Tuesday 20 December 2016

Islam dan Nasionalisme; Redefinisi sebagai Nalar Pikir Aktualisasi di Era Globalisasi

Oleh: Hamidatul Hasanah
Flat 29 Gang Bathneya, el-Darb el-Ahmar, Hussein, Darrasa, Kairo, Mesir

Pendahuluan
Perkembangan waktu selalu menghadirkan sebuah capaian baru, termasuk pada pemahaman nasionalisme, dari era sebelum kemerdekaan hingga era kini. Dari sini terlihat bahwa pemaknaan suatu kata berbeda-beda tergantung pada konteks kapan dan di mana ia dibicarakan. Saat masa penjajahan, nasionalisme dipraktikkan dengan mengangkat senjata, perlawanan fisik melawan penjajah. Jika tidak karena nasionalisme, bangsa Indonesia tidak akan pernah ada. Setelah merdeka, Indonesia (harus) memaknai nasionalisme bukan sekadar perolehan kemerdekaan ataupun mempertahankan. Lebih dari itu, nasionalisme harus dikonseptualisasikan dalam laku-laku aktualisasi diri sebagai bangsa berdaulat yang mampu bersaing global di dunia internasional.
Di sisi lain, ketika nasioanlisme menjadi latah, tindakan-tindakan konkrit yang dimunculkan biasanya keluar dari jalur yang semestinya. Di sinilah kemudian, nasionalisme rawan diartikan dengan jihad yang digaungkan oleh orang-orang berpemahaman dangkal, namun hakikatnya ialah sebuah perlawanan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larry Diamond dan Marc F Platner. Padahal, dalam makna yang sejati, kata jihad merupakan kompatriot dari nasionalisme. Nasionalisme mencakup jihad, penghormatan terhadap para pahlawan, taat hukum, dan berbagai aksi lainnya dalam wujud nyata aksi positif yang relevan dan progresif. Namun, karena pengaruh masa dan lingkungan yang berbeda, pemahaman yang dicapai juga berbeda. Dari sinilah laku-laku yang mewakili makna tersebut harus memosisikan diri dalam bingkai aplikasi yang sesuai agar dua kata tersebut—nasionalisme dan jihad—tetap relevan sepanjang masa. Meski dengan cara konseptualisasi yang berbeda, namun tetap dalam koridor makna (Islami) yang sama.
Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya mampu menjadi teladan dalam nasionalisme. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang sangat erat antara Islam dan Nasionalisme. Seluruh lingkup kehidupan manusia diatur secara global di dalam al-Quran, tidak terkecuali satu konsep yang menyangkut kemaslahan umat ini, nasionalisme. Apalagi, sikap ini sangat terlihat jelas ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, beliau berkata kepada Makkah, Tanah Airnya dengan penuh rasa berat: “Wahai Makkah, demi Allah, engkau adalah tanah yang paling aku cintai. Andai saja pendudukmu tidak mengeluarkanku darimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
Diskontinuitas makna telah menjangkit dimensi kritis bangsa. Hal tersebut memicu pergeseran pemahaman dan makna nasionalisme, lalu mengerucut pada “aksi-aksi asing” yang sama sekali menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karenanya, redefinisi perlu dilakukan dalam rangka reaktualisasi makna nasionalisme dalam bingkai Islami, membenahi nalar pikir terlebih dahulu sebelum terjun beraksi. Karena apa-apa yang terejawantahkan dalam tindakan merupakan produk dari pemikiran.
Nasionalisme, Bangsa dan Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme dimaknai sebagai: pertama, paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri, suatu sifat kenasionalan, kedua, kesadaran keanggotaan suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu: semangat kebangsaan.[1] Nasionalisme juga dipahami sebagai cinta tanah air dan kesediaan berkorban untuknya (love of country and willingness to sacrifice for it), sebuah doktrin bahwa bangsanya lebih ungggul jika dibandingkan dengan bangsa lain (the doctrin that your national culture and interest are superior to anyother), serta sebuah doktrin bahwa suatu bangsa harus mandiri—tidak hanya sekadar aksi kolektif—dalam mencapai tujuannya (the doctrin that nations should act independently—rather than collectively—to attain their goals).[2]
Elie Kedourie (Pembaharu Nasionalisme Eropa) mendeskripsikan nasionalisme sebagai berikut.
