Wednesday 26 July 2017

Komentar untuk Laman al-Manhaj




Awalnya, saya tidak sengaja membuka laman ini. Kebetulan besok siang ada jadwal kajian dengan tema sufi/tasawuf, tepatnya Arkeologi Tasawuf. Singkat cerita, saya googling, di samping ada referensi buku. Dari beberapa laman, saya mendapati tulisan yang ditulis oleh sdr. Abd Aziz bin Abdullah al-Husaini menarik saya untuk menuliskan balasan atas apa yang ditulisnya. Pasalnya, hal ini agak berbahaya bagi mereka yang lagi semangat-semangatnya belajar tentang Islam. Atau para pelajar yang biasanya mereka googling untuk tugas makalah, hanya mengandalkan mbah Google sebagai sumber primer. Saya mengerti seperti apa mereka kegirangan mendapati bahan untuk "ditempel" di makalahnya. Saya juga pernah mengalami masa-masa seperti itu, meski seringkali pak guru bilang: "Jangan ngambil dari internet." Iya, karena memang yang di sana tidak "jelas" asal-muasalnya. Entah dari mana, bagaimana dan untuk kepentingan apa, tulisan-tulisan banyak beredar sekadar untuk meramaikan dan jadi "hiburan".

Yah, meski tidak dipungkiri, ada kalangan yang benar-benar ingin ngepost diniati untuk jadi bahan rujukan. Saya tersenyum saja. Jika bukan intelektual yang matang dan mumpuni, minimal S2 dengan berbagai kriteria "baik"-nya (jika ingin memakai takaran akademik), ya mestinya jangan mengharapkan hal seperti itu. Terlalu berani, menurut saya. Toh, literasi sudah banyak. Dengan tulisan yang diunggah di media sosial (dengan segala "keringkasan"-nya, atau bahkan kekeringannya dari metode kepenulisan), plus dengan harapan untuk dijadikan rujukan, saya kira itu suatu hal yang jauh pungguk dari rembulan. Mungkin setelah di-post, akan timbul perasaan bahagia, bisa "memproduksi" tulisan. Namun, semoga saja tidak berhenti di situ. Terus belajar, membaca dan diulang-ulang, di-"angen-angen" atas apa yang ditulisnya, untuk kemudian menghapus tulisan yang ingin dijadikan "rujukan" tadi, dan menggantinya dengan tulisan yang lebih baik, lebih berisi, berbobot, dan bisa dipertanggung-jawabkan (kebenarannya), ini dalam hal keilmuan lho, ya. Beda kalo memang untuk ceita dan sharing pengalaman saja, misalnya. Saya garis bawahi di sini, "dipertanggung-jawabkan." Karena, apapun itu, mesti akan dipertanggung-jawabkan. Misal, pendengaran, penglihatan, hati akan ditanyai tentang itu, seperti ada di al-Quran. Lalu, praktikum di laboratorium pun harus bisa dipertanggung-jawabkan, bukan asal benar dan ada nilainya. Bahkan, organisasi apapun pun ada pertanggung-jawaban. Kepala keluarga, kepala RT, Bupati... seterusnya, semua akan dimintai tentang itu, tanggung-jawab. 

Makanya, paling tidak, agar tidak sendirian dalam hal tanggung jawab, harus ada "gandhengan" untuk menemani prosesi itu. Kalau dalam hal keilmuan ya jelas, guru. Makanya, di sinilah kemudian sanad menjadi penting. Ia merupakan bagian dari keistimewaan umat ini. Law laa al-sanadu, la qaala man syaa'a maa syaa'a. Jika bukan karena sanad, maka pasti setiap orang akan mengatakan apa yang ingin dikatakannya (tanpa tanggungjawab keaslian sumber dan isi). Kiranya, seperti ini telah banyak dicontohkan oleh ulama kita, mulai dari ilmu Rijal al-Hadits, periwayatan, kapabilitas rawi, semuanya ada. Tinggal apakah kita mau mengingatnya, untuk kemudian diaplikasikan dalam dunia nyata.

