Monday 31 October 2016

Urgensitas Penetapan Hari Santri Nasional oleh Negara

     Sejarah mengalami diskontinuitas, meski dalam bentuknya yang sulit dijelaskan.[1] Penyataan Foucault ini sepertinya bisa disandingkan dengan peringatan Hari Santri Nasional, yang genap diperingati satu tahun pada 22 Oktober besok. Dan menurut penulis, di sinilah—peringatan Hari Santri Nasional—salah satu letak diskontinuitas sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Segala sesuatu tidak akan pernah lepas dari sejarah; entah dalam bentuk kronologinya secara nyata maupun sekadar rangkaian peristiwa yang tersimpan rapi dalam benak masing-masing empunya. Pun saat kita mencoba membicarakan tentang hari santri yang masih anget diketengahkan—terlebih saat menjelang hari H— sejak keluarnya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 lalu, yang menyatakan bahwa tanggal 22 Oktober resmi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional oleh presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo tersebut terilhami oleh Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 silam. Resolusi inilah yang membakar semangat para pahlawan dalam melawan penjajah, hingga berujung pada pertempuran heroik yang terjadi pada 10 November di Surabaya. Seperti yang dikatakan oleh Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin, tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada perlawanan heroik. Tanpa perlawanan heroik, tidak akan ada Hari Pahlawan. Selanjutnya, jika tidak ada Hari Pahlawan, kemungkinan besar tidak akan pernah ada kemerdekaan Indonesia.

Hari Santri dalam Bingkai Nalar Histori
Sejarah Indonesia begitu panjang; di antaranya ada yang berhasil terungkap dengan gamblang seperti proklamasi kemerdekaan, ada pula yang terasa dibungkam, dijauhkan dari perhatian publik, seperti sejumlah jenderal yang dimasukkan ke Lubang Buaya, hingga kini tidak begitu jelas sesiapa saja yang terlibat di dalamnya. Dalam rangkaian panjang kemerdekaan itulah, santri dan kiai ada di tengah-tengah mata rantai sejarah, turut mewarnai wajah kemerdekaan bangsa. Maka, jika dilihat dari satu perspektif, momen peringatan Hari Santri menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghargai daya juang para santri dalam upayanya merebut kemerdekaan. Pasalnya, perjuangan para ulama dan santri saat itu sungguh luar biasa; mengajukan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam melawan penjajah. Hal tersebut bermakna bahwa, mereka siap untuk mati. Semangat yang berkobar ini ditekankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihadnya sebagai wujud bela Tanah Air bagi warga bangsa, terlebih kaum santri yang telah memahami bahwa cinta Tanah Air ialah bagian dari iman. Apalagi, saat itu Tanah Air sedang terjajah, sangat membutuhkan para pahlawan yang siap (mati) mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Maka, dalam keadaan mendesak inilah, ruh jihad itu ditancapkan dengan kuat oleh beliau, hingga akhirnya mengucur deras dalam jiwa setiap elemen bangsa ( terlebih santri) untuk mengusir penjajah. Bahkan menurut hemat penulis, hal tersebut—sebuah perlawanan—, merupakan tabiat setiap insan untuk mendapatkan hak hidup dengan aman dan damai di Tanah Air berbagai belahan dunia.
Sebelum membaca—makna Hari Santri—lebih jauh lagi, perlu digaris-bawahi bahwa santri tidak terbatas pada murid pesantren, sebagaimana perspektif khalayak umum tentang satu kata tersebut. Lebih jauh, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj (Kang Said) menegaskan bahwa santri dalam pengertian (hari santri) ini adalah orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhlak terpuji[2]. Jadi, merupakan  pemikiran yang sempit jika kita mengatakan bahwa penetapan hari tersebut merupakan sebuah peng-eksklusif-an terhadap kaum santri, sebagaimana yang diutarakan oleh Muhammadiyyah, di satu satu sisi. Di sisi lain, penulis merasa perlu ada penetapan tersebut, mengingat bahwa kalangan pesantren selalu dilempar dengan tuduhan yang sama sekali tidak diajarkan di sana—sebut saja radikal, misalnya. Dengan adanya Hari Santri Nasional ini, pemerintah secara tegas membawa citra santri sebagaimana mestinya muncul ke permukaan, yang bahkan bangsa Indonesia—tercatat sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, santri terbanyak—pun terkadang masih rabun dengan peran mereka. Maka, hal tersebut merupakan langkah yang tepat untuk melepaskan diri dari sejarah yang (seolah) membungkam adanya andil yang sangat besar dan berpengaruh dalam sejarah tubuh bangsa mereka sendiri.
Dalam praktik kehidupan bermasyarakat tentu tidak akan pernah terlepas dari perbedaan. Begitu pula dengan penetapan Hari Santri Nasional, di belakang penyematan nama baru dalam kalender bangsa Indonesia tersebut tidak terlepas dari berbagai macam pendapat. Pada mulanya, Muhammadiyyah menolak adanya penetapan tersebut dengan alasan dikhawatirkan akan terjadi semacam sekat, batasan maupun perbedaan antara santri dan non-santri. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, nama ‘santri’ bukanlah untuk mereka yang belajar di pesantren saja, namun lebih kepada siapa yang menggunakan akhlak santri dalam kesehariannya. Toh, kaum santri juga tidak merasa adigung dengan Keppres tersebut. Dalam artian, keyakinan teguh bahwa mereka ialah kaum santri yang wajib membela bangsa—entah diakui ataupun tidak—mampu membawa mereka bersikap seolah legowo atas pengakuan pemerintah dalam ranah perjuangan mereka. Legowo dalam artian, diakui ataupun tidak, santri tetaplah santri. Sejarah bangsa Indonesia sendiri yang bersaksi bagaimana satu kata tersebut bermakna dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan Indonesia. Meski tidak menutup kemungkinan mereka (kaum santri) akan berpikir: jika negara tidak bersifat ahistoris, maka (seharusnya) bukan merupakan hal yang sulit untuk menetapkan Hari Santri Nasional.
Hari Santri milik seluruh bangsa Indonesia. Kehadirannya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah tujuh puluh satu tahun silam. Ia hadir, tumbuh menyatu dengan potongan-potongan sejarah lainnya. Bukan saatnya bagi generasi penerus bangsa untuk memperselisihkan penetapan hari tersebut. Syahdan, Indonesia sudah cukup terampil menghadapi berbagai perbedaan; baik pendapat, suku, ras, agama maupun yang lainnya. Terbukti, Indonesia merupakan negara paling moderat, bahkan jika disandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sekalipun. Bukankah lebih baik untuk membentuk nalar historis yang benar, agar terpantul refleksi nyata peran generasi muda?

