Thursday 23 February 2023

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023

Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari, kami menikah. Karena ini adalah blog pertama setelah sekian lama, terutama setelah menikah, aku ingin menuangkan perasaan bagaimana keadaanku, apa yang aku pikirkan dan apa yang aku temui di sini. Namun untuk sekarang, aku akan menulis bagaimana aku bertemu dan perjalanan singkat dari pinangan hingga pernikahan.

Pertemuanku dengan suami adalah pengalaman magis. Yang aku maksud bukan pertemuan secara fisik, namun bagaimana jiwa kami 'bertemu' dan sepakat jauh sebelum akhirnya kami benar-benar berjumpa. 

Desember 2020 merupakan bulan kelahiranku. Sebulan sebelumnya, aku dan 200-an kawan Indonesia baru saja wisuda di KBRI, Garden City. Tak dinyana, aku dianugerahi wisudawan terbaik, satu-satunya dari Fakultas Usuludin. Tiga terbaik lainnya dari Fakultas Syariah. 

Kelulusan tak terduga itu pernah aku bayangkan di dua atau tiga tahun sebelumnya. Aku sempat berpikir bagaimana rasanya menjadi lulusan terbaik kampus ini. Pikiran itu lantas teralihkan oleh kesibukan ngaji, organisasi, diskusi dan kegiatan-kegiatan lain seperti menulis dan main, hehe. Lancar dan asiknya aku belajar selama empat tahun di lisens al-Azhar, sudah barang tentu adalah buah dari doa dan tirakat serta restu Bapak, Mama, guru-guru di pesantren dan sekolah, serta teman. Mungkin juga orang-orang lain. 

Dengan kesadaran begitu, aku menulis unggahan di Facebook sebagai tanda terima kasih, sebagai pengakuan perhatian dan kasih sayang mereka.

Di pertengahan Desember, Mamas menanyai perihal apakah aku ingin berkeluarga melalui temannya yang juga di Saudi. Ia mahasiswa PhD tahun kedua waktu itu, di King Fahd University of Petroleum and Minerals (KFUPM). Ini kampus lumayan bagus untuk bidang minyak dan sejenis itu. Beberapa saintisnya masuk ke daftar sekian besar tokoh berpengaruh versi Stanford. 

Itu, di Desember tadi, merupakan pintaan ketiga. Ia sudah mengutarakan hal yang sama sejak 2015. Baru lulus Aliyah, aku tak berpikiran untuk berkeluarga, sama sekali. Aku abaikan. Ia lantas mengirimi, menanyai hal yang sama pada Januari 2018. Aku sempat gelisah, terkesan oleh gaya bicaranya yang 'santri banget'. Tahu unggah-ungguh dan santun dalam bertutur. Sebab gelisah memikirkan bagaimana, aku malah lupa tak membalas. Yang ketiga, puji Tuhan, ia menemukan momentumnya. 

Aku mengirim fotonya ke Bapak untuk dilihat. "Bagus," ujar Bapak. Dari layar hp, aku melihatnya langsung menghitung dengan batu-batu kecil di meja ruang tengah saat aku telpon dan ku beri tahu ada laki-laki yang ingin melamarku. Bapak setuju. Aku masih tidak mengerti mengapa ia setuju.

Dua hari setelahh telpon, perasaanku ke Mamas berubah. Tadinya, aku tak merasakan apapun. Batinku lantas melunak, ada dorongan untuk membuka diri untuknya, membiarkannya masuk agar ku kenali lebih dalam. Aku curiga Bapak melakukan sesuatu padaku. Aku menanyainya, "Bapak ngapa-ngapain kulo, ngge?" (Bapak melakukan sesuatu untukku, ya?) "Hanya wasilah...", jawabnya. Hanya wasilah.

Kami akhirnya bertunangan pada 5 Rajab 1442 H, 17 Februari 2021. Doa dari teman dan guru beriringan, membuatku merasa telah mengambil keputusan yang benar meski pertanyaan 'bagaimana bisa' tak terelakkan. Kami belum pernah bertemu. Saat tunangan, hanya pihak keluarga yang melangsungkan. Aku tasyakuran kecil-kecilan di Kairo. Kami kirimkan berkat kecil ke teman-teman terdekat. 

