Friday 24 November 2017

Sayembara Kecil a la Dr. Sonia



Sebagaimana biasa, hari Kamis menjadi hari istimewa tersendiri bagiku. Tauhid menjadi mata kuliah yang harus kita lalui di jam pertama. Bagiku, absen sekali berarti melewatkan pelajaran dari Dr. Sonia. Jika demikian, berarti saya akan melewatkan banyak momen indah selama beliau mengajar. Akhirnya, Kamis ialah hari yang berharga, apalagi setelah kejadian sepuluh pound lalu. Akan kuingat selamanya. 

Pernah dulu, ketika di bangku tingkat satu, saya punya harapan bagaimana caranya agar bisa berperan aktif di kelas, seperti Kautsar misalnya. Temen asal Turki ini berhasil membuatku merasa iri, sekaligus bahagia karena bisa berteman dengannya. Bisa dibilang, ia mahasiswi pendatang yang paling aktif. Dan Dr. Sonia sangat senang dengan mahasiswi yang aktif. Sehingga, Dr Sonia sangat seneng dengan Kautsar ini. Aku juga. Ah, ini mencoba pake kias mantik model pertama, dua premis yang punya kata/kalimat yang diulang (hadd al-awsath), satu di subjek, mubtada' (mawdlu'), satunya predikat, khabar (mahmul). Aha, belum begitu mantap. Saya belum benar-benar mempelajarinya. Kemarin jam terakhir nggak masuk, karena ada urusan. Heu.

Ceritanya, kemarin saya datang di kelas sekitar pukul delapan lewat setengah. Biasanya, saya ambil tempat duduk di sebelah kiri meja dosen. Karena agak lambat sampai di kelas, akhirnya saya hanya bisa duduk di sebelah kanan agak ke pinggir di deretan pertama. Ah, sudahlah. Yang penting bisa deket dengan meja dosen. Tak apa. Setengah jam kemudian, beliau masuk. Biasanya, beliau selalu memakai layar dan proyektor, dan seperti biasa, kita juga telah menyiapkan layarnya. Namun pagi itu, beliau hendak memberikan satu jenis keterampilan lain, dengan gaya khas di setiap kelas yang diampunya: munaqasyah (diskusi). Jadi, kelas segede itu rasa arena perlombaan debat ilmiah antarkelompok. Wah, bahagia sekali pokoknya. Kelas benar-benar hidup. Tidak monoton. 



Beliau menggulung kembali layar dan memulai kelas. Keterampilan yang ingin beliau ajarkan pagi itu ialah tentang berbicara (tahadduts) dan menelurkan suatu hukum (istinbath) dari buku diktat (muqarrar). Benar saja, PR yang minggu lalu beliau tanyakan dibahas pagi itu. Apakah perbuatan Allah disebabkan oleh suatu tujuan tertentu, ialah poin pembahasan kita kali ini.

Kelas berlangsung dengan sangat antusias, sebagaimana temen-temen Mesir selalu seneng berdebat. Masing-masing berusaha menguatkan pendapatnya dengan dalil, baik aqli maupun dari ayat dan Hadits. Kita membaca secara bergiliran materi yang tertulis di kitab. Satu waktu kita berdebat, satu lagi kita membaca dan menelurkan kesimpulan maksud dari teks yang tertera. Yah, untungnya kali ini kita memakai diktat yang terbilang istimewa. Diktat ini dibuat oleh Dr. Mahmud Ali Daqiqa, seorang anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar disertai rujukan kitab-kitab pokok yang mantap di bidang akidah. Seperti Syarh al-Mawaqif, al-Thawali' , Syarh al-Maqashid li al-Sa'd, Syarh al-'Aqa'id al-Nasafiyyah li al-Nasafiy, dan lain sebagainya. Kitab-kitab babon dari turats Islam. Sampai-sampai seorang senior di magister membuat pernyataan bahwa diktat ini sangat keren. Bahasanya mantap dan ini seperti diktat di dirasat ulya (pascasarjana).