Hari Santri; Media Reflektif Kaum Santri
Jika dari satu perspektif penetapan Hari Santri Nasional merupakan penghargaan pemerintah atas kaum santri, maka refleksi dan  introspeksi kaum santri—atau, lebih tepatnya: bangsa Indonesia—merupakan satu bentuk keniscayaan (perspektif lainnya) yang harus ada. Atau minimal, sebagai bentuk ‘tambahan’ rasa syukur atas ditetapkannya hari tersebut. Memang benar, penetapan hari santri tersebut merupakan salah satu janji pemerintah saat kampanye. Namun, tidak lantas kita—kaum santri—merasa cukup dan berbangga laiknya memenangkan sebuah taruhan. Sebaliknya, dengan adanya penetapan tersebut, sesungguhnya tanggung jawab atas sebuah nama itu—santri—justru lebih besar. Mengutip apa yang dikatakan oleh Kang Said saat peresmian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo pada 18 Oktober lalu, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, salah satunya ialah Sumber Daya Manusia[3].
Santri merupakan setengah dari kehidupan bangsa Indonesia. Santri juga salah satu bentuk SDM dari sekian macam manusia yang ada di dunia. Dalam kaitannya dengan Hari Santri, tidak berarti bahwa perjuangan (baca: jihad) telah usai. Sebagaimana diketahui, bahwa jihad ada dua macam; jihad perang dan jihad istishlah (perbaikan). Agaknya, bentuk jihad yang pertama tidak relevan jika dipraktikkan di era modern seperti sekarang. Alih-alih mengumandangkan jihad (dengan perang), tuduhan terorisme justru (akan) semakin mudah dilemparkan. Maka dari itu, jihad perbaikan ialah solusi tepat dalam menyongsong peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober besok.
Perbaikan dalam bingkai jihad selaras dengan Revolusi Mental yang digaungkan oleh presiden Jokowi. Setelah Indonesia merdeka dari penjajah, tenyata mental belum mengalami hal yang sama—merdeka. Mental bangsa masih berkutat pada mental kolonial, mental penjajahan. Hingga lebih dari setengah abad merdeka, konsumerisme, meniru budaya bangsa lain, korupsi, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, aborsi dan berbagai tindak kejahatan lainnya masih lekat di telinga kita. Setiap hari rasanya generasi bangsa terus dijejali dengan berita kriminalitas, game, gadget entah apa isinya yang secara perlahan dan tidak sadar mematikan mental bangsa, mematikan mental mereka dari berpikir dan berinovasi, berpandangan jauh menatap masa depan. Mereka merasa cukup tahu tentang kehebatan para leluhurnya, tanpa berpikir kritis bahwa saat ini, generasi bangsa harus bekerja keras mengembalikan kehebatan dan kejayaan masa lalu—khususnya dalam lingkup keislaman, karena santri ialah generasi penerus Islam. Oleh karena itu, di antara cara terdekat yang mungkin dilakukan ialah menitipkan generasi muda ke pondok pesantren, sedini mungkin. Atau, mengaji di tempat manapun, yang terpenting urgensinya. Atau, bagi mereka yang berkeyakinan (agama) lain, silakan berkontribusi dalam lingkupnya masing-masing. Jamaluddin al-Afghani, seorang pembaharu Mesir pernah berkata, jika kalian bangga menyebut kehebatan leluhur (kalian), maka kalian harus melakukan apa yang dahulu mereka lakukan.[4] Siapkah generasi masa kini memikul tanggung jawab ini?

Esai ini dilombakan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2016 yang diselenggarakan oleh PCINU Mesir, berhasil menduduki urutan pertama dari 24 karya yang masuk, se-Timur Tengah. Alhamdulillah, wamaa taufiiqii illaa billaah. 

Daftar Pustaka



[1] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku The Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New YorK 1976, cet. I. 2012, IRCiSoD Diva Press, Yogyakarta, hlm. 26.
[2] http://www.nu.or.id/gallery/read/379/Kang-Said-Santri-Tak-Hanya-Murid-Pesantren, pada 10 Oktober 2016 pukul 8.45 PM waktu Kairo.
[3] http://www.nu.or.id/post/read/72127/ini-tantangan-bangsa-indonesia-menurut-kiai-said-, Selasa, 18 Oktober 2016 pada 9.06 PM waktu Kairo.
[4] Majalah al-Azhar edisi Syawwal 1437 H.

