Friday 20 October 2017

Kesalehan dan Mimpi-mimpi yang Menyata

Gb: gedung Fakultas Kedokteran Gigi dilihat dari ruang kelas II Ushul, FDI Gd. B


Beberapa waktu ini, saya dan teman rumah sedang mengikuti salah satu film baru. Aktor yang memainkan peran Jaksa Jung ialah Lee Jong Suk. Sedangkan partnernya, diperankan mbak Suzy Bae (Suzy Aja). Karena efek kelas film di Sekolah Menulis Walisongo (SMW), saya mencoba memeras kepala, mencari hal yang menarik, yang layak, sehingga kegiatan menonton tidak menjadi mainstream, seperti kebanyakan nonton film. Akhirnya, membahas mimpi yang menyata mungkin satu hal yang menarik. 

While You're Sleeping (2017) menceritakan tentang mimpi—sebagimana judulnya. Mimpi yang datang ketika kita sedang tidur. Mimpi yang menyata, sebuah pertanda akan apa yang akan terjadi. Kadang saya berpikir, ternyata tak harus saleh banget untuk dapat wangsit dari mimpi. Weruh sak durunge winarah. Agaknya, ini yang terlintas di kepala saya ketika mengikuti pergantian scene yang ditampilkan layar mini dua puluhan inci itu. 

Terlalu memaksakan mungkin. Kadang, ketika kita masuk dalam ranah kesalehan, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi bagi seseorang yang ingin wangsit tadi—atau sejenis itu. Mestinya, ada laku-laku yang bisa mengkuakifikasi bahwa anugerah kaweruh itu dekat sekali dengan kesalehan. Tentunya, dalam ranah yang berbeda, sih. 

Bolehlah, kita melihat beberapa dimensi dari kalangan liyan. Eh, terlalu kasar jika kita mengatakan itu. Karena sesungguhnya, nonton film yang paling kena efeknya ialah, mestinya kita merasa bahwa mereka dan kita sama-sama manusia. Itu hal yang cukup untuk melihat, mengamati dan mengambil pelajaran yang sekiranya memberi kemanfaatan. Ya manafaat dalam apa saja, pengalaman, cara pandang, nalar pikir, dan lain sebagainya. 

Korea mempunyai cara yang khas dalam menyampaikan film. Cerita-cerita drama yang romantis, melow, heroik, persoalan antara rasa, profesi dan masa lalu biasanya dicampur jadi satu. Yah, gara-gara itu pula, cara pandang terhadap film-film loyan oun semakin defensif. 

Mimpi, pada akhirnya bukan semata hal yang lalu. Ia sebagai bisa jadi sebuah pertanda, sebuah bunga tidur, atau hal yang ada lalu pergi begitu saja, tak merasa apa-apa. 

Mimpi, selain sebuah repetisi semu dan abstrak atas aoa yang kita pikirkan sebelum tidur, ia juga sebagai tolok ukur kesalehan. Seringkali kita melihat bahwa orang-orang yang saleh, selalu mimpi yang bermakna. Entah untuk kemaslahatan diri maupun umum, mimpi seringkali jadi cerminan seberapa tulus amal yang kita lakukan. Karena banyak amal saja tak cukup, maka saya katakan yang tulus. Karena sebagaimana kita tahu, Tuhan tak menerima apa-apa kecuali atas landasan tulus dan ikhlas. 

Dalam film tadi pun, tokoh yang mempunyai mimpi yang berarti ialah mereka yang punya kesalehan yang luhur dalam kesehariannya. Terlepas dari tradisi bahwa tokoh utama selalu baik, mimpi di sini digambarkan adanya satu kesalehan yang pernah dilakukan dengan begitu ikhlas. Kejadian tersebut saya kira yang membuat mereka diamanahi mimpi yang berarti. Kejadian yang saking tulusnya, mereka lupa bahwa mereka pernah melakukannya. Hal itu yang kemudian jadi wasilah bagi mereka untuk dianugerahi mimli sedemikian tadi. 

Karena kita sesama manusia, maka kesalehan di sini saya lihat secara sosial. Secara ritual, biarlah itu menjadi urusan dia dan Tuhannya. Nah, ini sesuai dengan kisah tiga pemuda yang terjebak di dalam gua, yang kemudian berwasilah dengan amal terbaik yang pernah mereka lakukan. Amal baik tadi, menjadi wasilah turunnya "anugerah" dari Tuhan, yang kadang kembali dengan berbanyak lipat dari apa yang kita lakukan. Kebaikan kecil menjadi sangat luhur dan mahal hanya karena sedalam tulus ikhlas yang mewarnainya. 

