Al-Quran dan Bahasa
Arab; Wacana Pengaruh dan Keterpengaruhan antara al-Quran dan Bahasa Arab
Prolog
Telah jamak diketahui
bahwasanya al-Quran ialah mukjizat bagi kenabian Muhammad saw., diturunkan
dengan bahasa Arab dan lahir di tengah-tengah bangsa Arab. Zaman Jahiliah, begitulah
zaman ketika lahirnya Nabi saw. Penyembahan berhala, penguburan para anak
perempuan hidup-hidup, minum minuman khamr, dan lain sebagainya, semua
hal itu menunjukkan ketergelinciran mereka dari jalan yang benar. Mereka
bukanlah bodoh karena tak mampu membaca, mereka bodoh karena tabiatnya yang
pemarah dan watak mereka yang keras.
Kerasulan Muhammad
dengan al-Quran sebagai mukjizatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Baqillani
membuka jalan yang luas bagi perkembangan bangsa Arab. Pun menjadi jalan
perubahan dahsyat yang tidak mereka
ketahui sebelumnya. Perkembangan ini terjadi di seluruh aspek; baik sosial, kebudayaan,
maupun politik dan ekonomi. Lebih khususnya, perkembangan ini terlihat sangat
jelas pada bahasa Arab itu sendiri.
Kehadiran al-Quran di
tengah-tengah bangsa Arab memberikan pengaruh dan keterpengaruhan (al-ta’tsiir
wa al-ta’attsur) dalam dimensi yang luas. Secara ringkasnya, mereka menjadi
lebih “berbudaya”. Inilah apa yang disebut oleh Hasan al-Baqûri sebagai
arabisasi non Arab, dan berperadabannya bangsa Arab تعرب العجم و تحضر
العرب)). Sejarah mengatakan bahwa dahulu, Islam (dan bangsa
Arab) pernah mencapai puncak kejayaan yang sangat dahsyat, tak ada yang mampu
menandingi sama sekali. Tak lain, hal ini disebabkan oleh meluas dan menguatnya
bahasa mereka, bahasa Arab.
Bagi suatu kaum, bahasa
ialah sebuah tolok ukur akal dan keilmuan yang berkembang pada saat tertentu. Menurut Hasan al-Baquri,
ia bukanlah sesuatu yang jumud, melainkan sesuatu yang mengalami pasang surut,
menguat dan melemah. Lebih dari itu, ia merupakan parameter kemajuan atau pun kemunduran
suatu bangsa.
Al-Quran diturunkan
pada masa puncak pengetahuan mereka tentang unsur-unsur syair yang bagus, makna
dan tujuan syair, serta bagaimana syarat seseorang bisa disebut penyair.
Sehingga, syair merupakan bidang seni bahasa yang mendapat pengaruh dan keterpengaruhan
al-Quran ini secara jelas.
Kemudian, seiring
berjalannya waktu, bahasa pun mengalami perubahan. Kehadiran al-Quran ternyata
memberikan pengaruh dan keterpengaruhan yang sangat signifikan, khususnya dalam
konteks bahasa Arab pada masyarakat Arab Jahiliy. Lalu, apa dan siapa yang
terlibat dalam pengaruh dan keterpengaruhan itu, serta bagaimana pengaruh dan
keterpengaruhan itu terjadi?
Kali ini, penulis
mencoba mengetengahkan topik seputar pengaruh al-Quran terhadap bahasa Arab, yakni
bahasa Arab itu sendiri. Meski pembahasan ini singkat dan sangat terbatas,
minimal pada akhirnya, penulis dapat meneroka simpul antara
pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab.
Namun, sebelum masuk ke
pembahasan yang lebih jauh, penulis tegaskan bahwa membahas tentang bahasa,
sebenarnya bukan pada hak penulis untuk memaparkan apa dan bagaimana bahasa
itu. Mengapa? karena bahasa ialah sebuah lautan, tidak akan mampu menyelaminya
kecuali para nabi. Bahkan, Ibn Qutaibah pun berkomentar, bahwa bangsa Arab
sekalipun, mereka tidak mengetahui seluruh perkara yang ada pada bahasa mereka,
terlebih kata-kata yang asing dan mutasyabih.
