Sunday 29 July 2018

Nano-nano Rasanya

Bismillah..

Pagi ini, selesai piket masak sekitar jam sepuluhan. Emm agak lama, sebab selagi masak, bolak-balik liat wasap. Baru kali ini aja kok, kalo ngga mendesak juga, saya ngga suka buka-buka hape selagi kerja (piket masak, belajar, emm apapun itu yang bisa disebut kerja). Ehe. 

Semalem, seorang teman saya menanyakan foto Dr. Sonia. Pikirku, emm kayaknya untuk seminar. Untuk hal ini, saya udah cukup seneng, sebab ada yang menanti kehadiran beliau di seminar selain saya. :')) Sebenarnya, yang lain menanti sih.. Hanya saja, ngga sekuat saya. Iya sebab saya terlanjur melihat beliau sebagai sosok multidimensi yang mungkin, tidak diliaht oleh teman-teman selain saya. Guru, jelas. Ibu, kakak, teman, dan yang baru aku rasa akhir-akhir ini ialah.. Beliau ternyata murabbirruh, bagi diri ini. 

Setelah kukirim poto beliau, teman saya ini berujar, "Ternyata benar :D". Saya curiga, lantas kutanya, "Apanya?" Dari sini, obrolan pagi ini (belum beberes abis masak, belum ke kamar mandi, biarin) terus berlanjut. Hingga hatiku deg-degan saat tahu, bahwa beliau, Dr. Sonia, kini ada di Kairo. Aaaaa. Buncah bahagia campur sesal sebab kemarin ngga ikut ngaji memenuhi ruang tengah. Meski ini musim panas, ternyata lebih panas dari suasana hati yang bergemuruh. Getun. Saya sangat menyesal, merasa ditampar keras pipi kiri dan kanan. Pipi kiri, sebab mau ngaji, tapi malah ngga jadi. Sebab ketiduran lagi, setelah ketiduran yang ke berapa kali sejak bangun jam setengah dua kemarin. Pipi kanan, sebab, sekaliber Dr. Sonia aja masih berkenan mengaji, duduk bersimpuh di deoan Dr. Hasan Syafii.. Lha, ini, saya malah, ke mana aja?! :'(

Dari jawaban teman saya, ada tiga nama guru spesial yang disebut. Saya akhirnya memahami, ketiga guru ini, bagi saya, ada di kedudukan istimewa.. Dr. Hasan Syafii, meski saya belum ngaji secara langsung hingga hari ini (jadi tau kan, betapa saya di sini, selama ini, entah kemana aja, -_-) tapi beliau sangat saya kagumi. Beliau sudah sepuh. Beliau ketua Majma' al-Lughah yang ada di Zamalek sana. 

Kedua, Dr. Sonia.. Beliau, sebagaimana disinggung tadi. Saya kenal beliau sejak tingkat satu, saat diajar Mantik. Kemudian bertemu lagi di tingkat dua, beliau mendidik kami melalui mata kuliah Tauhid. Di samping mengaji di Masjid al-Azhar, di kuliah, saya cukup intens komunikasi dengan beliau lewat wa. Beliau sangat welcome, sangat perhatian dengan mahasiswinya, terutama pendatang. Ada banyak cerita dan pengalaman dengan beliau. Yah.. Barangkali, saya belum merasakan penyesalan sedalam ini atas apa yang terjadi, kecuali dua hal. Pertama, saat penutupan ngaji mantik dan tauhid  bareng beliau di Masjid al-Azhar, akhir Februari lalu. Kedua, mengetahui bahwa Dr. Sonia ikut mengaji Dr. Hasan Syafii, yang padahal kemarin sudah niat pengen hadir juga.. Namun urung. Hmpph. Semoga tiada penyesalan semacam ini, untuk ketiga kalinya. 

