Thursday 21 September 2017

Magnolia; Membaca Keanehan dalam Keterkaitan

Review (Katanya)



“But, it did happen.”—Magnolia (1999)



Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa, sesuatu telah terjadi secara ‘kebetulan’. Seperti beberapa hari lalu, betapa penulis (dan tiga teman lainnya) merasa masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup setelah beberapa saat nyawa terasa di ujung tanduk. Setelah mengumpulkan nyali, akhirnya kami berempat berhasil memotong jalur cepat dengan segala rapalan doa, pengakuan dosa dan harap-harap cemas agar diberi kesempatan hidup (sekali lagi). Mengulas tentang kebetulan atau tidak suatu kejadian, mungkin akan lebih bijak jika kita tidak berharap dan menuntut keinginan, namun melihat pada kenyataan bahwa inilah apa yang nyata ada.



Sekilas saat menunggu bus kemudian, penulis tersadar betapa ‘gila’ apa yang baru saja terjadi. Pastinya tidak begitu paham, apakah sebuah kebetulan belaka atau sebuah ketidaksadaran atas apa yang sedang dilakukan. Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa seorang pencuri tidak beriman saat ia mencuri. Artinya, ada sebuah kesadaran yang ‘hilang’ saat kejadian dan hanya akan kembali disadari saat ia berada di kejadian lainnya, seperti Jimmy Gator (Philip Baker Hall) sesaat setelah mengaku pada istrinya dan Donnie Smith (William H. Macy), saat di perjalanan pulang. Atas apa yang telah berlalu memang benar bahwa, “... berbagai hal aneh/ganjil terjadi setiap waktu,” (Magnolia, 1999).



Merenungi Kematian

Diksi kematian selalu dikaitkan dengan misteri, padahal itu merupakan hal yang pasti. Barangkali, yang menjadi misteri—jika benar demikian—ialah bagaimana kematian itu terjadi. Ketika penulis menyeberang jalur cepat Maadi, tak ada bayangan lain (saat itu) selain rapalan doa dan gambaran kematian yang sesaat lagi mungkin terjadi. Hal ini mungkin selaras dengan apa yang telah diajarkan di madrasah bahwa seorang insan akan mati atas ‘apa’ yang dilakukannya. Dalam pada ini, manusia menemukan perenungan baru tentang kematian; bagaimana akan mati, di mana, kapan dan bersama siapa, misalnya. Dalam Magnolia (1999), Paul Thomas Anderson telah menampilkan cara-cara kematian yang berbeda. Ini dikemas secara apik dalam sebuah drama play-pause yang dirilis pada 17 Desember 1999 silam.



Berbeda dengan The Sea of The Trees (2015), kematian yang ditampilkan di awal scene terpisah dari cerita delapan tokoh yang membintangi Magnolia. Meski dapat dipastikan penonton akan bingung menentukan sekat cerita, namun sebenarnya ini hal yang mampu menarik keingintahuan mereka. Kita akan dibawa melalui alur yang terpotong-potong dan membingungkan, melihat konflik yang penuh dengan emosional di masing-masing kehidupan tokoh yang—secara tersurat—terpisah. Tak heran, tangan akan terampil menekan pause-play melihat rangkaian cerita untuk dua tujuan; pertama, usaha menangkap logika cerita, kedua, untuk mendiskusikan dengan teman yang seringkali tak berkesimpulan. Akhirnya, sepanjang tiga jam menguap dalam terkaan dan renungan atas ‘kesibukan’ masing-masing tokoh.



Durasi sepanjang tiga jam satu menit lima puluh detik ini terasa padat oleh pergantian scene yang dihadirkan dengan begitu cepat. Jika diamati, akan ada satu hingga dua kejadian dalam waktu satu menit. Untungnya, beberapa tokoh tergabung dalam suatu hubungan yang mengerucutkan dari delapan menjadi empat kelompok ‘main’. Hal ini tentu berbeda dengan corak hidup yang monostar, seperti Piku (2015), Oldboy (2013), Siti (2015), Genius (2016) dan film-film lain yang telah ditonton bersama di dalam kelas. Dalam kehidupan yang masing-masing inilah orang-orang mungkin untuk saling terkait; pernah bertemu di saat tertentu dan mempunyai sisi-sisi kehidupan yang sama, minimal secara emosional. Amarah, rasa kacau, penyesalan, kasih sayang yang dirasakan oleh para tokoh dalam kehidupannya ‘menyatukan’ mereka dalam kelopak bunga Magnolia—yang terpajang di rumah Jimmy Gator. Linda Partridge (Julianne Moore) gusar menghadapi kematian suaminya, Earl Partridge (Jason Robards), seorang yang sekarat (a dying man) karena kanker.



Kegusaran terlihat jelas dari cara Linda berbicara dengan apoteker, dan ini menjadikannya terlihat terlalu ofensif (secara emosi dalam) menyikapi lawan bicaranya. Apalagi saat ia pulang dan mendapati Phil sedang menelepon Frank Mackey, anak suaminya yang tak disukainya. Dalam konteks kegusaran yang sama, saya kira Soo Hyun (Kim Hye Soo) lebih mampu mengendalikan respons emosional saat menantikan dengan sangat kembalinya detektif Jae-Han (Cho Jin Woong)—senior yang dicintainya secara diam-diam—yang menghilang selama lima belas tahun tanpa kabar, Signal (2016). Ia lebih tenang dari Linda Partridge, meski batinnya terkoyak lebih dalam—menantikan yang tiba-tiba menghilang, tak kunjung datang, tanpa tahu apakah ia masih hidup atau telah mati, di samping terus diingatkan oleh kenangan. Terkadang kebersamaan dengan seseorang menjadikan hidup itu lebih ‘hidup’ daripada kehidupan yang indah, pun bermateri.  



Emosi batin antara cinta, penyesalan, amarah, ketakutan bercampur membentuk sense bahwa fenomena hidup seperti itu benar dialami oleh manusia. Jikapun tidak,  Phil Parma (Philip S. Hoffmen) sebagai seorang yang ‘melihat’ turut membenarkan bahwa terkadang, rumitnya hidup seseorang menambah kegusaran psikologis tersendiri, di samping ketidakberpihakan keberuntungan pada hidup yang kita jalani.



Lain dengan Earl sebagai seorang pesakitan, Jim Kurring (John C. Reilly) ialah seorang polisi yang mendadak jatuh cinta di tengah operasi kerjanya. Yang menarik di sini ialah saat Claudia (anak Jimmy Gator) menganggap bahwa Jim tak pernah menyesal atas perbuatan buruk—ia seorang polisi, sekali lagi. Hampir mengiyakan, ternyata anggapan(ku) dibantah oleh pernyataan Jim sendiri, bahwa ternyata, ia juga pernah merasa bodoh dan tak berguna.



Di satu sisi kehidupan yang lain, ada Stanley Spector (Jeremy Blackman), seorang anak yang cerdas yang mengikuti kuis di California, What Do Kids Know? pada minggu ke 12.000 yang dipandu oleh Jimmy Gator (Philip B. Hall). Tak seperti Donnie Smith (William H. Macy) yang muncul sebagai juara dari kelompok anak-anak, Stanley harus meninggalkan panggung dengan menyisakan amarah pada sang ayah.



