Simpul kebangsaan merupakan hal yang sangat asasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Layaknya simpul tali pada umumnya,
simpul kebangsaan merupakan pentholan (titik poin- pen) dari perjalanan
historis sebuah bangsa setelah mengalami pasang-surut akulturasi maupun adaptasi
dalam pergaulan antarnegeri. Bahkan—menurut hemat penulis—, pengalaman sejarah
bangsa Indonesia (di masa lalu) dapat dikatakan sebagai awal mula adanya simpul
kebangsaan kitayaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Sebuah semboyan yang menjadi sorotan khusus dalam kamus sebuah negara yang
merupakan identitas bangsa dan negara itu sendiri. Meski terkadang terjadi
persekutuan kata dalam satu negara dengan negara lain. Namun, adanya sebuah
pembeda merupakan keniscayaan antara bangsa satu dengan lainnya. Misalnya, di
Indonesia. Tali Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan bangsa dalam kemajemukan
rakyatnya terdapat dua unsur yang menyatu dan saling menguatkan satu sama lain,
yakni Pancasila dan UUD 1945. Keberadaan kedua unsur tersebut merupakan penopang,
pengayom sekaligus payung standarisasi laju-lindungnya sebuah bangsa dalam
menginterpretasikan simpul kebangsaannya.
Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu
jua) merupakan simpul, ruh dan prinsip bangsa Indonesia di bawah naungan pilar Pancasila
dan UUD 1945. Ketiga unsur tersebut (semboyan Bhinneka, dan dua pilar dasar) tidak
bisa dipisahkan, karena nyatanya bangsa Indonesia mempunyai hubungan
keterkaitan yang sangat erat. Di samping bahwa fakta lapangan mengatakan, baik
konflik maupun damai bagaikan sebuah siklus yang berkelit-kelindan dalam unsur
yang ‘itu-itu’ saja. Misalnya, konflik etnis di Ambon 1999 dan 2011, konflik
ideologis Organda Papua 2015, maupun konflik-konflik yang berbau agama yang
sedang diketengahkan oleh media akhir-akhir ini. Sementara dalam hubungan
antarbangsa misalnya, konflik Indonesia-Malaysia yang meski sudah berakhir
sejak masa pemerintahan Soekarno, namun letupan-letupan kecil kerap kali
terjadi hingga kini, misal adanya sengketa perbatasan wilayah, masalah TKI,
ataupun klaim budaya yang dilakukan oleh Malaysia. Hal-hal semacam ini selalu
berputar di lingkaran yang tadi; lingkaran yang ‘itu-itu’ saja. Ideologi,
agama, dan humanisme, merupakan inti dari tiga unsur penyusun simpul bangsa,
sekaligus sebagai pemicu utama adanya konflik baik secara internal di dalam
bangsa, maupun eksternal dalam hubungannya dengan bangsa lainnya.
Jika ingin mengatakan bahwa simpul, atau tali pengikat kemajemukan
bangsa dalam persatuan dan kesatuan merupakan penyambung kehidupan sebuah
bangsa, maka selayaknya mewujudlah sebuah interpretasi dari tali (ketiga unsur)
tersebut. Karena, kehidupan manusia tidak cukup dengan sebatas teks-teks
normatif maupun seribu bait pasal peraturan perundang-undangan, namun lebih butuh
untuk dikontekstualisasikan dalam perilaku kemanusiaan. Apa gunanya
aturan-aturan yang tersusun rapi dalam lemari tanpa adanya interpretasi? Tentu
mati. Tak ada bedanya antara adanya normaisasi dengan anormaisasi. Dus,
kontekstualisasi dan interpretasi merupakan syarat juga isyarat bahwa simpul
hidup berkebangsaan tadi mampu mengikat kemajemukan bangsa dalam wadah
persatuan dan kesatuan. Mengikat tanpa menjerat, dan menyimpul bukan menyerak,
hingga terwujud sebuah simpul yang menjadi penguat identitas, bukan simpul
sebagai klimaks dari konflik dan perseteruan, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Salah satu interpretasi dari berbagai interpretasi ketiga unsur di atas
ialah kasih sayang. Sebenarnya, makna kasih sayang tergambar dengan jelas
ketika kata ini diperdengarkan. Pasalnya, ‘kasih sayang,’ secara satuan kata
pun menunjuk ke makna yang sama, yakni kasih bermakna menyayangi, dan sayang
juga berarti mengasihi. Namun, agaknya terjadi bias atau
kepura-pura-tidaktahuan dalam makna setelah keduanya menyatu menjadi: kasih
sayang. Atau mungkin tahu maknanya, namun bias dalam menerjemahkan dan
menginterpretasikan dalam laku keseharian. Hal ini senada dengan sabda
Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa: ‘Tidak sempurna iman seseorang sebelum
kalian mencintai sesamanya sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri,”
atau hadits-hadits Rasulullah lain yang senada dengannya. Pertanyaan biasnya
ialah, apakah kasih sayang bermakna kesukuan (tahayyuz), apakah ia
bermakna primordialitas, apakah ia berarti fanatik (ta’asshub) atas
sesuatu?
Mungkin, simpul kasih sayang ini menyambungkan tali dari toleransi
sebagai sebuah makna khusus dalam kemajemukan, inti dari ke-bhinneka-an. Karena
Bhinneka tak akan bermakna tanpa adanya toleransi, saling menghormati
antarsatuan tingkatan suku, agama, maupun ras dan strata sosial—jika dikatakan
adanya strata sosial dalam masyarakat. Padahal konteks tersebut merupakan
‘pendatang baru’ yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Karena inti dari
ke-bhinneka-an ialah adanya kesepemahaman dalam perbedaan, bukan
menjadi-satukan perbedaan (memaksakan) harus sama dalam setiap hal. Justru di
sinilah letak bahaya dan sumbu pemantik berbagai konflik yang tak kunjung meredam
dalam rumah Nusantara kita. Pun di dalam banyak hal, hal tersebut (strata
sosial, segmentasi kesukuan maupun tingkatan sebagai buah cipta cara pikir
masyarakat) merupakan konsekuensi dari cara pandang masyarakat itu sendiri yang
kemudian mereka hakimi dengan dalih kemanusiaan, agama, ideologi dan lain
sebagainya.
Kasih sayang tidak sekadar simbol-simbol layaknya pelukan, ucapan, atau
bahkan perayaan valentine yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang temporal.
Bagaimana bisa kasih sayang sebagai interpretasi simpul kebangsaan hadir dalam
satu hari, bahkan setahun sekali? Kasih sayang ini rasanya mulai luntur ketika
masing-masing individu, bahkan media berlomba-lomba memojokkan sana dan sini,
mengumbar teriakan-teriakan sumbang yang penuh kebohongan hanya untuk memuaskan
kepentingan komunal. Padahal, dalam relung makna terdalam, kasih sayang
merupakan kontekstualisasi, interpretasi dan eksternalisasi teks-teks menjadi
laku-laku keseharian yang dibarengi dengan adab, etika dan sopan-santun yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Maka, sudah seberapa jauh kasih
sayang muncul sebagai interpretasi simpul kebangsaan di tengah kemajemukan
masyarakat kita?