Selepas pertanyaan tadi, kami masuk di pembahasan kenabian (al-nubuwwat). Sampai di subbab perbedaan nabi dan rasul, ada tiga pendapat yang tertera di sana. Pendapat satu dan dua menyatakan bahwa keduanya berbeda, dari segi perintah untuk menyampaikan (tabligh) dan kitab maupun syariat baru yang dibawanya. Pendapat ketiga menyatakan bahwa keduanya mutasawiyan, sama, setara. Di sini beliau menanyakan, apa perbedaan tasawi dan taraduf. Keduanya hampir sama. Bahkan saya pun menganggap bahwa keduanya sama, hanya istilah saja yang membedakan meskipun saya tahu, se-mirip-miripnya istilah dalam bahasa Arab, pasti ada bedanya. Benar saja, aku buka catatan mantik tahun lalu, kudapati kedua pengertian tadi memang berbeda. 

Sebagaimana biasa, Dr. Sonia selalu membuat sayembara di setiap kelasnya. Pun, tak jauh beda dengan kali ini. Siapa dari pelajar pendatang yang mampu menjawab, akan dihadiahi sepuluh pound Mesir. Wah, kebetulan saya baru baca. Hehe. Jadilah saya angkat tangan, dan menjawab. Taraduf (sinonim) ialah kata yang banyak rupanya namun memiliki makna yang sama. Kalau di bahasa Arab, kita mudah sekali bilangnya, seperti burr dan qumh (gandum), asad dan laits (singa). Tasawi ialah hal yang serupa dalam fakta, secara nyata, berbeda dalam pemahaman/konsepnya. Contoh kulliyyah dan jami'ah (universitas), insan dan basyar (manusia). Sontak setelah saya selesai, tepuk tangan memenuhi ruang kelas, Dr. Sonia selalu mengapresiasi seberapa kecilpun upaya yang kita berikan, apalagi bagi pendatang (wafidat). "Mumtaaz, shaffiqna laha ya Banaat."  Begitu kiranya ungkapan beliau.

Hemm. Bahagia, alhamdulillah. Akhirnya harapan saya tahun lalu untuk berperan ngomong di kelas kesampean. Ngomong gitu aja, padahal. Setidaknya, ini bentuk eksistensi bahwa saya ada di kelas saat itu. Saya harus ngomong. Bahwa wafidat juga memahami apa yang dijelaskan oleh dosen. Dalam hal ini, saya merasa Dr. Sonia punya cara menarik dalam melibatkan mahasiswinya di dalam kelas. Peran mahasiswi dalam menghidupkan kelas, bagaimana kita menyanggah pendapat lain, bagaimana kita tettap saling menghormati meski tidak sepakat, bagaimana menjadi pendengar yang baik, pun bagaimana cara menyampaikan yanng baik. Beliau sangat lihai dalam bidang ini. Di samping memang bidang inilah yang beliau tekuni, tak heran jika sangat matang, komprehensif dan sangat memuaskan. Secara tak langsung pula, beliau mendidik kita bagaimana cara berdebat yang baik, sebagaimana ada di buku-buku tentang Adab al-Bahtsi wa al-Munadharah.

Sayangnya, sejauh ini hanya beliau yang mempunyai metode seperti ini. Sangat kontras di rasa. Rasanya tak mau pisah, ingin terus diajar beliau. Mungkin, ustadzah Marwa hampir didahului olehnya, namun tetap saja saya harus menyadari bahwa keduanya ada di ruang lingkup yang berbeda. Dr. Sonia di tingkat universitas, dan usth. Marwa di tingkat pusat bahasa. Sehingga perbedaan objek ilmu yang seperti ini memberi dampak yang signifikan dalam bagaimana seorang guru mengajar dan memeberikan pemahaman. Beberapa menit kemudian, sesaat sebelum kelas usai, saya dipanggil dan diberi sepuluh pound yang tadi dijanjikan beliau. Diiringi tepuk tangan kali kedua. Aha, ternyata begini rasanya ditepuk-tangani temen-temen saat kelasnya Dr. Sonia. Bahagia? Tentu. Namun bahagia ini akan saya buktikan lagi dengan keseriusan dalam belajar dan memahami semua mata kuliah. Insya Allah. 