Ini Dia Makalah Fenomenal (Perdana Soalnya, Hehe)


Al-Quran dan Bahasa Arab; Wacana Pengaruh dan Keterpengaruhan antara al-Quran dan Bahasa Arab

Prolog
Telah jamak diketahui bahwasanya al-Quran ialah mukjizat bagi kenabian Muhammad saw., diturunkan dengan bahasa Arab dan lahir di tengah-tengah bangsa Arab. Zaman Jahiliah[1], begitulah zaman ketika lahirnya Nabi saw. Penyembahan berhala, penguburan para anak perempuan hidup-hidup, minum minuman khamr, dan lain sebagainya, semua hal itu menunjukkan ketergelinciran mereka dari jalan yang benar. Mereka bukanlah bodoh karena tak mampu membaca, mereka bodoh karena tabiatnya yang pemarah dan watak mereka yang keras[2].
Kerasulan Muhammad dengan al-Quran sebagai mukjizatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baqillani[3] membuka jalan yang luas bagi perkembangan bangsa Arab. Pun menjadi jalan perubahan  dahsyat yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Perkembangan ini terjadi di seluruh aspek; baik sosial, kebudayaan, maupun politik dan ekonomi. Lebih khususnya, perkembangan ini terlihat sangat jelas pada bahasa Arab itu sendiri.
Kehadiran al-Quran di tengah-tengah bangsa Arab memberikan pengaruh dan keterpengaruhan (al-ta’tsiir wa al-ta’attsur) dalam dimensi yang luas. Secara ringkasnya, mereka menjadi lebih “berbudaya”. Inilah apa yang disebut oleh Hasan al-Baqûri sebagai arabisasi non Arab, dan berperadabannya bangsa Arab تعرب العجم و تحضر العرب)[4]). Sejarah mengatakan bahwa dahulu, Islam (dan bangsa Arab) pernah mencapai puncak kejayaan yang sangat dahsyat, tak ada yang mampu menandingi sama sekali. Tak lain, hal ini disebabkan oleh meluas dan menguatnya bahasa mereka, bahasa Arab.
Bagi suatu kaum, bahasa ialah sebuah tolok ukur akal dan keilmuan yang berkembang pada saat tertentu[5]. Menurut Hasan al-Baquri, ia bukanlah sesuatu yang jumud, melainkan sesuatu yang mengalami pasang surut, menguat dan melemah. Lebih dari itu, ia merupakan parameter kemajuan atau pun kemunduran suatu bangsa[6].
Al-Quran diturunkan pada masa puncak pengetahuan mereka tentang unsur-unsur syair yang bagus, makna dan tujuan syair, serta bagaimana syarat seseorang bisa disebut penyair. Sehingga, syair merupakan bidang seni bahasa yang mendapat pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran ini secara jelas.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, bahasa pun mengalami perubahan. Kehadiran al-Quran ternyata memberikan pengaruh dan keterpengaruhan yang sangat signifikan, khususnya dalam konteks bahasa Arab pada masyarakat Arab Jahiliy. Lalu, apa dan siapa yang terlibat dalam pengaruh dan keterpengaruhan itu, serta bagaimana pengaruh dan keterpengaruhan itu terjadi?
Kali ini, penulis mencoba mengetengahkan topik seputar pengaruh al-Quran terhadap bahasa Arab, yakni bahasa Arab itu sendiri. Meski pembahasan ini singkat dan sangat terbatas, minimal pada akhirnya, penulis dapat meneroka[7] simpul antara pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab.
Namun, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, penulis tegaskan bahwa membahas tentang bahasa, sebenarnya bukan pada hak penulis untuk memaparkan apa dan bagaimana bahasa itu. Mengapa? karena bahasa ialah sebuah lautan, tidak akan mampu menyelaminya kecuali para nabi. Bahkan, Ibn Qutaibah pun berkomentar, bahwa bangsa Arab sekalipun, mereka tidak mengetahui seluruh perkara yang ada pada bahasa mereka, terlebih kata-kata yang asing dan mutasyabih[8]. Namun, penulis akan mencoba memaparkan secuil tentangnya, dengan apa yang penulis pahami pada saat ini.

