Tuesday 20 December 2016

Islam dan Nasionalisme; Redefinisi sebagai Nalar Pikir Aktualisasi di Era Globalisasi

Oleh: Hamidatul Hasanah
Flat 29 Gang Bathneya, el-Darb el-Ahmar, Hussein, Darrasa, Kairo, Mesir

Pendahuluan
Perkembangan waktu selalu menghadirkan sebuah capaian baru, termasuk pada pemahaman nasionalisme, dari era sebelum kemerdekaan hingga era kini. Dari sini terlihat bahwa pemaknaan suatu kata berbeda-beda tergantung pada konteks kapan dan di mana ia dibicarakan. Saat masa penjajahan, nasionalisme dipraktikkan dengan mengangkat senjata, perlawanan fisik melawan penjajah. Jika tidak karena nasionalisme, bangsa Indonesia tidak akan pernah ada. Setelah merdeka, Indonesia (harus) memaknai nasionalisme bukan sekadar perolehan kemerdekaan ataupun mempertahankan. Lebih dari itu, nasionalisme harus dikonseptualisasikan dalam laku-laku aktualisasi diri sebagai bangsa berdaulat yang mampu bersaing global di dunia internasional.
Di sisi lain, ketika nasioanlisme menjadi latah, tindakan-tindakan konkrit yang dimunculkan biasanya keluar dari jalur yang semestinya. Di sinilah kemudian, nasionalisme rawan diartikan dengan jihad yang digaungkan oleh orang-orang berpemahaman dangkal, namun hakikatnya ialah sebuah perlawanan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larry Diamond dan Marc F Platner. Padahal, dalam makna yang sejati, kata jihad merupakan kompatriot dari nasionalisme. Nasionalisme mencakup jihad, penghormatan terhadap para pahlawan, taat hukum, dan berbagai aksi lainnya dalam wujud nyata aksi positif yang relevan dan progresif. Namun, karena pengaruh masa dan lingkungan yang berbeda, pemahaman yang dicapai juga berbeda. Dari sinilah laku-laku yang mewakili makna tersebut harus memosisikan diri dalam bingkai aplikasi yang sesuai agar dua kata tersebut—nasionalisme dan jihad—tetap relevan sepanjang masa. Meski dengan cara konseptualisasi yang berbeda, namun tetap dalam koridor makna (Islami) yang sama.
Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya mampu menjadi teladan dalam nasionalisme. Hal ini dikarenakan adanya hubungan yang sangat erat antara Islam dan Nasionalisme. Seluruh lingkup kehidupan manusia diatur secara global di dalam al-Quran, tidak terkecuali satu konsep yang menyangkut kemaslahan umat ini, nasionalisme. Apalagi, sikap ini sangat terlihat jelas ketika Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, beliau berkata kepada Makkah, Tanah Airnya dengan penuh rasa berat: “Wahai Makkah, demi Allah, engkau adalah tanah yang paling aku cintai. Andai saja pendudukmu tidak mengeluarkanku darimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
Diskontinuitas makna telah menjangkit dimensi kritis bangsa. Hal tersebut memicu pergeseran pemahaman dan makna nasionalisme, lalu mengerucut pada “aksi-aksi asing” yang sama sekali menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karenanya, redefinisi perlu dilakukan dalam rangka reaktualisasi makna nasionalisme dalam bingkai Islami, membenahi nalar pikir terlebih dahulu sebelum terjun beraksi. Karena apa-apa yang terejawantahkan dalam tindakan merupakan produk dari pemikiran.
Nasionalisme, Bangsa dan Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme dimaknai sebagai: pertama, paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri, suatu sifat kenasionalan, kedua, kesadaran keanggotaan suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu: semangat kebangsaan.[1] Nasionalisme juga dipahami sebagai cinta tanah air dan kesediaan berkorban untuknya (love of country and willingness to sacrifice for it), sebuah doktrin bahwa bangsanya lebih ungggul jika dibandingkan dengan bangsa lain (the doctrin that your national culture and interest are superior to anyother), serta sebuah doktrin bahwa suatu bangsa harus mandiri—tidak hanya sekadar aksi kolektif—dalam mencapai tujuannya (the doctrin that nations should act independently—rather than collectively—to attain their goals).[2]
Elie Kedourie (Pembaharu Nasionalisme Eropa) mendeskripsikan nasionalisme sebagai berikut.
“Sebuah doktrin yang ditemukan di Eropa pada permulaan abad ke-19. Doktrin tersebut menyatakan bahwa secara natural, umat manusia dibagi menjadi beberapa bangsa. Dimana bangsa tersebut menuntut beberapa kriteria, seperti penetapan populasi penduduk, praktik hukum yang dilegitimasi oleh negara, (dan dengannya) terwujudlah organisasi masyarakat yang baik.”[3]
Lebih lanjut, J.B.L. Mayall dan Jackson mengatakan bahwa, mungkin, tidak semua orang, bahkan tidak semua kaum nasionalis dapat menerima definisi ini begitu saja. Apalagi, ketika dikatakan bahwasanya nasionalisme ialah sesuatu yang alami (natural). Namun, meskipun beberapa tokoh nasionalis menerima bahwa nasionalisme ialah sebuah rancang bangun sosio-histori, sejumlah lainnya pasti akan memperdebatkan definisi yang diberikan Kedourie.
Memahami nasionalisme bukanlah sesuatu yang mudah. Ia mempunyai wajah yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Dan yang paling penting, ia berbeda, tergantung pada apa yang didefinisikan oleh suatu komunitas atas terma tersebut, pun tergantung pada apa yang mereka maknai sebagai “nasional.”[4] Makna bangsa dan negara pun seringkali menjadi rancu, sering digunakan tidak pada tempatnya, meskipun keduanya merupakan produk dari kedaulatan wilayah yang diakui sebagai faktor terkuat dalam kesatuan politik Hubungan Internasional.[5] 
Tentunya, sebagai kompatriot bangsa, nasionalisme merupakan aspek pendorong sekaligus penopang paling kuat dalam stabilitas suatu bangsa. Meski sebelum itu, nasionalisme mengharuskan suatu detail konsep tentang negara, bangsa, etnisitas, identitas nasional untuk dapat memahaminya. Dalam hal ini, Ir. Soekarano menegaskan bahwa bangsa ialah kelompok manusia yang mempunyai hasrat untuk bersatu teguh, mempunyai kesatuan sifat yang umum dan tinggal di atas satu wilayah geopolitik yang nyata merupakan suatu kesatuan. Jadi, kesatuan sifat atau watak nasional merupakan sejumlah ciri atau watak yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa lain.[6]
Dalam konteks keindonesiaan, ketika nasionalisme diperdengarkan, maka pikiran akan tertuju pada nasionalisme yang diejawantahkan dari Islam—karena begitulah mayoritas penduduknya. Toleransi yang telah terjaga (khususnya dalam umat beragama) merupakan sebuah harmoni masyarakat multikultural bangsa kita. Persamaan sejarah dan pengalaman hidup yang sama—tidak dapat dipungkiri secara mutlak— merupakan stimulus utama pembentuk nalar pikir sosio-historis dalam masyarakat.
Nasionalisme ialah ruh bagi bangsa dan negara. Tanpanya, mustahil bangsa dapat berdiri dengan kokoh dan damai. Hal ini semakin diperkuat oleh nasionalisme Indonesia yang sejauh ini terjaga keimbangannya, di mana ormas (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah) merupakan garda terdepan. Kedua ormas ini merupakan tiang sekaligus poros penentu arah stabilitas nasional bangsa. Ketika Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar dunia diakui bahkan oleh negara-negara Timur Tengah (yang notabene bangsa Arab, tempat munculnya agama Islam) dengan Islam moderatnya (baca: Islam Nusantara), maka gagasan tersebut (Islam Nusantara) dapat dikatakan sebagai identitas bangsa, bahkan nalar pikir nasionalismenya. Karena dari gagasan inilah—bahkan sebelum dicetuskan, gagasan tersebut telah menyatu dalam laku-laku keseharian bangsa—Indonesia mampu tampil di dunia internasional dengan penuh percaya diri, karena stabilitas nasional terejawantahkan secara progresif dari setiap elemen bangsa.