Saya bahagia, dan tentunya dibumbui rasa-rasa bangga, emm seneng aja gitu. Meski saya sadar, hal tadi sangat tidak seberapa. Karena apa yang saya sampaikan tadi merupakan hasil bacaan, bukan pemahaman. Jika ditanya seberapa paham pun, saya tidak berani menjawab seratus persen. Hanya modal keyakinan bahwa keduanya memang berbeda, namun saya tak bisa menghadirkan perbedaan dan konsep antarkeduanya, jika secara mendadak ditanyakan kepada saya. Maka, ini merupakan hadiah kecil saya di hari itu dari Tuhan. Allah selalu mengabulkan harapan saya. Sejauh ini melalui mata kuliah ini juga, rasanya saya tambah mantep bahwa tak ada apa-apa di saya, kecuali sebab limpahan rahmat-Nya. Bahkan jika kita bilang punya potensi, potensi itu merupakan anugerah dari-Nya, Subhaanahu wa Ta'aala. Dan ini sungguh melegakan. Bahwa saya punya Tuhan yang Mahakuasa, Mahakaya, Maha segala-galanya.

Bagi yang belum mendapat nikmat diajar sama Dr. Sonia, mungkin akan kurang paham bagaimana rasa ceritanya. Maka, saya sarankan: masuklah ke ruang kelas tingkat II Ushuluddin Banat, lantai dua gedung Studi Islam B, depan Fakultas Farmasi. Nanti ketemu saya juga di situ, wkwk. Ga penting banget si. Abaikan abaikan. :D

Dalam lantunan suluk shalat Jumat, Jumat 24 November 2017 di pukul 11.30 WLK. 

Sunday 19 November 2017

Sekumpulan Pecinta Ahlul Bayt


Terdengar suara seorang ustadzah saat aku melepas sepatu di pintu utama masjid al-Azhar. Suara itu baru kudengar sekali ini, bukan suara Dr. Sonia ataupun lainnya yang pernah kukenal. 

Hari ini, Ahad 19/11/2017 aku bertandamg ke masjid, seusai kelas. Bus 80 coret tadi sebenarnya kosong, sehingga mahasiswi yang telah lama menunggu bergegas  masuk berebut tempat duduk. Bus tepat berhenti di depanku. Pintu terbuka, namun secara tak tertib mereka berebut masuk. Inginnya masuk duluan semua, akhirnya pintu penuh dan kesempatanku masuk duluan pun tertunda. Melihat pintu bus bagian belakang yang sepi, mestinga aku lari kesana. Namun, aku hanya terdiam melihat yang lain berpindah pintu, dan aku tetap menunggu di pintu tadi. Pasrah. Aku yakin aku akan masuk, meski berdiri menjadi suatu kepastian tersendiri. Haha ya Tuhan. Jalani setiap detail momen dengan percaya, maka hati akan tenang. 

Seusai turun dari bus mampir di Zad, sebuah toko roti di seberang terminal bus Darrasah. Menuju ke masjid, untuk sekadar menanggalkan kerinduan. 

Menarik. Sore ini, ada halakah ibu-ibu yang sedang mendalami sejarah Ahlul Bayt. Entah memakai kitab apa, yang jelas, ibu-ibu tadi dipimpin ustadzah yang siaranya terdengar sampai di pintu utama masjid. Beliau mungkin dukturah. Cara penyampaiannya enak, tegas. Di antaranya, mengulang tentang adab di majelis ilmu ialah termasuk tidak sibuk dengan gadget. Ketika itu ada seorang ibu yang sedang berbicara di telepon. 