Potret Bahasa pada Masyarakat Arab Jahiliah
Sebelum melihat potret bahasa Arab pada masyarakat Jahiliah, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu, apa itu bahasa. Abu al-Fath ibn Jani dalam al-Khashâish-nya menyebutkan, bahwa bahasa ialah lambang suara yang digunakan oleh suatu kaum menyampaikan suatu maksud tertentu. Sedangkan menurut KBBI, bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Berbicara tentang bahasa Arab, tentu berkaitan erat dengan kalam dan perkataan bangsa Arab. Menurut ibn Rasyîq, kalam (perkataan) bangsa Arab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni berupa manzum ataupun mantsur. Apa yang mereka ucapkan ialah hikmah, seperti yang diceritakan oleh Ibn Husain al-Naisaburiy, bahwa sahabat Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Ka’ab ibn al-Ahbar setelah bersyair: “ Wahai Ka’ab, apakah engkau menemukan para penyair disebut dalam kitab Taurat?”. Ia menjawab: “Dalam Taurat, saya menemukan suatu kaum dari keturunan nabi Ismail as. yang berbicara dengan penuh hikmah, pandai membuat amtsal, dan saya tidak mengetahuinya selain (mereka ialah) bangsa Arab.”[9]
Selain bakat dan kemampuan, ternyata lingkungan juga mempengaruhi bahasa mereka, bahasa Arab. Menurut Hasan al-Baquriy, bahasa dan sastra Arab merupakan hasil dari  lingkungan alami[10], di samping lingkungan sosial. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab hidup di padang pasir secara berkelompok, berpindah-pindah mencari sumber air, sulitnya tanaman untuk tumbuh, cuaca alam yang berubah-ubah sedemikian hingga mereka hidup hanya untuk sekedar hidup, serba kekurangan dan sulit. Dengan kata lain, mereka hidup di bawah kasih sayang alam.[11]
Kehidupan masyarakat Arab kala itu jauh dari keilmuan dan filsafat, samarnya peran akal, dan tidak ada pemikiran dan pendalaman tentang hakikat suatu hal. Semua yang mereka pikirkan adalah spontanitas terhadap apa ditangkap oleh indera. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai lebah yang cepat berpindah mencari nektar, tanpa ada pendalaman dan ketekunan terhadap apa yang mereka hadapi.[12]
Semua yang ada di sekeliling mereka ialah alami. Seluruhnya ciptaan Allah swt.; tak ada istana mewah, gedung megah, pepohonan yang rindang, maupun ladang-ladang yang luas. Bahkan, mereka memakan apa saja yang mereka temui, dan memakai pakaian dari bahan kulit hewan yang ada di sekitar mereka.[13]
Kemudian, dapat dikatakan bahwa syair kala itu merupakan syair nyata (al-syi’ru al-wâqi’iy). Artinya, ia merupakan sebuah penggambaran kehidupan yang  terjadi. Hanya saja, lemah dari khayalan dan ide-ide yang menggugah emosi.[14]
Sebenarnya, pengetahuan masyarakat Arab telah ada sejak dahulu, misal: kedokteran dan kelangitan maupun tata ruang. Hal ini terlihat dalam beberapa syair yang mereka gubah dan praktik nyata keseharian, yang tanpa mereka sadari, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui hal-hal tersebut. Hanya saja, pengetahuan yang sesuai dengan kategori agar bisa disebut sebagai ilmu belum mereka peroleh.[15]
Sedangkan dalam lingkungan sosial, maka ia bagaikan sebuah buku yang memuat prinsip dan adat-istiadat masyarakat Arab. Dalam kesehariannya, mereka biasa mengungkapkan segala sesuatu melalui syair dan prosa atau biasa disebut natsr; baik natsr masjû’ maupun natsr mursal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Charles Pellat, bahwa kemampuan mereka dalam menggubah nazam telah muncul jauh sebelum datangnya Islam[16]. Mereka mampu mengungkapkan semuanya secara detail; bagaimana penggambaran bumi, langit, udara, tetumbuhan, burung yang terbang ke langit, hingga penggambaran perang dengan segala alatnya, meratapi mayat, juga tentang keteladanan terhadap sesama.[17]
Lingkungan alam dan sosial yang sedemikian rupa ternyata membawa pengaruh yang jelas pada kejiwaan mereka -khususnya intuisi kebahasaan. Masyarakat yang tinggal di gurun (Badui) sangat mudah melihat alam terbuka; misalnya, sengatan sinar matahari langsung, bulan yang terlihat jelas di malam hari tanpa adanya penghalang gedung, pepohonan dan sebagainya. Dari sinilah muncul karakter mereka yang kuat, indah dan keras yang mendorong jiwa pada kerinduan terhadap Yang Maha Penyayang, Pencipta dan Penjaga alam tersebut, yakni Allah swt.[18]. Barangkali, inilah rahasia mengapa tiga agama[19] tumbuh dalam lingkungan gurun (padang pasir).[20]
Bahasa menunjukkan bangsa. Sebagian kaum orientalis mengatakan bahwa pola pikir bangsa Arab tidaklah komprehensif seperti pola pikirnya bangsa Yunani, misalnya. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak mereka tentang alam semesta dan isinya. Misalnya, bagaimana alam ini terbentuk? Mereka melihat bahwa alam semesta ialah sesuatu yang terkait satu sama lain dan berjalan pada sebuah aturan tertentu. Bagaimana keterpaduan itu ada, bagaimana munculnya, dan dari apa ia diciptakan, inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengawali dasar-dasar filsafat mereka.[21]
Mengenai hal ini, Hasan al-Baquriy mengatakan, bahwa pada hakikatnya, fitrah bangsa Arab sejajar dengan Perancis dan Yunani. Hanya saja, mereka -Perancis dan Yunani- berperadaban lebih maju, mempunyai sistem yang lebih mapan, terlebih lagi mereka telah mengenal ilmu dan pengetahuan -warisan secara turun temurun. Tentunya, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi bangsa Arab saat itu yang hanya tinggal di gurun. Karena lingkungan menggambarkan peradaban, maka sebatas itu pula lah peradaban dan pengetahuan bangsa Arab. Akhirnya, jika tolok ukur peradaban suatu bangsa seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa mereka belum melek budaya. Bahkan, jauh dari kata berbudaya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Ahmad Amin, sebagai berikut.
“Dan sama saja, baik benar ataupun tidak, bangsa Arab sungguh telah tertinggal dalam kebudayaan dari bangsa-bangsa sekitarnya. Mereka terkalahkan oleh kehidupan Badui, dan kebanyakan dari mereka hidup berkelompok nan berpindah-pindah..” (Ahmad Amin: 1996)
Kemudian, bagaimana bisa kita mengetahui gambaran pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu? Ahmad Amin mengatakan bahwasanya syair dapat dijadikan sebagai alat peraga untuk menggambarkan pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu, di samping matsal (pepatah) dan qishash (cerita). Setidaknya, gambaran tentang kehidupan mereka tercakup dalam syair. Selain karena syair ialah kebanggaan bagi mereka, syair merupakan pemegang otoritas bahasa tertinggi saat itu. 
Syair merupakan dîwan bangsa Arab[22]. Artinya, segala sesuatu mengenai kehidupan mereka terdapat dalam syair; baik saat perang maupun damai. Inilah yang menyebabkan kita tidak bisa lepas dan mencukupkan diri terhadap syair jika ingin menelisik kehidupan masyarakat Arab dahulu kala.[23]
Begitu eratnya kaitan antara syair dengan kehidupan masyarakat Arab kala itu, hingga Rasulullah saw. bersabda dalam hadits riwayat Aisyah ra. bahwasanya beliau bersabda: ”Bangsa Arab tidak akan meninggalkan syair, hingga unta meninggalkan punuknya.”[24]. Selain itu, syair mempunyai kedudukan yang agung dalam masyarakat Arab. Bahkan, kedudukan seorang penyairpun hampir sama dengan kedudukan para pemimpin kabilah mereka.[25]
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya syair mempunyai tujuan dan makna-makna tertentu. Makna-makna ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan bangsa Arab, dari Badui menjadi masyarakat Madani. Pada zaman pra Islam, kasidah[26] mempunyai empat maksud yang paling mendasar, baik berupa pujian atas seseorang ataupun suatu kaum, pemuliaan, ejekan maupun ratapan terhadap para mayit. [27]
Begitulah potret bahasa Arab dalam masyarakat Arab Jahiliah sebelum datangnya Islam. Ternyata, otoritas bahasa terdapat dalam syair dan ia mampu memonopoli kehidupan saat itu. Mereka terus hidup dan berinteraksi seperti itu; tak mengenal budaya selain kepiawaian menggubah syair dan natsr, merasa cukup -jika tidak ingin disebut tidak mampu- dengan apa yang mereka punya saat itu. Hingga datanglah Islam dengan al-Quran sebagai hujahnya yang menjadi titik tolak perubahan bangsa Arab.