Islam dan Nasionalisme dalam Konteks Keindonesiaan
Konsep nasionalisme telah diusung sejak zaman Rasulullah, termaktub dengan sistematis dalam sumber hukum umat Islam, baik al-Quran maupun Sunah. Al-Quran memaparkan bagaimana sebuah negara berawal dari satu orang, bernama Adam As. lalu darinya diciptakan Hawa, dari keduanyalah bermula sebuah pernikahan. Lantas keturunan terus bertambah, menjadi sebuah masyarakat, kelompok kecil yang kemudian terus berkembang hingga mencapai jumlah besar yang disebut bangsa.
Dalam surat Ibrahim ayat 37 yang berbunyi “Rabbanâ innî askantu min dzurriyyatî biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika al-muharram. Rabbanâ liyuqîmû al-shalâh, faj’al af’idatan min al-nâsi tahwî ilayhim warzuqhum min al-tsamarâti la’allakum tasykurûn,” disebutkan setidaknya ada tiga dasar pembentukan sebuah masyarakat (Islam). Pertama, kalimat biwâdin ghairi dzî zar’in ‘inda baytika al-muharram. Kalimat ini menunjukkan bahwa dalam memilih tempat tinggal, sebaiknya dekat dengan tempat-tempat yang baik (dalam hal ini, Baitullah). Kedua, tujuan bertempat tinggal ialah agar dapat melaksanakan perintah Allah, dapat beribadah dan menjalankan apa yang disyariatkan dengan leluasa tanpa ada gangguan dari berbagai pihak, dan bukan untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, apalagi Hak Asasi Manusia. Hal ini disebutkan dalam kalimat Rabbanâ liyuqîmû al-shalâh dan la’allakum tasykurûn. Ketiga, adanya rasa kasih sayang di antara anggota masyarakat (faj’al af’idatan min al-nâs tahwî ilayhim). Rasa senasib sepenanggungan inilah yang memupuk adanya kesadaran akan kesamaan tujuan yang telah disebutkan tadi. Sehingga, ada tiga macam sebab yang melandasi formasi masyarakat menjadi sebuah bangsa—dalam hal persamaan nasib—, dan negara—dalam lingkup hukum yang mengatur masyarakat itu sendiri.
Adalah faktor pribadi, materi dan keamanan yang melandasi aktualisasi masyarakat dalam praktik laku-laku keseharian yang nyata.[7] Ketika ada sekelompok masyarakat yang menempati suatu wilayah teritorial tertentu, dengan hasrat yang sama untuk kemakmuran bersama, maka terbentuklah sebuah bangsa. Bangsa tidak terbatas pada kesamaan ras, suku maupun agama.[8] Bangsa ada di atas itu semua, karena memang pada dasarnya sebuah bangsa yang dipahami ialah berdasarkan apa yang nyata mewujud di dalamnya—wilayah yang berdaulat, hukum, serta masyarakat dengan rasa senasib sepenanggungan.
Nasionalisme dan Islam adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan, sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, pun agama. Ini merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dielak, mengingat ketika kita berbicara tentang nasionalisme, patriotisme, demokrasi, dan lain sebagainya, maka kembali ke hakikat bangsa Indonesia (mâhiyah) merupakan sebuah keniscayaan. Istilah apapun yang akan diterapkan di Indonesia pasti (dan harus) mengalami domestifikasi agar aplikasinya relevan, sesuai dengan adat dan budaya bangsa, dengan segala ke-Indonesia-annya. Bukan penerapan demokrasi ala Barat, bukan juga pengaplikasian Islam dengan apa adanya seperti apa yang ada di Arab (Timur). Dari sinilah kemudian muncul istilah Islam Nusantara.
Islam Nusantara merupakan sebuah gagasan baru yang masih hangat diketengahkan. Bagaimana ia muncul sehingga diterima oleh masyarakat umum (meski ada berbagai pihak yang tidak setuju) merupakan sebuah konseptualisasi Islam yang sesuai dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara, sehingga kehadirannya merupakan sebuah perangkat sistemik untuk satu tujuan, nasionalisme. Oleh karenanya, Islam yang fleksibel tersebut mampu diterima dengan tangan terbuka oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia. Tidak hanya teori dan omong kosong belaka, namun benar adanya.
Bangsa serta identitasnya merupakan satu kesatuan. Ketika terbentuk sebuah bangsa, maka secara otomatis karakter, ciri khas dan identitas bangsa tersebut turut muncul. Lambat laun semakin jelas, yang kemudian disebut sebagai pembeda antara bangsa satu dengan lainnya. Sejak Indonesia merdeka, berbagai peristiwa yang dilaluinya perlahan menunjukkan jati dirinya, meski sadar atau tidak, dalam prosenya tentu tidak pernah terlepas dari konflik multidimensional. Sebut saja, nasionalisme telah ada bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Di bawah cengkeraman penjajahan Belanda, para tokoh pergerakan nasional memahami betul arti penting nasionalisme. Nasionalisme yang anti kapitalisme.[9]
Selama ini, nasionalisme yang berlaku di Indonesia merupakan hasil dari kerja sama kultural. Yakni kerja sama antar dimensi kultur yang ada di Indonesia; agama, ras, etnis dan keberagaman lainnya. Kerja sama ini nyata dalam laku-laku keseharian yang normal, bahkan sangat umum. Misalnya, menghormati yang lebih tua, penggantian tempat parkir antara masjid dan gereja yang berseberangan saat hari raya masing-masing, membantu tetangga pulau melalui donasi, dan lain sebagainya. Meski pada nyatanya, berbagai macam konflik sektarian, aksi-aksi terorisme seperti bom Sarinah, bom Samarinda yang baru-baru ini mencuat mencoreng nama baik Islam. Karena pada praktiknya, tindakan ekstremis-radikalis semacam itu selalu mengatasnamakan agama (Islam). Padahal, yang bermasalah ialah pemahaman manusia yang beragama itu sendiri.
Menyikapi hal-hal tersebut, pemahaman akan Islam, nasionalisme serta keterkaitan antar keduanya harus ditata kembali, diredefinisi. Islam bukanlah ajaran yang mengajarkan kekerasan. Bahkan tidak hanya Islam, semua agama di muka bumi pun mengajarkan nilai-nilai kebajikan dan perdamaian dalam setiap dimensi kehidupan. Karena keyakinan akan adanya Tuhan ialah fitrah, dimensi alamiah. Dalam jurnal Himmah,[10] Mukhlis Rahmanto mengatakan sifat alamiah ini sebagai berikut.
“Entah seorang komunis di Warsawa-Polandia, pengikut Tao-Kobe di Jepang, penganut Sikh di Himalaya, pengikut Hindu di kota suci Benares, penganut Budha di Ulam Bator-Mongolia, penjaga pintu gereja Vatikan, kepala suku Asmat di Papua, milyuner Bill Gates di California, maupun seorang penjual kusyari sekaligus penganut setia Tarekat Burhameyyah di kawasan Hussein, Kairo. Entah Dia diterminologikan dengan Allah, God, Lord, Tuhan, Maha Dewa, ataupun Gusti. Entah Dia diyakini atau tidak—dalam kacamata keimanan Islam dan intuisi semua manusia—, tetap tidak akan mengurangi dan menggeser keberadaan-Nya sedikitpun. Tuhan adalah perwakilan Nilai Tertinggi dan Keberadaan Mutlak.”[11]
Sehingga, sangat tidak masuk akal, bahkan merupakan sebuah kebodohan jika melabeli aksi-aksi yang berbau ektremis, teroris, radikalis, dan kekerasan-kekerasan lainnya dengan dalih agama. Agaknya, di sini terjadi semacam diskontinuitas pemahaman antara Islam zaman dahulu dengan sekarang. Dengan berbagai kemajuan dunia yang begitu pesatnya, segala aspek modernitas sungguh telah terpenuhi. Masalahnya, modernitas ini malah semakin menggeser nilai-nilai kebajikan yang bersumber dari agama, meski jika dirunut ulang akan kita temukan bahwa bukan zaman, masa, maupun waktu yang mengubah semua tatanan apik tersebut, melainkan manusia. Manusia yang tidak mampu memosisikan diri sesuai zaman di mana ia hidup, terjebak pada doktrin masa lalu. Bersuci tangan dari metodologi epistemologis turats Islam yang sejatinya merupakan lanjasan pijak dan titik tolak pergerakan bangsa.
Hal tersebut persis seperti kaum skripturalis yang selalu berpikiran bahwa negara ideal ialah “Negara Madinah.” Kaum ini sempat mewarnai sejarah Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, namun berbagai polemik seperti pergantian kabinet berulang kali, amandemen UUD dan lain sebagainya membuatnya berputus asa dalam upaya mendirikan Negara Islam, hingga akhirnya lelah dan mengalah. Berbagai pergolakan (politik) tersebut akhirnya menggeser pemahaman apa yang mereka yakini sebagai negara Islam; satu-satunya alat politik untuk menegakkan hukum Allah. Namun, negara Islam yang digaungkan mereka hanya sekadar gaungan, jika ingin diterapkan di Indonesia. Toh, negara Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi.[12]
Kembali ke nasionalisme. Kesepahaman antara Islam dan nasionalisme dapat dicapai jika dan hanya jika seluruh lapisan masyarakat memahami betul entitas dan substansi dari kedua kata tersebut. Sejak sebelas tahun terakhir, gerakan radikal atau setengah radikal yang berbau Islam yang antidemokrasi, antipluralisme, bahkan antinasionalisme muncul di Indonesia, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, dan Hizbut Tahrir Indonesia.[13] Padahal, kesemuanya tersebut—demokrasi, pluralisme, nasionalisme—merupakan aspek fundamental dan sangat substansial dalam pondasi kerberlangsungan bangsa. Kelompok-kelompok tersebut (selalu) terburu-buru dalam bertindak dan mengambil sikap, karena pemahaman atas substansi-substansi inti ajaran agamanya masih “prematur.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rais Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomudin, yang mengatakan bahwa kekerasan (agama) semacam ini disebabkan oleh rendahnya mutu sumber daya pelakunya; pemahaman agama yang dangkal dan semangat beragama yang menggebu-gebu.[14] Kalimat tersebut harus direnungkan dan dipahami oleh umat Islam Indonesia, mengingat berbagai bentuk kekerasan dan aksi terorisme di seluruh belahan dunia kerap kali dikaitkan dengan Islam —meski tidak sepenuhnya benar.
Kelompok-kelompok tersebut—meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif: Preman Berjubah—juga mempunyai kesamaan praktik (pahamnya yang “keras”) dengan sekutunya di berbagai belahan dunia manapun. Kelompok-kelompok tersebut juga mempuyai “hobi” nyeret-nyeret (Jawa: membawa-bawa) nama Islam dalam setiap aksi yang digelarnya. Selain apa yang dikatakan oleh KH Ahmad Ishomudin, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, Syafi’i Ma’arif, sangat menyayangkan pergaulan mereka dengan berujar: “Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya sendiri. Padahal, jika pergaulan hanya dengan kelompoknya sendiri, itu itu saja mengerdilkan kemanusiaan.”