Meski membingungkan, ada beberapa sekat yang menjadi batasan antara satu cerita dengan lainnya, yang ternyata pernah bersinggungan—untuk tidak dikatakan saling terkait secara langsung. Bagi seorang kritikus film mungkin akan sepakat dengan ratusan reviewer lain yang mengarah pada satu kata: awesome, dengan melihat setiap detail, plot, penokohan dan unsur lainnya. Dalam taraf minimal yang bisa saya dapatkan selain mati, hidup dengan cara yang unik dan tak terduga ialah misalnya, peran Tom Cruise yang begitu totalitas, namun cukup mengganggu, utamanya di sepertiga pertama waktu keseluruhan film. Bagi yang mengerti ‘gaya’ Tom mungkin akan terbiasa, namun perannya merupakan yang paling mengena, entah karena porsi scene yang lebih banyak maupun dari perannya sebagai yang empunya Seduce and Destroy. Kemudian, background musik yang terlalu keras dan terus menerus. Bahkan saat Frank menungjungi Earl Partridge—di menit ke lima puluh satu setelah dua jam berlalu—yang diiringi suara hujan kodok, itu merupakan suatu hal aneh tersendiri bagi penulis; mengapa harus kodok (?)



Epilog

Ada tiga bagian dalam film yang mungkin secara tersirat membagi film menjadi tiga segmen; awal, tengah dan akhir. Dalam pada awal dan akhir yang menghadirkan tiga jenis kematian ini, penulis rasa tidak ada hubungannya dengan cerita di antara keduanya. Terasa sekali bahwa dalam satu jam pertama merupakan pemaparan cerita dan pengenalan tokoh. Lantas disusul dengan konflik yang apiknya, setiap scene masing-masing tokoh dipotong di saat ketegangan yang sama. Satu yang penulis aminkan ialah bahwa, terdapat banyak cerita mengenai kebetulan, kesempatan, dan berbagai potongan serta hal-hal aneh yang diceritakan.



Meski aneh, itulah yang terjadi. Dan umumnya, kita mengatakan begini: “Jika itu ada di film, aku tak ‘kan mempercayai itu,”—karena mayoritas yang ada di film ialah fiktif, mungkin. Namun, bukan berarti yang fiktif kosong dari kesempatan untuk dijadikan sesuatu yang benar-benar nyata secara nilai. Kita bisa mengkiaskan kejadian di film dengan kehidupan nyata, sebagai sebentuk usaha mengambil nilai sekiranya itu bisa. Hujan kodok merupakan satu hal aneh yang nyata dalam film (ini), di samping kejadian aneh lain (unik, mungkin) yang tersebar di sepanjang adegan—keterkaitan hidup para tokoh, nalar cerita dan persinggungan sesaat yang mengerucut di sepertiga terakhir film yang mengafirmasi bahwa bagaimanapun dikatakan tidak (terkait), sebenarnya terkait. Barangkali, asumsi keterkaitan dan keanehan ini dapat menjadi satu renungan tersendiri untuk menghargai hidup dan menjalaninya dengan bahagia dan baik-baik saja. Siapa yang tahu jika—mengkiaskan pada hujan kodok—suatu hari nanti datang serangan nuklir, rudal maupun bom yang membabi-buta dan secara tiba-tiba?




Fundamentalisme; Tangga Utama untuk (Mengenal) Radikalisme



Radikalisme merupakan isu yang telah lama diketengahkan, bahkan misalnya ketika kita menarik runut sejarah ini pada masa awal Islam. Yakni, sejak terjadinya arbitrase antara kelompok Sayidina Ali dan Muawiyah. Namun, melihat maraknya pembahasan tentang isu ini (tidak hanya di Indonesia, namun juga ranah internasional) mungkin dapat ditarik benang merah yang sama pada satu sisi, meskipun banyak perbedaan di sisi lainnya. Misalnya, ketika Syekh Ali Jumah mempunyai kitab al-Raddu ‘alâ Khawârij al-‘Ashr, yang dapat dipahami secara diksi bahwa, Khawarij masa klasik (katakanlah masa Islam awal) berbeda dengan Khawarij di masa kini.
Dunia Islam selalu diliputi oleh kekuasaan dan politik—kekuasaan yang membentuk seperangkat laku sosial di kalangan masyarakat Islam. Terang saja, hal ini terihat pada perihal arbitrase yang dilakukan pihak Sayidina Ali dan Muawiyah. Dalam Tarikh al-Thabari disebutkan bahwa sebenarnya, Sayidina Ali menolak untuk mengadakan arbitrase tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat beliau sangat memahami bagaimana karakter Muawiyah serta orang-orang yang ada di barisannya. Di sini, pihak Muawiyah meletakan al-Quran di ujung tombak, yang dimaksudkan untuk mengelabui pihak Sayidina Ali. Padahal, ada siasat politik dibalik pemaksaan terhadap Sayidina Ali setelah pada akhirnya mau menerima arbitrase tersebut. Di antara yang disebutkan dalam tarikh tersebut, pertama pemaksaan, kedua, pemilihan utusan yang diambil dari ‘orang’ mereka (pengikut Sayidina Ali), padahal beliau telah menunjuk Ibnu Abbas, namun ditolak.
Semenjak kejadian tersebut, muncullah kelompok Khawarij dan Syiah, sebagai dua kubu yang saling berlawanan. Sikap Khawarij yang lantas mengkafirkan pihak lain dengan dalih agama, lâ hukma illâ lillâh tersebut merupakan ide yang ada pada kelompok radikalis, ekstrimis dan teroris di masa kini. Ini yang kita sebut dengan ‘Khawarij Kekinian’, meminjam diksi Syekh Ali Jumah, al-Khawârij al-‘Ashri.

Untuk menghubungkan nalar pikir yang runut, kita akan mengambil titik tolak di masa awal abad 20, saat di mana imperialisme Barat sedang menguasai dunia Timur. Sebenarnya, yang perlu kita pahami terlebih dahulu di sini ialah makna radikalisme itu sendiri. Dan tentunya, pemaknaan ini tak bisa semerta-merta kita kunci, dipatenkan untuk dipakai dalam mengidentifikasi segala permasalahan yang ada. Padahal, manusia ialah anak dari zamannya. Sehingga perlu melihat bagaimana polemik yang terjadi saat itu, khususnya di dunia Timur yang sedang mengalami kemunduran. Pada akhirnya, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan, kebangkitan dan hal-hal semacam perlawanan terhadap penjajah, apapun bentuknya; baik dalam pendidikan, Islam, sosial, maupun ekonomi dan politik.
Agar tidak terlalu jauh mengambil sampel, mari kita melihat perubahan di banyak aspek kehidupan Islam sejak tentara Mongol meruntuhkan khilafah Abbasiyah pada 1258 M. Sejak keruntuhan tersebut, dunia Islam terlalu lemah unntuk menghadapi serangan yang dilakukan oleh Barat. Tidak hanya satu dua negara, namun hampir seluruh wilayah Timur diluluh-lantakkan begitu saja. Meskipun kemudian hadir Dinasti Turki Utsmani, namun dinasti ini pun tak bisa membendung arus Barat yang sedemikian derasnya. Dalam misi penjajahan Barat, kita mengenal adanya gold, glory dan gospel. Terkait dua hal pertama mungkin cukup jelas, sebagaimana yang dicari oleh Belanda di Indonesia ialah rempah-rempah (kekayaan dan kekuasaan). Namun, yang mempunyai sisi paling dominan terhadap paham radikalisme ialah gospel, kristenisasi dan delik-delik misionaris. Hal ini terlihat dari didirikannya sekolah-sekolah di negara-negara Islam yang didanai oleh pihak Barat,namun sebenarnya wakaf yang dihibahkan kepada masyarakat muslim ialah harta yang dirampas oleh mereka. Di samping adanya penyelundupan paham-paham Barat di sekolah-sekolah Islam, para pengajar muslim Tatar di Rusia juga diberantas, diburu, dipenjara dan dipersekusi oleh Inggris dan sekutunya. Ditekan sedemikian hingga mereka ‘terbunuh’ berkali-kali dalam mengajarkan Islam kepada anak-anaknya.