Turunnya Al-Quran di Tengah Kegemilangan Bahasa Arab
Bangsa Arab ialah sebaik-baiknya umat. Hikmah yang ada pada mereka ialah semulia-mulianya hikmah, begitulah Ibn Rasyîq menyifati mereka dalam kitabnya, al-‘Umdah. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah swt. dalam al-Quran surat Ibrahim ayat 4, yang artinya: “ Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan sesuai dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat menjelaskan kepada mereka.”
Menurut al-Wasathiy, al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Qurasyiy[28]. Alasannya, karena bahasa Quraisy ialah bahasa yang mudah dan jelas. Sedangkan bahasa masyarakat Arab (lainnya) ialah buruk dan asing.[29]
Diturunkan di tengah kegemilangan bahasa Arab, tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi al-Quran. Di saat mereka mencapai puncak kefasihan bahasa dengan syair sebagai karya kebanggaannya, al-Quran sebagai pondasi kenabian Muhammad turun dengan bahasa yang sama. Meski demikian, tidak berarti al-Quran datang begitu saja tanpa ada sisi kemukjizatannya. Justru, ada maksud dan tujuan tersendiri dengan redaksinya yang berbahasa Arab.
Dikatakan gemilang, karena masyarakat Arab kala itu sangat piawai menggubah syair, prosa, maupun kasidah-kasidah lain yang mempunyai wazan dan qafiyah yang rumit sedemikian hingga ia dinilai istimewa. Padahal, bagi orang yang cerdas sekalipun, membuat syair lebih sulit dari memindahkan batu yang sangat besar.[30]
Abu Abdillah al-Jamhiy dalam kitab al-Thabaqat mengatakan, bahwa masa-masa turunnya al-Quran ialah masa puncak kejayaan syair[31]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Muhammad Zaghlul pula, bahwa al-Quran diturunkan saat di mana syair berada pada posisi yang tinggi[32].
Agar suatu ajaran bisa diterima, maka ajaran itu harus menggunakan bahasa mereka. Menyikapi kondisi bangsa Arab sedemikian rupa, Allah mengutus seorang Rasul dengan al-Quran sebagai hujah atasnya. Suatu risalah akan diterima jika ia membawa bukti yang kuat atasnya dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwasanya ia adalah sebenar-benar utusan yang Allah pilih untuk suatu kaum.
Turunnya al-Quran memicu rasa heran dan ketakjuban yang hebat bagi kalangan masyarakat Arab saat itu. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang nazam, syair dan kasidah, al-Quran tidak masuk dalam kategori ketiganya. Al-Quran bukanlah syair, bukan pula perkataan tukang tenung[33], pun nabi, ia bukanlah seorang penyair[34]. Bahkan, Imam Abu Zar’atirrazi berkata:” Tidak ada keturunan Abdul Muthalib melainkan mereka ahli bersyair, kecuali Muhammad saw.”
Telah disinggung sebelumnya, bahwasanya al-Quran ialah hujah bagi Rasulullah saw. atas mereka, bangsa Arab. Hal ini agar lebih jelas bagi mereka bahwa mereka lemah, tak mampu menandingi, dan tak ada alasan apapun untuk mengelak dari hakikat bahwa ia diturunkan dari sisi Allah swt[35]. Pengetahuan mereka sendirilah yang menyadarkan, bahwa mereka tak sanggup menandinginya.[36]
Imam al-Baqillani juga menegaskan, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa ‘Ajam (nonArab), maka mereka akan dapat menyanggahnya dengan mudah. Alasan ini disebutkan dalam I’jâz al-Quran; baik karena redaksi bahasanya bukanlah bahasa keseharian mereka, mungkin juga elakan tidak diketahuinya makna tersebab mereka tidak paham segi i’jaznya, bahkan, mereka dapat berkilah dengan berbagai macam alasan lainnya.[37]
Sebelum beranjak lebih jauh, harus dipahami terlebih dahulu, bahwa: pertama, al-Quran ialah apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., dan dibacakan kepada kaumnya selama 23 tahun.Untuk mengetahuinya, dapat diketahui dengan riwayat mutawatir atau biasa disebut al-naql al-mutawâtir.  Kedua, bahwa al-Quran mendorong mereka untuk bersatu membuat yang serupa dengannya (al-tahaddiy)[38]. Hal ini dapat kita temukan pada banyak ayat, diantaranya: QS. Al-Baqarah: 23-24, dengan tantangan satu surat saja. Atau bilangan yang lebih besar, dalam ayat lain disebutkan sepuluh surat yang serupa dengannya[39].
Sebenarnya, kata al-tahaddiy merupakan kosa kata baru; tidak ada dalam al-Quran, tidak pula dalam hadits-hadits Rasul, bahkan belum ada pula di kalangan para sahabat dan orang-orang setelahnya. Hingga pada akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat, muncullah kosa kata ini, sampai sekarang[40]. Seperti apa yang dikatakan oleh Mahmud Syakir dalam Madâkhilu I’jâzi al-Quran, kalimat ini selalu diiringi dengan kata i’jâz dan mukjizat. [41]
Kata al-tahaddiy memiliki beberapa makna, diantaranya: menyaingi dan melawan untuk menang, bermaksud terhadap sesuatu, bermaksud menemui, dan menjadi jelas[42]. Secara bahasa, kata ini bermakna: maksud seseorang yang berkumpul menjadi satu untuk melakukan sesuatu, dengan tujuan menyaingi dan menyanggah musuhnya, serta memperlihatkan kemampuan atasnya.[43]
Kiranya, membahas tentang al-tahaddiy (selanjutnya disebut dengan persatuan -pen) menjadi menarik di sini, karena kata ini terkait erat dengan sub bahasan kita kali ini. Kata yang selalu diiringi dengan kata i’jaz dan mukjizat ini -yakni: al-tahaddiy- memancing lawan bicara untuk mengerahkan segala kemampuannya, berusaha keras, dengan keyakinan (penantang) bahwa mereka tidak akan mampu atasnya. Sehingga, jelaslah bahwa mereka lemah dan tidak sanggup beradu kehebatan. Secara bersamaan, mereka menyadari bahwasanya hal tersebut merupakan sesuatu di luar kemampuannya, yang pada akhirnya “memaksa” mereka untuk mengakui bahwa Rasulullah saw. ialah utusan Allah swt [44]. Dengan demikian, jelas pula bahwa al-Quran ialah kalam Allah yang mu’jiz, pun sebagai mukjizat kenabian Rasulullah saw. yang  didukung oleh berbagai bukti kuat lainnya.[45]
Lebih jelasnya, berikut jalan yang ditempuh menuju premis akhir bahwa al-Quran ialah mu’jiz. Al-Quran diturunkan saat di mana bahasa mereka menguat (menjadi sesuatu yang diperhitungkan), merebak-luasnya balaghah di kalangan mereka, menjamurnya para penyair serta para khatib yang handal. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran al-Quran sudah tentu menarik perhatian mereka dan memicu semangat untuk menyanggah sedemikian hingga mereka beranggapan bahwa mereka mampu. Dari sinilah mereka ber-tahaddiy, bersatu, hingga perkara ini menjadi jelas dengan sendirinya (didukung oleh pengetahuan mereka tentang bahasa), bahwa mereka tidak akan pernah mampu, hingga mencapai titik akhir bahwa ia adalah kalam Allah yang mu’jiz, tak akan pernah tertandingi..[46]