“Sebuah doktrin yang ditemukan di Eropa pada permulaan abad ke-19. Doktrin tersebut menyatakan bahwa secara natural, umat manusia dibagi menjadi beberapa bangsa. Dimana bangsa tersebut menuntut beberapa kriteria, seperti penetapan populasi penduduk, praktik hukum yang dilegitimasi oleh negara, (dan dengannya) terwujudlah organisasi masyarakat yang baik.”[3]
Lebih lanjut, J.B.L. Mayall dan Jackson mengatakan bahwa, mungkin, tidak semua orang, bahkan tidak semua kaum nasionalis dapat menerima definisi ini begitu saja. Apalagi, ketika dikatakan bahwasanya nasionalisme ialah sesuatu yang alami (natural). Namun, meskipun beberapa tokoh nasionalis menerima bahwa nasionalisme ialah sebuah rancang bangun sosio-histori, sejumlah lainnya pasti akan memperdebatkan definisi yang diberikan Kedourie.
Memahami nasionalisme bukanlah sesuatu yang mudah. Ia mempunyai wajah yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dan yang paling penting, ia berbeda, tergantung pada apa yang didefinisikan oleh suatu komunitas atas terma tersebut, pun tergantung pada apa yang mereka maknai sebagai “nasional.”[4] Makna bangsa dan negara pun seringkali menjadi rancu, sering digunakan tidak pada tempatnya, meskipun keduanya merupakan produk dari kedaulatan wilayah yang diakui sebagai faktor terkuat dalam kesatuan politik Hubungan Internasional.[5] 
Tentunya, sebagai kompatriot bangsa, nasionalisme merupakan aspek pendorong sekaligus penopang paling kuat dalam stabilitas suatu bangsa. Meski sebelum itu, nasionalisme mengharuskan suatu detail konsep tentang negara, bangsa, etnisitas, identitas nasional untuk dapat memahaminya. Dalam hal ini, Ir. Soekarano menegaskan bahwa bangsa ialah kelompok manusia yang mempunyai hasrat untuk bersatu teguh, mempunyai kesatuan sifat yang umum dan tinggal di atas satu wilayah geopolitik yang nyata merupakan suatu kesatuan. Jadi, kesatuan sifat atau watak nasional merupakan sejumlah ciri atau watak yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lain.[6]
Dalam konteks keindonesiaan, ketika nasionalisme diperdengarkan, maka pikiran akan tertuju pada nasionalisme yang diejawantahkan dari Islam—karena begitulah mayoritas penduduknya. Toleransi yang telah terjaga (khususnya dalam umat beragama) merupakan sebuah harmoni masyarakat multikultural bangsa kita. Persamaan sejarah dan pengalaman hidup yang sama—tidak dapat dipungkiri secara mutlak— merupakan stimulus utama pembentuk nalar pikir sosio-historis dalam masyarakat.
Nasionalisme ialah ruh bagi bangsa dan negara. Tanpanya, mustahil bangsa dapat berdiri dengan kokoh dan damai. Hal ini semakin diperkuat oleh nasionalisme Indonesia yang sejauh ini terjaga keimbangannya, di mana ormas (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah) merupakan garda terdepan. Kedua ormas ini merupakan tiang sekaligus poros penentu arah stabilitas nasional bangsa. Ketika Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia diakui bahkan oleh negara-negara Timur Tengah (yang notabene bangsa Arab, tempat munculnya agama Islam) dengan Islam moderatnya (baca: Islam Nusantara), maka gagasan tersebut (Islam Nusantara) dapat dikatakan sebagai identitas bangsa, bahkan nalar pikir nasionalismenya. Karena dari gagasan inilah—bahkan sebelum dicetuskan, gagasan tersebut telah menyatu dalam laku-laku keseharian bangsa—Indonesia mampu tampil di dunia internasional dengan penuh percaya diri, karena stabilitas nasional terejawantahkan secara progresif dari setiap elemen bangsa.