Tak luput dari ini, Mesir juga turut merasakan hal yang dirasakan bangsa Timur lainnya, meski dengan cara yang berbeda. Dalam perlawanan terhadap penjajah, ada Muhammad Abduh yang lebh fokus pada pembenahan sistem pendidikan di Mesir, al-Azhar khususnya. Meskipun pendapatnya ditolak pihak internal al-Azhar dan ia ‘terpental’ keluar, namun ia tetap bersikeras untuk melakukan pembaharuan pendidikan yang termanifestasikan dalam bentuk Fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo.
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Rasyid Ridha merupakan tiga sosok pembaharu Mesir di masa imperialisme Eropa di Timur Tengah (dunia Islam) pada awal abad dua puluh. Dua tokoh pertama berhasil mendirikan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa di Perancis, karena tidak adanya akses yang sama di negerinya, Timur Tengah. Melalui majalah ini, Rasyid Ridha sangat terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut, yanglantas mendirikan majalah al-Manar atas persetujuan Muhammad Abduh, gurunya. majalah al-Manar pada awalnya ditujukan untuk mengecam kekhalifahan Sultan Muhammad II, khalifah Dinasti Turki Utsmani saat itu. Sebegitu urgennya, ia dibaca oleh masyarakat seluruh dunia, menjawab soal fatwa dari Maroko, India, Afrika, dan negara-negara dunia lainnya terkait persoalan kekinian di masing-masing negara. Tak ayal, Indonesia. Al-‘Urwah al-Wutsqa dan al-Manar juga dibaca oleh cendekiawan Indonesia yang pernah belajar di luar negeri, seperti misalnya KH Ahmad Dahlan. Sehingga, dalam beberapa aspek, kita mendapati adanya keterpengaruhan yang kuat antara dua majalah ini dengan beliau, pendiri Muhammadiyah.
Namun, urgensinya bukan pada keterpengaruhan itu semata. Radikalisme di Indonesia mulai marak setelah masa reformasi, di mana akses kebebasan mengeluarkan pendapat terbuka luas. Yang perlu diketahui, radikalisme tidak melulu berbahaya. Radikalisme, secara hierarki merupakan lanjutan dari fundamentalisme (cenderung menutup diri terhadap yang ‘liyan’, Islam konservatif). Setelah itu, barulah masuk tahapan liberal(isme). Kemudian naik menjadi radikalisme, ekstrimisme, yang berujung dan terhenti pada aksi-aksi terorisme. Di sini, fundamentalisme memang terjadi di masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan ini terlihat dari al-Manar. Sebagimana yang dipaparkan oleh Shalah al-Mulla, mereka melakukan ini karena kondisi saat itu genting, sedang dijajah. Nilai-nilai Islam meluruh, bidah meruyak dan Islam terancam kehilangan ruh dan eksistensinya. Sehingga, untuk menjadi benteng pertahanan yang kuat atas modernisasi yang ditanamkan oleh Barat (sekulerisasi, pemisahan agama dari segala aspek kehidupan), Islam harus berpegang teguh pada al-Quran, Sunah, dan salaf saleh. Inilah pokok nalar fundamentalisme, saat itu. Sekali lagi, saat itu berbeda dengan saat ini, di mana sekarang umat Islam dalam keadaan damai (dalam makna global, meski banyak krisis yang menggerogoti nalar dan laku umat muslim), tidak “perang” sebagaimana dahulu. Maka, nalar fundamentalisme dibenarkan pada saat itu, tidak untuk saat ini. Hemat penulis, fundamentalisme masa kini ialah nalar pikir dan sikap yang dibenarkan hanya oleh mereka yang menutup mata; dari sejarah dan identitas (huwiyyah) Islam yang hakiki.
Radikalisme yang marak di Indonesia merupakan dampak dari kesalahpahaman konsep ‘kembali kepada al-Quran dan Sunah’ yang dipakai tokoh fundamentalis zaman dahulu, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha khususnya. Cenderung menafsiri teks secara letterlack, menutup diri dari sejarah dan fakta-fakta realistis, menganggap yang lain ialah ‘liyan’ berbahaya dan dangkalnya pengetahuan merupakan sederet fakta yang berkelindan dalam term radikalisme. Radikal tidak berbahaya, selagi tidak diekspresikan dalam laku nyata. Ia merupakan tahap pertengahan antara fundamentalisme dan terorisme yang justru lebih berbahaya. Meski demikian, bukan berarti ini harus dibiarkan. Banyaknya acara menangkal radikalisme, deradikalisasi dan dialektika antaragama di Indonesia dan dunia yang dihelat, termasuk oleh al-Azhar merupakan sebentuk upaya agar radikalisme ini tidak meningkat ke tahap terorisme.
Demikian kiranya, agar laku-laku radikal yang ada bisa disikapi dengan lebih bijak. Sekali lagi, radikalisme belum se-bahaya terorisme. Dengan tidak menutup mata dari sejarah, manut pada ulama, banyak membaca, kiranya cukup sebagi langkah awal “mencegah” radikalisme masuk ke ranah terorisme.  

*masuk dalam nominasi Lomba Opini PPMI Mesir 2017. Rabu, 20 September 2017.


Sunday 17 September 2017

Menelisik Akar Fundamentalisme Islam; Analisis Sejarah Rasyid Ridha dan Majalah Al-Manar

Prolog

Fundamentalisme Islam telah merebak di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bagi sebagian kelompok, fundamentalisme dirasa perlu sebagai jalan untuk mengembalikan segala sesuatu (laku-laku sosial, politik dan lainnya) sesuai dengan ‘Islam awal’, Islam yang ‘bersih’ sebagaimana masa salaf saleh, tiga kurun pertama. Sehingga, terjadi semacam monopoli agama dalam usaha-usaha mengembalikan jati diri sebuah identitas (yakni Islam), bahwa ketika Islam telah disematkan dalam identitas seseorang, maka ia harus menjalankan segala aktivitasnya sesuai dengan ‘Islam’ tadi. Tentunya, hal ini disertai klaim yang kuat bahwa itulah satu-satunya cara mengentaskan diri dari kubangan kemunduran yang disebabkan oleh banyak syubhat, bidah dan hal-hal lain yang bersifat ‘baru’ dalam agama. Hal ini bukan tanpa dasar. Upaya tersebut didasari keyakinan kuat bahwa agama melegitimasi pemurnian dan pengembalian ajaran sebagaimana ‘asal’nya—bagi kelompok yang melihat bahwa agama di masa kini telah menyimpang dari yang semestinya. Purifikasi agama terus mereka upayakan, meski dilakukan dengan cara-cara radikal—terang saja, inilah ciri umum  kaum fundamentalis.  