Pengaruh dan Keterpegaruhan al-Quran terhadap Bahasa Arab
Kehadiran al-Quran di tengah kondisi seperti yang tersebut di atas menghadirkan pengaruh dan keterpengaruhan terhadap bahasa Arab. Tentu, akan terbersit pertanyaan dalam benak kita: apa yang mempengaruhi dan siapa yang terpengaruhi, serta bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pembacaan wacana pengaruh serta keterpengaruhan di sini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kita melihat bahwa al-Quran berperan sebagai subjek. Artinya, ia yang mempengaruhi bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi objek yang terpengaruhi. Namun, di sisi lain, dapat juga dilihat sebaliknya; al-Quran sebagai objek terpengaruh dengan bahasa Arab sebagai subjek yang mempengaruhinya, dan inilah sudut pandang kedua.
Berangkat dari pengertian konsep pengaruh dan keterpengaruhan. Konsep ini berasal dari akar kata yang sama, yakni pengaruh. Dengan kata pertama tetap sebagaimana asalnya, sedang kata kedua mengalami prefiks keter- dan sufiks –an. Pengaruh dan keterpengaruhan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-ta’tsîr wa al-ta’attsur. Hal ini dapat terjadi ketika ada dua hal yang saling bertemu dan/atau bersinggungan, yakni al-Quran dan bahasa Arab, dalam konteks kali ini. 
Pengaruh yang disebabkan oleh al-Quran dapat dilihat pada perluasan lafal dan makna bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena al-Quran menggunakan bahasa yang sebagian besar tidak ada pada zaman Jahiliah. Seperti apa yang disebutkan dalam Fajru al-Islam, bahwa al-Quran memuat bahasa yang digunakan pada zaman Jahiliah dulu. Namun tidak sempurna, karena ada kata yang tidak ada pada zaman Jahiliah, tetapi ada dalam al-Quran. [47]
Apa yang sampai kepada kita mengenai kebudayaan Jahiliah menunjukkan kita bukti yang jelas bahwasanya bangsa Arab ialah bangsa yang paling banyak menggubah syair[48]. Bahkan, Charles Pellat dengan yakin mengatakan bahwa syair ialah tali hubung yang kuat antara zaman dahulu dan sekarang. Syair ialah yang pertama sebelum melangkah ke sastra Arab lainnya. [49]
Sejak dahulu mereka -bangsa Arab- terbiasa meriwayatkan syair dan kabar. Syair juga sebagai bahan pembicaraan di waktu samar[50], maupun pelaksanaan akad di pasar. Maka, ketika al-Quran datang, mereka menghafal, membacanya pagi dan petang, dan bertanya apa yang tidak dipahami dengan perantara syair, karena itu diwannya mereka[51]. Akhirnya, syair menjadi alat untuk memahami al-Quran serta tafsirnya.
Di antara tokoh yang menggunakan syair sebagai alat untuk menafsiri al-Quran ialah Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas[52]. Ibn Abbas pernah berkata: “Jika kalian kesulitan memahami makna al-Quran, maka ambillah syair. Sesungguhnya syair ialah diwannya bangsa Arab..”. Dari sinilah kemudian syair digunakan sebagai alat memahami kalimat-kalimat yang asing dalam al-Quran.[53]
Al-Quran juga menyebabkan pergolakan bahasa Arab yang mulai terjadi pada awal kurun 2 H, ketika terjadinya futûhât Islâmiyyah. Khususnya, setelah mapannya sistem negara-negara Islam saat itu, juga tersebarnya bahasa Arab di wilayah-wilayah tersebut. Pun ia menjadi kitab bangsa Arab yang pertama, undang-undang agama mereka yang baru -Islam-, menjadi bahasa negara-negara yang dibuka, bahasanya kepala negara, bahasa sastra, penulisan serta politik dan hukum. Al-Quran secara tidak langsung mengalihkan perhatian mereka -penduduk negeri-. [54]
Akibat lain dari percampuran bangsa Arab dengan bangsa lain ialah adanya tahrif[55], munculnya bahasa-bahasa asing, sehingga bahasa Arab berubah dari bahasa asalnya (Badui). Pun merebaknya nada bahasa (lahn), bercampurnya lahjah/dialek, dan kerancuan antara satu kata dengan kata lainnya, hingga muncullah bahasa baru di wilayah-wilayah pembukaan yang akhirnya disebut dengan bahasa ‘âmiyah.[56]
Begitulah al-Quran menjadi faktor yang mendorong para ulama untuk mendalami bahasa Arab dengan segala kesulitan dan rintangan dalam mengkaji dan menjernihkannya. Ibn Khaldun menegaskan, setelah sebelumnya disebutkan oleh al-Farabiy, seperti ini: “al-Quran telah menerangkan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, apa-apa yang datang dan berlalu dari mereka. Dan tidak ada cara untuk mengetahui dan memahami maknanya kecuali dengan pendalaman bahasa Arab.” [57]
Kemudian, mengenai sisi keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab. Apakah al-Quran terpengaruh oleh bahasa Arab? Menurut penulis, tidak. Alasannya dapat kita pada hikmah pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran, diantaranya: karena ketika Nabi saw., diutus, bahasa Arab sedang di puncak kegemilangannya dan mendapat perhatian yang besar. Di sisi lain, bangsa Arab saat itu sudah memiliki malakah (kemahiran) dalam mengkritik dan mengunggulkan suatu kalimat, juga dengan mudah merangkai kata sehingga tersusun menjadi kalam yang istimewa maupun sebaliknya. [58]