Islam dan Nasionalisme dalam Konteks Keindonesiaan
Konsep nasionalisme telah diusung sejak zaman Rasulullah, termaktub dengan sistematis dalam sumber hukum umat Islam, baik al-Quran maupun Sunah. Al-Quran memaparkan bagaimana sebuah negara berawal dari satu orang, bernama Adam As. lalu darinya diciptakan Hawa, dari keduanyalah bermula sebuah pernikahan. Lantas keturunan terus bertambah, menjadi sebuah masyarakat, kelompok kecil yang kemudian terus berkembang hingga mencapai jumlah besar yang disebut bangsa.
Dalam surat Ibrahim ayat 37 yang berbunyi “Rabbanâ innî askantu min dzurriyyatî biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika al-muharram. Rabbanâ liyuqîmû al-shalâh, faj’al af’idatan min al-nâsi tahwî ilayhim warzuqhum min al-tsamarâti la’allakum tasykurûn,” disebutkan setidaknya ada tiga dasar pembentukan sebuah masyarakat (Islam). Pertama, kalimat biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika al-muharram. Kalimat ini menunjukkan bahwa dalam memilih tempat tinggal, sebaiknya dekat dengan tempat-tempat yang baik (dalam hal ini, Baitullah). Kedua, tujuan bertempat tinggal ialah agar dapat melaksanakan perintah Allah, dapat beribadah dan menjalankan apa yang disyariatkan dengan leluasa tanpa ada gangguan dari berbagai pihak, dan bukan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, apalagi Hak Asasi Manusia. Hal ini disebutkan dalam kalimat Rabbanâ liyuqîmû al-shalâh dan la’allakum tasykurûn. Ketiga, adanya rasa kasih sayang di antara anggota masyarakat (faj’al af’idatan min al-nâs tahwî ilayhim). Rasa senasib sepenanggungan inilah yang memupuk adanya kesadaran akan kesamaan tujuan yang telah disebutkan tadi. Sehingga, ada tiga macam sebab yang melandasi formasi masyarakat menjadi sebuah bangsa—dalam hal persamaan nasib—, dan negara—dalam lingkup hukum yang mengatur masyarakat itu sendiri.
Adalah faktor pribadi, materi dan keamanan yang melandasi aktualisasi masyarakat dalam praktik laku-laku keseharian yang nyata.[7] Ketika ada sekelompok masyarakat yang menempati suatu wilayah teritorial tertentu, dengan hasrat yang sama untuk kemakmuran bersama, maka terbentuklah sebuah bangsa. Bangsa tidak terbatas pada kesamaan ras, suku maupun agama.[8] Bangsa ada di atas itu semua, karena memang pada dasarnya sebuah bangsa yang dipahami ialah berdasarkan apa yang nyata mewujud di dalamnya—wilayah yang berdaulat, hukum, serta masyarakat dengan rasa senasib sepenanggungan.
Nasionalisme dan Islam adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan, sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, pun agama. Ini merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dielak, mengingat ketika kita berbicara tentang nasionalisme, patriotisme, demokrasi, dan lain sebagainya, maka kembali ke hakikat bangsa Indonesia (mâhiyah) merupakan sebuah keniscayaan. Istilah apapun yang akan diterapkan di Indonesia pasti (dan harus) mengalami domestifikasi agar aplikasinya relevan, sesuai dengan adat dan budaya bangsa, dengan segala ke-Indonesia-annya. Bukan penerapan demokrasi ala Barat, bukan juga pengaplikasian Islam dengan apa adanya seperti apa yang ada di Arab (Timur). Dari sinilah kemudian muncul istilah Islam Nusantara.
Islam Nusantara merupakan sebuah gagasan baru yang masih hangat diketengahkan. Bagaimana ia muncul sehingga diterima oleh masyarakat umum (meski ada berbagai pihak yang tidak setuju) merupakan sebuah konseptualisasi Islam yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara, sehingga kehadirannya merupakan sebuah perangkat sistemik untuk satu tujuan, nasionalisme. Oleh karenanya, Islam yang fleksibel tersebut mampu diterima dengan tangan terbuka oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia. Tidak hanya teori dan omong kosong belaka, namun benar adanya.