Upaya Redefinisi Nasionalisme Indonesia di Era Globalisasi
Upaya redefinisi merupakan upaya merumuskan batasan dengan melihatnya dari susut lain, bukan dengan cara yang lazim.[15] Redefinisi merupakan langkah awal reaktualisasi makna-makna;  makna nasionalisme bersubstansi nilai-nilai Islami tanpa mencerabut identitas bangsa itu sendiri. Sehingga, redefinisi memerlukan perangkat dalam membentuk pondasi awal yang baru. Bukan membentuk pondasi yang sama sekali baru, namun berpijak pada apa-apa yang telah ditentukan, hanya saja melalui domestifikasi makna.
Islam yang ada di Indonesia ialah Nusantara, bukan dalam maknanya yang berbeda dengan Islam di Arab maupun Timur Tengah. Islam yang sama, namun dalam wilayah yang berbeda. Hal ini merupakan jalan terang aplikasi nilai-nilai keislaman, karena yang menjadi titik tolak serta pijakan awal ialah sebuah esensi, sebuah makna. Ketika ajaran Islam diambil sebagaimana ia hadir tanpa domestifikasi, maka yang terjadi ialah kerancuan bahkan kerusakan stabilitas dalam praktik pengejawantahan, terlebih dalam konteks keindonesiaan yang sama sekali berbeda dengan Arab sana. Syahdan, Islamisasi bukanlah Arabisasi.
Upaya redefinisi ini mengutamakan adanya kontemplasi terhadap sejarah masa lalu, sirah Rasulullah, serta pendalaman pemahaman ajaran Islam. Sehingga, pendalaman yang matang tersebut merupakan pedang analisis ketika dihadapkan pada fenomena sosial masyarakat. Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyerukan gerakan literasi pesantren sebagai upaya untuk mengimbangi radikalisasi yang gencar disebarkan oleh berbagai media. Peran pesantren menjadi sangat penting, mengingat ia lahir dan tumbuh bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Sehingga, secara sejarah pesantren mempunyai bekal yang sangat matang dalam menyikapi berbagai gejolak masyarakat. Selain itu, pesantren-pesantren di Indonesia (seperti) ditakdirkan untuk mengawal jalannya bangsa. Mengawasi dan menjadi filter atas paham-paham ekstremis dalam menjaga stabilitas bangsa. Hal ini terbukti (dengan jelas) saat Revolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari yang menyulut semangat heroik seluruh lapisan masyarakat kala itu. Hingga kini, pesantren ialah poros harapan bangsa dalam menjaga keseimbangan integritas serta stabilitas nasional.
Pesantren menjadi pabrik sekaligus bengkel moral bangsa. Karena nilai-nilai Islam yang hakiki hanya dapat dipelajari di pesantren. Adanya mengaji, bertemu dan bermulazamah dengan guru, belajar etika dan tata krama, nasionalisme, demokrasi, kemandirian, dan seluruh nilai kehidupan makro dapat ditemukan di pesantren. Dari sinilah cikal bakal nalar epistemologi Islam yang kokoh muncul, bukan di tempat lain.
Pemahaman seperti cinta tanah air (nasionalisme) perlu dipahami secara luwes, fleksibel, bukan dengan pemahaman yang “prematur” dan mempunyai “suhu panas.” Misalnya dalam hati yang menyebutkan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Maksudnya, iman seorang muslim tidak dianggap sempurna ketika ia tidak memakmurkan bangsanya. Dalam konteks kekinian, kemakmuran bangsa Indonesia hanya dapat ditempuh jika ada titik temu pemahaman bahwa toleransi ialah pondasi utama masyarakat multikultura bangsa. Lebih lanjut, toleransi tidak akan ada jika tidak ada pemahaman yang kokoh tentang ajaran Islam (maupun ajaran agama lain).
Imam Fakhruddin al-Razi memberikan penafsiran yang sangat lembut dalam  surat an-Nisa ayat 66, terkait dengan cinta tanah air. Dalam ayat yang berbunyi: “Walaw annâ katabnâ ‘alayhim aniqtulû anfusakum awikhrujû min diyârikum,” beliau berkata: “Ja’ala mufâraqata al-awthân mu’âdilatan liqathli al-nafs,” yakni Allah menjadikan perpisahan dari tanah air sebanding dengan pembunuhan (qathlu al-nafs). Syekh Ala Ali al-Qari dalam kitabnya Mirqat al-Mafatih mengatakan bahwa perpisahan dengan tanah air ialah musibah yang sangat berat. Oleh karenanya, firman Allah: “Wa al-fitnatu asyaddu min al-qathl” kata “fitnah” di sini ditafsiri dengan pengeluaran, pengusiran dari tanah air; karena ayat sebelumnya berbunyi: “Wa akhrijûhum min haitsu akhrajûkum.”
Bahkan, al-Hafidh al-Dzahabi menyebutkan dalam kitab Siyaru A’lam al-Nubala bahwa Rasulullah mencintai bukit Uhud, mencintai tanah airnya (Makkah), mencintai kaum Anshar dengan cinta yang tidak terlukiskan. Lebih dari itu, para ulama menjadikan cinta tanah air sebagai ilat masyaqqah (kesulitan) dalam bepergian.
Sebagian ahli hikmah berkata: “Cinta tanah air merupakan ciri dari lembutnya hati. Lembutnya hati merupakan ciri adanya penjagaan Allah, dan penjagaan menandakan adanya rahmat. Rahmat menandakan kemuliaan fitrah, dan kemuliaan fitrah sebagian dari kemunian petunjuk/hidayah Allah.”[16] Ibnu al-Jauzi, dalam Matsir al-Gharam al-Sakin juga mengatakan hal yang senada: “Dan tanah air, selamanya ia akan selalu dicintai.”[17]











Kesimpulan
Dalam membincang nasionalisme, Islam serta keterkaitan antara keduanya, maka kontemplasi atas sejarah masa lalu perlu diredefinisi, direaktualisasi dalam bingkai relevansi masa kini. Fenomena masyarakat sangat dinamis, berbeda dengan peristiwa pada masa sebelumnya, sehingga sikap aktif, tanggap terhadap lingkungan merupakan sebuah keniscayaan dan ciri masyarakat internasional yang profesional. Dinamika pemikiran Islam harus mengimbangi modernitas dengan memperkokoh pemahaman; toleransi, solidaritas, gotong royong, serta saling menghormati dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme dalam setiap lini kehidupan.
Diskontinuitas—meminjam istilahnya Foucault—pemahaman yang menggeser pemahaman satu ke pemahaman lain harus disikapi dengan pola pikir yang ilmiah dan sistematis. Bukan malah mengikuti gerakan kelompok-kelompok yang “asing,” karena tidak ditemukan dalam ajaran agama manapun. Antisipasi atas kelompok-kelompok ekstremis tersebut merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, institusi, tokoh masyarakat, pejabat, pemerintah, serta TNI dan Polri. Kemudian, upaya redefinisi ini merupakan langkah awal. Ia tidak hanya sekadar kontemplasi, namun memerlukan pengejawantahan nyata dalam laku-laku keseharian.
Akhirnya, setelah semua yang telah dipaparkan, penulis bukanlah orang yang tepat untuk menyajikan bahasan tema kali ini secara komprehensif. Demikianlah sependek apa yang penulis pahami, semoga bermanfaat. Wallâhu A’lam.










Daftar Pustaka
1.      Abdul Basyir Hudlairi, Mahmadi, 2003. Muqaddimât fî al-Nudzum al-Islâmiyyah, Kairo:  Universitas al-Azhar.
2.      Al-Azhari, Usamah Sayyid Mahmud, 2015. al-Haq al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Abu Dhabi: Dar al-Faqih.
3.      Al-Chaidar, Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif, dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21 April 2013.
4.       Al-Jauzi, Ibnu, 1995, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin,  Kairo: Dar al-Hadits.
5.      Mayall, J.B.L, J. Jackson-Preece, 2011. Nationalism and International Relations, London: University of London.
6.      Rahmanto Suharto, Mukhlis, 2007Quo Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan, Manusia dan Globalisasi dalam Teologi Islam, dalam jurnal Himmah, vol. I, Maret-Mei, Kairo: Departemen Keilmuan DPP PPMI Mesir Periode XII 2006-2007.
7.                       , Definiting Nationalism, Universidad de las Americas Puebla, akses internet pada 12.39 waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016.