Namun, penulis akan mencoba memaparkan secuil tentangnya, dengan apa yang
penulis pahami pada saat ini.
Potret Bahasa pada
Masyarakat Arab Jahiliah
Sebelum melihat potret
bahasa Arab pada masyarakat Jahiliah, alangkah baiknya jika kita mengetahui
terlebih dahulu, apa itu bahasa. Abu al-Fath ibn Jani dalam al-Khashâish-nya
menyebutkan, bahwa bahasa ialah lambang suara yang digunakan oleh suatu kaum menyampaikan
suatu maksud tertentu. Sedangkan menurut KBBI, bahasa ialah sistem lambang
bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Berbicara tentang
bahasa Arab, tentu berkaitan erat dengan kalam dan perkataan bangsa Arab. Menurut
ibn Rasyîq, kalam (perkataan) bangsa Arab dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yakni berupa manzum ataupun mantsur. Apa yang mereka ucapkan
ialah hikmah, seperti yang diceritakan oleh Ibn Husain al-Naisaburiy, bahwa
sahabat Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Ka’ab ibn al-Ahbar setelah
bersyair: “ Wahai Ka’ab, apakah engkau menemukan para penyair disebut dalam kitab
Taurat?”. Ia menjawab: “Dalam Taurat, saya menemukan suatu kaum dari keturunan
nabi Ismail as. yang berbicara dengan penuh hikmah, pandai membuat amtsal,
dan saya tidak mengetahuinya selain (mereka ialah) bangsa Arab.”
Selain bakat dan kemampuan,
ternyata lingkungan juga mempengaruhi bahasa mereka, bahasa Arab. Menurut Hasan
al-Baquriy, bahasa dan sastra Arab merupakan hasil dari lingkungan alami, di samping
lingkungan sosial. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab hidup di padang pasir
secara berkelompok, berpindah-pindah mencari sumber air, sulitnya tanaman untuk
tumbuh, cuaca alam yang berubah-ubah sedemikian hingga mereka hidup hanya untuk
sekedar hidup, serba kekurangan dan sulit. Dengan kata lain, mereka hidup di
bawah kasih sayang alam.
Kehidupan masyarakat
Arab kala itu jauh dari keilmuan dan filsafat, samarnya peran akal, dan tidak
ada pemikiran dan pendalaman tentang hakikat suatu hal. Semua yang mereka
pikirkan adalah spontanitas terhadap apa ditangkap oleh indera. Oleh karena
itu, mereka disebut sebagai lebah yang cepat berpindah mencari nektar, tanpa
ada pendalaman dan ketekunan terhadap apa yang mereka hadapi.
Semua yang ada di
sekeliling mereka ialah alami. Seluruhnya ciptaan Allah swt.; tak ada istana
mewah, gedung megah, pepohonan yang rindang, maupun ladang-ladang yang luas.
Bahkan, mereka memakan apa saja yang mereka temui, dan memakai pakaian dari
bahan kulit hewan yang ada di sekitar mereka.
Kemudian, dapat
dikatakan bahwa syair kala itu merupakan syair nyata (al-syi’ru al-wâqi’iy).
Artinya, ia merupakan sebuah penggambaran kehidupan yang terjadi. Hanya saja, lemah dari khayalan dan
ide-ide yang menggugah emosi.
Sebenarnya, pengetahuan
masyarakat Arab telah ada sejak dahulu, misal: kedokteran dan kelangitan maupun
tata ruang. Hal ini terlihat dalam beberapa syair yang mereka gubah dan praktik
nyata keseharian, yang tanpa mereka sadari, hal ini menunjukkan bahwa mereka
telah mengetahui hal-hal tersebut. Hanya saja, pengetahuan yang sesuai dengan
kategori agar bisa disebut sebagai ilmu belum mereka peroleh.
Sedangkan dalam
lingkungan sosial, maka ia bagaikan sebuah buku yang memuat prinsip dan adat-istiadat masyarakat Arab. Dalam kesehariannya, mereka
biasa mengungkapkan segala sesuatu melalui syair dan prosa atau biasa
disebut natsr; baik natsr masjû’ maupun natsr mursal. Hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Charles Pellat, bahwa kemampuan
mereka dalam menggubah nazam telah muncul jauh sebelum datangnya Islam. Mereka mampu
mengungkapkan semuanya secara detail; bagaimana penggambaran bumi, langit,
udara, tetumbuhan, burung yang terbang ke langit, hingga penggambaran perang
dengan segala alatnya, meratapi mayat, juga tentang keteladanan terhadap sesama.
