“But, it did happen.”—Magnolia
(1999)
Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa, sesuatu telah terjadi
secara ‘kebetulan’. Seperti beberapa hari lalu, betapa penulis (dan tiga teman lainnya)
merasa masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup setelah beberapa saat
nyawa terasa di ujung tanduk. Setelah mengumpulkan nyali, akhirnya kami
berempat berhasil memotong jalur cepat dengan segala rapalan doa, pengakuan
dosa dan harap-harap cemas agar diberi kesempatan hidup (sekali lagi). Mengulas
tentang kebetulan atau tidak suatu kejadian, mungkin akan lebih bijak jika kita
tidak berharap dan menuntut keinginan, namun melihat pada kenyataan bahwa
inilah apa yang nyata ada.
Sekilas saat menunggu bus kemudian, penulis tersadar betapa ‘gila’
apa yang baru saja terjadi. Pastinya tidak begitu paham, apakah sebuah
kebetulan belaka atau sebuah ketidaksadaran atas apa yang sedang dilakukan. Ada
sebuah riwayat yang mengatakan bahwa seorang pencuri tidak beriman saat ia
mencuri. Artinya, ada sebuah kesadaran yang ‘hilang’ saat kejadian dan hanya
akan kembali disadari saat ia berada di kejadian lainnya, seperti Jimmy Gator
(Philip Baker Hall) sesaat setelah mengaku pada istrinya dan Donnie Smith
(William H. Macy), saat di perjalanan pulang. Atas apa yang telah berlalu memang
benar bahwa, “... berbagai hal aneh/ganjil terjadi setiap waktu,” (Magnolia,
1999).
Merenungi Kematian
Diksi kematian selalu dikaitkan dengan misteri, padahal itu
merupakan hal yang pasti. Barangkali, yang menjadi misteri—jika benar demikian—ialah
bagaimana kematian itu terjadi. Ketika penulis menyeberang jalur cepat Maadi,
tak ada bayangan lain (saat itu) selain rapalan doa dan gambaran kematian yang
sesaat lagi mungkin terjadi. Hal ini mungkin selaras dengan apa yang telah
diajarkan di madrasah bahwa seorang insan akan mati atas ‘apa’ yang
dilakukannya. Dalam pada ini, manusia menemukan perenungan baru tentang
kematian; bagaimana akan mati, di mana, kapan dan bersama siapa, misalnya.
Dalam Magnolia (1999), Paul Thomas Anderson telah menampilkan cara-cara
kematian yang berbeda. Ini dikemas secara apik dalam sebuah drama play-pause
yang dirilis pada 17 Desember 1999 silam.
Berbeda dengan The Sea of The Trees (2015), kematian yang
ditampilkan di awal scene terpisah dari cerita delapan tokoh yang
membintangi Magnolia. Meski dapat dipastikan penonton akan bingung
menentukan sekat cerita, namun sebenarnya ini hal yang mampu menarik
keingintahuan mereka. Kita akan dibawa melalui alur yang terpotong-potong dan
membingungkan, melihat konflik yang penuh dengan emosional di masing-masing
kehidupan tokoh yang—secara tersurat—terpisah. Tak heran, tangan akan terampil
menekan pause-play melihat rangkaian cerita untuk dua tujuan; pertama,
usaha menangkap logika cerita, kedua, untuk mendiskusikan dengan teman
yang seringkali tak berkesimpulan. Akhirnya, sepanjang tiga jam menguap dalam terkaan
dan renungan atas ‘kesibukan’ masing-masing tokoh.
Durasi sepanjang tiga jam satu menit lima puluh detik ini terasa
padat oleh pergantian scene yang dihadirkan dengan begitu cepat. Jika
diamati, akan ada satu hingga dua kejadian dalam waktu satu menit. Untungnya,
beberapa tokoh tergabung dalam suatu hubungan yang mengerucutkan dari delapan
menjadi empat kelompok ‘main’. Hal ini tentu berbeda dengan corak hidup yang monostar,
seperti Piku (2015), Oldboy (2013), Siti (2015), Genius
(2016) dan film-film lain yang telah ditonton bersama di dalam kelas. Dalam kehidupan
yang masing-masing inilah orang-orang mungkin untuk saling terkait; pernah
bertemu di saat tertentu dan mempunyai sisi-sisi kehidupan yang sama, minimal secara
emosional. Amarah, rasa kacau, penyesalan, kasih sayang yang dirasakan oleh para
tokoh dalam kehidupannya ‘menyatukan’ mereka dalam kelopak bunga Magnolia—yang
terpajang di rumah Jimmy Gator. Linda Partridge (Julianne Moore) gusar
menghadapi kematian suaminya, Earl Partridge (Jason Robards), seorang yang
sekarat (a dying man) karena kanker.
Kegusaran terlihat jelas dari cara Linda berbicara dengan apoteker,
dan ini menjadikannya terlihat terlalu ofensif (secara emosi dalam) menyikapi
lawan bicaranya. Apalagi saat ia pulang dan mendapati Phil sedang menelepon
Frank Mackey, anak suaminya yang tak disukainya. Dalam konteks kegusaran yang
sama, saya kira Soo Hyun (Kim Hye Soo) lebih mampu mengendalikan respons
emosional saat menantikan dengan sangat kembalinya detektif Jae-Han (Cho Jin
Woong)—senior yang dicintainya secara diam-diam—yang menghilang selama lima
belas tahun tanpa kabar, Signal (2016). Ia lebih tenang dari Linda Partridge,
meski batinnya terkoyak lebih dalam—menantikan yang tiba-tiba menghilang, tak
kunjung datang, tanpa tahu apakah ia masih hidup atau telah mati, di samping
terus diingatkan oleh kenangan. Terkadang kebersamaan dengan seseorang
menjadikan hidup itu lebih ‘hidup’ daripada kehidupan yang indah, pun bermateri.
