan-tindakan konkrit yang dimunculkan biasanya keluar dari jalur yang
semestinya. Di sinilah kemudian, nasionalisme rawan diartikan dengan jihad yang
digaungkan oleh orang-orang berpemahaman dangkal, namun hakikatnya ialah sebuah
perlawanan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larry Diamond dan
Marc F Platner. Padahal, dalam makna yang sejati, kata jihad merupakan
kompatriot dari nasionalisme. Nasionalisme mencakup jihad, penghormatan
terhadap para pahlawan, taat hukum, dan berbagai aksi lainnya dalam wujud nyata
aksi positif yang relevan dan progresif. Namun, karena pengaruh masa dan
lingkungan yang berbeda, pemahaman yang dicapai juga berbeda. Dari sinilah
laku-laku yang mewakili makna tersebut harus memosisikan diri dalam bingkai
aplikasi yang sesuai agar dua kata tersebut—nasionalisme dan jihad—tetap
relevan sepanjang masa. Meski dengan cara konseptualisasi yang berbeda, namun
tetap dalam koridor makna (Islami) yang sama.
Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia
seharusnya mampu menjadi teladan dalam nasionalisme. Hal ini dikarenakan adanya
hubungan yang sangat erat antara Islam dan Nasionalisme. Seluruh lingkup
kehidupan manusia diatur secara global di dalam al-Quran, tidak terkecuali satu
konsep yang menyangkut kemaslahan umat ini, nasionalisme. Apalagi, sikap ini
sangat terlihat jelas ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, beliau
berkata kepada Makkah, Tanah Airnya dengan penuh rasa berat: “Wahai Makkah,
demi Allah, engkau adalah tanah yang paling aku cintai. Andai saja pendudukmu
tidak mengeluarkanku darimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
Diskontinuitas makna telah menjangkit dimensi kritis
bangsa. Hal tersebut memicu pergeseran pemahaman dan makna nasionalisme, lalu
mengerucut pada “aksi-aksi asing” yang sama sekali menyimpang dari ajaran
Islam. Oleh karenanya, redefinisi perlu dilakukan dalam rangka reaktualisasi
makna nasionalisme dalam bingkai Islami, membenahi nalar pikir terlebih dahulu
sebelum terjun beraksi. Karena apa-apa yang terejawantahkan dalam tindakan
merupakan produk dari pemikiran.
Nasionalisme, Bangsa dan Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme
dimaknai sebagai: pertama, paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negaranya sendiri, suatu sifat kenasionalan, kedua, kesadaran
keanggotaan suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan
kekuatan bangsa itu: semangat kebangsaan.[1]
Nasionalisme juga dipahami sebagai cinta tanah air dan kesediaan berkorban
untuknya (love of country and willingness to sacrifice for it), sebuah
doktrin bahwa bangsanya lebih ungggul jika dibandingkan dengan bangsa lain (the
doctrin that your national culture and interest are superior to anyother),
serta sebuah doktrin bahwa suatu bangsa harus mandiri—tidak hanya sekadar aksi
kolektif—dalam mencapai tujuannya (the doctrin that nations should act
independently—rather than collectively—to attain their goals).[2]
Elie Kedourie (Pembaharu Nasionalisme Eropa)
mendeskripsikan nasionalisme sebagai berikut.
“Sebuah doktrin yang ditemukan di Eropa pada permulaan
abad ke-19. Doktrin tersebut menyatakan bahwa secara natural, umat manusia
dibagi menjadi beberapa bangsa. Dimana bangsa tersebut menuntut beberapa
kriteria, seperti penetapan populasi penduduk, praktik hukum yang dilegitimasi
oleh negara, (dan dengannya) terwujudlah organisasi masyarakat yang baik.”[3]
Lebih lanjut, J.B.L. Mayall dan Jackson mengatakan
bahwa, mungkin, tidak semua orang, bahkan tidak semua kaum nasionalis dapat
menerima definisi ini begitu saja. Apalagi, ketika dikatakan bahwasanya
nasionalisme ialah sesuatu yang alami (natural). Namun, meskipun beberapa tokoh
nasionalis menerima bahwa nasionalisme ialah sebuah rancang bangun
sosio-histori, sejumlah lainnya pasti akan memperdebatkan definisi yang
diberikan Kedourie.