Lingkungan alam dan
sosial yang sedemikian rupa ternyata membawa pengaruh yang jelas pada kejiwaan
mereka -khususnya intuisi kebahasaan. Masyarakat yang tinggal di gurun (Badui)
sangat mudah melihat alam terbuka; misalnya, sengatan sinar matahari langsung,
bulan yang terlihat jelas di malam hari tanpa adanya penghalang gedung,
pepohonan dan sebagainya. Dari sinilah muncul karakter mereka yang kuat, indah
dan keras yang mendorong jiwa pada kerinduan terhadap Yang Maha Penyayang,
Pencipta dan Penjaga alam tersebut, yakni Allah swt.. Barangkali,
inilah rahasia mengapa tiga agama tumbuh dalam
lingkungan gurun (padang pasir).
Bahasa menunjukkan bangsa.
Sebagian kaum orientalis mengatakan bahwa pola pikir bangsa Arab tidaklah
komprehensif seperti pola pikirnya bangsa Yunani, misalnya. Banyak pertanyaan
yang muncul dalam benak mereka tentang alam semesta dan isinya. Misalnya,
bagaimana alam ini terbentuk? Mereka melihat bahwa alam semesta ialah sesuatu
yang terkait satu sama lain dan berjalan pada sebuah aturan tertentu. Bagaimana
keterpaduan itu ada, bagaimana munculnya, dan dari apa ia diciptakan, inilah
pertanyaan-pertanyaan yang mengawali dasar-dasar filsafat mereka.
Mengenai hal ini, Hasan
al-Baquriy mengatakan, bahwa pada hakikatnya, fitrah bangsa Arab sejajar dengan
Perancis dan Yunani. Hanya saja, mereka -Perancis dan Yunani- berperadaban
lebih maju, mempunyai sistem yang lebih mapan, terlebih lagi mereka telah
mengenal ilmu dan pengetahuan -warisan secara turun temurun. Tentunya, hal ini
berbanding terbalik dengan kondisi bangsa Arab saat itu yang hanya tinggal di
gurun. Karena lingkungan menggambarkan peradaban, maka sebatas itu pula lah peradaban
dan pengetahuan bangsa Arab. Akhirnya, jika tolok ukur peradaban suatu bangsa
seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa mereka belum melek budaya. Bahkan, jauh
dari kata berbudaya.
Hal ini seperti apa
yang diungkapkan oleh Ahmad Amin, sebagai berikut.
“Dan sama saja, baik
benar ataupun tidak, bangsa Arab sungguh telah tertinggal dalam kebudayaan dari
bangsa-bangsa sekitarnya. Mereka terkalahkan oleh kehidupan Badui, dan
kebanyakan dari mereka hidup berkelompok nan berpindah-pindah..” (Ahmad Amin: 1996)
Kemudian, bagaimana
bisa kita mengetahui gambaran pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu? Ahmad
Amin mengatakan bahwasanya syair dapat dijadikan sebagai alat peraga untuk
menggambarkan pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu, di samping matsal
(pepatah) dan qishash (cerita). Setidaknya, gambaran tentang kehidupan
mereka tercakup dalam syair. Selain karena syair ialah kebanggaan bagi mereka,
syair merupakan pemegang otoritas bahasa tertinggi saat itu.
Syair merupakan dîwan
bangsa Arab.
Artinya, segala sesuatu mengenai kehidupan mereka terdapat dalam syair; baik
saat perang maupun damai. Inilah yang menyebabkan kita tidak bisa lepas dan
mencukupkan diri terhadap syair jika ingin menelisik kehidupan masyarakat Arab
dahulu kala.
Begitu eratnya kaitan
antara syair dengan kehidupan masyarakat Arab kala itu, hingga Rasulullah saw.
bersabda dalam hadits riwayat Aisyah ra. bahwasanya beliau bersabda: ”Bangsa
Arab tidak akan meninggalkan syair, hingga unta meninggalkan punuknya.”. Selain itu,
syair mempunyai kedudukan yang agung dalam masyarakat Arab. Bahkan, kedudukan
seorang penyairpun hampir sama dengan kedudukan para pemimpin kabilah mereka.