Kami menikah pada 18 Januari 2023 kemarin. Itu berarti hampir dua tahun kami bertunangan. Waktu yang cukup lama dan tak biasa. Selama dua tahun ini, dua hal penting aku alami. Pertama, kehadiran Bapak lebih terasa. Mungkin masa-masa itu adalah waktu paling berharga yang aku alami dalam keluarga, bahwa aku memiliki keluarga. Bapak, Mama, Embak, dan dua Mamas sungguh-sungguh ngopeni hajatku ini. Mereka urun rasa, urun rembug, hadir membantu. Tanpa alasan. 

Kedua, aku mengenal Mamas mungkin, lebih baik. Aku mengenalnya melalui beberapa konflik yang terjadi dalam rentang hampir dua tahun itu. Ada banyak pengunduran tanggal acara, beberapa kali. Salah satu yang terhebat ialah Januari 2022. Pernikahan diundur untuk kesekian kalinya. Bapak, melalui pertimbangan yang hanya ia yang tahu betul, berubah pikiran, utamanya setelah Mamas memutuskan untuk final exit dari Saudi pada September 2022 tanpa mengabariku. Itu artinya, ia pulang selamanya ke Indonesia, tidak melanjutkan kuliahnya untuk sementara. Meski alasannya jelas dan itulah rekomendasi profesornya, aku tetap merasa tidak dilibatkan dalam keputusan ini. Sekembalinya dari Saudi, Mamas dan keluarga ke rumah untuk pertama kali sejak bertunangan. Mereka membahas tanggal.

Bapak, seperti biasa, melihat ules wajahnya (garis wajah, air muka). Ia menemukan sesuatu yang membuatnya sampai pada kesimpulan: jika pernikahan ini diteruskan, akibatnya kurang baik. Mamas sedang tidak sekolah, saat itu. Pekerjaan, juga tidak. Ia sebelumnya bekerja paruh waktu di laboratorium di kampusnya. Dengan fakta begini, Bapak khawatir aku akan sulit kembali ke Kairo melanjutkan masterku. Di sisi lain, Mamas terus teguh bahwa aku akan bisa kembali ke sana, bahwa ia sudah siap betul secara finansial dan sedang akan masuk ke pekerjaan baru. Sedang akan. Bapak tak bisa memegangi sesuatu yang belum terjadi. Pernikahan ditunda. Tanggal 24 Januari 2022 terlewat begitu saja. 

Ada beberapa pertimbangan mengapa pernikahan ditunda. Aku membacanya begini: perbedaan kultur antara Jawa Barat dan Jawa Tengah; kesiapan finansial (Mamas) dan mental (aku); dan uji seberapa mantap kami mengambil keputusan. Bapak ingin melihat seberapa kuat niat kami untuk menikah di usia sekolah begini. Ia ingin melihat bagaimana Mamas menyikapi peran baru nanti dan posisinya sebagai sandwich generation, utamanya soal keuangan dan perihal merge-and-center, penyerasian kultur keluarga masing-masing. Mamas mungkin agak kecewa waktu itu, sebab ia tak bisa ku hubungi selama tiga hari. Ia hanya menjawab pesan dengan singkat. Aku sadar ketika itu, ada tembok terbangun yang menjadi tantangan baru selain jarak dan kepercayaan.

Waktu berlalu, pelan dan menghimpit batin. Pada Februari 2022, Mamas berangkat ke Thailand. Ia diterima sebagai mahasiswa PhD di King Mongkut's University of Technology Thonburi (KMUTT) Bangkok. Ini kampus nomor satu di Thailand versi World QS 2022 dan tahun-tahun ke belakang, untuk bidang teknik. Awalnya ia mengajukan proposal penelitian di sebuah industri. Proposal diterima. Ia ditawari untuk sekalian mengambil PhD di bidang penelitian itu. Beasiswa penuh. 