Kembali ke isi laman itu.
Sependek yang saya ketahui, tasawuf secara "laku" telah ada sejak zaman Rasulullah, sebagaimana masyhur. Namun, secara "ilmu" ia belum bisa dikatakan "ada" saat masa-masa awal Islam. Artinya, laku-laku sufi yang dilakukan saat itu, saat itu juga belum dinamakan dengan sufi. Epistemologinya berlangsung beriringan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dunia keilmuan Islam. Sebagaimana yang disinggung di laman itu bahwa memang ia ada sejak zaman Rasulullah. Para tunawisma yang tinggal di serambi masjid Nabawi, akrena tidak punya tempat tinggal, sehingga mereka "nunut" ke Rasulullah. Kemudian mereka ngaji, mulazamah dan meraup ilmu-ilmu dari Rasulullah. Makanya, tidak jarang Ahli Sufah ini menjadi pembesar para Sahabat, seperti Abu Hurairah,  Abu Dzarr al-Ghiffari, dan lain sebagainya.

Ada beberapa derivasi yang muncul dalam pengambilan asal-muasal kata sufi dan tasawuf sebagaimana yang dikenal saat ini. Misal, ada kata al-shuffah, al-shuuf, al-shaff, al-shafa. Nah, banyak sekali, kan? Untuk melihat perubahan dari "laku" menuju "ilmu", maka harus memakai "perangkat," di antaranya arkeologi pengetahuan (adopsi teori dari Michel Foucault, sebagaimana yang akan dibahas di makalah besok, insya Allah. Jangan protes dengan pengambilan ilmuawan dari Barat. Moderasi dalam dunia keilmuan tidak mengenal "jenis kelamin" tokoh. Kita diajarkan untuk mengambil yang bisa diambil --yang baik-- dari siapapun. Ingat kan, 'undhur maa qaal, wa laa tandhur man qaal'. Udah singkatnya aja gitu. Kalo masih protes dengan adopsi teori-teori Barat untuk mengkaji keilmuan Islam, berarti 'dolanmu kurang adoh', kata orang, bukan kata saya). 

Saya di sini tidak memakai rujukan kitab atas apa yang akan saya tulis. Hanya sebersit apa yang saya ketahui dari guru-guru saya, tentang apa yang dipahami dari term sufi dan tasawuf. Maka, jika ada sesuatu yang kiranya kurang bisa diterima oleh pembaca sekalian, silakan dibuka lagi apa yang pernah dipelajari tentang tasawuf, atau secara langsung tanyakan pada guru-guru saya. 

Sependek saya, bukan sufi yang menyebabkan kekacauan akidah di masa awal Islam. Namun berbagai kepentingan (baik politis maupun non-politis, profit maupun non-profit) dari tokoh atau oknum tertentu. Misal, pembunuhan Sayidina Utsman, baiat Sayidina Ali, arbritase antara Sahabat Ali dan Muawiyah, semuanya dilandasi kepentingan tertentu. Ada sumbernya di Tarikh al-Thabari, Bidayah wa Nihayah juga, misalnya. 

Dalam dunia sufi, ada yang namanya ilmu hudluri (tanpa belajar), juga ilmu hushuli (dengan usaha, belajar). Nah, mereka kaum sufi ini memahami alam semesta dari ilmu yang kedua ini, melalui laku kesalehan, yang berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka dianugrahi 'weruh sak durunge winarah', karena pengetahuan mereka didapat melalui pengamatan, dengan hati dan kesalehan dan ilham dari Tuhan. Memang ini kontroversial, namun ada banyak sanggahan yang menepiskan kritik-kritik semacam ini. 