Maraknya isu fundamentalisme Islam ini ternyata tidak luput dari seorang magister Sejarah Modern dan Kontemporer Fakultas Sastra Universitas Ainu Syams, Kairo, Ahmad Shalah el-Mulla. Dalam tesisnya, ia menyuguhkan sebuah kajian mendalam tentang akar fundamentalisme Islam di Mesir yang terfokus pada Rasyid Ridha dan majalah Al-Manar (1898-1935 M.). Kajian ini terfokus pada pemikiran politik dan sosial yang melandasi keberlangsungan majalah tersebut sebagai salah satu dasar pemikiran yang penting dalam fundamentalisme Islam di Mesir, saat itu.  Tentunya, ia melacak akar pemikiran majalah sejak awal berdirinya pada 1898 hingga terhenti dari percetakan pada 1935, tahun di mana yang empunya wafat, Muhammad Rasyid Ridha. 

Dalam mukadimahnya, Mulla (pengkaji) mengutarakan dua sebab pemilihan Al-Manar sebagai kajian tesisnya. Pertama, urgensi sejarah. Majalah tersebut merupakan sarana penting dalam perang pemikiran yang terjadi di dunia Islam kala itu. Al-Manar ada sebagai jawaban politis dan tanggapan atas Barat yang dihadirkan di antara dua kelompok; pertama, pendukung adopsi segala unsur Barat sebagai faktor kemajuan umat dan kedua, oposisinya yang mensinyalir adanya bahaya yang mendasar jika unsur-unsur tersebut diterapkan di dunia Islam. Kedua, meruaknya paham Salafi dan perdebatan atas Barat yang tak kunjung usai, di samping tujuan untuk memberikan pemahaman yang benar atas informasi persoalan-persoalan kontemporer. Dalam tataran metodologi, Mulla menggunakan analisis sejarah pada teks-teks al-Manar sebagai sebuah jembatan penting perpindahan dari reformasi Islam yang anut saja, tanpa gerakan (taufiqi) menjadi gerakan aliran-aliran politik di masa-masa berikutnya, seperti Ikhwanul Muslimin (IM). 

Secara garis besar, pembahasan inti pengkaji dipetakan menjadi dua bab utama yang masing-masing terdiri dari tiga subbab. Bab pertama, tentang pemikiran politik. Subbab pertama, tentang dasar-dasar teori pemikiran politik majalah Al-Manar. Subbab kedua, tentang Al-Manar dan Dinasti Utsmani, dan subbab ketiga tentang Al-Manar dan Permasalahan Politik di Arab. Bab kedua, tentang pemikiran sosial. Subbab pertama pada pembahasan ini ialah tentang Al-Manar dan persoalan Wanita. Subbab kedua, antara Al-Manar dan Persoalan Pendidikan. Subbab berikutnya membahas tentang Al-Manar dan Dasar-dasar Masyarakat Kontemporer. 

Sesuai dengan muatan buku tersebut, penulis akan membahas enam poin yang secara umum merupakan garis besar inti pembahasan. Pertama, dasar-dasar teori tentang pemikiran politik dalam Al-Manar. Kedua, hubungan Al-Manar dengan Dinasti Utsmani yang akan dilanjutkan dengan hubungan Al-Manar dengan problematika politik Arab. Keempat, tentang pandangan Al-Manar terhadap problematika perempuan, dilanjutkan dengan pandangannya terhadap pendidikan dan pengajaran. Dan terakhir, pandangan Al-Manar tentang dasar-dasar masyarakat modern. 


Ancaman Barat dan Kemunculan Reformasi Islam Kontemporer

Ketika melihat isu fundamentalisme dengan Mesir sebagai objek utama, maka secara natural hal ini mendorong pembaca untuk menilik sejarah pendudukan Perancis atas Mesir dan Syam. Atas runtuhnya Muhammad Ali, dunia Islam mengalami kemunduran dengan sangat jelas di berbagai aspek; politik, ekonomi, budaya bahkan peradaban secara umum. Dari sinilah kemudian terbuka berbagai akses secara bebas dan tak terkendali bagi Barat untuk menguasai dunia Islam secara lebih leluasa. Pun, dunia Islam (Timur-Tengah, Arab) terlanjur lemah tak berdaya dalam menghadapi serangan imperialisme Barat di negerinya.[1] Hal ini menyebabkan respon dari luar Dinasti Utsmani itu sendiri dalam bentuk munculnya gerakan Tasawuf Militer, seperti Wahabi, Sanusi dan Mahdiyyah yang berciri khas menolak penerapan segala sesuatu yang datang dari Barat, apapun bentuknya. Sedangkan dari dalam dinasti, terlihat jelas pada politik Jamiah Islamiah yang terkait erat dengan Sultan Abdul Hamid II. 

Di samping imperialisme, unsur terpenting yang sangat berbahaya dengan adanya pendudukan Barat atas Timur ialah aspek peradaban secara umum. Tidak hanya menyerang secara pemikiran dan praktikal, di saat yang bersamaan Barat juga mendoktrin bahwa Timur tidak mampu melawan bahkan dengan upaya sekecil apapun. Di tengah kemunduran sedemikian rupa, Timur dipaksa untuk menerima (istirdla’) Barat dengan cara pengaplikasian “laku-laku” Barat dalam praktik kesehariannya. Dimulai dari kemunduran inilah kemudian ilham reformasi Islam muncul. Karena bagaimanapun sikap yang diambil oleh Timur, baik pengingkaran maupun pura-pura tidak memahami kondisi sendiri merupakan hal yang sia-sia, hasilnya sama: tidak mengubah apa-apa. 

Asas yang mendasari gerakan reformasi ini ialah kembali kepada Islam yang ‘asli’ dan ‘benar’. sebagai tokoh pembaharu, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani membatasi bahwa Islam yang dimaksud tergambar pada tiga hal, yakni Al-Quran, Sunah dan Salaf Saleh. Dengan demikian, mereka membedakan antara Islam kini dengan yang terdahulu. Bahwa, Islam di masa kini mengalami kemunduran disebabkan oleh banyaknya bidah yang menyeruak di kalangan muslim. Dalam hal ini, bidah yang dimaksud oleh keduanya terkait erat dengan tasawuf kontemporer yang mewacanakan zuhud sebagai ajaran khasnya. Namun, ternyata pemahaman zuhud ini menjurus pada abainya masyarakat terhadap tanggung jawab sosial dan meremehkan hal-hal yang berbau duniawi—karena zuhud ialah meninggalkan hal-hal duniawi dan mementingkan kehidupan akhirat semata. Karena dianggap bidah dan tidak berdasar, akhirnya kembali pada yang ‘asli’ merupakan satu-satunya solusi. Kembali kepada ketiga pilar tadi merupakan sebab kebangkitan Islam kembali, karena ketika dahulu Islam berjaya di masa-masa awal merupakan hasil dari praktik agama yang ‘bersih’ dan ‘benar’.[2] Inilah yang kemudian menjadi makna di balik kata reformasi Islam: kembali kepada Islam yang ‘asli’ dan ‘benar’.