Ia mengambil jurusan Kimia Energi di The Joint Graduate School of Energy and Environment (JGSEE). Dari program ini, rencananya, tahun depan ia akan sedang internship di Austria. Meneliti di sana. Semoga lancar dan terlaksana. Kekecewaan dari penundaan pernikahan, syukurnya, tak membuatnya hilang arah. Melihat sulitnya situasi, aku sempat berpikir untuk iya, melepas dan mengembalikan cincin ini padanya jika ia meminta. 

Setelah akhirnya menikah, aku bertanya: "Mengapa tiba-tiba tenang, setelah sebelumnya begitu ingin segera menikah?" Tidak tahu, jawabnya. Ia menambahi bahwa ada suara di batin yang memintanya tenang dan ia mendengarnya. Aku tak bisa memahami itu, tapi aku mempercayainya. Ada banyak hal di hidup kita yang di luar jangkauan akal. Bukan tak bisa dinalar, namun di luar jangkauan nalar. Wasilah. Taufik. Hal-hal semacam itu.

Pada 1 Desember 2022, Mamas lulus ujian komprehensif dan dinyatakan sebagai kandidat PhD. Aku, sedang berkutat dengan draf proposal tesis. Aku menjanjikan Bapak November bisa diterima. Namun prosesnya agak panjang. Aku bolak-balik perpustakaan Masjid al-Azhar, perpustakaan kampus di Sadis, dan berulang kali menemui Prof. Yusri. Kami berdiskusi banyak. Ia adalah pencerahan nalar. Alih-alih merasa tertekan sebab tenggat waktu habis, aku justru menikmatinya. Bapak tak keberatan soal itu.

Seminggu setelah ujian itu, aku menelponnya, memberi kabar bahwa Bapak memintanya pulang jika ia siap bertanggung jawab atasku kemudian. Itu permintaan tiba-tiba, tak ada yang menyangka sebab Bapak sedang sakit dan dalam pemulihan. Oktober pertengahan hingga akhir, Bapak dirawat di ICU RS Margono Purwokerto. Usus buntu, lambung bocor dan infeksi paru-paru, kata dokter. Itu sakit yang tiba-tiba sebab dua hari sebelum masuk ke RSUD Majenang sebelum dirujuk ke Margono, kami sempat berkelakar dalam telepon video; membicarakan apa saja, tertawa dan bertukar rasa. 

Biaya puluhan juta, fokus pulih kesehatan, proposal yang belum selesai membuatku, kami sekeluarga, dan Mamas tak berpikir akan menikah dalam waktu dekat. Bapak, melihat dari sudut yang lain. Di hampir tengah malam akhir November, Mama menelponku, menanyakan apakah aku bisa segera pulang. Tanpa latar suara di tengah malam begitu, jantungku sempat panik jangan-jangan telah terjadi sesuatu. Aku tenang saat ku tahu ternyata Bapak sedang beristirahat di samping Mama. 

Bapak memikirkan konsep acara sendirian. Saat fisik begitu payah, kurus dan suara serak, belum bisa berjalan sebab operasi di perut kiri bawah; Bapak memikirkan bagaimana pernikahanku nanti bisa berjalan lancar. Banyak pihak keluarga yang tak mengerti mengapa Bapak mengambil keputusan begitu. Mengagetkan. Aku masih tak mengerti sepenuhnya juga, namun aku punya hati yang terlatih untuk mempercayai Bapak, apapun keputusannya. Batinku berucap, jika aku tak mengerti Bapak, itu bukan karena ia yang sulit dimengerti, namun karena ada hal diketahui Bapak yang belum aku ketahui. Bapak telah memilih, dan ia, hampir, tak pernah salah dalam pilihannya. 

Aku pulang ke Indonesia pada 6 Januari 2023, setelah tujuh setengah tahun merantau. Aku tiba di Jakarta pada Sabtu siang, 7 Januari. Mamas, dari Bangkok tiba di bandara yang sama pagi harinya. Ia menungguiku sepagian, menjemputku di pintu kedatangan internasional dan membawaku pulang. Itu adalah pertemuan pertama kami sejak pinangan, sejak ia pertama kali meminang 2015. Aku di Krapyak, ia di Pandanaran waktu itu. Lagi, jika bukan pilihan-Nya, sedekat apapun jarak, seniat apapun hati, semesta tak mungkin merestui. 