Memahami nasionalisme bukanlah sesuatu yang mudah. Ia
mempunyai wajah yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dan yang
paling penting, ia berbeda, tergantung pada apa yang didefinisikan oleh suatu
komunitas atas terma tersebut, pun tergantung pada apa yang mereka maknai
sebagai “nasional.”[4] Makna bangsa dan
negara pun seringkali menjadi rancu, sering digunakan tidak pada tempatnya,
meskipun keduanya merupakan produk dari kedaulatan wilayah yang diakui sebagai
faktor terkuat dalam kesatuan politik Hubungan Internasional.[5]
Tentunya, sebagai kompatriot bangsa, nasionalisme
merupakan aspek pendorong sekaligus penopang paling kuat dalam stabilitas suatu
bangsa. Meski sebelum itu, nasionalisme mengharuskan suatu detail konsep
tentang negara, bangsa, etnisitas, identitas nasional untuk dapat memahaminya. Dalam
hal ini, Ir. Soekarano menegaskan bahwa bangsa ialah kelompok manusia yang
mempunyai hasrat untuk bersatu teguh, mempunyai kesatuan sifat yang umum dan
tinggal di atas satu wilayah geopolitik yang nyata merupakan suatu kesatuan.
Jadi, kesatuan sifat atau watak nasional merupakan sejumlah ciri atau watak
yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lain.[6]
Dalam konteks keindonesiaan, ketika
nasionalisme diperdengarkan, maka pikiran akan tertuju pada nasionalisme yang
diejawantahkan dari Islam—karena begitulah mayoritas penduduknya. Toleransi
yang telah terjaga (khususnya dalam umat beragama) merupakan sebuah harmoni
masyarakat multikultural bangsa kita. Persamaan sejarah dan pengalaman hidup
yang sama—tidak dapat dipungkiri secara mutlak— merupakan stimulus utama
pembentuk nalar pikir sosio-historis dalam masyarakat.
Nasionalisme ialah ruh bagi
bangsa dan negara. Tanpanya, mustahil bangsa dapat berdiri dengan kokoh dan
damai. Hal ini semakin diperkuat oleh nasionalisme Indonesia yang sejauh ini
terjaga keimbangannya, di mana ormas (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah)
merupakan garda terdepan. Kedua ormas ini merupakan tiang sekaligus poros
penentu arah stabilitas nasional bangsa. Ketika Indonesia yang merupakan negara
berpenduduk Muslim terbesar dunia diakui bahkan oleh negara-negara Timur Tengah
(yang notabene bangsa Arab, tempat munculnya agama Islam) dengan Islam
moderatnya (baca: Islam Nusantara), maka gagasan tersebut (Islam Nusantara)
dapat dikatakan sebagai identitas bangsa, bahkan nalar pikir nasionalismenya.
Karena dari gagasan inilah—bahkan sebelum dicetuskan, gagasan tersebut telah
menyatu dalam laku-laku keseharian bangsa—Indonesia mampu tampil di dunia
internasional dengan penuh percaya diri, karena stabilitas nasional
terejawantahkan secara progresif dari setiap elemen bangsa.
Islam dan Nasionalisme dalam Konteks Keindonesiaan
Konsep nasionalisme telah diusung sejak zaman
Rasulullah, termaktub dengan sistematis dalam sumber hukum umat Islam, baik
al-Quran maupun Sunah. Al-Quran memaparkan bagaimana sebuah negara berawal dari
satu orang, bernama Adam As. lalu darinya diciptakan Hawa, dari keduanyalah
bermula sebuah pernikahan. Lantas keturunan terus bertambah, menjadi sebuah masyarakat,
kelompok kecil yang kemudian terus berkembang hingga mencapai jumlah besar yang
disebut bangsa.