Seperti yang kita
ketahui, bahwasanya syair mempunyai tujuan dan makna-makna tertentu. Makna-makna
ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan bangsa Arab, dari Badui menjadi
masyarakat Madani. Pada zaman pra Islam, kasidah mempunyai
empat maksud yang paling mendasar, baik berupa pujian atas seseorang ataupun
suatu kaum, pemuliaan, ejekan maupun ratapan terhadap para mayit.
Begitulah potret bahasa
Arab dalam masyarakat Arab Jahiliah sebelum datangnya Islam. Ternyata, otoritas
bahasa terdapat dalam syair dan ia mampu memonopoli kehidupan saat itu. Mereka
terus hidup dan berinteraksi seperti itu; tak mengenal budaya selain kepiawaian
menggubah syair dan natsr, merasa cukup -jika tidak ingin disebut tidak
mampu- dengan apa yang mereka punya saat itu. Hingga datanglah Islam dengan
al-Quran sebagai hujahnya yang menjadi titik tolak perubahan bangsa Arab.
Turunnya Al-Quran di Tengah
Kegemilangan Bahasa Arab
Bangsa Arab ialah
sebaik-baiknya umat. Hikmah yang ada pada mereka ialah semulia-mulianya hikmah,
begitulah Ibn Rasyîq menyifati mereka dalam kitabnya, al-‘Umdah. Hal ini
dibenarkan oleh firman Allah swt. dalam al-Quran surat Ibrahim ayat 4, yang
artinya: “ Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan sesuai dengan
bahasa kaumnya, supaya ia dapat menjelaskan kepada mereka.”
Menurut al-Wasathiy,
al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Qurasyiy.
Alasannya, karena bahasa Quraisy ialah bahasa yang mudah dan jelas. Sedangkan
bahasa masyarakat Arab (lainnya) ialah buruk dan asing.
Diturunkan di tengah
kegemilangan bahasa Arab, tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri
bagi al-Quran. Di saat mereka mencapai puncak kefasihan bahasa dengan syair
sebagai karya kebanggaannya, al-Quran sebagai pondasi kenabian Muhammad turun
dengan bahasa yang sama. Meski demikian, tidak berarti al-Quran datang begitu
saja tanpa ada sisi kemukjizatannya. Justru, ada maksud dan tujuan tersendiri
dengan redaksinya yang berbahasa Arab.
Dikatakan gemilang,
karena masyarakat Arab kala itu sangat piawai menggubah syair, prosa,
maupun kasidah-kasidah lain yang mempunyai wazan dan qafiyah
yang rumit sedemikian hingga ia dinilai istimewa. Padahal, bagi orang yang
cerdas sekalipun, membuat syair lebih sulit dari memindahkan batu yang sangat
besar.
Abu Abdillah al-Jamhiy
dalam kitab al-Thabaqat mengatakan, bahwa masa-masa turunnya al-Quran ialah
masa puncak kejayaan syair. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Dr. Muhammad Zaghlul pula, bahwa al-Quran diturunkan saat
di mana syair berada pada posisi yang tinggi.
Agar suatu ajaran bisa
diterima, maka ajaran itu harus menggunakan bahasa mereka. Menyikapi kondisi
bangsa Arab sedemikian rupa, Allah mengutus seorang Rasul dengan al-Quran
sebagai hujah atasnya. Suatu risalah akan diterima jika ia membawa bukti yang
kuat atasnya dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwasanya ia adalah
sebenar-benar utusan yang Allah pilih untuk suatu kaum.
Turunnya al-Quran
memicu rasa heran dan ketakjuban yang hebat bagi kalangan masyarakat Arab saat
itu. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang nazam, syair dan kasidah,
al-Quran tidak masuk dalam kategori ketiganya. Al-Quran bukanlah syair, bukan
pula perkataan tukang tenung, pun nabi, ia
bukanlah seorang penyair. Bahkan, Imam
Abu Zar’atirrazi berkata:” Tidak ada keturunan Abdul Muthalib melainkan mereka
ahli bersyair, kecuali Muhammad saw.”