[1] http://kbbi.web.id/nasionalisme
[2] http://www.thefreedictionary.com/nationalism
[3] J.B.L Mayall, J. Jackson-Preece, Nationalism and International Relations, University of London, London, 2011. Hlm. 18.
[4] Anonym, Definiting Nationalism, Universidad de las Americas Puebla, akses internet pada 12.39 waktu Kairo, Ahad, 13 November 2016, hlm. 1.
[5] Ibid., hlm. 2.
[6] Al-Chaidar, Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif, dalam jurnal Kawistara vol. III, No. 1-21 April 2013, hlm. 11.
[7] Mahmadi Abdul Basyir Hudlairi, Muqaddimât fî al-Nudzum al-Islâmiyyah, Universitas al-Azhar, Kairo,  2003, hlm. 44-45.
[8] Al-Chaidar, op. cit.,. hlm. 11.
[9] Al-Chaidar, op. cit., hlm. 10.
[10] Jurnal Himmah ialah media aktualisasi Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Mesir (PPMI Mesir) yang berupa karya tulis ilmiah dan karya tulis popular. Jurnal ini diproyeksikan untuk mampu menampung potensi intelektual Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) secara komprehensif.
[11] Mukhlis Rahmanto Suharto, Quo Vaditur Ilmu Kalam; Reposisi Tuhan, Manusia dan Globalisasi dalam Teologi Islam, dalam jurnal Himmah, vol. I, Maret-Mei 2007, Departemen Keilmuan DPP PPMI Mesir Periode XII 2006-2007, Kairo, hlm. 120-121.
[12] Al-Chaidar, op. cit., hlm. 13.
[16] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, al-Haq al-Mubîn fi al-Raddi ‘ala Man Talâ’aba bi al-Dîn, cet. II, Dar al-Faqih, Abu Dhabi, 2015, hlm.  171-174.
[17] Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari, Ibid., hlm. 174. Lihat juga: Ibnu al-Jauzi, Matsîr al-Gharâm al-Sâkin ilâ Asyrafi al-Amâkin, Dar al-Hadits, Kairo, 1995, hlm. 75.

Monday 31 October 2016

Urgensitas Penetapan Hari Santri Nasional oleh Negara

     Sejarah mengalami diskontinuitas, meski dalam bentuknya yang sulit dijelaskan.[1] Penyataan Foucault ini sepertinya bisa disandingkan dengan peringatan Hari Santri Nasional, yang genap diperingati satu tahun pada 22 Oktober besok. Dan menurut penulis, di sinilah—peringatan Hari Santri Nasional—salah satu letak diskontinuitas sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Segala sesuatu tidak akan pernah lepas dari sejarah; entah dalam bentuk kronologinya secara nyata maupun sekadar rangkaian peristiwa yang tersimpan rapi dalam benak masing-masing empunya. Pun saat kita mencoba membicarakan tentang hari santri yang masih anget diketengahkan—terlebih saat menjelang hari H— sejak keluarnya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 lalu, yang menyatakan bahwa tanggal 22 Oktober resmi ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional oleh presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo tersebut terilhami oleh Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 silam. Resolusi inilah yang membakar semangat para pahlawan dalam melawan penjajah, hingga berujung pada pertempuran heroik yang terjadi pada 10 November di Surabaya. Seperti yang dikatakan oleh Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin, tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada perlawanan heroik. Tanpa perlawanan heroik, tidak akan ada Hari Pahlawan. Selanjutnya, jika tidak ada Hari Pahlawan, kemungkinan besar tidak akan pernah ada kemerdekaan Indonesia.

Hari Santri dalam Bingkai Nalar Histori
Sejarah Indonesia begitu panjang; di antaranya ada yang berhasil terungkap dengan gamblang seperti proklamasi kemerdekaan, ada pula yang terasa dibungkam, dijauhkan dari perhatian publik, seperti sejumlah jenderal yang dimasukkan ke Lubang Buaya, hingga kini tidak begitu jelas sesiapa saja yang terlibat di dalamnya. Dalam rangkaian panjang kemerdekaan itulah, santri dan kiai ada di tengah-tengah mata rantai sejarah, turut mewarnai wajah kemerdekaan bangsa. Maka, jika dilihat dari satu perspektif, momen peringatan Hari Santri menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghargai daya juang para santri dalam upayanya merebut kemerdekaan. Pasalnya, perjuangan para ulama dan santri saat itu sungguh luar biasa; mengajukan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam melawan penjajah. Hal tersebut bermakna bahwa, mereka siap untuk mati. Semangat yang berkobar ini ditekankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihadnya sebagai wujud bela Tanah Air bagi warga bangsa, terlebih kaum santri yang telah memahami bahwa cinta Tanah Air ialah bagian dari iman. Apalagi, saat itu Tanah Air sedang terjajah, sangat membutuhkan para pahlawan yang siap (mati) mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Maka, dalam keadaan mendesak inilah, ruh jihad itu ditancapkan dengan kuat oleh beliau, hingga akhirnya mengucur deras dalam jiwa setiap elemen bangsa ( terlebih santri) untuk mengusir penjajah. Bahkan menurut hemat penulis, hal tersebut—sebuah perlawanan—, merupakan tabiat setiap insan untuk mendapatkan hak hidup dengan aman dan damai di Tanah Air berbagai belahan dunia.
Sebelum membaca—makna Hari Santri—lebih jauh lagi, perlu digaris-bawahi bahwa santri tidak terbatas pada murid pesantren, sebagaimana perspektif khalayak umum tentang satu kata tersebut. Lebih jauh, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj (Kang Said) menegaskan bahwa santri dalam pengertian (hari santri) ini adalah orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhlak terpuji[2]. Jadi, merupakan  pemikiran yang sempit jika kita mengatakan bahwa penetapan hari tersebut merupakan sebuah peng-eksklusif-an terhadap kaum santri, sebagaimana yang diutarakan oleh Muhammadiyyah, di satu satu sisi. Di sisi lain, penulis merasa perlu ada penetapan tersebut, mengingat bahwa kalangan pesantren selalu dilempar dengan tuduhan yang sama sekali tidak diajarkan di sana—sebut saja radikal, misalnya. Dengan adanya Hari Santri Nasional ini, pemerintah secara tegas membawa citra santri sebagaimana mestinya muncul ke permukaan, yang bahkan bangsa Indonesia—tercatat sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, santri terbanyak—pun terkadang masih rabun dengan peran mereka. Maka, hal tersebut merupakan langkah yang tepat untuk melepaskan diri dari sejarah yang (seolah) membungkam adanya andil yang sangat besar dan berpengaruh dalam sejarah tubuh bangsa mereka sendiri.
Dalam praktik kehidupan bermasyarakat tentu tidak akan pernah terlepas dari perbedaan. Begitu pula dengan penetapan Hari Santri Nasional, di belakang penyematan nama baru dalam kalender bangsa Indonesia tersebut tidak terlepas dari berbagai macam pendapat. Pada mulanya, Muhammadiyyah menolak adanya penetapan tersebut dengan alasan dikhawatirkan akan terjadi semacam sekat, batasan maupun perbedaan antara santri dan non-santri. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, nama ‘santri’ bukanlah untuk mereka yang belajar di pesantren saja, namun lebih kepada siapa yang menggunakan akhlak santri dalam kesehariannya. Toh, kaum santri juga tidak merasa adigung dengan Keppres tersebut. Dalam artian, keyakinan teguh bahwa mereka ialah kaum santri yang wajib membela bangsa—entah diakui ataupun tidak—mampu membawa mereka bersikap seolah legowo atas pengakuan pemerintah dalam ranah perjuangan mereka. Legowo dalam artian, diakui ataupun tidak, santri tetaplah santri. Sejarah bangsa Indonesia sendiri yang bersaksi bagaimana satu kata tersebut bermakna dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan Indonesia. Meski tidak menutup kemungkinan mereka (kaum santri) akan berpikir: jika negara tidak bersifat ahistoris, maka (seharusnya) bukan merupakan hal yang sulit untuk menetapkan Hari Santri Nasional.
Hari Santri milik seluruh bangsa Indonesia. Kehadirannya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah tujuh puluh satu tahun silam. Ia hadir, tumbuh menyatu dengan potongan-potongan sejarah lainnya. Bukan saatnya bagi generasi penerus bangsa untuk memperselisihkan penetapan hari tersebut. Syahdan, Indonesia sudah cukup terampil menghadapi berbagai perbedaan; baik pendapat, suku, ras, agama maupun yang lainnya. Terbukti, Indonesia merupakan negara paling moderat, bahkan jika disandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sekalipun. Bukankah lebih baik untuk membentuk nalar historis yang benar, agar terpantul refleksi nyata peran generasi muda?