Nah, yang paling geli terdengar di telinga adalah ketika ia menyebutkan bahwa Allah ada di atas langit. Jika demikian, hadits yang mengatakan bahwa Allah turun di sepertiga malam terakhir ke langit dunia untuk mengijabah doa-doa, siapa yang di langit? Berarti langit kosong, dong? Kan Allah turun ke langit dunia tadi. Misal, 'Arsy itu makhluk atau bukan? Lalu, dijawab misalnya ia makhluk. Ditanya lagi, lha kalo 'arsy makhluk, di mana Allah ketika 'arsy belum dicipta? "Kaana Allaahu wa laa syay'a ma'ahu, tsumma khalaqa al-asy'yaa'a. (Allah ada. Dan tidak ada apapun selain-Nya, kemudian Dia menciptakan segala sesuatunya). Jika terus seperti ini, maka kita menganggap bahwa Allah butuh tempat, ada di arah tertentu, dan anggapan-anggapan lain. Memang Muktazilah meyakini begitu. Tapi bagi kami, laysa kamitslihii syay'un. Dan singkatnya, jika ada yang bertanya tentang "arrahmaanu 'ala al-'arsyi istawaa," jawabnya begini: al-iistiwaa'u ma'luum, wa al-kaifu majhuul, wa al-yaqiinu bihi mathluub, wa al-su'aalu 'anhu bid'atun. (Al-istiwa'/kedudukan/keberadaan itu diketahui, caranya bagaimana tidak diketahui, percaya (tafwidl) itu harus, dan pertanyaan tentang itu bidah).Terlepas dari apapun pemahamannya, saya mengambil dari pemahaman Sunni-Asy'ari, dari kedua kitab beliau langsung, al-Ibaanah dan al-Luma'.

Selanjutnya, kiranya bisa dijawab langsung oleh masing-masing yang pernah belajar tentang tasawuf melalui guru yang "benar." Maka dari itu, ini sekadar pengingat. Dan bahwa yang  ditulis di laman alminhaj.or.id belum bisa dipertanggung-jawabkan. 

Silakan jika ingin melihat versi lengkap laman itu https://almanhaj.or.id/3681-ajaran-tasawuf-merusak-aqidah-islam.html

Saturday 22 July 2017

Pertemuan Kecil

Selama beberapa Jumat kemarin, kami memulai membaca pemikiran Sunni-Asy'ari melalui sumbernya langsung, al-Ibanah dan al-Luma', karya Imam al-Asy'ari. Pertemuan kecil ini kami langsungkan di rumah salah satu senior kajian di Ahmed Maher, Sayeda Zainab. Dimulai sekitar satu jam setelah shalat Jumat, pertemuan kami berlangsung selama kurang lebih enam jam. Ada banyak kesan yang saya dapatkan. Sedikit banyak, saya yakin tidak bisa mendapatkannya di tempat lain. Hmm selalu begitu. 

Pertemuan pertama, kami membahas perbandingan antara diksi yang dipakai Imam Asy'ari dalam kedua kitabnya. Melalui penjelasan beliau, kami mendapati bahwa ada rasa yang berbeda ketika kita menilik al-Ibanah, lantas beralih ke al-Luma'. Banyak kontroversi ulama tentang kitab apa yang terlebih dahulu beliau tulis, al-Ibanah kah, atau al-Luma'?

Bagi kalangan Islam-literalis, sebut saja Salafi-Wahabi yang bersandar pada zahirnya teks, mereka meyakini bahwa al-Ibanah ditulis  setelah al-Luma'. Mereka berpendapat, hal tersebut membuktikan bahwa Imam Asy'ari telah bertaubat dari Muktazilah menjadi seperti manhaj Ahli Hadits. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama empat puluh tahun beliau menganut Muktazilah, hingga akhirnya mimpi bertemu Rasul yang berpesan padanya untuk meninggalkan perdebatan (jadal). Yang mana jadal ini merupakan hobi (katakanlah begitu) Muktazilah yang menjadikan ciri khas mereka dari yang lain. Sebagai salah satu implikasi bahwa golongan ini mendewakan akal dengan sebegitu porsinya. 