Bangsa serta identitasnya merupakan satu kesatuan. Ketika terbentuk sebuah bangsa, maka secara otomatis karakter, ciri khas dan identitas bangsa tersebut turut muncul. Lambat laun semakin jelas, yang kemudian disebut sebagai pembeda antara bangsa satu dengan lainnya. Sejak Indonesia merdeka, berbagai peristiwa yang dilaluinya perlahan menunjukkan jati dirinya, meski sadar atau tidak, dalam prosenya tentu tidak pernah terlepas dari konflik multidimensional. Sebut saja, nasionalisme telah ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Di bawah cengkeraman penjajahan Belanda, para tokoh pergerakan nasional memahami betul arti penting nasionalisme. Nasionalisme yang anti kapitalisme.[9]
Selama ini, nasionalisme yang berlaku di Indonesia merupakan hasil dari kerja sama kultural. Yakni kerja sama antar dimensi kultur yang ada di Indonesia; agama, ras, etnis dan keberagaman lainnya. Kerja sama ini nyata dalam laku-laku keseharian yang normal, bahkan sangat umum. Misalnya, menghormati yang lebih tua, penggantian tempat parkir antara masjid dan gereja yang berseberangan saat hari raya masing-masing, membantu tetangga pulau melalui donasi, dan lain sebagainya. Meski pada nyatanya, berbagai macam konflik sektarian, aksi-aksi terorisme seperti bom Sarinah, bom Samarinda yang baru-baru ini mencuat mencoreng nama baik Islam. Karena pada praktiknya, tindakan ekstremis-radikalis semacam itu selalu mengatasnamakan agama (Islam). Padahal, yang bermasalah ialah pemahaman manusia yang beragama itu sendiri.
Menyikapi hal-hal tersebut, pemahaman akan Islam, nasionalisme serta keterkaitan antar keduanya harus ditata kembali, diredefinisi. Islam bukanlah ajaran yang mengajarkan kekerasan. Bahkan tidak hanya Islam, semua agama di muka bumi pun mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan perdamaian dalam setiap dimensi kehidupan. Karena keyakinan akan adanya Tuhan ialah fitrah, dimensi alamiah. Dalam jurnal Himmah,[10] Mukhlis Rahmanto mengatakan sifat alamiah ini sebagai berikut.
“Entah seorang komunis di Warsawa-Polandia, pengikut Tao-Kobe di Jepang, penganut Sikh di Himalaya, pengikut Hindu di kota suci Benares, penganut Budha di Ulam Bator-Mongolia, penjaga pintu gereja Vatikan, kepala suku Asmat di Papua, milyuner Bill Gates di California, maupun seorang penjual kusyari sekaligus penganut setia Tarekat Burhameyyah di kawasan Hussein, Kairo. Entah Dia diterminologikan dengan Allah, God, Lord, Tuhan, Maha Dewa, ataupun Gusti. Entah Dia diyakini atau tidak—dalam kacamata keimanan Islam dan intuisi semua manusia—, tetap tidak akan mengurangi dan menggeser keberadaan-Nya sedikitpun. Tuhan adalah perwakilan Nilai Tertinggi dan Keberadaan Mutlak.”[11]
Sehingga, sangat tidak masuk akal, bahkan merupakan sebuah kebodohan jika melabeli aksi-aksi yang berbau ektremis, teroris, radikalis, dan kekerasan-kekerasan lainnya dengan dalih agama. Agaknya, di sini terjadi semacam diskontinuitas pemahaman antara Islam zaman dahulu dengan sekarang. Dengan berbagai kemajuan dunia yang begitu pesatnya, segala aspek modernitas sungguh telah terpenuhi. Masalahnya, modernitas ini malah semakin menggeser nilai-nilai kebajikan yang bersumber dari agama, meski jika dirunut ulang akan kita temukan bahwa bukan zaman, masa, maupun waktu yang mengubah semua tatanan apik tersebut, melainkan manusia. Manusia yang tidak mampu memosisikan diri sesuai zaman di mana ia hidup, terjebak pada doktrin masa lalu. Bersuci tangan dari metodologi epistemologis turats Islam yang sejatinya merupakan lanjasan pijak dan titik tolak pergerakan bangsa.
