Sunday 5 February 2017

Kasih Sayang sebagai Interpretasi Simpul Kebangsaan

      Simpul kebangsaan merupakan hal yang sangat asasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Layaknya simpul tali pada umumnya, simpul kebangsaan merupakan pentholan (titik poin- pen) dari perjalanan historis sebuah bangsa setelah mengalami pasang-surut akulturasi maupun adaptasi dalam pergaulan antarnegeri. Bahkan—menurut hemat penulis—, pengalaman sejarah bangsa Indonesia (di masa lalu) dapat dikatakan sebagai awal mula adanya simpul kebangsaan kitayaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Sebuah semboyan yang menjadi sorotan khusus dalam kamus sebuah negara yang merupakan identitas bangsa dan negara itu sendiri. Meski terkadang terjadi persekutuan kata dalam satu negara dengan negara lain. Namun, adanya sebuah pembeda merupakan keniscayaan antara bangsa satu dengan lainnya. Misalnya, di Indonesia. Tali Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan bangsa dalam kemajemukan rakyatnya terdapat dua unsur yang menyatu dan saling menguatkan satu sama lain, yakni Pancasila dan UUD 1945. Keberadaan kedua unsur tersebut merupakan penopang, pengayom sekaligus payung standarisasi laju-lindungnya sebuah bangsa dalam menginterpretasikan simpul kebangsaannya.
Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu jua) merupakan simpul, ruh dan prinsip bangsa Indonesia di bawah naungan pilar Pancasila dan UUD 1945. Ketiga unsur tersebut (semboyan Bhinneka, dan dua pilar dasar) tidak bisa dipisahkan, karena nyatanya bangsa Indonesia mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat erat. Di samping bahwa fakta lapangan mengatakan, baik konflik maupun damai bagaikan sebuah siklus yang berkelit-kelindan dalam unsur yang ‘itu-itu’ saja. Misalnya, konflik etnis di Ambon 1999 dan 2011, konflik ideologis Organda Papua 2015, maupun konflik-konflik yang berbau agama yang sedang diketengahkan oleh media akhir-akhir ini. Sementara dalam hubungan antarbangsa misalnya, konflik Indonesia-Malaysia yang meski sudah berakhir sejak masa pemerintahan Soekarno, namun letupan-letupan kecil kerap kali terjadi hingga kini, misal adanya sengketa perbatasan wilayah, masalah TKI, ataupun klaim budaya yang dilakukan oleh Malaysia. Hal-hal semacam ini selalu berputar di lingkaran yang tadi; lingkaran yang ‘itu-itu’ saja. Ideologi, agama, dan humanisme, merupakan inti dari tiga unsur penyusun simpul bangsa, sekaligus sebagai pemicu utama adanya konflik baik secara internal di dalam bangsa, maupun eksternal dalam hubungannya dengan bangsa lainnya.
Jika ingin mengatakan bahwa simpul, atau tali pengikat kemajemukan bangsa dalam persatuan dan kesatuan merupakan penyambung kehidupan sebuah bangsa, maka selayaknya mewujudlah sebuah interpretasi dari tali (ketiga unsur) tersebut. Karena, kehidupan manusia tidak cukup dengan sebatas teks-teks normatif maupun seribu bait pasal peraturan perundang-undangan, namun lebih butuh untuk dikontekstualisasikan dalam perilaku kemanusiaan. Apa gunanya aturan-aturan yang tersusun rapi dalam lemari tanpa adanya interpretasi? Tentu mati. Tak ada bedanya antara adanya normaisasi dengan anormaisasi. Dus, kontekstualisasi dan interpretasi merupakan syarat juga isyarat bahwa simpul hidup berkebangsaan tadi mampu mengikat kemajemukan bangsa dalam wadah persatuan dan kesatuan. Mengikat tanpa menjerat, dan menyimpul bukan menyerak, hingga terwujud sebuah simpul yang menjadi penguat identitas, bukan simpul sebagai klimaks dari konflik dan perseteruan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Salah satu interpretasi dari berbagai interpretasi ketiga unsur di atas ialah kasih sayang. Sebenarnya, makna kasih sayang tergambar dengan jelas ketika kata ini diperdengarkan. Pasalnya, ‘kasih sayang,’ secara satuan kata pun menunjuk ke makna yang sama, yakni kasih bermakna menyayangi, dan sayang juga berarti mengasihi. Namun, agaknya terjadi bias atau kepura-pura-tidaktahuan dalam makna setelah keduanya menyatu menjadi: kasih sayang. Atau mungkin tahu maknanya, namun bias dalam menerjemahkan dan menginterpretasikan dalam laku keseharian. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa: ‘Tidak sempurna iman seseorang sebelum kalian mencintai sesamanya sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri,” atau hadits-hadits Rasulullah lain yang senada dengannya. Pertanyaan biasnya ialah, apakah kasih sayang bermakna kesukuan (tahayyuz), apakah ia bermakna primordialitas, apakah ia berarti fanatik (ta’asshub) atas sesuatu?
Mungkin, simpul kasih sayang ini menyambungkan tali dari toleransi sebagai sebuah makna khusus dalam kemajemukan, inti dari ke-bhinneka-an. Karena Bhinneka tak akan bermakna tanpa adanya toleransi, saling menghormati antarsatuan tingkatan suku, agama, maupun ras dan strata sosial—jika dikatakan adanya strata sosial dalam masyarakat. Padahal konteks tersebut merupakan ‘pendatang baru’ yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Karena inti dari ke-bhinneka-an ialah adanya kesepemahaman dalam perbedaan, bukan menjadi-satukan perbedaan (memaksakan) harus sama dalam setiap hal. Justru di sinilah letak bahaya dan sumbu pemantik berbagai konflik yang tak kunjung meredam dalam rumah Nusantara kita. Pun di dalam banyak hal, hal tersebut (strata sosial, segmentasi kesukuan maupun tingkatan sebagai buah cipta cara pikir masyarakat) merupakan konsekuensi dari cara pandang masyarakat itu sendiri yang kemudian mereka hakimi dengan dalih kemanusiaan, agama, ideologi dan lain sebagainya.
Kasih sayang tidak sekadar simbol-simbol layaknya pelukan, ucapan, atau bahkan perayaan valentine yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang temporal. Bagaimana bisa kasih sayang sebagai interpretasi simpul kebangsaan hadir dalam satu hari, bahkan setahun sekali? Kasih sayang ini rasanya mulai luntur ketika masing-masing individu, bahkan media berlomba-lomba memojokkan sana dan sini, mengumbar teriakan-teriakan sumbang yang penuh kebohongan hanya untuk memuaskan kepentingan komunal. Padahal, dalam relung makna terdalam, kasih sayang merupakan kontekstualisasi, interpretasi dan eksternalisasi teks-teks menjadi laku-laku keseharian yang dibarengi dengan adab, etika dan sopan-santun yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Maka, sudah seberapa jauh kasih sayang muncul sebagai interpretasi simpul kebangsaan di tengah kemajemukan masyarakat kita?


Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...