Merupakan sesuatu yang jamak diketahui di kalangan ulama bahwasanya perbedaan diksi dan cara penyampaian suatu bahasan dipengaruhi oleh banyak faktor. Biasanya yang paling sering disinggung ialah tentang perbedaan marhalah, masa penulisan kitab itu. Tentu, dari peralihan satu masa ke masa lainnya, mereka mengalami perkembangan ilmu, lebih luas, lebih luwes dan fleksibel, dan lebih menemukan banyak pengalaman yang mungkin tidak hanya pengalaman jasmani, namun juga rohani dalam berbagai macam bentuk pergulatannya. 

Hal ini tentu berbeda dengan kalangan Sunni-Asy'ari. Apa yang tertulis di al-Ibanah dan al-Luma' memang berbeda secara jelas. Jika pada al-Ibanah beliau langsung membela dengan berbagai macam dalil, lantas sedikit ulasan yang mengherankan para pembaca, bahwa tidak ada sama sekali apa yang menunjukkan pada kecerdasan Imam Asy'ari sebagaimana masyhur itu. Hal ini terlihat seperti beliau hanya menukil dalil tanpa memberikan porsi cukup bagi rasio untuk mengambil peran. Di mana Imam Asy'ari seperti yang terkenal itu? Kecerdasannya, kemampuan debat yang hebat, logika berpikir yang cemerlang, kecakapan diksi dan lain sebagainya. 

Pada al-Luma', cara penyampaian tema yang dimaksud sama sekali berbeda dengan kitab yang pertama. Di sini, beliau 'ngancang-ngancang' jika ada yang menanyakan suatu permasalahan. Misal begini: Jika ada yang bertanya, apa bukti adanya pencipta? Lantas belaiu menjawab langsung: Maka jawablah seperti ini. Bentuk soal-jawab ini kita temui di sepanjang pembahasan di kitab al-Luma'. Artinya, beliau menghadirkan sebuah tameng rasio terlebih dahulu, lantas menghadirkan dalil sebagai penguatnya.

Sama sekali berbeda. Syattaan maa bainahuma

Sekilas pertemuan pertama secara paling singkat. Bersambung. 

Sabtu, 22 Juli 2017 pukul 12.38 PM CLT.
Ah, kayaknya jelek banget. Lagi ngga bisa milih kata-kata. Heuheu. 

Thursday 20 July 2017

Berlibur di "Teras" Mesir

"Mbak jangan lupa nanti berangkat jam 12 yaa," pesan wasap dari salah seorang temanku masuk di sore hari. Tentu, lewat hapenya Undul.

Akhirnya, jam setengah dua (kurang lebih 1.32 AM) coaster kami benar-benar bertolak dari RS Hussein menuju ke Dumyat, Damietta. Perjalanan malam itu benar-benar indah ditemani temaram sinar rembulan.  Ya, meski ini lebih pada sisi subyektifitas-ku sebagai pengagum Kairo malam. Tentunya, sejak menginjakkan kaki di Bumi Kinanah untuk pertama kali, dulu kami disambut oleh temaram lampu-lampu jalanan. Temaram yang tersebar di seluruh horizon mata memandang. Mesir selalu lebih indah seperti itu.

Lamat-lamat kupandangi jalanan yang dipagari rerimbunan pohon. Wah, mirip Jogja, pikirku. Ini bagian Kairo yang benar-benar kota, sehingga jalanan pun bersih, ditaburi beberapa baliho besar khas kota-kota. Namun rapi dan enak dipandang.

Pada akhirnya, kita shalat Shubuh di tengah perjalanan. Di tengah padang pasir, layaknya kemarin di perjalanan simposium, persis. Naik coaster yang begitu sama, terus shalat di masjid di tengah perjalanan beberapa menit sebelum syuruq. Setelah itu, lanjut perjalanan hingga benar-benar tiba di pantai Dumyat sekitar pukul tujuh waktu Kairo. 

Pantai Dumyat; tempat bertemunya sungai Nil dengan laut Mediterania dengan mercusuar di ujung sana.