Emosi batin antara cinta, penyesalan, amarah, ketakutan bercampur membentuk
sense bahwa fenomena hidup seperti itu benar dialami oleh manusia.
Jikapun tidak, Phil Parma (Philip S.
Hoffmen) sebagai seorang yang ‘melihat’ turut membenarkan bahwa terkadang,
rumitnya hidup seseorang menambah kegusaran psikologis tersendiri, di samping
ketidakberpihakan keberuntungan pada hidup yang kita jalani.
Lain dengan Earl sebagai seorang pesakitan, Jim Kurring (John C.
Reilly) ialah seorang polisi yang mendadak jatuh cinta di tengah operasi
kerjanya. Yang menarik di sini ialah saat Claudia (anak Jimmy Gator) menganggap
bahwa Jim tak pernah menyesal atas perbuatan buruk—ia seorang polisi, sekali
lagi. Hampir mengiyakan, ternyata anggapan(ku) dibantah oleh pernyataan Jim
sendiri, bahwa ternyata, ia juga pernah merasa bodoh dan tak berguna.
Di satu sisi kehidupan yang lain, ada Stanley Spector (Jeremy
Blackman), seorang anak yang cerdas yang mengikuti kuis di California, What
Do Kids Know? pada minggu ke 12.000 yang dipandu oleh Jimmy Gator (Philip
B. Hall). Tak seperti Donnie Smith (William H. Macy) yang muncul sebagai juara
dari kelompok anak-anak, Stanley harus meninggalkan panggung dengan menyisakan
amarah pada sang ayah.
Meski membingungkan, ada beberapa sekat yang menjadi batasan antara
satu cerita dengan lainnya, yang ternyata pernah bersinggungan—untuk tidak
dikatakan saling terkait secara langsung. Bagi seorang kritikus film mungkin
akan sepakat dengan ratusan reviewer lain yang mengarah pada satu kata: awesome,
dengan melihat setiap detail, plot, penokohan dan unsur lainnya. Dalam taraf
minimal yang bisa saya dapatkan selain mati, hidup dengan cara yang unik dan
tak terduga ialah misalnya, peran Tom Cruise yang begitu totalitas, namun cukup
mengganggu, utamanya di sepertiga pertama waktu keseluruhan film. Bagi yang
mengerti ‘gaya’ Tom mungkin akan terbiasa, namun perannya merupakan yang paling
mengena, entah karena porsi scene yang lebih banyak maupun dari perannya
sebagai yang empunya Seduce and Destroy. Kemudian, background
musik yang terlalu keras dan terus menerus. Bahkan saat Frank menungjungi Earl
Partridge—di menit ke lima puluh satu setelah dua jam berlalu—yang diiringi
suara hujan kodok, itu merupakan suatu hal aneh tersendiri bagi penulis;
mengapa harus kodok (?)
Epilog
Ada tiga bagian dalam film yang mungkin secara tersirat membagi
film menjadi tiga segmen; awal, tengah dan akhir. Dalam pada awal dan akhir
yang menghadirkan tiga jenis kematian ini, penulis rasa tidak ada hubungannya
dengan cerita di antara keduanya. Terasa sekali bahwa dalam satu jam pertama
merupakan pemaparan cerita dan pengenalan tokoh. Lantas disusul dengan konflik
yang apiknya, setiap scene masing-masing tokoh dipotong di saat
ketegangan yang sama. Satu yang penulis aminkan ialah bahwa, terdapat banyak
cerita mengenai kebetulan, kesempatan, dan berbagai potongan serta hal-hal aneh
yang diceritakan.
Meski aneh, itulah yang terjadi. Dan umumnya, kita mengatakan
begini: “Jika itu ada di film, aku tak ‘kan mempercayai itu,”—karena
mayoritas yang ada di film ialah fiktif, mungkin. Namun, bukan berarti yang
fiktif kosong dari kesempatan untuk dijadikan sesuatu yang benar-benar nyata
secara nilai. Kita bisa mengkiaskan kejadian di film dengan kehidupan nyata,
sebagai sebentuk usaha mengambil nilai sekiranya itu bisa. Hujan kodok
merupakan satu hal aneh yang nyata dalam film (ini), di samping kejadian aneh
lain (unik, mungkin) yang tersebar di sepanjang adegan—keterkaitan hidup para
tokoh, nalar cerita dan persinggungan sesaat yang mengerucut di sepertiga
terakhir film yang mengafirmasi bahwa bagaimanapun dikatakan tidak (terkait),
sebenarnya terkait. Barangkali, asumsi keterkaitan dan keanehan ini dapat menjadi
satu renungan tersendiri untuk menghargai hidup dan menjalaninya dengan bahagia
dan baik-baik saja. Siapa yang tahu jika—mengkiaskan pada hujan kodok—suatu
hari nanti datang serangan nuklir, rudal maupun bom yang membabi-buta dan
secara tiba-tiba?