Telah disinggung
sebelumnya, bahwasanya al-Quran ialah hujah bagi Rasulullah saw. atas mereka,
bangsa Arab. Hal ini agar lebih jelas bagi mereka bahwa mereka lemah, tak mampu
menandingi, dan tak ada alasan apapun untuk mengelak dari hakikat bahwa ia
diturunkan dari sisi Allah swt. Pengetahuan
mereka sendirilah yang menyadarkan, bahwa mereka tak sanggup menandinginya.
Imam al-Baqillani juga
menegaskan, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa ‘Ajam (nonArab), maka
mereka akan dapat menyanggahnya dengan mudah. Alasan ini disebutkan dalam I’jâz
al-Quran; baik karena redaksi bahasanya bukanlah bahasa keseharian mereka, mungkin
juga elakan tidak diketahuinya makna tersebab mereka tidak paham segi i’jaznya,
bahkan, mereka dapat berkilah dengan berbagai macam alasan lainnya.
Sebelum beranjak lebih
jauh, harus dipahami terlebih dahulu, bahwa: pertama, al-Quran ialah apa
yang dibawa oleh Rasulullah saw., dan dibacakan kepada kaumnya selama 23 tahun.Untuk
mengetahuinya, dapat diketahui dengan riwayat mutawatir atau biasa disebut al-naql
al-mutawâtir. Kedua, bahwa
al-Quran mendorong mereka untuk bersatu membuat yang serupa dengannya (al-tahaddiy). Hal ini dapat
kita temukan pada banyak ayat, diantaranya: QS. Al-Baqarah: 23-24, dengan
tantangan satu surat saja. Atau bilangan yang lebih besar, dalam ayat lain
disebutkan sepuluh surat yang serupa dengannya.
Sebenarnya, kata al-tahaddiy
merupakan kosa kata baru; tidak ada dalam al-Quran, tidak pula dalam
hadits-hadits Rasul, bahkan belum ada pula di kalangan para sahabat dan
orang-orang setelahnya. Hingga pada akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat,
muncullah kosa kata ini, sampai sekarang. Seperti apa
yang dikatakan oleh Mahmud Syakir dalam Madâkhilu I’jâzi al-Quran, kalimat ini
selalu diiringi dengan kata i’jâz dan mukjizat.
Kata al-tahaddiy
memiliki beberapa makna, diantaranya: menyaingi dan melawan untuk menang, bermaksud
terhadap sesuatu, bermaksud menemui, dan menjadi jelas. Secara
bahasa, kata ini bermakna: maksud seseorang yang berkumpul menjadi satu untuk
melakukan sesuatu, dengan tujuan menyaingi dan menyanggah musuhnya, serta
memperlihatkan kemampuan atasnya.
Kiranya, membahas
tentang al-tahaddiy (selanjutnya disebut dengan persatuan -pen) menjadi
menarik di sini, karena kata ini terkait erat dengan sub bahasan kita kali ini.
Kata yang selalu diiringi dengan kata i’jaz dan mukjizat ini -yakni: al-tahaddiy-
memancing lawan bicara untuk mengerahkan segala kemampuannya, berusaha keras, dengan
keyakinan (penantang) bahwa mereka tidak akan mampu atasnya. Sehingga, jelaslah
bahwa mereka lemah dan tidak sanggup beradu kehebatan. Secara bersamaan, mereka
menyadari bahwasanya hal tersebut merupakan sesuatu di luar kemampuannya, yang
pada akhirnya “memaksa” mereka untuk mengakui bahwa Rasulullah saw. ialah
utusan Allah swt . Dengan
demikian, jelas pula bahwa al-Quran ialah kalam Allah yang mu’jiz, pun
sebagai mukjizat kenabian Rasulullah saw. yang
didukung oleh berbagai bukti kuat lainnya.
Lebih jelasnya, berikut
jalan yang ditempuh menuju premis akhir bahwa al-Quran ialah mu’jiz.