Hal tersebut persis seperti kaum skripturalis yang selalu berpikiran bahwa negara ideal ialah “Negara Madinah.” Kaum ini sempat mewarnai sejarah Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, namun berbagai polemik seperti pergantian kabinet berulang kali, amandemen UUD dan lain sebagainya membuatnya berputus asa dalam upaya mendirikan Negara Islam, hingga akhirnya lelah dan mengalah. Berbagai pergolakan (politik) tersebut akhirnya menggeser pemahaman apa yang mereka yakini sebagai negara Islam; satu-satunya alat politik untuk menegakkan hukum Allah. Namun, negara Islam yang digaungkan mereka hanya sekadar gaungan, jika ingin diterapkan di Indonesia. Toh, negara Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi.[12]
Kembali ke nasionalisme. Kesepahaman antara Islam dan nasionalisme dapat dicapai jika dan hanya jika seluruh lapisan masyarakat memahami betul entitas dan substansi dari kedua kata tersebut. Sejak sebelas tahun terakhir, gerakan radikal atau setengah radikal yang berbau Islam yang antidemokrasi, antipluralisme, bahkan antinasionalisme muncul di Indonesia, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, dan Hizbut Tahrir Indonesia.[13] Padahal, kesemuanya tersebut—demokrasi, pluralisme, nasionalisme—merupakan aspek fundamental dan sangat substansial dalam pondasi kerberlangsungan bangsa. Kelompok-kelompok tersebut (selalu) terburu-buru dalam bertindak dan mengambil sikap, karena pemahaman atas substansi-substansi inti ajaran agamanya masih “prematur.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rais Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomudin, yang mengatakan bahwa kekerasan (agama) semacam ini disebabkan oleh rendahnya mutu sumber daya pelakunya; pemahaman agama yang dangkal dan semangat beragama yang menggebu-gebu.[14] Kalimat tersebut harus direnungkan dan dipahami oleh umat Islam Indonesia, mengingat berbagai bentuk kekerasan dan aksi terorisme di seluruh belahan dunia kerap kali dikaitkan dengan Islam —meski tidak sepenuhnya benar.
Kelompok-kelompok tersebut—meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif: Preman Berjubah—juga mempunyai kesamaan praktik (pahamnya yang “keras”) dengan sekutunya di berbagai belahan dunia manapun. Kelompok-kelompok tersebut juga mempuyai “hobi” nyeret-nyeret (Jawa: membawa-bawa) nama Islam dalam setiap aksi yang digelarnya. Selain apa yang dikatakan oleh KH Ahmad Ishomudin, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, Syafi’i Ma’arif, sangat menyayangkan pergaulan mereka dengan berujar: “Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya sendiri. Padahal, jika pergaulan hanya dengan kelompoknya sendiri, itu itu saja mengerdilkan kemanusiaan.”

Upaya Redefinisi Nasionalisme Indonesia di Era Globalisasi
Upaya redefinisi merupakan upaya merumuskan batasan dengan melihatnya dari susut lain, bukan dengan cara yang lazim.[15] Redefinisi merupakan langkah awal reaktualisasi makna-makna;  makna nasionalisme bersubstansi nilai-nilai Islami tanpa mencerabut identitas bangsa itu sendiri. Sehingga, redefinisi memerlukan perangkat dalam membentuk pondasi awal yang baru. Bukan membentuk pondasi yang sama sekali baru, namun berpijak pada apa-apa yang telah ditentukan, hanya saja melalui domestifikasi makna.
Islam yang ada di Indonesia ialah Nusantara, bukan dalam maknanya yang berbeda dengan Islam di Arab maupun Timur Tengah. Islam yang sama, namun dalam wilayah yang berbeda. Hal ini merupakan jalan terang aplikasi nilai-nilai keislaman, karena yang menjadi titik tolak serta pijakan awal ialah sebuah esensi, sebuah makna. Ketika ajaran Islam diambil sebagaimana ia hadir tanpa domestifikasi, maka yang terjadi ialah kerancuan bahkan kerusakan stabilitas dalam praktik pengejawantahan, terlebih dalam konteks keindonesiaan yang sama sekali berbeda dengan Arab sana. Syahdan, Islamisasi bukanlah Arabisasi.