Dalam surat Ibrahim ayat 37 yang berbunyi “Rabbanâ
innî askantu min dzurriyyatî biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika
al-muharram. Rabbanâ liyuqîmû al-shalâh, faj’al af’idatan min al-nâsi tahwî
ilayhim warzuqhum min al-tsamarâti la’allakum tasykurûn,” disebutkan
setidaknya ada tiga dasar pembentukan sebuah masyarakat (Islam). Pertama,
kalimat biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika al-muharram. Kalimat ini
menunjukkan bahwa dalam memilih tempat tinggal, sebaiknya dekat dengan
tempat-tempat yang baik (dalam hal ini, Baitullah). Kedua, tujuan bertempat
tinggal ialah agar dapat melaksanakan perintah Allah, dapat beribadah dan
menjalankan apa yang disyariatkan dengan leluasa tanpa ada gangguan dari
berbagai pihak, dan bukan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,
apalagi Hak Asasi Manusia. Hal ini disebutkan dalam kalimat Rabbanâ liyuqîmû
al-shalâh dan la’allakum tasykurûn. Ketiga, adanya rasa kasih sayang
di antara anggota masyarakat (faj’al af’idatan min al-nâs tahwî ilayhim).
Rasa senasib sepenanggungan inilah yang memupuk adanya kesadaran akan kesamaan
tujuan yang telah disebutkan tadi. Sehingga, ada tiga macam sebab yang
melandasi formasi masyarakat menjadi sebuah bangsa—dalam hal persamaan nasib—,
dan negara—dalam lingkup hukum yang mengatur masyarakat itu sendiri.
Adalah faktor pribadi, materi dan keamanan yang
melandasi aktualisasi masyarakat dalam praktik laku-laku keseharian yang nyata.[7]
Ketika ada sekelompok masyarakat yang menempati suatu wilayah teritorial
tertentu, dengan hasrat yang sama untuk kemakmuran bersama, maka terbentuklah
sebuah bangsa. Bangsa tidak terbatas pada kesamaan ras, suku maupun agama.[8]
Bangsa ada di atas itu semua, karena memang pada dasarnya sebuah bangsa yang
dipahami ialah berdasarkan apa yang nyata mewujud di dalamnya—wilayah yang
berdaulat, hukum, serta masyarakat dengan rasa senasib sepenanggungan.
Nasionalisme dan Islam adalah dua sisi mata uang yang tidak
bisa dipisahkan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan, sebuah negara kesatuan
yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, pun agama. Ini merupakan sebuah
fakta yang tidak bisa dielak, mengingat ketika kita berbicara tentang
nasionalisme, patriotisme, demokrasi, dan lain sebagainya, maka kembali ke
hakikat bangsa Indonesia (mâhiyah) merupakan sebuah keniscayaan. Istilah apapun
yang akan diterapkan di Indonesia pasti (dan harus) mengalami domestifikasi agar
aplikasinya relevan, sesuai dengan adat dan budaya bangsa, dengan segala
ke-Indonesia-annya. Bukan penerapan demokrasi ala Barat, bukan juga
pengaplikasian Islam dengan apa adanya seperti apa yang ada di Arab (Timur).
Dari sinilah kemudian muncul istilah Islam Nusantara.
Islam Nusantara merupakan sebuah gagasan baru yang
masih hangat diketengahkan. Bagaimana ia muncul sehingga diterima oleh
masyarakat umum (meski ada berbagai pihak yang tidak setuju) merupakan sebuah
konseptualisasi Islam yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara,
sehingga kehadirannya merupakan sebuah perangkat sistemik untuk satu tujuan,
nasionalisme. Oleh karenanya, Islam yang fleksibel tersebut mampu diterima
dengan tangan terbuka oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia. Tidak hanya
teori dan omong kosong belaka, namun benar adanya.
Bangsa serta identitasnya merupakan satu kesatuan.
Ketika terbentuk sebuah bangsa, maka secara otomatis karakter, ciri khas dan
identitas bangsa tersebut turut muncul. Lambat laun semakin jelas, yang
kemudian disebut sebagai pembeda antara bangsa satu dengan lainnya. Sejak
Indonesia merdeka, berbagai peristiwa yang dilaluinya perlahan menunjukkan jati
dirinya, meski sadar atau tidak, dalam prosenya tentu tidak pernah terlepas
dari konflik multidimensional. Sebut saja, nasionalisme telah ada bahkan jauh
sebelum Indonesia merdeka. Di bawah cengkeraman penjajahan Belanda, para tokoh
pergerakan nasional memahami betul arti penting nasionalisme. Nasionalisme yang
anti kapitalisme.[9]
Selama ini, nasionalisme yang berlaku di Indonesia
merupakan hasil dari kerja sama kultural. Yakni kerja sama antar dimensi kultur
yang ada di Indonesia; agama, ras, etnis dan keberagaman lainnya. Kerja sama
ini nyata dalam laku-laku keseharian yang normal, bahkan sangat umum. Misalnya,
menghormati yang lebih tua, penggantian tempat parkir antara masjid dan gereja
yang berseberangan saat hari raya masing-masing, membantu tetangga pulau
melalui donasi, dan lain sebagainya. Meski pada nyatanya, berbagai macam
konflik sektarian, aksi-aksi terorisme seperti bom Sarinah, bom Samarinda yang
baru-baru ini mencuat mencoreng nama baik Islam. Karena pada praktiknya,
tindakan ekstremis-radikalis semacam itu selalu mengatasnamakan agama (Islam).