Hari Santri; Media Reflektif Kaum Santri
Jika dari satu perspektif penetapan Hari Santri Nasional merupakan penghargaan pemerintah atas kaum santri, maka refleksi dan  introspeksi kaum santri—atau, lebih tepatnya: bangsa Indonesia—merupakan satu bentuk keniscayaan (perspektif lainnya) yang harus ada. Atau minimal, sebagai bentuk ‘tambahan’ rasa syukur atas ditetapkannya hari tersebut. Memang benar, penetapan hari santri tersebut merupakan salah satu janji pemerintah saat kampanye. Namun, tidak lantas kita—kaum santri—merasa cukup dan berbangga laiknya memenangkan sebuah taruhan. Sebaliknya, dengan adanya penetapan tersebut, sesungguhnya tanggung jawab atas sebuah nama itu—santri—justru lebih besar. Mengutip apa yang dikatakan oleh Kang Said saat peresmian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo pada 18 Oktober lalu, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks, salah satunya ialah Sumber Daya Manusia[3].
Santri merupakan setengah dari kehidupan bangsa Indonesia. Santri juga salah satu bentuk SDM dari sekian macam manusia yang ada di dunia. Dalam kaitannya dengan Hari Santri, tidak berarti bahwa perjuangan (baca: jihad) telah usai. Sebagaimana diketahui, bahwa jihad ada dua macam; jihad perang dan jihad istishlah (perbaikan). Agaknya, bentuk jihad yang pertama tidak relevan jika dipraktikkan di era modern seperti sekarang. Alih-alih mengumandangkan jihad (dengan perang), tuduhan terorisme justru (akan) semakin mudah dilemparkan. Maka dari itu, jihad perbaikan ialah solusi tepat dalam menyongsong peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober besok.
Perbaikan dalam bingkai jihad selaras dengan Revolusi Mental yang digaungkan oleh presiden Jokowi. Setelah Indonesia merdeka dari penjajah, tenyata mental belum mengalami hal yang sama—merdeka. Mental bangsa masih berkutat pada mental kolonial, mental penjajahan. Hingga lebih dari setengah abad merdeka, konsumerisme, meniru budaya bangsa lain, korupsi, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, aborsi dan berbagai tindak kejahatan lainnya masih lekat di telinga kita. Setiap hari rasanya generasi bangsa terus dijejali dengan berita kriminalitas, game, gadget entah apa isinya yang secara perlahan dan tidak sadar mematikan mental bangsa, mematikan mental mereka dari berpikir dan berinovasi, berpandangan jauh menatap masa depan. Mereka merasa cukup tahu tentang kehebatan para leluhurnya, tanpa berpikir kritis bahwa saat ini, generasi bangsa harus bekerja keras mengembalikan kehebatan dan kejayaan masa lalu—khususnya dalam lingkup keislaman, karena santri ialah generasi penerus Islam. Oleh karena itu, di antara cara terdekat yang mungkin dilakukan ialah menitipkan generasi muda ke pondok pesantren, sedini mungkin. Atau, mengaji di tempat manapun, yang terpenting urgensinya. Atau, bagi mereka yang berkeyakinan (agama) lain, silakan berkontribusi dalam lingkupnya masing-masing. Jamaluddin al-Afghani, seorang pembaharu Mesir pernah berkata, jika kalian bangga menyebut kehebatan leluhur (kalian), maka kalian harus melakukan apa yang dahulu mereka lakukan.[4] Siapkah generasi masa kini memikul tanggung jawab ini?

Esai ini dilombakan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2016 yang diselenggarakan oleh PCINU Mesir, berhasil menduduki urutan pertama dari 24 karya yang masuk, se-Timur Tengah. Alhamdulillah, wamaa taufiiqii illaa billaah. 

Daftar Pustaka



[1] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku The Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New YorK 1976, cet. I. 2012, IRCiSoD Diva Press, Yogyakarta, hlm. 26.
[2] http://www.nu.or.id/gallery/read/379/Kang-Said-Santri-Tak-Hanya-Murid-Pesantren, pada 10 Oktober 2016 pukul 8.45 PM waktu Kairo.
[3] http://www.nu.or.id/post/read/72127/ini-tantangan-bangsa-indonesia-menurut-kiai-said-, Selasa, 18 Oktober 2016 pada 9.06 PM waktu Kairo.
[4] Majalah al-Azhar edisi Syawwal 1437 H.

Ini Dia Makalah Fenomenal (Perdana Soalnya, Hehe)


Al-Quran dan Bahasa Arab; Wacana Pengaruh dan Keterpengaruhan antara al-Quran dan Bahasa Arab

Prolog
Telah jamak diketahui bahwasanya al-Quran ialah mukjizat bagi kenabian Muhammad saw., diturunkan dengan bahasa Arab dan lahir di tengah-tengah bangsa Arab. Zaman Jahiliah[1], begitulah zaman ketika lahirnya Nabi saw. Penyembahan berhala, penguburan para anak perempuan hidup-hidup, minum minuman khamr, dan lain sebagainya, semua hal itu menunjukkan ketergelinciran mereka dari jalan yang benar. Mereka bukanlah bodoh karena tak mampu membaca, mereka bodoh karena tabiatnya yang pemarah dan watak mereka yang keras[2].
Kerasulan Muhammad dengan al-Quran sebagai mukjizatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baqillani[3] membuka jalan yang luas bagi perkembangan bangsa Arab. Pun menjadi jalan perubahan  dahsyat yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Perkembangan ini terjadi di seluruh aspek; baik sosial, kebudayaan, maupun politik dan ekonomi. Lebih khususnya, perkembangan ini terlihat sangat jelas pada bahasa Arab itu sendiri.
Kehadiran al-Quran di tengah-tengah bangsa Arab memberikan pengaruh dan keterpengaruhan (al-ta’tsiir wa al-ta’attsur) dalam dimensi yang luas. Secara ringkasnya, mereka menjadi lebih “berbudaya”. Inilah apa yang disebut oleh Hasan al-Baqûri sebagai arabisasi non Arab, dan berperadabannya bangsa Arab تعرب العجم و تحضر العرب)[4]). Sejarah mengatakan bahwa dahulu, Islam (dan bangsa Arab) pernah mencapai puncak kejayaan yang sangat dahsyat, tak ada yang mampu menandingi sama sekali. Tak lain, hal ini disebabkan oleh meluas dan menguatnya bahasa mereka, bahasa Arab.
Bagi suatu kaum, bahasa ialah sebuah tolok ukur akal dan keilmuan yang berkembang pada saat tertentu[5]. Menurut Hasan al-Baquri, ia bukanlah sesuatu yang jumud, melainkan sesuatu yang mengalami pasang surut, menguat dan melemah. Lebih dari itu, ia merupakan parameter kemajuan atau pun kemunduran suatu bangsa[6].
Al-Quran diturunkan pada masa puncak pengetahuan mereka tentang unsur-unsur syair yang bagus, makna dan tujuan syair, serta bagaimana syarat seseorang bisa disebut penyair. Sehingga, syair merupakan bidang seni bahasa yang mendapat pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran ini secara jelas.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, bahasa pun mengalami perubahan. Kehadiran al-Quran ternyata memberikan pengaruh dan keterpengaruhan yang sangat signifikan, khususnya dalam konteks bahasa Arab pada masyarakat Arab Jahiliy. Lalu, apa dan siapa yang terlibat dalam pengaruh dan keterpengaruhan itu, serta bagaimana pengaruh dan keterpengaruhan itu terjadi?
Kali ini, penulis mencoba mengetengahkan topik seputar pengaruh al-Quran terhadap bahasa Arab, yakni bahasa Arab itu sendiri. Meski pembahasan ini singkat dan sangat terbatas, minimal pada akhirnya, penulis dapat meneroka[7] simpul antara pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab.
Namun, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, penulis tegaskan bahwa membahas tentang bahasa, sebenarnya bukan pada hak penulis untuk memaparkan apa dan bagaimana bahasa itu. Mengapa? karena bahasa ialah sebuah lautan, tidak akan mampu menyelaminya kecuali para nabi. Bahkan, Ibn Qutaibah pun berkomentar, bahwa bangsa Arab sekalipun, mereka tidak mengetahui seluruh perkara yang ada pada bahasa mereka, terlebih kata-kata yang asing dan mutasyabih[8]. Namun, penulis akan mencoba memaparkan secuil tentangnya, dengan apa yang penulis pahami pada saat ini.