Saya seringkali melihat mimpi yang seperti tadi itu dengan anugerah. 

Kairo, 20 Oktober 2017 @ 12.33 CLT.
Ketika khotbah masjid sebelah usai. Bersiap menuju masjid al-Azhar, menadah untaian hikmah dari Dr. Muhanna. Semoga barakah kesalehan beliau tertadah oleh kita sekalian. 

Tuesday 17 October 2017

Generasi Merunduk

abaikan, ini gak nyambung sama isi.


Ternyata, semakin ke sini semakin banyak hal perlu dipikirkan. Entahlah, mungkin sebuah keniscayaan ketika umur seseorang bertambah, ada tambahan beban yang kudu dipikirkan. Ah, mungkin ini hanya berlaku bagi kalangan yang tumbuh dengan pendewasaan yang benar. Buktinya, ada beberapa kawan yang, semakin besar, hidupnya terasa lebih nyaman. Misal, dikit-dikit bahasnya nikah. Sampe di lini masa Instagram pun, mayoritas foto yang mampang di deretan menu Search pun tentang pernikahan. Ah, mungkin petugas KUA di seluruh dunia sedang sibuk-sibuknya. 

Di sisi lain, ada banyak kabar yang melintas tentang santri yang juara. Ada lagi tentang mereka yang menemukan terobosan baru di minyak, tenaga listrik dan ranah tekno lainnya. Di belahan dunia sana, ada yang baru saja menapak kaki, memantapkan langkah baru menuntut ilmu. Di belahan selatannya, ada yang baru pindah ke Aussie, ikut suami menempuh master di Monash University. Ketika kita liat di globe, di bagian atasnya ada yang sedang ribut menyoal diksi pribumi yang dilontarkan salah satu pejabat baru. Sebegitu masifnya runtuhan puing-puing globalisasi membenarkan asumsiku bahwa saat ini semua menjadi transparan. Semua terlihat. Kegiatan apapun yang ada, sekali taruh di storyApp, seantero dunia bisa melihatnya. Transparan sekali. 

Meski demikian, entah mengapa efek sampingnya luar biasa. Gara-gara ada alat transparan tadi, semua jadi penuh pencitraan, pertama. Yah, ini terlepas dari mereka yang memungut puing-puing untuk didaur ulang, dimanfaatkan. Kedua, semuanya jadi merunduk, gara-gara sibuk berebut reruntuhan kecil tadi. Dan jujur saya, meski hanya punya satu, saya pun turut kena candu. Alesannya, banyak chat masuk. Ah, dengan culasnya saya pede mengatakan itu. Padahal, alesan aja. 

Generasi merunduk. Dari yang saya amati, benar-benar ada satu skip nilai yang hilang. Mereka yang biasa sibuk dengan gadgetnya cenderung pasif, cuek, dan apatis. Pasif dengan sekitar karena mereka sibuk mantengin layar. Kudu dua tiga kali manggil namanya kalo kita pengen ngajak dia berdialektika. Elah, ketinggian bahasanya. Ngobrol, lebih tepatnya. Jadi, telinga yang selalu terbuka setiap saat sudah terdistorsi fungsinya. Tak lagi ada respon cepat tanggap, aktif dan masif.

Cuek dan apatis, kebanyakan ini terjadi ketika sudah terakumulasi candu gadget. Selain merunduk, yang paling sering dikeluarkan paling gumam "hmm", atau jawab sekenanya "iya" atau tiba-tiba "apa sih" dengan ketus dan raut kesal ketika disebut nama berkali-kali. Gara-gara gadget, kita kurang ngobrol jadinya. 

Sunday 15 October 2017

Sastra; Sebuah Ruang Tanpa Pencitraan



Sastra ialah cara terbaik untuk menyampaikan kata-kata. Setidaknya, meski saya bukan mahasiswi jurusan sastra, pun tak pernah belajar bagaimana seharusnya sastra, saya turut menikmatinya. Menikmatinya sebagai satu-satunya ruang yang bersih, jujur dan apa adanya. Menampilkan keindahan dengan lebih indah. Menceritakan sejarah kelam dengan tidak berlebihan. Membuka paradigma dengan kejujuran dan keterbukaan, tanpa dibumbui hawa-hawa panas nan penuh kepentingan. 