Ketiga, Dr. Muhanna.. Beliau, murabbirruh bagi saya, mungkin teman-teman lain juga. Beliau mengampu kajian tasawuf di tiga kali pertemuan dalam seminggu. Hari Rabu, kita ada Qawāid al-Tashawwuf, sore hari di Dzullah Utsmāniyyah, di mihrab utama Masjid al-Azhar. Berikutnya hari Jumat, tasawuf juga, kitabnya Ihyā Ulūmiddīn, di tempat yang sama. Alhamdulillah.. Insya Allah saya terus mulazamah dengan kedua majelis ini. Terakhir, ada Syarh al-Hikam al-Athāiyyah, Sabtu bakda Maghrib di Masjid Sayidah Nafisah, dekat benteng Shalahudddin al-Ayyubi. Yang ini, semoga Allah memperkenankan saya untuk duduk mendengar lembutnya kata-kata beliau. 

Ketiga nama ulama al-Azhar tadi, ternyata ialah sosok yang telah menempati sebagian ruang di hati ini. Dr. Muhanna, Dr. Hasan, Dr. Sonia, dalam hubungan ketiganya terdapat ikatan guru-murid yang sangat indah. Sejak dua tahun saya kenal beliau, saya melihat betapa Dr. Sonia sangat ta'dzim terhadap guru-guru beliau, dan masyayikh Azhar secara umum. Betapa beliau sangat bangga terhadap almamaternya. Betapa beliau dahulu, sosok pekerja keras dan ulet dalam belajar, sehingga bisa sampai dalam kedudukan seperti sekarang, dan dengan penuh kepercayaan diri berbangga atas al-Azhar. Pada beliau, saya melihat, bahwa untuk berbangga, kita mesti mati-matian menjaga nama baik dan jujur menapak jalan hidup sesuai manhajnya. Pada al-Azhar.. Saya memahami apa makna perjuangan menggali ilmu yang sejati. Meski belum, saya bertekad supaya bisa sehebat pendahulu kami di sini.. Dengan cita-cita dan semangat untuk menerima estafet dalam berjuang dan khidmah terhadap umat.

Intinya, saat ini, saya lagi gemes sama diri sendiri. Yhaa kemana ajaa selama ini. Miiid, Mid. Kapok kan?!

Semoga semangat belajar atau apapun itu, bukan karena seseorang. Bukan karena Dr. Sonia, bukan sebab Dr. Muhanna, Usth. Marwa, Usth. Nisrin atau beliau-beliau yang saya merasa dekat dan beliau juga ngga hanya sekali, mengungkapkan hal serupa, padaku. Hehe. Saya mesti memahami, kudu ada semangat dan kesadaran diri bahwa, beliau yang sudah ada di kursi dosen, syekh, profesor, semuanya berangkat dari ketekunan, keprihatinan, menahan lara dalam menuntut ilmu, dan berbagai upaya dalam menggapai cita-cita. Menjadi anak didik beliau artinya harus siap jungkir balik. Menjadi santri al-Azhar, artinya kudu siap belajar tenanan. Sebab sudah jauh dari rumah, kalau masih biasa aja, ya untuk apa?

Semoga tekad saya hari ini dicatat malaikat, untuk selalu mengingatkan saya bahwa masa ini, masa-masa untuk prihatin. Masa-masa mengilhami setiap laku dan cara pikir dari beliau-beliau guru dan masyayikh saya di sini. Bukan justru hanya berbangga, sebab saya berkesempatan meraup ilmu dari mereka. Bukan justru rajin ngutip quotesnya, ditaruh di wa, ig, fb atau apapun hal-hal sejenis itu, tapi nol dalam pengilhaman laku dan cara pikir. Atau kalau tidak nol, paling tidak, terlihat tiadanya usaha serupa, namun tenggelam dalam buncah bangga tak terasa. 

Pada akhirnya, semoga Dr. Sonia berkenan menerima undangan seminar kami, dalam rangkaian acara Grand Closing Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin 2017/2018. 

Ahad, 29/7/2018 setelah adzan Dhuhur. 

Friday 27 July 2018

Sibuk

Beberapa saat lalu sempat dibuat badmood sebab wifi lagi mutung. Ala kulli haal alhamdulillah..

Sejak awal bulan ini, aku merasakan kurangnya waktu untuk diri sendiri. Senat, Bedug, kajian, talaqqi, sekolah menulis, kelas opini, hingga kegiatan rutinan seminggu sekali memenuhi jadwal harianku. Semua ini membuatku cukup mengerti, bahwa semakin dewasa, amanah dan keputusan yang diambil mestinya semakin bijak. 