Potret Bahasa pada Masyarakat Arab Jahiliah
Sebelum melihat potret bahasa Arab pada masyarakat Jahiliah, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu, apa itu bahasa. Abu al-Fath ibn Jani dalam al-Khashâish-nya menyebutkan, bahwa bahasa ialah lambang suara yang digunakan oleh suatu kaum menyampaikan suatu maksud tertentu. Sedangkan menurut KBBI, bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Berbicara tentang bahasa Arab, tentu berkaitan erat dengan kalam dan perkataan bangsa Arab. Menurut ibn Rasyîq, kalam (perkataan) bangsa Arab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni berupa manzum ataupun mantsur. Apa yang mereka ucapkan ialah hikmah, seperti yang diceritakan oleh Ibn Husain al-Naisaburiy, bahwa sahabat Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Ka’ab ibn al-Ahbar setelah bersyair: “ Wahai Ka’ab, apakah engkau menemukan para penyair disebut dalam kitab Taurat?”. Ia menjawab: “Dalam Taurat, saya menemukan suatu kaum dari keturunan nabi Ismail as. yang berbicara dengan penuh hikmah, pandai membuat amtsal, dan saya tidak mengetahuinya selain (mereka ialah) bangsa Arab.”[9]
Selain bakat dan kemampuan, ternyata lingkungan juga mempengaruhi bahasa mereka, bahasa Arab. Menurut Hasan al-Baquriy, bahasa dan sastra Arab merupakan hasil dari  lingkungan alami[10], di samping lingkungan sosial. Pada zaman dahulu, masyarakat Arab hidup di padang pasir secara berkelompok, berpindah-pindah mencari sumber air, sulitnya tanaman untuk tumbuh, cuaca alam yang berubah-ubah sedemikian hingga mereka hidup hanya untuk sekedar hidup, serba kekurangan dan sulit. Dengan kata lain, mereka hidup di bawah kasih sayang alam.[11]
Kehidupan masyarakat Arab kala itu jauh dari keilmuan dan filsafat, samarnya peran akal, dan tidak ada pemikiran dan pendalaman tentang hakikat suatu hal. Semua yang mereka pikirkan adalah spontanitas terhadap apa ditangkap oleh indera. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai lebah yang cepat berpindah mencari nektar, tanpa ada pendalaman dan ketekunan terhadap apa yang mereka hadapi.[12]
Semua yang ada di sekeliling mereka ialah alami. Seluruhnya ciptaan Allah swt.; tak ada istana mewah, gedung megah, pepohonan yang rindang, maupun ladang-ladang yang luas. Bahkan, mereka memakan apa saja yang mereka temui, dan memakai pakaian dari bahan kulit hewan yang ada di sekitar mereka.[13]
Kemudian, dapat dikatakan bahwa syair kala itu merupakan syair nyata (al-syi’ru al-wâqi’iy). Artinya, ia merupakan sebuah penggambaran kehidupan yang  terjadi. Hanya saja, lemah dari khayalan dan ide-ide yang menggugah emosi.[14]
Sebenarnya, pengetahuan masyarakat Arab telah ada sejak dahulu, misal: kedokteran dan kelangitan maupun tata ruang. Hal ini terlihat dalam beberapa syair yang mereka gubah dan praktik nyata keseharian, yang tanpa mereka sadari, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui hal-hal tersebut. Hanya saja, pengetahuan yang sesuai dengan kategori agar bisa disebut sebagai ilmu belum mereka peroleh.[15]
Sedangkan dalam lingkungan sosial, maka ia bagaikan sebuah buku yang memuat prinsip dan adat-istiadat masyarakat Arab. Dalam kesehariannya, mereka biasa mengungkapkan segala sesuatu melalui syair dan prosa atau biasa disebut natsr; baik natsr masjû’ maupun natsr mursal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Charles Pellat, bahwa kemampuan mereka dalam menggubah nazam telah muncul jauh sebelum datangnya Islam[16]. Mereka mampu mengungkapkan semuanya secara detail; bagaimana penggambaran bumi, langit, udara, tetumbuhan, burung yang terbang ke langit, hingga penggambaran perang dengan segala alatnya, meratapi mayat, juga tentang keteladanan terhadap sesama.[17]
Lingkungan alam dan sosial yang sedemikian rupa ternyata membawa pengaruh yang jelas pada kejiwaan mereka -khususnya intuisi kebahasaan. Masyarakat yang tinggal di gurun (Badui) sangat mudah melihat alam terbuka; misalnya, sengatan sinar matahari langsung, bulan yang terlihat jelas di malam hari tanpa adanya penghalang gedung, pepohonan dan sebagainya. Dari sinilah muncul karakter mereka yang kuat, indah dan keras yang mendorong jiwa pada kerinduan terhadap Yang Maha Penyayang, Pencipta dan Penjaga alam tersebut, yakni Allah swt.[18]. Barangkali, inilah rahasia mengapa tiga agama[19] tumbuh dalam lingkungan gurun (padang pasir).[20]
Bahasa menunjukkan bangsa. Sebagian kaum orientalis mengatakan bahwa pola pikir bangsa Arab tidaklah komprehensif seperti pola pikirnya bangsa Yunani, misalnya. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak mereka tentang alam semesta dan isinya. Misalnya, bagaimana alam ini terbentuk? Mereka melihat bahwa alam semesta ialah sesuatu yang terkait satu sama lain dan berjalan pada sebuah aturan tertentu. Bagaimana keterpaduan itu ada, bagaimana munculnya, dan dari apa ia diciptakan, inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengawali dasar-dasar filsafat mereka.[21]
Mengenai hal ini, Hasan al-Baquriy mengatakan, bahwa pada hakikatnya, fitrah bangsa Arab sejajar dengan Perancis dan Yunani. Hanya saja, mereka -Perancis dan Yunani- berperadaban lebih maju, mempunyai sistem yang lebih mapan, terlebih lagi mereka telah mengenal ilmu dan pengetahuan -warisan secara turun temurun. Tentunya, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi bangsa Arab saat itu yang hanya tinggal di gurun. Karena lingkungan menggambarkan peradaban, maka sebatas itu pula lah peradaban dan pengetahuan bangsa Arab. Akhirnya, jika tolok ukur peradaban suatu bangsa seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa mereka belum melek budaya. Bahkan, jauh dari kata berbudaya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Ahmad Amin, sebagai berikut.
“Dan sama saja, baik benar ataupun tidak, bangsa Arab sungguh telah tertinggal dalam kebudayaan dari bangsa-bangsa sekitarnya. Mereka terkalahkan oleh kehidupan Badui, dan kebanyakan dari mereka hidup berkelompok nan berpindah-pindah..” (Ahmad Amin: 1996)
Kemudian, bagaimana bisa kita mengetahui gambaran pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu? Ahmad Amin mengatakan bahwasanya syair dapat dijadikan sebagai alat peraga untuk menggambarkan pemikiran dan keilmuan bangsa Arab kala itu, di samping matsal (pepatah) dan qishash (cerita). Setidaknya, gambaran tentang kehidupan mereka tercakup dalam syair. Selain karena syair ialah kebanggaan bagi mereka, syair merupakan pemegang otoritas bahasa tertinggi saat itu. 
Syair merupakan dîwan bangsa Arab[22]. Artinya, segala sesuatu mengenai kehidupan mereka terdapat dalam syair; baik saat perang maupun damai. Inilah yang menyebabkan kita tidak bisa lepas dan mencukupkan diri terhadap syair jika ingin menelisik kehidupan masyarakat Arab dahulu kala.[23]
Begitu eratnya kaitan antara syair dengan kehidupan masyarakat Arab kala itu, hingga Rasulullah saw. bersabda dalam hadits riwayat Aisyah ra. bahwasanya beliau bersabda: ”Bangsa Arab tidak akan meninggalkan syair, hingga unta meninggalkan punuknya.”[24]. Selain itu, syair mempunyai kedudukan yang agung dalam masyarakat Arab. Bahkan, kedudukan seorang penyairpun hampir sama dengan kedudukan para pemimpin kabilah mereka.[25]
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya syair mempunyai tujuan dan makna-makna tertentu. Makna-makna ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan bangsa Arab, dari Badui menjadi masyarakat Madani. Pada zaman pra Islam, kasidah[26] mempunyai empat maksud yang paling mendasar, baik berupa pujian atas seseorang ataupun suatu kaum, pemuliaan, ejekan maupun ratapan terhadap para mayit. [27]
Begitulah potret bahasa Arab dalam masyarakat Arab Jahiliah sebelum datangnya Islam. Ternyata, otoritas bahasa terdapat dalam syair dan ia mampu memonopoli kehidupan saat itu. Mereka terus hidup dan berinteraksi seperti itu; tak mengenal budaya selain kepiawaian menggubah syair dan natsr, merasa cukup -jika tidak ingin disebut tidak mampu- dengan apa yang mereka punya saat itu. Hingga datanglah Islam dengan al-Quran sebagai hujahnya yang menjadi titik tolak perubahan bangsa Arab.