Epilog
Turunnya al-Quran sebagai undang-undang kaum muslim menjadi titik tolak perubahan bahasa Arab. Makna-makna mengalami perluasan, juga penyempitan. Pun syair sebagai pemegang otoritas bahasa tertinggi, sudah tentu bersinggungan dengan al-Quran. Ada kalanya ia digunakan untuk menafsiri al-Quran, meski kadang “terkungkung” oleh nilai-nilai al-Quran di sisi lain.
Pembukaan wilayah-wilayah Islam kala itu menjadi faktor yang sangat penting terhadap perluasan bahasa Arab. Maka, ketika wilayah-wilayah tersebut meluas, Islam berjaya, bukan? Karena lemah-kuatnya bahasa menunjukkan maju-mundurnya suatu bangsa.
Meski bahasa Arab selalu menjadi bahasa resmi negara-negara Islam kala itu, namun tidak seperti Indonesia. Selain karena penyampaian yang berbeda, Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia sangat menghormati budaya negeri. Jadi, dengan metode penyebaran dan kondisi negeri serta perbedaan masa yang berbeda, menjadikan Indonesia tidak terlalu urgen untuk harus berbahasa Arab.
Hendaknya bagi kaum muslim untuk kembali berpegang teguh dengan al-Quran sebagaimana para ulama kita terdahulu berpegang teguh. Menghidupkannya, menyesuaikan konteks dengan apa yang tertuang dalam ayat, karena al-Quran universal dan selalu relevan, sampai kapan pun.
Jika ditemukan suatu pemahaman yang ganjal dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka yang salah bukanlah al-Quran ataupun haditsnya. Tetapi, pemahaman terhadap keduanya. Hal ini lah yang selalu ditekankan oleh beliau, syekh Dr. Muhammad Mehanna. Wallâhu A’lamu.