Aku sampai lupa. Kemarin, rasanya ada banyak hal yang pengen kutulis. Sayangnya, di malam hari, sering aku tak kuasa untuk membuka laptop, menukiskannya di sini. Selain lelah, wifi juga sama sekali tak mendukung. Yang kedua ini, jauh lebih menyakitkan daripada lainnya. Sama bayar, koneksi tetap lambat. 

Yasudah. Yang terkini ialah hasil ujian. Ada banyak kegiatan yang menguras tenaga, namun semuanya entah untuk apa. Kadang hati menghendaki, sudah mengaji saja. Bekal untuk pulang ke rumah. Kesibukanmu selain mengaji itu kurang guna. Iya, di satu sisi, aku membenarkannya. Namun di sisi lain, aku berpikir: kenyataan bahwa aku hidup di zaman entah ini, aku mesti berjalan mengiringi tabiat zaman di mana dan kapan aku berada. Zaman yang, ketika kita hanya berkutat dengan tradisi semacam mengaji kitab kuning, menghafal matan, dan sejenisnya, aku merasa, kita akan selamanya hidup dengan diri sendiri, jika terus seperti itu. 

Zaman ini, menuntut aku setidaknya, atau kita, untuk bisa menghidupi masa. Aku tidak berpikir bahwa yang khusyuk mengaji, tidak akan bisa mengimbangi tuntutan zaman. Tidak pupa menjamin bahwa yang sibuk dengan segala macam kesibukannya, akan melenggang dan mempunyai otoritas untuk mengiringi zaman. Barangkali, ketika keduanya sejalan, inilah yang menurutku cara paling ideal untuk bisa hidup di zaman seperti sekarang. Mengaji, namun juga bisa bersosialisasi. 

Kembali ke hasil ujian (natijah). 
Alhamdulillah, alhamdulillah.. Sebenarnya aku bingung mesti berekspresi macam apa. Allah selalu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Natijah tahun ini, membuktikan separuh awal dari kata bijak "bil imtihān yukramu al-mar'u aw yuhān".

Berkat doa dari banyak pihak; mama, bapak, guru, teman, kerabat, dan yang aku tahu siapa itu, alhamdulillah, pihak kantor administrasi menuliskan bahwa aku meraih predikat istimewa. 

Tentunya, ini menjadi sebuah alarm tersendiri bagiku. Pertama, bahwa, apapun yang kita lakukan, mesti dilandasi dengan niat yang baik. Meski masalah niat tak bisa dilihat ketika di dalam hati, namun bisa dilihat pada apa yang dilakukan di luar hati. 

Kedua, bahwa, Allah Maha Segala-galanya. Bisa membuat haru siapapun yang berprasangka di luar kehendak-Nya. 

Selama kuliah kemarin, aku jarang sekali masuk kelas. Aku selalu lebih sibuk di luar kampus, daripada duduk dan mendengar model ceramah yabg disampaikan para dosen. Kecuali satu, mata kuliah Tauhid, aku tak pernah benar-benar tertarik mengikuti kegiatan di kelas. 

Ini barangkali hal yang kurang baik. Namun, dengan segala macam kesibukan di luar kampus, aku ditampar, atas banyak kekhawatiran kemarin bahwa jika niatmu lurus, Allah yang akan mengurus segala perkaramu. Jika kita sepenuh hati khidmah di jalan-Nya, Allah akan selalu menunjukkan taufik menuju pintu-Nya. 

Kadang kala aku merasa belum berhak. Aku berpikir bahwa ini ujian dari-Nya. Justru ketika aku telah sampai di tahap ini, aku merasa semakin berat memikul amanah sebagai seorang pelajar yang kata orang, sibuk, organisasi, ada di mana-mana, tapi akademik tetap keren. Aku semakin membutuhkan rahmat-Nya agar bisa mempertahankan dan meningkatkan terus, apa yang telah aku capai di tahun sebelumnya. 