Kemudian, tentang praktik keteladanan terhadap Ahlul Bayt. Rasul bersabda: "Addibū awlādakum hubba al-Qurān, wa hubba al-Nabiyy, wa hubba Ahli Baytihi". 

Lagi, beliau mengatakan: "Kullama zādat al-madaniyyah, qallat al-shihhah, kullama zādat al-rafāhiyyah, qallat al-ridlā". Semakin madani, semakin berkurang tingkat kesehatan masyarakat. Semakin jatuh dalam kenikmatan, semakin sulit untuk sekadar merelakan. 

Beberapa menit berikutnya, terdengar mikrofon dari ruwaq sebelah. Aha, aku yakin itu suara Dr. Hasan Usman, pengampu nahu di masjid al-Azhar. Kitabnya, Awdlah al-Masālik ilā Alfiyyah Ibni Mālik. Diktat nahu tingkat akhir. Selain ada juga, Syarh Ibnu Aqil di Rabu sore, sebelum jamnya Dr. Muhanna bersama Dr. Rabi' Ghafir. 

Ya Tuhan, mugi selalu diparingi taufik. 
Di bawah langit al-Azhar, di antara kumandang lantunan al-Quran. Rakaat terakhir shalat maghrib. 

Friday 10 November 2017

Pepeling



Barangkali, mimpi menjadi sebuah momen tersendiri bagi seseorang. Entah disebut sebagai bunga tidur, sebagai refleksi pikir atas apa yang terlintas di dalam benak ketika siang hari, atau sebagai sebuah pertanda. 

Sebagian besar hariku akhir-akhir ini dipenuhi banyak mimpi. Bukan sembarang mimpi, mungkin. Karena entah mengapa, ada banyak hal yang kudapati darinya. Jawaban atas sebuah tanya, penanda atas sebuah perkara, penunjuk atas sebuah rasa, maupun pepeling atas dosa-dosa. Kiranya, yang terakhir inilah yang seringkali datang. 

Jika sebuah laku mempengaruhi segala sesuatu, maka aku tak cukup mendapat sebab untuk mendaku semua itu. Dilihat dari sisi manapun, sepertinya aku belum masuk kualifikasi santri ibu. Barakah shalawat Rasul, juga barakah al-Fatihah untuk Mbah Munawwir, Mbah Ali dan dzurriyyah mungkin, yang selalu memudahkan segala urusan, mengabulkan segala hajatku selama ini. Yarhamuhumullaah. Boten supe setiap ajeng deres, bakda shalat, alhamdulillah. 

Entah ke berapa kalinya, Selasa lalu (sekarang 10/11) ibu datang lagi. Kali itu, kita sedang di arena gerbang utama SMP Alma Ata, tempatku dulu menimba ilmu. Di gerbang situ, ibu dengan gaya khasnya mengajakku simaan, 20 juz. Entah acara apa di sana, intinya hanya poin bahwa ibu ngajak simaan bareng. Heu, dan seperti kali-kali terdahulu, akupun hanya meringis, tanpa mengiyakan maupun menolak. 

Semalem, Kamis (10/11), Syekh Abdullah juga menjumpaiku. Kali ini, aku mengajukan permohonan maaf karena masih ngelibur ngaji, sejak beberapa waktu lalu. Dan, mungkin karena kebangetan, beliau datang berkali-kali, mungkin ini kali ketiga atau keempat dalam dua bulan terakhir ini. Ya Allah, rasanya udah jelas pertanda, tapi terlalu keras hatinya. Belum ada semangat nderes yang menggebu, kendati beliau berdua sampun kerso menyambangiku. 

Bahagia, campur takut, harap-harap beliau berdua kerso mengakui daku sebagai santrinya. 

Beliau berdua datang berseling. Yang paling kuingat, Syekh Abdullah sebulan lalu mungkin, ketika bertemu di samping Azhar, aku salim dengan plegak-pleguk. Beliau hanya senyum, dan tanya mau kemana. Kedua, bertemu lagi di belakang Azhar, beliau menitipkan barang padaku dan memintaku untuk menjaganya sampai beliau kembali. Kemudian, ibu. 