Padahal, yang bermasalah ialah pemahaman manusia yang beragama itu sendiri.
Menyikapi hal-hal tersebut, pemahaman akan Islam,
nasionalisme serta keterkaitan antar keduanya harus ditata kembali,
diredefinisi. Islam bukanlah ajaran yang mengajarkan kekerasan. Bahkan tidak
hanya Islam, semua agama di muka bumi pun mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan
perdamaian dalam setiap dimensi kehidupan. Karena keyakinan akan adanya Tuhan
ialah fitrah, dimensi alamiah. Dalam jurnal Himmah,[10]
Mukhlis Rahmanto mengatakan sifat alamiah ini sebagai berikut.
“Entah seorang komunis di Warsawa-Polandia, pengikut Tao-Kobe di Jepang,
penganut Sikh di Himalaya, pengikut Hindu di kota suci Benares, penganut Budha
di Ulam Bator-Mongolia, penjaga pintu gereja Vatikan, kepala suku Asmat di
Papua, milyuner Bill Gates di California, maupun seorang penjual kusyari
sekaligus penganut setia Tarekat Burhameyyah di kawasan Hussein, Kairo. Entah
Dia diterminologikan dengan Allah, God, Lord, Tuhan, Maha Dewa, ataupun Gusti.
Entah Dia diyakini atau tidak—dalam kacamata keimanan Islam dan intuisi semua
manusia—, tetap tidak akan mengurangi dan menggeser keberadaan-Nya sedikitpun.
Tuhan adalah perwakilan Nilai Tertinggi dan Keberadaan Mutlak.”[11]
Sehingga, sangat tidak masuk akal, bahkan merupakan
sebuah kebodohan jika melabeli aksi-aksi yang berbau ektremis, teroris, radikalis,
dan kekerasan-kekerasan lainnya dengan dalih agama. Agaknya, di sini terjadi
semacam diskontinuitas pemahaman antara Islam zaman dahulu dengan sekarang.
Dengan berbagai kemajuan dunia yang begitu pesatnya, segala aspek modernitas
sungguh telah terpenuhi. Masalahnya, modernitas ini malah semakin menggeser nilai-nilai
kebajikan yang bersumber dari agama, meski jika dirunut ulang akan kita temukan
bahwa bukan zaman, masa, maupun waktu yang mengubah semua tatanan apik
tersebut, melainkan manusia. Manusia yang tidak mampu memosisikan diri sesuai
zaman di mana ia hidup, terjebak pada doktrin masa lalu. Bersuci tangan dari
metodologi epistemologis turats Islam yang sejatinya merupakan lanjasan
pijak dan titik tolak pergerakan bangsa.
Hal tersebut persis seperti kaum skripturalis yang
selalu berpikiran bahwa negara ideal ialah “Negara Madinah.” Kaum ini sempat
mewarnai sejarah Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, namun berbagai
polemik seperti pergantian kabinet berulang kali, amandemen UUD dan lain
sebagainya membuatnya berputus asa dalam upaya mendirikan Negara Islam, hingga
akhirnya lelah dan mengalah. Berbagai pergolakan (politik) tersebut akhirnya
menggeser pemahaman apa yang mereka yakini sebagai negara Islam; satu-satunya
alat politik untuk menegakkan hukum Allah. Namun, negara Islam yang digaungkan
mereka hanya sekadar gaungan, jika ingin diterapkan di Indonesia. Toh, negara
Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi.[12]
Kembali ke nasionalisme. Kesepahaman antara Islam dan
nasionalisme dapat dicapai jika dan hanya jika seluruh lapisan masyarakat
memahami betul entitas dan substansi dari kedua kata tersebut. Sejak sebelas tahun
terakhir, gerakan radikal atau setengah radikal yang berbau Islam yang
antidemokrasi, antipluralisme, bahkan antinasionalisme muncul di Indonesia,
seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, dan Hizbut Tahrir
Indonesia.[13] Padahal,
kesemuanya tersebut—demokrasi, pluralisme, nasionalisme—merupakan aspek
fundamental dan sangat substansial dalam pondasi kerberlangsungan bangsa.