Al-Quran diturunkan saat di mana bahasa mereka menguat (menjadi sesuatu yang
diperhitungkan), merebak-luasnya balaghah di kalangan mereka,
menjamurnya para penyair serta para khatib yang handal. Dalam kondisi seperti
ini, kehadiran al-Quran sudah tentu menarik perhatian mereka dan memicu
semangat untuk menyanggah sedemikian hingga mereka beranggapan bahwa mereka
mampu. Dari sinilah mereka ber-tahaddiy, bersatu, hingga perkara ini
menjadi jelas dengan sendirinya (didukung oleh pengetahuan mereka tentang
bahasa), bahwa mereka tidak akan pernah mampu, hingga mencapai titik akhir
bahwa ia adalah kalam Allah yang mu’jiz, tak akan pernah tertandingi.
Pengaruh dan Keterpegaruhan
al-Quran terhadap Bahasa Arab
Kehadiran al-Quran di
tengah kondisi seperti yang tersebut di atas menghadirkan pengaruh dan
keterpengaruhan terhadap bahasa Arab. Tentu, akan terbersit pertanyaan dalam
benak kita: apa yang mempengaruhi dan siapa yang terpengaruhi, serta bagaimana
hal itu bisa terjadi?
Pembacaan wacana
pengaruh serta keterpengaruhan di sini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
kita melihat bahwa al-Quran berperan sebagai subjek. Artinya, ia yang
mempengaruhi bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi objek yang terpengaruhi.
Namun, di sisi lain, dapat juga dilihat sebaliknya; al-Quran sebagai objek
terpengaruh dengan bahasa Arab sebagai subjek yang mempengaruhinya, dan inilah
sudut pandang kedua.
Berangkat dari
pengertian konsep pengaruh dan keterpengaruhan. Konsep ini berasal dari akar
kata yang sama, yakni pengaruh. Dengan kata pertama tetap sebagaimana asalnya,
sedang kata kedua mengalami prefiks keter- dan sufiks –an.
Pengaruh dan keterpengaruhan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-ta’tsîr wa
al-ta’attsur. Hal ini dapat terjadi ketika ada dua hal yang saling bertemu
dan/atau bersinggungan, yakni al-Quran dan bahasa Arab, dalam konteks kali
ini.
Pengaruh yang
disebabkan oleh al-Quran dapat dilihat pada perluasan lafal dan makna bahasa
Arab. Hal ini disebabkan karena al-Quran menggunakan bahasa yang sebagian besar
tidak ada pada zaman Jahiliah. Seperti apa yang disebutkan dalam Fajru
al-Islam, bahwa al-Quran memuat bahasa yang digunakan pada zaman Jahiliah dulu.
Namun tidak sempurna, karena ada kata yang tidak ada pada zaman Jahiliah,
tetapi ada dalam al-Quran.
Apa yang sampai kepada
kita mengenai kebudayaan Jahiliah menunjukkan kita bukti yang jelas bahwasanya
bangsa Arab ialah bangsa yang paling banyak menggubah syair. Bahkan,
Charles Pellat dengan yakin mengatakan bahwa syair ialah tali hubung yang kuat
antara zaman dahulu dan sekarang. Syair ialah yang pertama sebelum melangkah ke
sastra Arab lainnya.
Sejak dahulu mereka
-bangsa Arab- terbiasa meriwayatkan syair dan kabar. Syair juga sebagai bahan
pembicaraan di waktu samar, maupun
pelaksanaan akad di pasar. Maka, ketika al-Quran datang, mereka menghafal, membacanya
pagi dan petang, dan bertanya apa yang tidak dipahami dengan perantara syair,
karena itu diwannya mereka. Akhirnya,
syair menjadi alat untuk memahami al-Quran serta tafsirnya.
Di antara tokoh yang
menggunakan syair sebagai alat untuk menafsiri al-Quran ialah Ali ibn Abi
Thalib dan Ibn Abbas. Ibn Abbas
pernah berkata: “Jika kalian kesulitan memahami makna al-Quran, maka ambillah
syair. Sesungguhnya syair ialah diwannya bangsa Arab..”. Dari sinilah
kemudian syair digunakan sebagai alat memahami kalimat-kalimat yang asing dalam
al-Quran.