Kurang lebih satu jam di sana. Kita sarapan lalu melihat pertemuan antara sungai Nil dengan laut Mediterania. Ayat yang tertulis di monumen di tengah jalur ini pun mengatakan demikian, (مرج البحرين يلتقيان، بينهما برزخ لا يبغيان). Selepas dari sana, kita menuju pantai Amasha, pantai yang tanpa bayar sekadar untuk "mernahke" main di pantai, kayak di Indonesia dulu. 

Setelah itu, kita bertolak ke Rasheed (Rosetta), ketemu museum sama pantai juga. Pertama, kita masuk taman, yang terletak tepat di depan museum Rasheed. Setelah itu, kita bergegas masuk museum karena ia akan tutup pukul empat sore. Akhirnya, masuklah kita. Museum ini terdiri dari dari tiga lantai. Lantai pertama, ada pakaian raja-raja terdahulu, ada pedang-pedang yang sangat panjang dengan berbagai bentuknya. Ada pula replika Batu Rosetta yang tertulis Hiroglif di situ, namun yang asli ada di London. Berharap selalu untuk bisa ke sana. Layaknya pantai itu. Ketika melihat birunya pantulan langit, saya tak mampu melihat ujung di sana. Hanya sebuah garis yang membatasi langit dengan air. Hanya ada umbulan layar kapal yang mengabarkan perjalanan dari seberang. Beberapa kapal bergantian mendekat, para nelayan pulang ke kampung halaman. Saya selalu bertanya, antara tahu, sok tahu, dan ngarang, benar-benar nggak tau: "Di sebarang sana itu Eropa, kan?" Sambil menunjuk-nunjuk, kayak anak kecil yang ngasi tau mama-nya pengen ke suatu tempat. Tentu, saya juga tidak menginginkan jawaban pasti, yang benar-benar menjawab pertanyaan tadi. Harapan ingin mengelilingi dunia semakin membara, mendesakku untuk segera "ngrampungke" yang di sini dengan "baik," lalu berkelana ke berbagai belahan dunia. Semoga.



***
Lantai dua, sebut saja Salamlek. Disebut demikian karena ini tempat menerima tamu, bertemu teman sejawat, dan lain sebagainya. Tidak banyak yang saya ingat di sini, namun kurang lebih ada sebuah jendela berpola di seberang pintu masuk, yang katanya berfungsi sebagai peninjau dari dalam ke luar. Lalu, lantai tiga. Lantai ini disebut Haramlek, dari kata Harimiy yang bisa dimaknai tempat khusus wanita. Lantai ini dikhususkan untuk para wanita, terlihat dari susunan jendela berpola yang berbeda dengan lantai di bawahnya. Terdapat dapur, kamar mandi, tempat merokok (mungkin untuk sang suami, kalau tidak salah ingat), ada kantor, ada ariikah (tampat duduk dari kayu dilapisi kain tenun, seperti itu kiranya), ada al-Quran bertuliskan tangan salah seorang murid siapa gitu, saya lupa (aduh payah banget lupa semua). Intinya, di setiap lantai selalu ada lukisan yang memenuhi dinding, menggambarkan keadaan kota Rasheed zaman dahulu. Kota kedua setelah Kairo yang paling banyak  menyimpan sejarah Mesir Kuno. 

Yang paling seru nih, saat kita naik kapal, menyisir sungai Nil sembari melihat-lihat pinggiran kota. Menikmati sunset di sore hari yang pada waktu itu berbeda dengan biasanya. Tentu karena tempat yang berbeda. Namun, dengan siapa kita bepergian biasanya menjadi faktor dominan yang mendukung banyaknya kenangan yang tertinggal. Haa.

di sepanjang sungai Nil, Rasyid

Oiya, Dumyat dan Rasyid ini, merupakan dua kota tertua yang ada di Mesir. Mereka terletak di "teras"  (tsaghr) Mesir yang berhadapan langsung dengan laut. Banyak benteng dibangun di sini, termasuk benteng Qaitbay, yang saya kira hanya ada di Alexandria. Ternyata saya salah besar. Sultan Qaitbay berhasil membangun 240 bangunan di seantero Mesir semasa kekuasaannya. Termasuk Qaitbay Rasyid ini, Qaitbay Alexandria, Qarafah Kubra di seberang Masyikhah, dan masih banyak lainnya.