Kelompok-kelompok tersebut (selalu) terburu-buru dalam bertindak dan mengambil
sikap, karena pemahaman atas substansi-substansi inti ajaran agamanya masih
“prematur.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rais Syuriah PBNU, KH. Ahmad
Ishomudin, yang mengatakan bahwa kekerasan (agama) semacam ini disebabkan oleh
rendahnya mutu sumber daya pelakunya; pemahaman agama yang dangkal dan semangat
beragama yang menggebu-gebu.[14]
Kalimat tersebut harus direnungkan dan dipahami oleh umat Islam Indonesia,
mengingat berbagai bentuk kekerasan dan aksi terorisme di seluruh belahan dunia
kerap kali dikaitkan dengan Islam —meski tidak sepenuhnya benar.
Kelompok-kelompok tersebut—meminjam istilah Buya
Syafi’i Ma’arif: Preman Berjubah—juga mempunyai kesamaan praktik (pahamnya yang
“keras”) dengan sekutunya di berbagai belahan dunia manapun. Kelompok-kelompok
tersebut juga mempuyai “hobi” nyeret-nyeret (Jawa: membawa-bawa) nama
Islam dalam setiap aksi yang digelarnya. Selain apa yang dikatakan oleh KH
Ahmad Ishomudin, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, Syafi’i
Ma’arif, sangat menyayangkan pergaulan mereka dengan berujar: “Mereka hanya
bergaul dengan kelompoknya sendiri. Padahal, jika pergaulan hanya dengan
kelompoknya sendiri, itu itu saja mengerdilkan kemanusiaan.”
Upaya Redefinisi Nasionalisme Indonesia di Era
Globalisasi
Upaya redefinisi merupakan upaya merumuskan batasan
dengan melihatnya dari susut lain, bukan dengan cara yang lazim.[15]
Redefinisi merupakan langkah awal reaktualisasi makna-makna; makna nasionalisme bersubstansi nilai-nilai
Islami tanpa mencerabut identitas bangsa itu sendiri. Sehingga, redefinisi
memerlukan perangkat dalam membentuk pondasi awal yang baru. Bukan membentuk
pondasi yang sama sekali baru, namun berpijak pada apa-apa yang telah
ditentukan, hanya saja melalui domestifikasi makna.
Islam yang ada di Indonesia ialah Nusantara, bukan
dalam maknanya yang berbeda dengan Islam di Arab maupun Timur Tengah. Islam yang
sama, namun dalam wilayah yang berbeda. Hal ini merupakan jalan terang aplikasi
nilai-nilai keislaman, karena yang menjadi titik tolak serta pijakan awal ialah
sebuah esensi, sebuah makna. Ketika ajaran Islam diambil sebagaimana ia hadir
tanpa domestifikasi, maka yang terjadi ialah kerancuan bahkan kerusakan
stabilitas dalam praktik pengejawantahan, terlebih dalam konteks keindonesiaan
yang sama sekali berbeda dengan Arab sana. Syahdan, Islamisasi bukanlah
Arabisasi.
Upaya redefinisi ini mengutamakan adanya kontemplasi
terhadap sejarah masa lalu, sirah Rasulullah, serta pendalaman pemahaman
ajaran Islam. Sehingga, pendalaman yang matang tersebut merupakan pedang
analisis ketika dihadapkan pada fenomena sosial masyarakat. Rais Aam PBNU, KH.