Dalam tesisnya, Mulla tidak membahas secara detail kehidupan Rasyid Ridha. Ia hanya menampilkan bagian terpenting yang membentuk pemikiran dan kecenderungannya dalam melakukan pembaharuan Islam hingga akhirnya membawanya hijrah ke Mesir dan mendirikan Al-Manar. Dilahirkan di desa Qalamun, Tripoli, Ridha tumbuh dalam pendidikan yang bercorak fundamen, tradidional, literal sejak awal. Selain sebagai Asy’arian, Ridha kecil sangat terkagum dengan tasawuf, utamanya dengan kitab Ihyâ Ulûmiddîn karya Imam Ghazali. Meski demikian, tak lama setelah itu ia merasakan banyak keraguan dalam praktik-praktik sufi. Ia mendapati banyak bidah di dalamnya, hal-hal yang memungkinkan untuk menyekutukan Allah, selain bahwa zuhud membahayakan akidah dari berbagai sisi. Pada akhirnya, ia meninggalkan laku-laku sufi tersebut. Keluarnya Ridha dari laku-laku tersebut juga ditengarai oleh keterpengaruhannya terhadap Salafi-Hanbali yang direpresentasikan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebagai seorang yang mendalami ilmu Hadits, Ridha sangat nyaman dan terbiasa dengan corak literal dalam mazhab tersebut, sebagaimana yang terlihat secara jelas pada metodologi Ibnu Taimiyyah. Dengan keterpengaruhan atas Ibnu Taimiyyah tersebut, Ridha semakin membenci tasawuf dan memandangnya dengan keras. Demikian, pada akhirnya pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah inilah yang membuat Ridha (semakin) keras dalam pemikirannya, tajam, terlalu ambisius dalam membela pendapat sendiri dan tidak mau menerima pendapat yang beroposisi dengannya.[3]

Dalam masa pencarian jalan hidupnya, Ridha mengenal Al-Afghani dan Muhammd Abduh melalui majalahnya, al-‘Urwah al-Wutsqa. Majalah inilah yang kemudian membangkitkan semangatnya untuk melakukan pembaharuan, memalingkan perhatiannya kepada kemunduran umat Muslim kini dan prinsipnya bahwa Islam akan menyelamatkan mereka. Atas asumsi bahwa kediktatoran Dinasti  Utsmani saat itu tidak akan memberinya kesempatan, ia berpindah ke Mesir, berbekal keyakinan bahwa ia akan bertemu Muhammad Abduh yang ia kenali dari majalahnya. Akhirnya, pada 19 Januari 1898 ia bertemu Muhammad Abduh dan mendirikan Al-Manar, dengan tujuan utama mengecam penguasa Dinasti Utsmani dan kediktatoran pemerintah di masa Sultan Abdul Hamid.[4]

Corak pembaharuan Al-Manar mengupayakan kebenaran bahwa Islam relevan sepanjang zaman sampai kapanpun. Dengan demikian, langkah awal yang dilakukan ialah menyadari makna kemunduran Islam. Sebenarnya, Muhammad Abduh dan Ridha menolak dengan kuat akan kemunduran Islam—inilah perbedaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari para pembaharu kebanyakan. Akan tetapi, tertanam kuat dalam diri keduanya bahwa Islam yang dulu pernah di puncak kejayaan telah mengalami kemunduran terus-menerus. Sehingga dari sini, mereka berusaha berinteraksi dengan sejarah secara positif; menyadari bahwa setiap zaman mempunyai corak kemajuannya tersendiri. Namun, di sini terjadi dualisme; di satu sisi, tiga abad pertama merupakan sebaik-baik umat Islam. Sedangkan di sisi lain, pembaharuan ingin menjadi yang terbaik di masanya, beroposisi dengan cara pandang Muslim kebanyakan yang selalu melihat tiga abad pertama sebagai bentuk Islam yang paling ideal, tak peduli di zaman kapan ia berada. Dengan kesadaran tersebut, mereka mengupayakan pembaharuan yang tidak ahistoris; memilih corak yang sesuai dengan zaman yang sedang berlangsung, termasuk adopsi beberapa unsur kemajuan di Barat. Inilah yang membedakan keduanya dari para pembaharu kebanyakan yang selalu melihat bahwa Islam awal ialah satu-satunya jalan keselamatan tanpa mau menerima perkembangan peradaban zaman; ahistoris.


Pemikiran Politik dalam Al-Manar

Dalam bagian ini, Mulla menengarai adanya pendidikan tokoh dan pergolakan dunia Islam sebagai faktor yang mendorong Ridha dalam pembaharuannya. Sebenarnya, dimulai pada bagian ini, Ridha terlihat mengalami pergolakan hebat yang membuatnya mengalami berbagai macam tahap pemikiran. Dalam menyikapi persoalan, Ridha selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan. Ada berbagai faktor yang mudah membuatnya berubah pikiran hingga mengalihkan laju Al-Manar. 

Sejak awal, ia telah membagi sikap Ridha terhadap penjajahan Barat menjadi dua. Pertama, adanya gencatan senjata hingga propaganda secara terang-terangan dengan pihak penjajah (Inggris) sejak awal berdirinya Al-Manar hingga 1912. Kedua, permusuhan terhadapnya sejak tersingkap pengkhiatan mereka terhadap dunia Arab dan provokasi umat Muslim untuk melawannya. 

Di sini, Ridha membatasi esainya pada tujuan penjajahan atas ekonomi dan perdagangan. Dengan bahasanya yang keras, sebenarnya Ridha sedang mencela bangsanya sendiri atas kerelaan sebagai alat mainan Barat, dengan kepasrahan dan kelemahan mereka dalam menghadapinya. Meski demikian, ia menawarkan solusi atas prahara tersebut. Pembangunan institusi pendidikan, perusahaa-perusahaan keuangan merupakan salah satu yang paling mungkin untuk dilakukan saat itu. 

Dukungan Al-Manar terhadap Inggris (sebagai penjajah) disebabkan oleh pandangan Ridha bahwa Inggris berbeda dengan lainnya. Hal ini dilihat dari adanya keberlangsungan pendidikan di Mesir, kebebasan akidah dan yang terpenting menurutnya ialah mereka tidak melakukan kristenisasi, seperti negara-negara Eropa lainnya (Perancis di Maroko, Belanda di Indonesia dan Rusia di Asia Tengah). Atas dasar inilah kemudian Al-Manar mengajak umat Muslim untuk bersepakat dengan Inggris. Ridha melihat bahwa kesepakatan ini lebih dibutuhkan oleh kaum muslimin, di mana “hamba” dengan segala kelemahannya membutuhkan “tuan” yang lebih kuat dan berkuasa.[5] Kesepakatan ini tidak berlangsung lama, karena setelah PD I, Ridha mendapati bahwa Inggris hanya berbeda zahirnya saja, intinya sama: keras.

Selanjutnya, pandangan Al-Manar terhadap kaum Kristiani. Secara pribadi, Ridha cukup toleran terhadap mereka.[6] Namun secara umum, Al-Manar cukup keras dan fanatik dengan kaum tersebut,  didasarkan pada kecurigaan Ridha atas mereka yang dapat digunakan kapan saja untuk memecah-belah umat Muslim di negara Arab, di samping bahwa keruntuhan gradual Dinasti Utsmani merupakan dampak upaya mereka dalam memerdekakan negara-negara Eropa di bawah kekuasaannya. 