Meski tahun ini cukup banyak yang mendapat predikat itu, aku bersyukur, sebab Allah memberi kesempatan untuk ada di barisan mereka, yang notabene aktif kuliah. Ini secara hasil akhir. Di sisi lainnya, Allah izinkan aku untuk turut aktif di beberapa organisasi dan komunitas belajar yang, pada akhirnya, aku tak ketinggalan jauh sekali dari mereka pula. 

Allah.. Sebanyak apapun aku bersyukur, tetaplah itu hanya setitik, sedikit. 

Darrasa, 28 Juli 2018. 
Semoga rumah ini menjadi satu-satunya tempat aku kembali, selama di sini. 

Monday 16 July 2018

Permisif

Baiklah, aku sudah terlampau lama tidak menulis di sini.

Sejak awal bulan Juli ini, ada banyak sekali kegiatan yang harus kuikuti. Mengapa harus? Sebab, sederet kesibukan itu bukan tanpa alasan. Ada komitmen yang mesti membuatku terikat, sehingga dengan itu sangat bisa diketahui, seberapa kuatkah komitmen kita atas sesuatu. Atau sebaliknya, seberapa lalai dan lemah kita dalam menghadapi jalan hidup semacam itu.

Seberapa sibuk sih? Entah. Tapi intinya, saat itu aku merasa jadi orang paling sibuk sedunia rumah. Siang, jelas di luar. Pulang malem, paling cepet sore hari menjelang maghrib. Khusus hari Senin dan Kamis, sorenya, jam 8 malam harus ke Rumah Syariah, belajar bareng anak-anak baru, sampe jam 10. Jadi kalo Kamis, pagi sampe sore di SMW. Bakda asharnya, ada jadwal di ruwaq Azhar. Ini masih tanda tanya si sebenernya, sebab kalo kelas itu sering kali kita molor. Ngga tepat waktu. Jadi, rawan terlewat jadwal ngaji di sore harinya. Pulang, langsung mandi, siap-siap ke Rumah Syariah. Heuhe.

Entah, dengan segala ke-kemrungsung-an ini, aku merasa ada yang hilang dari aku dulu. Hatiku tetap kering. Ternyata benar, berkawan dengan banyak teman tak cukup membuat hatimu tenang. Terlalu sibuk bersosialisasi, sehingga lupa sekadar introspeksi diri. Terlalu sering keluar, hingga tak ada waktu untuk berkelakar di kamar dan belajar. 

Empat hari di awal bulan lalu, aku mengedit buletin Bedug, berturut-turut. Setelah itu, masuk di kelas SMW. Kelas Opini Bedug, rutinan Jumat; Kelas Ilmu Kalam, ditambah ngaji di ruwaq ilmu-ilmu syariat di Masjid al-Azhar. Yaa, ngga selalu di masjid sih, ada beberapa yang mesti di ruang kuliah Fakultas Ushuluddin, fakultas kesayangan.

Pada akhirnya, aku mensyukuri bahwa Allah masih memberikanku umur hingga hari ini, sehingga bisa melihat apa yang selama ini aku lakukan. Termasuk kemarin, saat aku merasa bosan, tak bisa mengatur nutrisi untuk diri sendiri, merasa banyak waktu terbuang di luar bersama kawan, aku merajuk. Pengen rasanya, sekali saja di rumah pada siang hari. Lagi-lagi, waktunya tidak pas. Saat itu waktu evaluasi buletin edisi 23 dan aku tidak menghadirinya. Aku menyesal. Awalnya, aku merasa boleh-boleh saja. Namun setelah dirasa, tak elok juga. 

Merasa boleh, ialah saat dimana keterjagaan komitmen kita diuji. Aku gagal saat ujian komitemn kemarin. Aku mengiyakan kepenatanku butuh waktu sejenak untuk sendiri, menjauh dari keriuhan orang-orang di sana. Semua kesibukan yang pada awalnya mampu kujaga dengan baik, pada akhirnya buyar begitu saja saat aku permisif terhadap diri sendiri. 

Pagi menjelang siang, Kairo, 17 Juli 2018 08.29 AM.

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...