"Dari sini kita belajar bahwa, agar suatu negara bisa kuat, maka perkuat dahulu "teras-teras"-nya. Perbatasannya harus kuat dulu. Karena seringkali musuh masuk lewat celah yang ada di perbatasan-perbatasan itu." Papar Mas Mu'hid, salah satu guide senior di Kupretist du Caire, saat menjelaskan batu-batu peluru meriam di benteng Qaitbay, Rasheed. 

اللي يعيش يشوف كتير،  واللي يمشي يشوف أكتر
"Who lives sees, but who walks sees more."

Malam Jumat, 20 Juli 2017 pukul 10.59 PM.



Thursday 13 July 2017

"Nyanding"

Sesaat setelah tiba di sana, panitia lantas mengajak kami keliling sekitar kota, sebut saja Medina City Tour, biar agak keren sedikit, haha. Karena delegasi dari PPMI Mesir tiba lebih awal dari delegasi lainnya, jadilah kita yang punya banyak waktu untuk q-time bareng panitia, hehe. Keliling Madinah, berkunjung ke situs-situs sejarah yang dulu hanya bisa kubaca di buku-buku pelajaran sekolah (SKI) atau buku-buku tarikh, seperti Sirah Nabawiah Ibnu Hisyam (kalo yang ini, ingatanku langsung tertuju sama mba Ayyun, juara II MQK Nasional Jambi 2014 lalu, keren kan?)

Banyak situs yang kami kunjungi. Ada masjid Sayidina Ali, IUM, gunung Uhud, medan Badr, apalagi ya, saya ngga ingat semua. Di antara yang paling saya ingat ialah kata-kata panitia saat kita muter di sekitar masjid Nabawi (muter pake mobil, maksudnya). Sambil perkenalan hotel tempat kita acara besok (Movenpick Hotel, ada di sekitar masjid Nabawi, deket banget), mereka sambil mengutarakan hal yang sering disayangkan bagi pelajar yang "nyanding" sesuatu. 

Kurang lebihnya mereka bilang gini: "Iya, sayangnya ketika kita udah tinggal di sini, di deket masjid Nabawi, rasanya mulai "biasa" aja sama makam Rasulullah. Padahal, waktu awal-awal dateng, rasanya kayak suatu hal yang luar biasa banget bisa hidup di Kota Rasul, bisa tiap hari ziarah, "nyanding" beliau. Tapi, seiring berjalannya waktu, semua menjadi berbeda dari awalnya. Semua seolah biasa. Seolah memang begitulah kita selamanya."

Hmm. Ketika kudengar kata-kata itu, ingatan saya juga langsung kembali ke tempat saya tinggal. Di belakang masjid al-Azhar, Hussein, Darrasa. 

Merupakan suatu hal yang tidak bisa bagi saya bisa berkesempatan hidup dekat dengan masjid al-Azhar, dekat pula dengan kampus al-Azhar yang lama, yang asli. Hehehe. Tapi, sepertinya rasa "biasa" aja juga mulai menghinggapi keseharianku. Biasa aja, meskipun tinggal dekat dengan masjid al-Azhar. Biasa aja, meskipun saya "nyanding" al-Azhar. Gawat.

Paling tidak, ada konskuensi bagi seseorang yang "nyanding" sesuatu. Nyanding orang tua, nyanding pesantren, nyanding seseorang, apalagi nyanding yang kek beginian; nyanding masjid al-Azhar, bahkan nyanding tempat yang selalu diharapkan oleh setiap orang (muslim) untuk ziarah ke sana. Tempat yang bahkan siapapun yang pernah ke sana pasti mengharapkan ke sana lagi berkali-kali. Berkali-kali selama hidup ia ingin kembali, Kota Nabi.