Upaya redefinisi ini mengutamakan adanya kontemplasi terhadap sejarah masa lalu, sirah Rasulullah, serta pendalaman pemahaman ajaran Islam. Sehingga, pendalaman yang matang tersebut merupakan pedang analisis ketika dihadapkan pada fenomena sosial masyarakat. Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyerukan gerakan literasi pesantren sebagai upaya untuk mengimbangi radikalisasi yang gencar disebarkan oleh berbagai media. Peran pesantren menjadi sangat penting, mengingat ia lahir dan tumbuh bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Sehingga, secara sejarah pesantren mempunyai bekal yang sangat matang dalam menyikapi berbagai gejolak masyarakat. Selain itu, pesantren-pesantren di Indonesia (seperti) ditakdirkan untuk mengawal jalannya bangsa. Mengawasi dan menjadi filter atas paham-paham ekstremis dalam menjaga stabilitas bangsa. Hal ini terbukti (dengan jelas) saat Revolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang menyulut semangat heroik seluruh lapisan masyarakat kala itu. Hingga kini, pesantren ialah poros harapan bangsa dalam menjaga keseimbangan integritas serta stabilitas nasional.
Pesantren menjadi pabrik sekaligus bengkel moral bangsa. Karena nilai-nilai Islam yang hakiki hanya dapat dipelajari di pesantren. Adanya mengaji, bertemu dan bermulazamah dengan guru, belajar etika dan tata krama, nasionalisme, demokrasi, kemandirian, dan seluruh nilai kehidupan makro dapat ditemukan di pesantren. Dari sinilah cikal bakal nalar epistemologi Islam yang kokoh muncul, bukan di tempat lain.
Pemahaman seperti cinta tanah air (nasionalisme) perlu dipahami secara luwes, fleksibel, bukan dengan pemahaman yang “prematur” dan mempunyai “suhu panas.” Misalnya dalam hati yang menyebutkan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Maksudnya, iman seorang muslim tidak dianggap sempurna ketika ia tidak memakmurkan bangsanya. Dalam konteks kekinian, kemakmuran bangsa Indonesia hanya dapat ditempuh jika ada titik temu pemahaman bahwa toleransi ialah pondasi utama masyarakat multikultura bangsa. Lebih lanjut, toleransi tidak akan ada jika tidak ada pemahaman yang kokoh tentang ajaran Islam (maupun ajaran agama lain).
Imam Fakhruddin al-Razi memberikan penafsiran yang sangat lembut dalam  surat an-Nisa ayat 66, terkait dengan cinta tanah air. Dalam ayat yang berbunyi: “Walaw annâ katabnâ ‘alayhim aniqtulû anfusakum awikhrujû min diyârikum,” beliau berkata: “Ja’ala mufâraqata al-awthân mu’âdilatan liqathli al-nafs,” yakni Allah menjadikan perpisahan dari tanah air sebanding dengan pembunuhan (qathlu al-nafs). Syekh Ala Ali al-Qari dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih mengatakan bahwa perpisahan dengan tanah air ialah musibah yang sangat berat. Oleh karenanya, firman Allah: “Wa al-fitnatu asyaddu min al-qathl” kata “fitnah” di sini ditafsiri dengan pengeluaran, pengusiran dari tanah air; karena ayat sebelumnya berbunyi: “Wa akhrijûhum min haitsu akhrajûkum.”
Bahkan, al-Hafidh al-Dzahabi menyebutkan dalam kitab Siyaru A’lam al-Nubala bahwa Rasulullah mencintai bukit Uhud, mencintai tanah airnya (Makkah), mencintai kaum Anshar dengan cinta yang tidak terlukiskan. Lebih dari itu, para ulama menjadikan cinta tanah air sebagai ilat masyaqqah (kesulitan) dalam bepergian.
Sebagian ahli hikmah berkata: “Cinta tanah air merupakan ciri dari lembutnya hati. Lembutnya hati merupakan ciri adanya penjagaan Allah, dan penjagaan menandakan adanya rahmat. Rahmat menandakan kemuliaan fitrah, dan kemuliaan fitrah sebagian dari kemunian petunjuk/hidayah Allah.”[16] Ibnu al-Jauzi, dalam Matsir al-Gharam al-Sakin juga mengatakan hal yang senada: “Dan tanah air, selamanya ia akan selalu dicintai.”[17]











Kesimpulan
Dalam membincang nasionalisme, Islam serta keterkaitan antara keduanya, maka kontemplasi atas sejarah masa lalu perlu diredefinisi, direaktualisasi dalam bingkai relevansi masa kini. Fenomena masyarakat sangat dinamis, berbeda dengan peristiwa pada masa sebelumnya, sehingga sikap aktif, tanggap terhadap lingkungan merupakan sebuah keniscayaan dan ciri masyarakat internasional yang profesional. Dinamika pemikiran Islam harus mengimbangi modernitas dengan memperkokoh pemahaman; toleransi, solidaritas, gotong royong, serta saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme dalam setiap lini kehidupan.