Beliau datang, memintaku simaan entah dalam rangka apa. Rutinan mungkin. Kali itu, settingnya di mushalla komplek. Kemudian setelahnya, ibu memintaku menyelesaikan di sini, sesuai dengan jadwal khataman yang dibarengkan dengan haul, tahun depan sekitaran Februari. Kali ini, beliau ngendikan kalau ngga kesempatan ini sekarang, kapan lagi. Mungkin akan ada suatu hal yang terjadi. Aku hanya berharap, beliau semua baik-baik saja, panjang umur. Ibuk dan Syekh Abdullah. 

Ohya, setahun lalu, Syekh selalu datang di mimpi ketika aku tertidur dan belum sempat nderes. Padahal, waktu itu baru beberapa bulan daku ngaji ke beliau. Namun, beberapa pertemuan tersebut ternyata membuat chemistry yang cukup erat antara daku dan beliau. Ceritanya selalu berputar pada saat ketika aku ngadep dan belum lancar. Lantas beliau dengan jelas (sampai saat ini masih teringat) ngendika: "Dideres sek, ya, Nda. Kono ning buri". Seketika aku terbangun dibuatnya dan menyadari bahwa belum nderes sebelum terlelap tadi. Akupun cerita ke beliau. Beliau hanya tersenyum dan mendoakan dengan tulus: "Baarakallaah fiiik". Ah, adem sekali dengernya. 

Pernah juga, daku meminta untuk binnadzar sebagai sampingan, pun agar aku segera punya sanad, hehe. Beliau ndak kerso, terus dipeseni untuk nderes yang idah disetor aja setiap hari dua juz. 

Dan, kendati demikian, semua mimpi tadi masih tergeletak di sana. Daku belum mampu menangkap pesan, merealisasikan makna yang dikandung di dalamnya. 

Nderese tesih bioso wae. :(
Ya Allah, kerso paringi taufik. 🙏😭

Depan masjid al-Azhar, menuju tempat pulang. 
Jumat, 10/11/2017.

Sunday 5 November 2017

Perjalanan Menuju Diri Sendiri


Seminggu yang lalu, pada Senin tepatnya, aku mulai belajar pada salah seorang senior di kajian. Syukurlah, rumahnya tak terlalu jauh. Hanya memang, sedikit mungkin sekitar 0,001 Masisir yang tinggal di daerah itu. Jadi, nambah rutinitas keseharianku yang semakin menjadikan rumahku hanya tempat untuk kembali dan sekadar menyelonjorkan kaki. 

Bagi beberapa orang yang melihat, mungkin orang-orang yang (terlihat) sibuk mampu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Bertemu dengan siapa saja, membentuk relasi sosial pada seantero mahasiswa Indonesia di sini, atau minimal mempunyai teman yang bisa diajak ngobrol, meski sebenarnya tak terlalu penting. Intinya, ada teman dan  tak terlihat menyedihkan. 

Ah, orang-orang unik memang. 

Sepulang dari rumah tadi, kira-kira bakda Isya, terpukul rasanya hati ini. Ternyata, sekadar membaca saja belum bisa. Ditambah lagi, dengan kondisi mengenaskan seperti itu aku seringkali merasa punya kemampuan baca yang lumayan, jika dilihat dari teman-teman seangkatan. Lagi-lagi entah apa saja yang telah aku lakukan selama masuk tahun ketiga ini. Aku tak begitu yakin. Mungkin saja, aku hanya bermain dengan relasi, mencari eksistensi diri, namun masih belum menemukan diri yang sejati. Selama ini hanya tentang eksistensi yang rasanya, palsu. 