Ma’ruf Amin menyerukan gerakan literasi pesantren sebagai upaya untuk
mengimbangi radikalisasi yang gencar disebarkan oleh berbagai media. Peran
pesantren menjadi sangat penting, mengingat ia lahir dan tumbuh bahkan jauh
sebelum kemerdekaan. Sehingga, secara sejarah pesantren mempunyai bekal yang
sangat matang dalam menyikapi berbagai gejolak masyarakat. Selain itu,
pesantren-pesantren di Indonesia (seperti) ditakdirkan untuk mengawal jalannya
bangsa. Mengawasi dan menjadi filter atas paham-paham ekstremis dalam menjaga
stabilitas bangsa. Hal ini terbukti (dengan jelas) saat Revolusi Jihad KH.
Hasyim Asy’ari yang menyulut semangat heroik seluruh lapisan masyarakat kala
itu. Hingga kini, pesantren ialah poros harapan bangsa dalam menjaga
keseimbangan integritas serta stabilitas nasional.
Pesantren menjadi pabrik
sekaligus bengkel moral bangsa. Karena nilai-nilai Islam yang hakiki hanya
dapat dipelajari di pesantren. Adanya mengaji, bertemu dan bermulazamah dengan
guru, belajar etika dan tata krama, nasionalisme, demokrasi, kemandirian, dan
seluruh nilai kehidupan makro dapat ditemukan di pesantren. Dari sinilah cikal
bakal nalar epistemologi Islam yang kokoh muncul, bukan di tempat lain.
Pemahaman seperti cinta tanah
air (nasionalisme) perlu dipahami secara luwes, fleksibel, bukan dengan
pemahaman yang “prematur” dan mempunyai “suhu panas.” Misalnya dalam hati yang
menyebutkan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Maksudnya, iman
seorang muslim tidak dianggap sempurna ketika ia tidak memakmurkan bangsanya.
Dalam konteks kekinian, kemakmuran bangsa Indonesia hanya dapat ditempuh jika
ada titik temu pemahaman bahwa toleransi ialah pondasi utama masyarakat
multikultura bangsa. Lebih lanjut, toleransi tidak akan ada jika tidak ada
pemahaman yang kokoh tentang ajaran Islam (maupun ajaran agama lain).
Imam Fakhruddin al-Razi
memberikan penafsiran yang sangat lembut dalam
surat an-Nisa ayat 66, terkait dengan cinta tanah air. Dalam ayat yang
berbunyi: “Walaw annâ katabnâ ‘alayhim aniqtulû anfusakum awikhrujû min diyârikum,”
beliau berkata: “Ja’ala mufâraqata al-awthân mu’âdilatan liqathli al-nafs,”
yakni Allah menjadikan perpisahan dari tanah air sebanding dengan pembunuhan
(qathlu al-nafs). Syekh Ala Ali al-Qari dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih
mengatakan bahwa perpisahan dengan tanah air ialah musibah yang sangat berat.
Oleh karenanya, firman Allah: “Wa al-fitnatu asyaddu min al-qathl” kata “fitnah”
di sini ditafsiri dengan pengeluaran, pengusiran dari tanah air; karena ayat
sebelumnya berbunyi: “Wa akhrijûhum min haitsu akhrajûkum.”
Bahkan, al-Hafidh al-Dzahabi
menyebutkan dalam kitab Siyaru A’lam al-Nubala bahwa Rasulullah mencintai bukit
Uhud, mencintai tanah airnya (Makkah), mencintai kaum Anshar dengan cinta yang
tidak terlukiskan. Lebih dari itu, para ulama menjadikan cinta tanah air
sebagai ilat masyaqqah (kesulitan) dalam bepergian.
Sebagian ahli hikmah berkata:
“Cinta tanah air merupakan ciri dari lembutnya hati. Lembutnya hati merupakan
ciri adanya penjagaan Allah, dan penjagaan menandakan adanya rahmat. Rahmat
menandakan kemuliaan fitrah, dan kemuliaan fitrah sebagian dari kemunian
petunjuk/hidayah Allah.”[16]
Ibnu al-Jauzi, dalam Matsir al-Gharam al-Sakin juga mengatakan hal yang senada:
“Dan tanah air, selamanya ia akan selalu dicintai.”[17]
Kesimpulan
Dalam membincang nasionalisme, Islam serta keterkaitan
antara keduanya, maka kontemplasi atas sejarah masa lalu perlu diredefinisi,
direaktualisasi dalam bingkai relevansi masa kini. Fenomena masyarakat sangat
dinamis, berbeda dengan peristiwa pada masa sebelumnya, sehingga sikap aktif,
tanggap terhadap lingkungan merupakan sebuah keniscayaan dan ciri masyarakat
internasional yang profesional. Dinamika pemikiran Islam harus mengimbangi
modernitas dengan memperkokoh pemahaman; toleransi, solidaritas, gotong royong,
serta saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme dalam
setiap lini kehidupan.