Al-Quran juga
menyebabkan pergolakan bahasa Arab yang mulai terjadi pada awal kurun 2 H,
ketika terjadinya futûhât Islâmiyyah. Khususnya, setelah mapannya sistem
negara-negara Islam saat itu, juga tersebarnya bahasa Arab di wilayah-wilayah
tersebut. Pun ia menjadi kitab bangsa Arab yang pertama, undang-undang agama
mereka yang baru -Islam-, menjadi bahasa negara-negara yang dibuka, bahasanya
kepala negara, bahasa sastra, penulisan serta politik dan hukum. Al-Quran
secara tidak langsung mengalihkan perhatian mereka -penduduk negeri-.
Akibat lain dari
percampuran bangsa Arab dengan bangsa lain ialah adanya tahrif,
munculnya bahasa-bahasa asing, sehingga bahasa Arab berubah dari bahasa asalnya
(Badui). Pun merebaknya nada bahasa (lahn), bercampurnya lahjah/dialek,
dan kerancuan antara satu kata dengan kata lainnya, hingga muncullah bahasa
baru di wilayah-wilayah pembukaan yang akhirnya disebut dengan bahasa ‘âmiyah.
Begitulah al-Quran
menjadi faktor yang mendorong para ulama untuk mendalami bahasa Arab dengan
segala kesulitan dan rintangan dalam mengkaji dan menjernihkannya. Ibn Khaldun
menegaskan, setelah sebelumnya disebutkan oleh al-Farabiy, seperti ini:
“al-Quran telah menerangkan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, apa-apa yang datang dan berlalu dari mereka. Dan tidak ada
cara untuk mengetahui dan memahami maknanya kecuali dengan pendalaman bahasa
Arab.”
Kemudian, mengenai sisi
keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab. Apakah al-Quran terpengaruh oleh
bahasa Arab? Menurut penulis, tidak. Alasannya dapat kita pada hikmah pemilihan
bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran, diantaranya: karena ketika Nabi saw.,
diutus, bahasa Arab sedang di puncak kegemilangannya dan mendapat perhatian
yang besar. Di sisi lain, bangsa Arab saat itu sudah memiliki malakah
(kemahiran) dalam mengkritik dan mengunggulkan suatu kalimat, juga dengan mudah
merangkai kata sehingga tersusun menjadi kalam yang istimewa maupun sebaliknya.
Epilog
Turunnya al-Quran
sebagai undang-undang kaum muslim menjadi titik tolak perubahan bahasa Arab.
Makna-makna mengalami perluasan, juga penyempitan. Pun syair sebagai pemegang
otoritas bahasa tertinggi, sudah tentu bersinggungan dengan al-Quran. Ada
kalanya ia digunakan untuk menafsiri al-Quran, meski kadang “terkungkung” oleh
nilai-nilai al-Quran di sisi lain.
Pembukaan
wilayah-wilayah Islam kala itu menjadi faktor yang sangat penting terhadap
perluasan bahasa Arab. Maka, ketika wilayah-wilayah tersebut meluas, Islam
berjaya, bukan? Karena lemah-kuatnya bahasa menunjukkan maju-mundurnya suatu
bangsa.
Meski bahasa Arab
selalu menjadi bahasa resmi negara-negara Islam kala itu, namun tidak seperti
Indonesia. Selain karena penyampaian yang berbeda, Wali Songo yang menyebarkan
Islam di Indonesia sangat menghormati budaya negeri. Jadi, dengan metode
penyebaran dan kondisi negeri serta perbedaan masa yang berbeda, menjadikan
Indonesia tidak terlalu urgen untuk harus berbahasa Arab.
Hendaknya bagi kaum
muslim untuk kembali berpegang teguh dengan al-Quran sebagaimana para ulama
kita terdahulu berpegang teguh. Menghidupkannya, menyesuaikan konteks dengan
apa yang tertuang dalam ayat, karena al-Quran universal dan selalu relevan,
sampai kapan pun.
Jika ditemukan suatu
pemahaman yang ganjal dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka yang salah
bukanlah al-Quran ataupun haditsnya. Tetapi, pemahaman terhadap keduanya. Hal
ini lah yang selalu ditekankan oleh beliau, syekh Dr. Muhammad Mehanna. Wallâhu
A’lamu.
Hamidatul Hasanah
Alumni Markaz Lughah 2015/2016
Universitas al-Azhar Kairo
Rabu, 29 Juni 2016.