Ridha berpikir bahwa kaum Krsitiani dan Muslim dapat bersatu membela tanah air dalam satu payung nasionalisme. Awalnya, ia menolak konsep tersebut mentah-mentah dengan alasan bahwa agama dan syariat merupakan sumber utama politik praktis, dan nasionalisme (sebagai produk Barat) berseberangan dengan Islam. Lambat laun, Ridha berubah pikiran dan menerima nasionalisme yang disandarkan pada agama dengan nilai-nilai yang dimilikinya; keadilan, kebebasan dan persamaan—apalagi jika terkait dengan bela negara. Perubahan pandangan ini utamanya terlihat setelah wafatnya Musthafa Kamil, Muhammad Farid dan beralihnya kepemimpinan gerakan nasionalisme Mesir kepada Saad Zaghlul, sejawatnya saat belajar kepada Syekh Muhammad Abduh. Di samping itu, Ridha mengkritik bahwa konsep musyawarah (syura) umat Islam masih sangat teoritis dan jauh dari laku-laku praktis. Hal ini ditengarai dari kepemimpinan Dinasti Umayyah yang cenderung diktator dan memaksa untuk mematuhi pemimpin, baik adil maupun zalim. Karenanya, ia merasa perlu untuk mengadopsi demokrasi sebagai pengembangan konsep musyawarah. Umat Islam tidak bisa mencukupkan diri dengan musyawarah, karena salah satu tolok ukur negara maju ialah demokrasi. Oleh karenanya, Ridha mencoba menemukan titik temu antara demokrasi dan prinsip-prinsip Islam. 

Dalam hubungan agama dengan negara, Al-Manar ada di posisi bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Meski tidak ada nas yang mengatur secara jelas bagaimana hubungan keduanya, namun laku-laku sosial, politik dan sejarah mengatakan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Al-Manar membela dengan keras bahwa keduanya tidak bisa dipisah, bahkan menyatakan bahwa jika syariat dijauhkan dari agama, maka syariat itu laksana tiada.  

Bisa dikatakan, perubahan pandangan Ridha terhadap Dinasti Utsmani menemui alasan yang dapat diterima—dari sudut pandangnya. Kondisi politik pasca PD I memaksa Ridha untuk bersikap sebagai seorang yang memperjuangkan agama di tengah keruntuhan umat. Pada 1918, kemunduran dinasti yang disusul dengan penguasan Eropa atas negara-negara di bawah kuasanya semakin menggugah semangat untuk memperjuangkan berdirinya khilafah di bumi sebagai representasi kekuasaan Islam satu-satunya. Ternyata apa yang teradi tidak sesuai dengan harapan ketika Kamal Attarturk mengubah sekuler sebagai jalan yang tepat bagi Turki Utsmani pada 1927. Dari sinilah kemudian ia berpaling dari sikap awal, dengan rasa heran bahwa Kamal sampai hati mengubah sistem yang telah berlangsung selama ini. 

Tak hanya di sini, sistem perpolitikan dunia Arab yang pelik dan selalu menghasilkan pandangan baru seolah mempermainkan Ridha di tengah-tengah berbagai pihak yang bersekutu. Pengkhianatan yang dilakukan Syarif Husain[7] misalnya, seolah membuat posisi Ridha semakin jelas bahwa ia hanya bersama Al-Manar. Pihak-pihak yang dipercayai telah memutuskan jalan masing-masing tanpa sepengetahuannya. Bersamaan dengan posisi ini, datangnya Wahabi di pertengahan abad delapan belas merupakan sebuah angin segar bagi perjuangan Ridha yang selama ini selalu menemui persimpangannya.


Pemikiran Sosial dalam Ide Pembaharuan Al-Manar

Memasuki pemikiran sosial, Mulla membahas tiga persoalan, yaitu tentang wanita, pendidikan dan pengajaran serta dasar-dasar masyarakat modern. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, hawa yang ada di sekitar problematika sosial tidak sepanas politik. Tentu karena bukan tempatnya, Al-Manar lebih berdialog dengan dirinya sendiri dalam mengemukakan ide-ide sosial, di samping bahwa porsi yang diberikan Mulla dalam pembahasan ide-ide sosial jauh lebih sedikit. 

Tentang wanita, Al-Manar selalu mengulang bahwa kedudukan wanita ada di bawah kuasa pria—meski beberapa kali menyatakan adanya kesetaraan. Kebebasan wanita yang dimaksud terdapat pada keluar rumah, belajar dan bekerja. Meski demikian, tiga hal tersebut diperinci lagi seperti belajar cukup di lembaga sekolah pertama, bekerja hanya boleh di ladang, bukan tempat-tempat borjouis seperti di Eropa. Selanjutnya Ridha menyatakan bahwa tidak ada kemerdekaan bagi seorang wanita, tidak ada kesetaraan  karena itu mustahil (fitrah wanita ialah tunduk pada pria, menjaga rumah, mendidik anak, itu saja), apalagi menduduki jabatan.[8]

Demikian pula, Ridha menyatakan bahwa menikah didasarkan atas penunaian kewajiban dan hak masing-masing pihak sesuai syariat Islam, bukan atas dasar cinta. Hal ini diteruskan dengan kebahagiaan rumah tangga tidak terletak pada rasa, namun pada ketaatan istri pada suaminya. Sesuai dengan konsep yang dianut bahwa tidak ada kesetaraan antara pria-wanita (yang ada hanya komplementer), mahar yang diberikan di awal pernikahan ialah sebagai jaminan (akad tunai) bahwa wanita harus selalu menaati pria. Dalam hal poligami, Ridha berbeda pendapat dengan gurunya, Syekh Muhammad Abduh yang melarang praktik tersebut. Meski di akhir hidupnya ia menyatakan bahwa poligami tersebut sebenranya suatu yang sulit diatasi oleh pria.

Dalam bidang pendidikan, Al-Manar  berhadapan dengan Al-Azhar sebagai institusi Islam yang meski dipercaya pada waktu itu, namun ia menganggapnya sebagai institusi yang ‘mandul’. Dari sini kemudian Ridha mendirikan Dar al-Dakwah wa al-Irsyad, sebagai kekecewaan atas Al-Azhar dengan segala sistem dan administrasinya. Al-Manar mencecar sistem tradisional yang berlaku saat itu, di samping menyerang mereka yang menolak pembaharuan yang dilakukan Syekh Abduh.[9]

Dalam pembahasan modernitas madani, Al-Manar cenderung berpegang teguh pada agama sebagai dasar dalam melaksanakan laku-laku praktis. Ia tidak sependapat dengan gagasan yang dibawa Kamal Attarturk, sekuler. Dan sebenarnya, apa-apa yang diputuskan oleh Ridha ialah sesuai keyakinannya bahwa Islam ialah satu-satunya penyelamat atas segala penyimpangan yang tersebar di masa kini. 

Sekilas tentang Buku

Buku Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah; Rasyîd Ridlâ wa Majallat al-Manâr (1898-1935)  karya Ahmad Shalah al-Mulla pertama kali diterbitkan pada Januari 2008 oleh Dar al-Kutub wa al-Watsaiq al-Qaumiyyah. Karena pembahasan yang strategis, ia dicetak kedua kalinya oleh penerbit yang sama pada 2013, hingga akhirnya dicetak untuk ketiga kalinya oleh al-Haiah al-Mashriyyah al-Ammah li al-Kitab pada 2015. 