Tentang kebingungan mencari jati diri. Mungkin, masa-masa di usiaku kini masihkah bisa disebut dengan pencarian jati diri? Aku tak terlalu yakin. Mengapa, karena banyak di luar sana, teman sebaya yang kurasa telah mampu menemukan jati dirinya. Dalam satu bidang di antara sejuta bidang yang ada di dunia. Rasanya, mereka telah menemukan dan enjoy saja. Terlepas dari sudut pandang orang lain tentang kemanfaatan, kesungguhan, dan seberapa jauh bidang tersebut mengisyaratkan kondisi yang empunya. 

Selalu terdetak ingatan tentang betapa malangnya diri ini, seperti ini. Seringkali ada pikiran-pikiran yang menyusup, masuk ke kepala, nyempil-nyempil di antara sesaknya lalu lintas jalanan. Meski demikian, setidaknya hal itu mampu mengalihkanku dari bisingnya deruman bus, klakson-klakson Tramco yang terus mendesak, teriakan para penumpang, aih juga mobil-mobil pribadi yang saling berebut jalan, serta sesaknya bus ketika penumpang masuk berdesakan. Huft, ini perjalanan hidup. Menuju diri sendiri. 

Sampai di Sadis, penumpang berangsur turun. Kebanyakan mereka ialah mahasiswa yang kuliahnya di kampus II al-Azhar, kawasan kampus yang baru. Satu kawasan ini dipagari tembok yang tak begitu tinggi, membentang membentuk segi panjang—meski lebih mirip segi tak beraturan. Ah, mungkin trapesium, mungkin. Entah segi berapa. Di kawasan ini ada Pusat Bahasa al-Azhar, Fakultas Syariah, Gedung Program Pascasarjana, Auditorium Shalah Kamil, Gedung Rektorat Universitas, Gedung Pusat Arsip Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Fakultas Media, Fakultas Perdagangan, Asrama Mahasiswa Indonesia, dan gedung-gedung lain yang tak terhitung jumlahnga, di samping Gedung Studi Islam dan Bahasa Arab untuk putri. 

Perjalanan menuju kampus, selalu kusebut perjalanan menuju diri sendiri. 

Deret gedung yang menjulang, jalan layang yang selalu padat, pekuburan yang berdampingan dengan pemukiman, ramainya manusia di pinggir jalan, serta kawasan kampus yang jadi tempat belajar sekian tahun ke depan. Ah, bukan tempat belajar katanya. Tempat melatih metode pemikiran. 

Menuju diri sendiri, karena ketika kita mengunjungi suatu tempat, kita akan menemukan kembali diri kita yang dulu, di tempat itu, dengan paripurna. Meninggalkan suatu tempat berarti meninggalkan sebagian diri kita di tempat tersebut. Bukan hati yang tertinggal, namun jiwa. 

Dulu aku pernah belajar di Pusat Bahasa al-Azhar. Dua tahun yang lalu, kisaran. Tak hanya diktat dan ujian yang saya dapatkan, jiwa baru yang kini hidup bersama keseharianku ialah bekal terdalam yang pernah digoreskan Tuhan. Ada suatu yang hidup bahkan ketika diri ini tak lagi di sana. Pun, ada yang hilang ketika mengingat bahwa suatu saat, aku akan meninggalkan dengan ataupun tanpa alasan. Pusat Bahasa, melewati gedung seperti itu setiap hari membuatku menemukan kembali jiwa yang dulu pernah pergi. 

Meski begitu, kampus putri menjadi satu hal yang sama dengan Pusat Bahasa tadi. Kuliah selalu mengingatkanku bahwa hidup begitu cepat berlalu. Dengan atauoun tanpa kerja keras menghidupi rasa syukur yang diberi oleh Tuhan. Mungkin, hidup yang sungguhan hanya akan saya dapatkan dengan kesungguhan yang sungguh-sungguh, dan tentu dengan pertolongan Tuhan. 

Perjalanan menuju diri sendiri, saya menyebutnya seperti itu. 

Pagi yang dingin, Darrasa 5 November 2017.
Semoga selalu diberi taufik oleh-Nya. Aamiin.


Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...