Diskontinuitas—meminjam istilahnya Foucault—pemahaman yang menggeser pemahaman satu ke pemahaman lain harus disikapi dengan pola pikir yang ilmiah dan sistematis. Bukan malah mengikuti gerakan kelompok-kelompok yang “asing,” karena tidak ditemukan dalam ajaran agama manapun. Antisipasi atas kelompok-kelompok ekstremis tersebut merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, institusi, tokoh masyarakat, pejabat, pemerintah, serta TNI dan Polri. Kemudian, upaya redefinisi ini merupakan langkah awal. Ia tidak hanya sekadar kontemplasi, namun memerlukan pengejawantahan nyata dalam laku-laku keseharian.
Akhirnya, setelah semua yang telah dipaparkan, penulis bukanlah orang yang tepat untuk menyajikan bahasan tema kali ini secara komprehensif. Demikianlah sependek apa yang penulis pahami, semoga bermanfaat. Wallâhu A’lam.










Daftar Pustaka
1.      Abdul Basyir Hudlairi, Mahmadi, 2003. Muqaddimât fî al-Nudzum al-Islâmiyyah, Kairo:  Universitas al-Azhar.
2.      Al-Azhari, Usamah Sayyid Mahmud, 2015. al-Haq al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Abu Dhabi: Dar al-Faqih.
3.      Al-Chaidar, Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif, dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21 April 2013.
4.       Al-Jauzi, Ibnu, 1995, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin,  Kairo: Dar al-Hadits.
5.      Mayall, J.B.L, J. Jackson-Preece, 2011. Nationalism and International Relations, London: University of London.
6.      Rahmanto Suharto, Mukhlis, 2007Quo Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan, Manusia dan Globalisasi dalam Teologi Islam, dalam jurnal Himmah, vol. I, Maret-Mei, Kairo: Departemen Keilmuan DPP PPMI Mesir Periode XII 2006-2007.
7.                       , Definiting Nationalism, Universidad de las Americas Puebla, akses internet pada 12.39 waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016.






[1] http://kbbi.web.id/nasionalisme
[2] http://www.thefreedictionary.com/nationalism
[3] J.B.L Mayall, J. Jackson-Preece, Nationalism and International Relations, University of London, London, 2011. Hlm. 18.
[4] Anonym, Definiting Nationalism, Universidad de las Americas Puebla, akses internet pada 12.39 waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016, hlm. 1.
[5] Ibid., hlm. 2.
[6] Al-Chaidar, Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif, dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21 April 2013, hlm. 11.
[7] Mahmadi Abdul Basyir Hudlairi, Muqaddimât fî al-Nudzum al-Islâmiyyah, Universitas al-Azhar, Kairo,  2003, hlm. 44-45.
[8] Al-Chaidar, op. cit.,. hlm. 11.
[9] Al-Chaidar, op. cit., hlm. 10.
[10] Jurnal Himmah ialah media aktualisasi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PPMI Mesir) yang berupa karya tulis ilmiah dan karya tulis popular. Jurnal ini diproyeksikan untuk mampu menampung potensi intelektual Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) secara komprehensif.
[11] Mukhlis Rahmanto Suharto, Quo Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan, Manusia dan Globalisasi dalam Teologi Islam, dalam jurnal Himmah, vol. I, Maret-Mei 2007, Departemen Keilmuan DPP PPMI Mesir Periode XII 2006-2007, Kairo, hlm. 120-121.
[12] Al-Chaidar, op. cit., hlm. 13.
[16] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, al-Haq al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Dar al-Faqih, Abu Dhabi, 2015, hlm.  171-174.
[17] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, Ibid., hlm. 174. Lihat juga: Ibnu al-Jauzi, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin, Dar al-Hadits, Kairo, 1995, hlm. 75.

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...