Turunnya Al-Quran di Tengah Kegemilangan Bahasa Arab
Bangsa Arab ialah sebaik-baiknya umat. Hikmah yang ada pada mereka ialah semulia-mulianya hikmah, begitulah Ibn Rasyîq menyifati mereka dalam kitabnya, al-‘Umdah. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah swt. dalam al-Quran surat Ibrahim ayat 4, yang artinya: “ Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan sesuai dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat menjelaskan kepada mereka.”
Menurut al-Wasathiy, al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Qurasyiy[28]. Alasannya, karena bahasa Quraisy ialah bahasa yang mudah dan jelas. Sedangkan bahasa masyarakat Arab (lainnya) ialah buruk dan asing.[29]
Diturunkan di tengah kegemilangan bahasa Arab, tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi al-Quran. Di saat mereka mencapai puncak kefasihan bahasa dengan syair sebagai karya kebanggaannya, al-Quran sebagai pondasi kenabian Muhammad turun dengan bahasa yang sama. Meski demikian, tidak berarti al-Quran datang begitu saja tanpa ada sisi kemukjizatannya. Justru, ada maksud dan tujuan tersendiri dengan redaksinya yang berbahasa Arab.
Dikatakan gemilang, karena masyarakat Arab kala itu sangat piawai menggubah syair, prosa, maupun kasidah-kasidah lain yang mempunyai wazan dan qafiyah yang rumit sedemikian hingga ia dinilai istimewa. Padahal, bagi orang yang cerdas sekalipun, membuat syair lebih sulit dari memindahkan batu yang sangat besar.[30]
Abu Abdillah al-Jamhiy dalam kitab al-Thabaqat mengatakan, bahwa masa-masa turunnya al-Quran ialah masa puncak kejayaan syair[31]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Muhammad Zaghlul pula, bahwa al-Quran diturunkan saat di mana syair berada pada posisi yang tinggi[32].
Agar suatu ajaran bisa diterima, maka ajaran itu harus menggunakan bahasa mereka. Menyikapi kondisi bangsa Arab sedemikian rupa, Allah mengutus seorang Rasul dengan al-Quran sebagai hujah atasnya. Suatu risalah akan diterima jika ia membawa bukti yang kuat atasnya dan tidak ada keraguan sedikitpun bahwasanya ia adalah sebenar-benar utusan yang Allah pilih untuk suatu kaum.
Turunnya al-Quran memicu rasa heran dan ketakjuban yang hebat bagi kalangan masyarakat Arab saat itu. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang nazam, syair dan kasidah, al-Quran tidak masuk dalam kategori ketiganya. Al-Quran bukanlah syair, bukan pula perkataan tukang tenung[33], pun nabi, ia bukanlah seorang penyair[34]. Bahkan, Imam Abu Zar’atirrazi berkata:” Tidak ada keturunan Abdul Muthalib melainkan mereka ahli bersyair, kecuali Muhammad saw.”
Telah disinggung sebelumnya, bahwasanya al-Quran ialah hujah bagi Rasulullah saw. atas mereka, bangsa Arab. Hal ini agar lebih jelas bagi mereka bahwa mereka lemah, tak mampu menandingi, dan tak ada alasan apapun untuk mengelak dari hakikat bahwa ia diturunkan dari sisi Allah swt[35]. Pengetahuan mereka sendirilah yang menyadarkan, bahwa mereka tak sanggup menandinginya.[36]
Imam al-Baqillani juga menegaskan, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa ‘Ajam (nonArab), maka mereka akan dapat menyanggahnya dengan mudah. Alasan ini disebutkan dalam I’jâz al-Quran; baik karena redaksi bahasanya bukanlah bahasa keseharian mereka, mungkin juga elakan tidak diketahuinya makna tersebab mereka tidak paham segi i’jaznya, bahkan, mereka dapat berkilah dengan berbagai macam alasan lainnya.[37]
Sebelum beranjak lebih jauh, harus dipahami terlebih dahulu, bahwa: pertama, al-Quran ialah apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., dan dibacakan kepada kaumnya selama 23 tahun.Untuk mengetahuinya, dapat diketahui dengan riwayat mutawatir atau biasa disebut al-naql al-mutawâtir.  Kedua, bahwa al-Quran mendorong mereka untuk bersatu membuat yang serupa dengannya (al-tahaddiy)[38]. Hal ini dapat kita temukan pada banyak ayat, diantaranya: QS. Al-Baqarah: 23-24, dengan tantangan satu surat saja. Atau bilangan yang lebih besar, dalam ayat lain disebutkan sepuluh surat yang serupa dengannya[39].
Sebenarnya, kata al-tahaddiy merupakan kosa kata baru; tidak ada dalam al-Quran, tidak pula dalam hadits-hadits Rasul, bahkan belum ada pula di kalangan para sahabat dan orang-orang setelahnya. Hingga pada akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat, muncullah kosa kata ini, sampai sekarang[40]. Seperti apa yang dikatakan oleh Mahmud Syakir dalam Madâkhilu I’jâzi al-Quran, kalimat ini selalu diiringi dengan kata i’jâz dan mukjizat. [41]
Kata al-tahaddiy memiliki beberapa makna, diantaranya: menyaingi dan melawan untuk menang, bermaksud terhadap sesuatu, bermaksud menemui, dan menjadi jelas[42]. Secara bahasa, kata ini bermakna: maksud seseorang yang berkumpul menjadi satu untuk melakukan sesuatu, dengan tujuan menyaingi dan menyanggah musuhnya, serta memperlihatkan kemampuan atasnya.[43]
Kiranya, membahas tentang al-tahaddiy (selanjutnya disebut dengan persatuan -pen) menjadi menarik di sini, karena kata ini terkait erat dengan sub bahasan kita kali ini. Kata yang selalu diiringi dengan kata i’jaz dan mukjizat ini -yakni: al-tahaddiy- memancing lawan bicara untuk mengerahkan segala kemampuannya, berusaha keras, dengan keyakinan (penantang) bahwa mereka tidak akan mampu atasnya. Sehingga, jelaslah bahwa mereka lemah dan tidak sanggup beradu kehebatan. Secara bersamaan, mereka menyadari bahwasanya hal tersebut merupakan sesuatu di luar kemampuannya, yang pada akhirnya “memaksa” mereka untuk mengakui bahwa Rasulullah saw. ialah utusan Allah swt [44]. Dengan demikian, jelas pula bahwa al-Quran ialah kalam Allah yang mu’jiz, pun sebagai mukjizat kenabian Rasulullah saw. yang  didukung oleh berbagai bukti kuat lainnya.[45]
Lebih jelasnya, berikut jalan yang ditempuh menuju premis akhir bahwa al-Quran ialah mu’jiz. Al-Quran diturunkan saat di mana bahasa mereka menguat (menjadi sesuatu yang diperhitungkan), merebak-luasnya balaghah di kalangan mereka, menjamurnya para penyair serta para khatib yang handal. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran al-Quran sudah tentu menarik perhatian mereka dan memicu semangat untuk menyanggah sedemikian hingga mereka beranggapan bahwa mereka mampu. Dari sinilah mereka ber-tahaddiy, bersatu, hingga perkara ini menjadi jelas dengan sendirinya (didukung oleh pengetahuan mereka tentang bahasa), bahwa mereka tidak akan pernah mampu, hingga mencapai titik akhir bahwa ia adalah kalam Allah yang mu’jiz, tak akan pernah tertandingi..[46]