Sesuai dengan bidangnya, Mulla menyisiri setiap pembahasan dengan analisis sejarah. Pembaca diajak untuk menelusuri kejadian secara mendetail dari sumbernya langsung, Al-Manar. Dengan bahasa yang lugas, mengalir dan runut ia mampu membawa pembaca hanyut dalam problematika yang sedang dihadapi oleh tokoh, Rasyid Ridha. Ia mampu memilih kata-kata yang mampu menarik pembaca untuk melangsungkan bacaan, seperti penyebutan inti bahasan di kalimat pertama paragraf. Atau, tidak jarang ia melemparkan pertanyaan di awal, untuk kemudian dijawab pada paragraf berikutnya. Menurut penulis, hal tersebut mampu mengembalikan fokus pembaca dari deskripsi sejarah yang demikian panjang. Di samping sebagai penekanan sesuatu yang penting—yang mungkin lalai dari pembaca—, atau sebagai tameng (jika ada yang mempertanyakannya), pertanyaan tersebut juga sebagai satu langkah agar pembahasan sejarah tidak terkesan monoton (hanya susunan dekriptif-naratif). Kemudian, penempatan setiap poin inti dari suatu rincian di paragraf baru juga mengurangi lelahnya pembaca mengikuti inti dan scene penting dalam alur sejarah sepanjang itu. Hal ini semakin terasa lengkap ketika di akhir setiap pembahasan terdapat kesimpulan secara global atas apa yang telah dipaparkan. Selain diperkaya dengan perjalanan sejarah, sebab-musabab serta berbagai kejadian yang ada di sekitar tokoh pada masa itu, hal ini memungkinkan para pembaca untuk men-sweeping, membaca dengan lebih cepat tanpa melewatkan inti pembahasan. Sistematika tersebut kiranya disebabkan oleh status buku sebagai tesis. Terlebih, pengkaji ialah dosen Sejarah di Universitas Dimyat, sehingga metodologi kepenulisan bukan merupakan hal yang baru lagi bagi dunia yang digelutinya. 

Sebagai sosok yang unik—dilematis, mungkin—Ridha selalu mempunyai dua sikap yang beroposisi seiring berjalannya waktu. Seperti hubungan Al-Manar dengan Dinasti Utsmani, nasionalisme, ilmu-ilmu modern, tentang wanita, dan Syarif Husain, misalnya. Awalnya mendukung, lambat laun dukungannya berbalik menjadi kecaman, kebencian dan sikap permusuhan yang ditunjukkan melalui artikel-artikel Al-Manar. Pada kasus Syarif Husain misalnya, Mulla menunjukkan hubungan kausalitas yang cukup detail atas perubahan sikap tersebut. Namun, penulis merasa kurang adanya hentakan yang hebat dalam mendeskripsikan tersingkapnya korespondensi Syarief Husain dengan Inggris. Mulla hanya menyebutkan sebabnya ialah pertemuan Ridha dengan anaknya, Faishal bin Husain selama kunjungan ke Suriah, tanpa memberi detail bagaimana pertemuan tersebut berlangsung. Karena sasaran buku tersebut seolah untuk kalangan menegah ke atas (dalam kerja literatur), seyogianya pembaca mempunyai pijakan pengetahuan terlebih dahulu agar mampu mengikuti arah pembahasan dengan lebih sempurna. Seperti misal, penyebutan Tahrîr al-Mar’ah-nya Qasim Amin dan al-Islâm wa Ushûl Al-Hukmi-nya Ali Abdul Raziq akan lebih menarik jika pembaca mengetahui alur persoalan yang terjadi di dalamnya.

Kemudian jenis font. Awalnya, penulis merasa kurang nyaman dengan font buku, meski selanjutnya dapat dipastikan bahwa mata akan mampu beradaptasi. Penggunaan tanda baca yang kurang tepat mengganggu proses pemahaman karena ternyata bukan titik, namun seharusnya tanda pisah—misalnya. Pun, penggunaan hamzah washal dan qatha’ yang kurang tepat sedikit mengganggu proses membaca. 

Terlepas dari berbagai kekurangan kecil, mestinya hal tersebut tidak lantas membuat pembaca enggan. Karena memahami isi kandungan buku jauh lebih penting dari sekadar mempersoalkan tampilan luar. Dengan sajian analisis historis tersebut, pembaca akan mampu menerawang, memuat gambaran jelas terkait politik dan keadaan sosio-historis dunia Islam pada masa itu. Betapa perkataan Muhammad Abduh menemui pembenarannya sejak dahulu, bahwa ketika politik masuk dalam ranah apapun, ia hanya akan merusaknya sama sekali. Pada akhirnya, pembaca tidak sekadar menerka kondisi dan mengagungkan teori, namun benar-benar ‘melihat’ apa yang terjadi melalui apa yang tercatat dalam sumber aslinya, lengkap dengan setiap detail kejadiannya.

Urgensitas buku tersebut terletak pada topik yang diketengahkan. Rasyid Ridha sebagai penulis aktif Al-Manar mempunyai kedudukan yang penting karenanya. Ia disebut sebagai Al-Ghazali pada masanya oleh Shibli Shumail, seorang filsuf Mesir yang mulhid, ateis. Sebagai satu-satunya corong pemikiran Islam di masanya, Al-Manar menjawab pertanyaan dari India, Transvaal (Afrika Selatan), Iran, Turki, Maroko dan berbagai negara lintas benua yang menanyakan seputar hukum pada fenomena-fenomena kontemporer. Sebegitu penting kedudukannya, hingga setelah ke-sekian kali akhirnya Rasyid Ridha menyempatkan untuk memenuhi undangan Muktamar Pendidikan dan Pengajaran di India yang akhirnya dibukukan sebagai al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm (sebelumnya ditebitkan di al-Manar pada 1912). Maka, buku yang membahas akar fundamentalisme Islam di Mesir kontemporer ini sangat cocok untuk masuk dalam daftar bacaan yang mesti dipertimbangkan. 


Epilog

Sebenarnya, Al-Manar mempunyai dua sisi yang menjadi ciri khasnya sebagai satu-satunya wadah dalam menyampaikan pemikiran tokoh Rasyid Ridha. Di satu sisi, ia sangat berpegang teguh pada watak pemiliknya, tradisional. Di sisi lain, sebenarnya ia juga tidak semerta-merta menutup mata dari peradaban Barat, meski di banyak kesempatan ia selalu menyatakan harus melawan arus tersebut dengan penguatan di banyak bidang. 

Banyaknya perubahan pemikiran yang terjadi pada diri Ridha, selain dipengaruhi oleh pendidikan masa kecilnya juga dipengaruhi oleh emosional pribadi, selain bahwa keadaan dunia Islam yang tergoncang terlihat sebagai faktor yang dominan. Pasca terbukanya rahasia Syarif Husain, Ridha beralih membencinya dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang beroposisi dengannya. Setidaknya, hal ini terlihat saat kebahagiannya membuncah ketika melihat kemenangan Abdul Aziz bin Ali Saud atas Syarif Husain. Dari sinilah salah satu pintu Wahabi semakin terbuka, selain faktor politis tentang kemerdekaan negara-negara Arab di bawah Dinasti Utsmani dan doktrin yang dibawanya sejak kecil, kecintaannya terhadap Ibnu Taimiyyah yang mempengaruhi watak keras dan tajam terhadap pendapat yang beroposisi dengannya.

Secara tersirat, sikap fundamentalis Ridha terlihat dari penyikapan saat menghadapi persoalan seperti penolakan belajar bahasa Perancis, nasionalisme, demokrasi, masyarakat madani, persoalan wanita dan secara umum dapat dilihat pada bab-bab yang disajikan oleh Mulla. Namun sebelum melangkah lebih jauh, bagaimanapun juga generasi masa kini tidak merasakan goncangan kemunduran yang dihadapinya. Fundamentalisme sebagai tingkatan awal terorisme menemui akarnya, terlegitimasi dalam diri Ridha. Namun, pembelaan terhadap Abdullah bin Wahab di kemudian hari masih menjadi titik hitam yang belum diketahui sebabnya. Sehingga sangat penting kiranya untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana duduk perkara yang sebenarnya, meski membutuhkan waktu dan referensi yang cukup banyak, kiranya hal tersebut bukan sesuatu yang mustahil dilakukan. 