Mungkin, setidaknya tempat-tempat tersebut cukup menjadi pengingat untuk apa melangkah sejauh ini, selama ini. Tempat-tempat tadi menjadi saksi perubahan zaman, pergantian kekuasaan, pengamat sejarah dan penyetir kebudayaan. Ya, memang lalai lebih sering terjadi daripada jaga-nya. Bahkan, terlalu banyak kisah di masa (kejayaan) dulu, banyaknya peninggalan turats Islam, sering kali membuat bingung: "harus mulai dari mana," "harus bagaimana," atau minimal "bagaimana saya bisa menjaga turats-turats ini semua?" Saya kan generasi mereka, saya harus bertanggung jawab dong, dengan peninggalan "warisan" mereka. Di sini, sering kali saya bingung. Iya, karena inginnya menjaga semuanya, meski dengan keyakinan yang pasti (jazm) kalau saya tak bisa. Kkita tau sendiri, bahkan buku-buku yang ditulis abad dua, tiga Hijriah masih ada! sekarang telah memasuki abad 1438, alangkah luar biasanya "warisan" generasi kita sebelumnya. Geleng kepala seribu kali pun tak bisa memberi apa-apa, hehe. Terlalu hebat apa yang ditinggalkan leluhur, hingga akhirnya kita lalai, selalu berbangga tanpa melakukan apa-apa. Hingga tak sadar, semuanya telah digerogoti "orang sana," dan kita terlanjur lemah untuk membalasnya.

Iya, selalu sadar bahwa tak bisa memberikan sumbangsih apa-apa tanpa usaha yang beneran "usaha." 
Selalu saja digaungkan, kita harus usaha, kita harus kerja keras, kita harus ini, harus itu, namun rasanya kita kebanyakan kata. Selalu saja sama, tapi kata-kata itu juga hilang ketika melihat kehebatan "orang sana," yang selalu diterima dunia dengan tangan terbuka. Yah.. lupa lagi kita.

Tidak ada cara lain, kecuali saya harus berusaha. Sebenar-benar usaha, dengan cara yang saya bisa. 
Kita harus berusaha bersama dengan sekuat tenaga. Berusaha bersama dengan cara yang kita punya. Karena saya yakin, cara kita berbeda-beda. Pun yakin, dengan berbeda-bedanya itulah kekuatan untuk bangkit mencapai gerbangnya.

Yah, terlalu muluk apa yang saya tuliskan. Selalu saya berkata tentang "kebudayaan,"peradaban," "kejayaan," "bahasa Arab," dan sejenis itu. Namun, saya ternyata terlalu kecil untuk melakukannya. Sehingga, saya selalu berharap siapapun yang membaca mau bergandeng tangan, maju bersama dengan cara masing-masing tadi untuk mengembalikan yang dulu pernah ada. Jangan memasrahkan semua pada ulama, karena mereka pun tak akan bersama kita selamanya. Kita juga tak bisa mengandalkan semua pada guru kita, karena mereka hanya mengantarkan dan menerangi jalan kita. Pada akhirnya, sebuah keniscayaan bahwa kita harus melangkah sendiri. Melangkah di jalan yang guru kita terangi. Apa iya ketika mereka pergi kita akan lari dan kembali?


Malam Jumat, 13 Juli 2017 pukul 10:36 PM. 
Nulis di kamar Undul, ditemani kipas dan didesek untuk nemeni bikin donat sekarang juga. Yah, kan harus saya akhiri nulis jadinya. Huw.
Ini dari tadi ditanyain "udah belum-udah belum" terus. Sekarang beneran udah, Undul. 
Mari kita buat donat. Yuhuu!

*Maaf kali ini saya abaikan etika nulis yang baik. Ngga ada kata miring, mungkin juga banyak kapital yang ngga seharusnya, atau kebalikannya, atau mungkin kurang-kurang yang lain. Mianhe, hehe.


Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...