Hamidatul Hasanah
Alumni Markaz Lughah 2015/2016
Universitas al-Azhar Kairo



Rabu, 29 Juni 2016.


[1] Zaman sebelum datangnya Islam, sekitar 50 tahun sebelumnya. Lihat pula: Ibn Mandzur, Lisaan al ‘Arab.
[2] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 110
[3] Abu Bakr Muhammad ibn al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Qâsim, dikenal juga dengan Ibn al-Baqillani. Lahir di Bashrah, tak ada satu sejarawan pun yang mencatat tahun kelahirannya, begitu pula dengan tahun wafatnya. Lihat lebih lanjut: al-Baqillani, I’jâz al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, Kairo, cet. VII, 2009, hlm. 17
[4] Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al- Ma’ârif, Kairo, cet. IV, 1987, hlm.
[5] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 83
[6] Hassan al-Baquriy, op. cit,. hlm. 29
[7] Membuka daerah atau tanah baru (untuk sawah, ladang, dan sebagainya), merintis, menjelajahi. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia/teroka.
[8] Dr. M. Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fi Tathawwur al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, Karo, cet. III, 1952, hlm.34
[9] Abi ‘Ali al-Hasan ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fî Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 17
[10] Apa yang ada di sekitar mereka, meliputi gurun, gunung-gunung, sungai, hewan, bebatuan dan tetumbuhan, dll.
[11] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘ammah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 75
[12] Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsar al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dar al- Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987, hlm. 86
[13] Ahmad Hassan al-Baquriy, op. cit., hlm. 83
[14] Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 91
[15] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 79
[16] Charles Pellat, op. cit., hlm. 28
[17] Ibid., hlm. 109
[18] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74
[19] Tiga agama yakni Yahudi ( gurun Sinai), Nasrani (Palestina), dan Islam (gurun Arab).
[20] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74
[21] Ibid., hlm. 68

[22] Dr. husain Zarrûq, Al-Quran al-Karîm wa Iqâmatu Ummati al-‘Ilmi, Dâr al-Salâm, cet. I, Kairo, hlm. 72. Lihat pula: Tabaqât Fahûli al-Syu’arâ’ oleh Muhammad ibn Salâm al-Jamhiy, hlm. 24, dan: Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[23] Ibid., hlm. 72
[24] Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 26
[25] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[26] Bentuk puisi, berasal dari kesusastraan Arab yang biasa dinyanyikan.
[27] Charles Pellat, op. cit., hlm. 31. Lihat juga: Ibn Rasyîq dalam Al-‘Umdah.
[28] Hasan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karîm fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987,  hlm. 40
[29] Ibid., hlm. 40
[30] Ibn Rasyîq,  op. cit., hlm. 100
[31] ذكر أبو عبد الله بن محمد بن سلام الجمحي في كتاب الطبقات, وغيره من المؤلفين: أن الشعر كان في الجاهلية في ربيعة.. الخ.
Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, op. cit., hlm. 75
[32] Dr. Muhammad Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt, hlm.193
[33] QS. Al-Hâqqah:41-42
[34] QS. Yâsîn: 69
[35] Al-Hâqqah:43
[36] Al-Baqillâni, I’jâzu al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, cet. VII, Kairo, hlm. 5
[37] Ibid., hlm. 13
[38] Ibid., hlm. 17
[39] QS. Hûd: 13-14
[40] Abu Fihr Mahmud Muhammad Syâkir, Madâkhilu I’jâzi al-Qurân, Mathba’ah al-Madaniy al-Mu’assasah al-Su’ûdiyyah bi Mishra, cet. I, Kairo, hlm. 20
[41] Ibid., hlm. 23
[42] Ibid., hlm. 21
[43] Ibid.,
[44] Ibid., hlm. 22
[45] Ibid., hlm. 27
[46] Ibid., hlm. 26
[47] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Mashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 76
[48] Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 87
[49] Charles Pellat, op. cit., hlm. 241
[50] Samar: waktu tengah malam sampai sebelum sahur; bangsa Arab terbiasa berkumpul dan ngobrol bersama keluarga di waktu ini.
[51] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[52] Ibid., hlm. 32
[53] Ibid., hlm. 194
[54] Ibid., hlm. 151
[55] Perubahan huruf atau kalimat dalam bahasa Arab
[56] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, op. cit., hlm. 153
[57] Dr. Muhammad Zaghlul, op. cit., hlm. 159
[58] Muhammad Abdul ‘Adhîm al-Zarqâniy, Manâhilu al-‘Irfân fî Ulûmi al-Quran, Dâr al-Ihyâ’ al-Kitab al-‘Arabiyyah, vol. II, Kairo, 1980, hlm. 337

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...