Akhirnya, penulis hanya membaca buku Mulla sebagaimana ia buku. Bukan pada kapasitas penulis untuk mendedah dengan sempurna, sehingga tidak ada hal yang benar-benar baru, selain apa yang telah dituangkan oleh pengkaji, Mulla. Demikian, wallâhu a’lamu.



Disampaikan dalam bedah buku Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah kerjasama al-Mizan SC dengan Said Aqil Siradj Center (SASC) dan Kemass, di Auditorium Kemass, Ahad 27 Agustus 2017.



[1] Ahmad Shalah al-Mulla, Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah; Rasyîd Ridlâ wa Majallat al-Manâr (1898-1935), al-Haiah al-Mashriyyah al-Ammah li al-Kitab, 2015, hlm. 13.
[2] Ibid., hlm. 17-21.
[3] Ibid., hlm. 33-35.
[4] Ibid., hlm. 35-40.

[5] Ibid., hlm. 71.
[6] Ibid., hlm. 78.
[7] Ibid., hlm. 173.
[8] Ibid., hlm. 248-255.
[9] Ibid., hlm. 294.

Friday 8 September 2017

Romansa Alexandria; Cerita Bedug, Aku dan Mereka

Tak terkira, liburan kemarin akan membekas seperti ini.


Bedug goes to Alexandria on Tuesday until Thursday, 5-7th September 2017.
Senang sekali rasanya, liburan kali ini penuh warna. Sebelumnya, aku belum benar-benar tahu mereka seperti apa. Namun benar bahwa dengan bepergian, kita akan tahu kepribadian seseorang; emosional, watak-karakter, dan lain sebagainya. Apa ya, entah mengapa selama dua tahun di Mesir, rasanya yag bener-bener liburan ya, hanya liburan kali ini. Bareng Bedug ke Alexandria ternyata jadi satu momen terindah selama di Negeri Kinanah. Dan kali ini, aku bener-bener kangen kalian. Woah! Baru semalam kita berpisah setelah empat jam menikmati malam bersama, satu gerbong yang sangat hangat meski harus bersedekap menahan dinginnya AC, mukayyaf darajah tsaniyah. 

Sampai di Kairo sekitar jam satu dini hari, kita bertujuh belas berpisah menjadi dua kelompok, Asyir dan Darrasa, menuju kediaman masing-masing. Sebelumnya, aku tertidur di kereta, entah berapa jam. Ketika bangun, kereta tengah melambat karena stasiun tujuan telah dekat. Kairo, kita telah kembali ke kota tempat kami tinggal, ibukota Mesir. Ini artinya, kami mesti kembali melaksanakan rutinitas sebagaimana biasa; ngaji, kajian, ngejar deadline, belajar bareng, kuliah, rapat, membuat laporan kerja, dan seabrek kegiatan yang --kami merasa-- inilah yang kami anggap perlu. Meski, tetap ada keyakinan kuat dalam diri ini bahwa, yang akan benar-benar manfaat bagi keselamatan diri adalah: ngaji. Ya Tuhan, mata kami masih terlalu hijau dalam indahnya dunia, semoga Engkau mengampuni kami--saya khususnya.

Sebelumnya juga, temen-temen Bedug bener-bener udah idkhaalus suruur, terutama ke aku. Sepanjang dua hari kemarin, rasanya aku tak berhenti tertawa. Dan bahkan sampai kini aku mengingat mereka, aku rasa dua hari kemarin ialah momen di mana aku benar-benar merasa bahagia. Ya Tuhan, ternyata aku benar-benar bahagia, bersama mereka. 

Rasanya, aku sangat menyayangi mereka, semenjak itu. Ah mungkin tidak, aku hanya akan merugi jika tidak menyayangi mereka. Ternyata mereka benar-benar tulus dalam menjalin persahabatan ini. Meski mereka satu tahun di bawah angkatanku, namun ada kedewasaan, jalinan yang kuat antarsesama, saling menyayangi, saling berbagi dan sangat solid. Aku merasa lebih lengkap ketika ada bersama mereka. Tak sadar, aku hafal setiap ekspresi tertawa mereka, dan itu terekam begitu saja. Setiap senyuman, tingkah unik dan khasnya mereka, aku tersenyum sendiri ketika mengingatnya. 

Tentu, di balik segaala keceriaan itu, ada beberapa di antara kami yang harus merelakan sesuatu untuk libur bersama ke Alexandria. Termasuk diriku, aku telah kehilangan satu kesempatan yang lumayan prestise untuk kuikuti. Awalnya memang sangat berat untuk kuinggalkan, apalagi sengaja. Dengan bahan yang sudah dipersiapkan (tinggal eksekusi), aku harus membiarkan bahan itu mentah, tak kusentuh lebih jauh. Diniatkan untuk ngancani mereka, semoga aku dapat kesempatan lain dengan kesiapan yang lebih matang. Karena mungkin saat ini, daku belum benar-benar siap, di samping bahwa ternyata akan sebahagia seperti kemarin. Terima kasih, Allah, terima kasih.

Sepulang dari Alexandria, seabrek kewajiban menunggu untuk ditunaikan. Kali ini ada sesuatu yang tertinggal di sana; sesuatu yang baru, belum pernah ada yang mampu menghadirkan ini sebelumnya. Sebuah kenangan sangat berarti yang mampu menggantikan satu kesempatan itu... Tak apalah, aku telah membuat keputusan dan, ternyata diridai oleh-Nya, insya Allah.

Lisan ini tak pandai merekam setiap detail kenangan. Terlalu banyak, atau mungkin kata-kata terlalu miskin untuk membahasakannya. Intinya, liburan bersama mereka ialah satu momen yang sangat berarti, sepanjang hidup ini. Semoga kalian sehat senantiasa. Semoga keceriaan kalian, aku terus bisa menikmatinya.

Dengan ini, aku sangat bersyukur bisa ada bersama mereka, sekumpulan orang-orang unik nan solid, sekumpulan mahasiswa yang punya optimisme untuk mampu bersaing di kehidupan modern; sebuah tekad untuk modern secara pemikiran, gaya hidup, jati diri yang mengarah pada ranah positif nan progresif. Kekompakan kalian, sungguh aku apresiasi sedalam-dalamnya. Semenjak kini, Alexandria punya ruh tersendiri: bukan sekadar ziarah, Montaza, Mediterania, Qaitbay, namun ada kebersamaan hangat nan indah, seindah senja pukul enam Laut Mediterania. Actually, its unforgettable moment!

Terima kasih, Kawan!
Sampai di pertemuan selanjutnya dengan jiwa dan pemikiran seindah momen kita di Alexandria.

Darrasa, Jumat, 8 September 2017 di pukul 02.55 PM.
Saat terkenang kalian, dalam payahnya kondisi yang belum memungkinkan untuk kembali ke rutinitas. Ini juga bolos belajar rutinan Jumat--memang benar kata kalian: harus sering olahraga biar sehat. Tapi btw, jangan dikomen EYD ya, mood-nya lagi seperti ini. :p

Terima kasih. Salam hangat, sehangat Alexandria, kemarin sore. :) 


Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...