Pengaruh dan Keterpegaruhan al-Quran terhadap Bahasa Arab
Kehadiran al-Quran di tengah kondisi seperti yang tersebut di atas menghadirkan pengaruh dan keterpengaruhan terhadap bahasa Arab. Tentu, akan terbersit pertanyaan dalam benak kita: apa yang mempengaruhi dan siapa yang terpengaruhi, serta bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pembacaan wacana pengaruh serta keterpengaruhan di sini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, kita melihat bahwa al-Quran berperan sebagai subjek. Artinya, ia yang mempengaruhi bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi objek yang terpengaruhi. Namun, di sisi lain, dapat juga dilihat sebaliknya; al-Quran sebagai objek terpengaruh dengan bahasa Arab sebagai subjek yang mempengaruhinya, dan inilah sudut pandang kedua.
Berangkat dari pengertian konsep pengaruh dan keterpengaruhan. Konsep ini berasal dari akar kata yang sama, yakni pengaruh. Dengan kata pertama tetap sebagaimana asalnya, sedang kata kedua mengalami prefiks keter- dan sufiks –an. Pengaruh dan keterpengaruhan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-ta’tsîr wa al-ta’attsur. Hal ini dapat terjadi ketika ada dua hal yang saling bertemu dan/atau bersinggungan, yakni al-Quran dan bahasa Arab, dalam konteks kali ini. 
Pengaruh yang disebabkan oleh al-Quran dapat dilihat pada perluasan lafal dan makna bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena al-Quran menggunakan bahasa yang sebagian besar tidak ada pada zaman Jahiliah. Seperti apa yang disebutkan dalam Fajru al-Islam, bahwa al-Quran memuat bahasa yang digunakan pada zaman Jahiliah dulu. Namun tidak sempurna, karena ada kata yang tidak ada pada zaman Jahiliah, tetapi ada dalam al-Quran. [47]
Apa yang sampai kepada kita mengenai kebudayaan Jahiliah menunjukkan kita bukti yang jelas bahwasanya bangsa Arab ialah bangsa yang paling banyak menggubah syair[48]. Bahkan, Charles Pellat dengan yakin mengatakan bahwa syair ialah tali hubung yang kuat antara zaman dahulu dan sekarang. Syair ialah yang pertama sebelum melangkah ke sastra Arab lainnya. [49]
Sejak dahulu mereka -bangsa Arab- terbiasa meriwayatkan syair dan kabar. Syair juga sebagai bahan pembicaraan di waktu samar[50], maupun pelaksanaan akad di pasar. Maka, ketika al-Quran datang, mereka menghafal, membacanya pagi dan petang, dan bertanya apa yang tidak dipahami dengan perantara syair, karena itu diwannya mereka[51]. Akhirnya, syair menjadi alat untuk memahami al-Quran serta tafsirnya.
Di antara tokoh yang menggunakan syair sebagai alat untuk menafsiri al-Quran ialah Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas[52]. Ibn Abbas pernah berkata: “Jika kalian kesulitan memahami makna al-Quran, maka ambillah syair. Sesungguhnya syair ialah diwannya bangsa Arab..”. Dari sinilah kemudian syair digunakan sebagai alat memahami kalimat-kalimat yang asing dalam al-Quran.[53]
Al-Quran juga menyebabkan pergolakan bahasa Arab yang mulai terjadi pada awal kurun 2 H, ketika terjadinya futûhât Islâmiyyah. Khususnya, setelah mapannya sistem negara-negara Islam saat itu, juga tersebarnya bahasa Arab di wilayah-wilayah tersebut. Pun ia menjadi kitab bangsa Arab yang pertama, undang-undang agama mereka yang baru -Islam-, menjadi bahasa negara-negara yang dibuka, bahasanya kepala negara, bahasa sastra, penulisan serta politik dan hukum. Al-Quran secara tidak langsung mengalihkan perhatian mereka -penduduk negeri-. [54]
Akibat lain dari percampuran bangsa Arab dengan bangsa lain ialah adanya tahrif[55], munculnya bahasa-bahasa asing, sehingga bahasa Arab berubah dari bahasa asalnya (Badui). Pun merebaknya nada bahasa (lahn), bercampurnya lahjah/dialek, dan kerancuan antara satu kata dengan kata lainnya, hingga muncullah bahasa baru di wilayah-wilayah pembukaan yang akhirnya disebut dengan bahasa ‘âmiyah.[56]
Begitulah al-Quran menjadi faktor yang mendorong para ulama untuk mendalami bahasa Arab dengan segala kesulitan dan rintangan dalam mengkaji dan menjernihkannya. Ibn Khaldun menegaskan, setelah sebelumnya disebutkan oleh al-Farabiy, seperti ini: “al-Quran telah menerangkan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, apa-apa yang datang dan berlalu dari mereka. Dan tidak ada cara untuk mengetahui dan memahami maknanya kecuali dengan pendalaman bahasa Arab.” [57]
Kemudian, mengenai sisi keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab. Apakah al-Quran terpengaruh oleh bahasa Arab? Menurut penulis, tidak. Alasannya dapat kita pada hikmah pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran, diantaranya: karena ketika Nabi saw., diutus, bahasa Arab sedang di puncak kegemilangannya dan mendapat perhatian yang besar. Di sisi lain, bangsa Arab saat itu sudah memiliki malakah (kemahiran) dalam mengkritik dan mengunggulkan suatu kalimat, juga dengan mudah merangkai kata sehingga tersusun menjadi kalam yang istimewa maupun sebaliknya. [58]

Epilog
Turunnya al-Quran sebagai undang-undang kaum muslim menjadi titik tolak perubahan bahasa Arab. Makna-makna mengalami perluasan, juga penyempitan. Pun syair sebagai pemegang otoritas bahasa tertinggi, sudah tentu bersinggungan dengan al-Quran. Ada kalanya ia digunakan untuk menafsiri al-Quran, meski kadang “terkungkung” oleh nilai-nilai al-Quran di sisi lain.
Pembukaan wilayah-wilayah Islam kala itu menjadi faktor yang sangat penting terhadap perluasan bahasa Arab. Maka, ketika wilayah-wilayah tersebut meluas, Islam berjaya, bukan? Karena lemah-kuatnya bahasa menunjukkan maju-mundurnya suatu bangsa.
Meski bahasa Arab selalu menjadi bahasa resmi negara-negara Islam kala itu, namun tidak seperti Indonesia. Selain karena penyampaian yang berbeda, Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia sangat menghormati budaya negeri. Jadi, dengan metode penyebaran dan kondisi negeri serta perbedaan masa yang berbeda, menjadikan Indonesia tidak terlalu urgen untuk harus berbahasa Arab.
Hendaknya bagi kaum muslim untuk kembali berpegang teguh dengan al-Quran sebagaimana para ulama kita terdahulu berpegang teguh. Menghidupkannya, menyesuaikan konteks dengan apa yang tertuang dalam ayat, karena al-Quran universal dan selalu relevan, sampai kapan pun.
Jika ditemukan suatu pemahaman yang ganjal dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka yang salah bukanlah al-Quran ataupun haditsnya. Tetapi, pemahaman terhadap keduanya. Hal ini lah yang selalu ditekankan oleh beliau, syekh Dr. Muhammad Mehanna. Wallâhu A’lamu.


Hamidatul Hasanah
Alumni Markaz Lughah 2015/2016
Universitas al-Azhar Kairo



Rabu, 29 Juni 2016.


[1] Zaman sebelum datangnya Islam, sekitar 50 tahun sebelumnya. Lihat pula: Ibn Mandzur, Lisaan al ‘Arab.
[2] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 110
[3] Abu Bakr Muhammad ibn al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Qâsim, dikenal juga dengan Ibn al-Baqillani. Lahir di Bashrah, tak ada satu sejarawan pun yang mencatat tahun kelahirannya, begitu pula dengan tahun wafatnya. Lihat lebih lanjut: al-Baqillani, I’jâz al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, Kairo, cet. VII, 2009, hlm. 17
[4] Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al- Ma’ârif, Kairo, cet. IV, 1987, hlm.
[5] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 83
[6] Hassan al-Baquriy, op. cit,. hlm. 29
[7] Membuka daerah atau tanah baru (untuk sawah, ladang, dan sebagainya), merintis, menjelajahi. Lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia/teroka.
[8] Dr. M. Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fi Tathawwur al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, Karo, cet. III, 1952, hlm.34
[9] Abi ‘Ali al-Hasan ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fî Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 17
[10] Apa yang ada di sekitar mereka, meliputi gurun, gunung-gunung, sungai, hewan, bebatuan dan tetumbuhan, dll.
[11] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘ammah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 75
[12] Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsar al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dar al- Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987, hlm. 86
[13] Ahmad Hassan al-Baquriy, op. cit., hlm. 83
[14] Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 91
[15] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 79
[16] Charles Pellat, op. cit., hlm. 28
[17] Ibid., hlm. 109
[18] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74
[19] Tiga agama yakni Yahudi ( gurun Sinai), Nasrani (Palestina), dan Islam (gurun Arab).
[20] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74
[21] Ibid., hlm. 68

[22] Dr. husain Zarrûq, Al-Quran al-Karîm wa Iqâmatu Ummati al-‘Ilmi, Dâr al-Salâm, cet. I, Kairo, hlm. 72. Lihat pula: Tabaqât Fahûli al-Syu’arâ’ oleh Muhammad ibn Salâm al-Jamhiy, hlm. 24, dan: Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[23] Ibid., hlm. 72
[24] Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 26
[25] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[26] Bentuk puisi, berasal dari kesusastraan Arab yang biasa dinyanyikan.
[27] Charles Pellat, op. cit., hlm. 31. Lihat juga: Ibn Rasyîq dalam Al-‘Umdah.
[28] Hasan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karîm fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987,  hlm. 40
[29] Ibid., hlm. 40
[30] Ibn Rasyîq,  op. cit., hlm. 100
[31] ذكر أبو عبد الله بن محمد بن سلام الجمحي في كتاب الطبقات, وغيره من المؤلفين: أن الشعر كان في الجاهلية في ربيعة.. الخ.
Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, op. cit., hlm. 75
[32] Dr. Muhammad Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt, hlm.193
[33] QS. Al-Hâqqah:41-42
[34] QS. Yâsîn: 69
[35] Al-Hâqqah:43
[36] Al-Baqillâni, I’jâzu al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, cet. VII, Kairo, hlm. 5
[37] Ibid., hlm. 13
[38] Ibid., hlm. 17
[39] QS. Hûd: 13-14
[40] Abu Fihr Mahmud Muhammad Syâkir, Madâkhilu I’jâzi al-Qurân, Mathba’ah al-Madaniy al-Mu’assasah al-Su’ûdiyyah bi Mishra, cet. I, Kairo, hlm. 20
[41] Ibid., hlm. 23
[42] Ibid., hlm. 21
[43] Ibid.,
[44] Ibid., hlm. 22
[45] Ibid., hlm. 27
[46] Ibid., hlm. 26
[47] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Mashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 76
[48] Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 87
[49] Charles Pellat, op. cit., hlm. 241
[50] Samar: waktu tengah malam sampai sebelum sahur; bangsa Arab terbiasa berkumpul dan ngobrol bersama keluarga di waktu ini.
[51] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
[52] Ibid., hlm. 32
[53] Ibid., hlm. 194
[54] Ibid., hlm. 151
[55] Perubahan huruf atau kalimat dalam bahasa Arab
[56] Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, op. cit., hlm. 153
[57] Dr. Muhammad Zaghlul, op. cit., hlm. 159
[58] Muhammad Abdul ‘Adhîm al-Zarqâniy, Manâhilu al-‘Irfân fî Ulûmi al-Quran, Dâr al-Ihyâ’ al-Kitab al-‘Arabiyyah, vol. II, Kairo, 1980, hlm. 337

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...