Membawaku pulang.. 

Bapak, baru kali ini kau begitu percaya pada seseorang untuk membawa anakmu pulang. Setelah sekian tahun tak bertemu, kau bahkan merestui orang lain untuk membawa masuk ke rumahnya sebelum anakmu menginjak rumahnya sendiri. 

Ya.. dari bandara, mobil kami menuju Indramayu, mengantar Mamas ke rumahnya. Mobil berhenti di sebuah rumah sederhana nan hangat sekitar pukul delapan malam. Kakak-kakaknya berkerumun di halaman rumah. Dari jendela mobil, aku melihat mereka menelisik mana adiknya di dalam mobil. Setelah membereskan diri, ia turun dari mobil. Aku, lantas turun dari pintu sebelah kanan, menyalami kakak-kakaknya dan, Miminya. Aku dipeluk, kepalaku diciumi Mimi. Aku lantas diajak masuk, minum dan disuguhi banyak pacitan. 

Niatku turun dari mobil ialah menjamak-qashar maghrib-isya. Aku bergegas ke kamar mandi dan, airnya, sungguh sejuk. Kesejukan air itu entah mengapa membuat jiwaku damai dan merasa ini rumah. Air yang biasa dipakai bersuci dan berwudu oleh orang-orang saleh, begitu, bukan? Rasanya begitu. Seingatku, kulah-kulah di tempat Mamas Hafidh, Sidareja, saat aku nyantri dulu, begitu. Sejuk. 

Selepas salat, aku lantas membuka koper dibantu kakak ipar perempuan Mamas, Yu Mami namanya. Ulesnya lembut, dan aku sayang padanya. Kami memisahkan beberapa yang sudah ku siapkan untuk rumah ini. Sedikit. Semoga suatu waktu dapat memberi banyak dari rizki yang halal baik. Aku memberikan bungkusan itu ke Mimi di ruang tamu dan langsung pamitan pulang. Mama, Bapak dan Mamas Barok, juga Tata, sudah menunggu di rumah. Jangan sampai terlalu larut, pikirku, sebab perjalanan masih panjang. Indramayu-Majenang. 

Aku tiba di rumah sekitar pukul dua dini hari Ahad, 8 Januari. Mama, Mamas Barok menjemput di bahu jalan samping rumah. Gelap, sepi. Mama berkaca-kaca, memelukku erat tanpa bicara. Koper diangkat Mamas Barok, yang tadi sedang membereskan bingkisan makanan ringan di ruang tamu. Itu ratusan. Mamas sendirian. Begitu tulusnya urun rasa padaku. Makasih, Mamas.. 

Aku memasuki rumah. Ku dapati persiapan acara sudah sedang dimulai. Aku bertanya ke Mama di mana Bapak. Baru saja tidur, katanya. Aku menuju kamar wetan, kamar Bapak setelah sebelumnya menyalakan lampu kamarnya lewat kabel di sebuah terminal di ruang tamu di bawah televisi. Aku membuka pintunya.. Ia sedang tidur. Aku duduk di sampingnya, mencium tangan dan wajahnya. Begitu kurus.. begitu payah.. begitu kuat. Semburat optimis sehat tergaris jelas di sela keriput wajah tuanya. Aku bisa merasai itu. 

Aku bersyukur sungguh, aku masih bisa pulang mendapati Mama dan Bapak.

**

Mobil kami melaju sore hari Sabtu dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Aku melihat sore hari Indonesia dan Indomie pertama kali dengannya. Aku merasa pulang. Batinku berbisik sejak tatap pertama perjumpaan kita bahwa kau, adalah rumah. 

Ia rumah, Bapak.. Aku akan belajar mempercayainya, sebagaimana aku mempercayaimu selama ini. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...