Diskontinuitas—meminjam istilahnya Foucault—pemahaman
yang menggeser pemahaman satu ke pemahaman lain harus disikapi dengan pola pikir
yang ilmiah dan sistematis. Bukan malah mengikuti gerakan kelompok-kelompok
yang “asing,” karena tidak ditemukan dalam ajaran agama manapun. Antisipasi
atas kelompok-kelompok ekstremis tersebut merupakan tanggung jawab seluruh
lapisan masyarakat, institusi, tokoh masyarakat, pejabat, pemerintah, serta TNI
dan Polri. Kemudian, upaya redefinisi ini merupakan langkah awal. Ia tidak
hanya sekadar kontemplasi, namun memerlukan pengejawantahan nyata dalam
laku-laku keseharian.
Akhirnya, setelah semua yang telah dipaparkan, penulis
bukanlah orang yang tepat untuk menyajikan bahasan tema kali ini secara
komprehensif. Demikianlah sependek apa yang penulis pahami, semoga bermanfaat.
Wallâhu A’lam.
Daftar Pustaka
1. Abdul Basyir Hudlairi, Mahmadi, 2003. Muqaddimât
fî al-Nudzum al-Islâmiyyah, Kairo: Universitas
al-Azhar.
2. Al-Azhari, Usamah Sayyid Mahmud, 2015. al-Haq
al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Abu Dhabi: Dar
al-Faqih.
3. Al-Chaidar, Negara, Islam dan
Nasionalisme Sebuah Perspektif, dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21
April 2013.
4. Al-Jauzi,
Ibnu, 1995, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin, Kairo: Dar al-Hadits.
5. Mayall, J.B.L, J. Jackson-Preece, 2011. Nationalism
and International Relations, London: University of London.
6. Rahmanto Suharto, Mukhlis, 2007Quo
Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan, Manusia dan Globalisasi dalam Teologi
Islam, dalam jurnal Himmah, vol. I, Maret-Mei, Kairo: Departemen Keilmuan
DPP PPMI Mesir Periode XII 2006-2007.
7. , Definiting
Nationalism, Universidad de las Americas Puebla, akses internet pada 12.39
waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016.
[1]
http://kbbi.web.id/nasionalisme
[2]
http://www.thefreedictionary.com/nationalism
[3] J.B.L Mayall, J. Jackson-Preece, Nationalism and International
Relations, University of London, London, 2011. Hlm. 18.
[4] Anonym, Definiting Nationalism, Universidad de las Americas
Puebla, akses internet pada 12.39 waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016, hlm. 1.
[6] Al-Chaidar, Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif,
dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21 April 2013, hlm. 11.
[7] Mahmadi Abdul Basyir Hudlairi, Muqaddimât fî al-Nudzum al-Islâmiyyah,
Universitas al-Azhar, Kairo, 2003, hlm.
44-45.
[10] Jurnal Himmah ialah media aktualisasi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di
Mesir (PPMI Mesir) yang berupa karya tulis ilmiah dan karya tulis popular.
Jurnal ini diproyeksikan untuk mampu menampung potensi intelektual Masisir (Mahasiswa
Indonesia di Mesir) secara komprehensif.
[11] Mukhlis Rahmanto Suharto, Quo Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan,
Manusia dan Globalisasi dalam Teologi Islam, dalam jurnal Himmah,
vol. I, Maret-Mei 2007, Departemen Keilmuan DPP PPMI Mesir Periode XII
2006-2007, Kairo, hlm. 120-121.
[16] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, al-Haq al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man
Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Dar al-Faqih, Abu Dhabi, 2015, hlm. 171-174.
[17] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, Ibid., hlm. 174. Lihat juga: Ibnu
al-Jauzi, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin, Dar
al-Hadits, Kairo, 1995, hlm. 75.