Entah, selama beberapa minggu di ujung liburan kemarin rasanya ada banyak perkara yang masuk dan terpaksa diolah oleh saraf-saraf di kepala. Beberapa pandangan yang setidaknya membuat saya tidak bisa berkata banyak seperti dahulu. Tergagu. Perkara-perkara yang setidaknya membuat saya berpikir bahwa hidup saya selama ini belum benar-benar berarti. Semua kata yang pernah saya tulis dan dilabeli sebagai makalah, ternyata tidak seintelek itu. Piagam-piagam, sertifikat dan amplop yang pernah saya terima ternyata hanya simbolis semata. Pujian, ujaran kebahagiaan yang pernah dilontarkan teman-teman pun hanya kata-kata semu yang ditutupi oleh sesaknya kepentingan, buramnya kaca mata dalam berpandangan ke depan, melihat yang benar-benar murni tanpa pencitraan, secara sadar maupun tidak. Entah mengapa, saya merasa tidak benar-benar hidup dengan baik. Saya hanya ikut-ikutan arus yang kian kemari kian membanggakan hal-hal yang bersifat materi. 

Hari ini, siang tadi tepatnya, saya tidak sengaja melihat salah satu foto di deretan menu Search di Instagram. Ternyata ia seorang yang terkenal. Ia seorang sastrawan kenamaan, baik di Masisir maupun di Indonesia. Sering diundang di kampus-kampus Indonesia, sering jumpa dengan seniman, sastrawan bahkan para kiai sepuh yang masyhur di telinga. Ternyata, ia santri yang waktu mondoknya lumayan lama. Dan ternyata, ia tidak sefanatik mereka (dan saya mungkin juga pernah) yang menggembar-gemborkan perkara-perkara simbolis yang dibangga-banggakan. Ia beraksi nyata. Ia berkarya. Ia tidak banyak kata. Ia larut dalam dunia asyiknya, sastra.

Setelah beberapa saat melihat-lihat postingannya--atau stalking gitu aja--saya teringat, terpikirkan kondisi diri. Sebenarnya saya siapa? Melihat beberapa kerabat, teman yang telah menjadi "orang," saya hanya tersenyum kecut. Haa, saya bukan siapa-siapa. Saya bukan apa-apa. Saya belum menjadi seperti mereka yang mampu menulis karya. Pun, ada satu scene, satu jenis kelompok masyarakat yang pernah saya kepingin menjadi bagiannya, namun akhirnya tersadar, itu tidak akan nyata. Akhirnya, pikiran saya terhenti bahwa saya harus memulai untuk hal-hal yang konkret. Bukan lagi ikut-ikutan mencari teman, turut mengambil bagian di kehidupan yang katanya modern ini sebab relasi dan komunikasi, atau bahasa kasarnya popularitas. Dan, lagi-lagi saya kepikiran bahwa, popularitas tidak ada artinya tanpa diri yang benar-benar berkualitas. Itu semua semu, menurutku. Mungkin, inilah bagian yang dinyatakan dalam al-Quran bahwa, dunia hanyalah tipuan belaka. Saling menipu dalam secarik kertas bertuliskan nama dan penghargaan. Saling menipu dan bersembunyi di balik emotikon WhatsApp. Saling pencitraan dengan mengapdet foto-foto berbaju kesalehan. Padahal, bajunya hanya dipake sekali dalam sebulan. Padahal, sebenarnya foto sama ulama tadi hanya kebetulan. Padahal, semua yang pernah dicapai hanya pemberian dari Yang Maha Menghidupkan. Meski begitu, seringkali kita mengklaim bahwa itulah capaian diri yang membanggakan. 

Dalam akun tadi, setidaknya ada angin yang mendesir, mengubah lamunanku bahwa hidup, mestinya lebih berarti dari apa yang kita pahami dalam makna kata "berarti" itu sendiri. Dalam artian, bukan sekadar bangun mandi makan pergi lalu kembali setelah bersosialisasi, namun ada bagian yang menjadi porsi diri, jiwa dan hati. Nyatanya, yang katanya bersosialisasi belum sepenuhnya mempunyai hati. Pun, yang mampu meraih predikat mahasiswa terbaik, atau apa terbaik belum sepenuhnya bijak, layaknya para penganggit sajak. Lagi-lagi, semua itu tadi hanya simbolisasi. Kita terkungkung dalam dunia modern yang merasa cukup dengan runtuhan puing-puing teknologi yang mengelabui. Tak lebih dari itu, semua yang kita temui menjadikan materi, lambang dan gambar sebagai esensi. Sebenarnya, sejauh mana kita memahami makna esensi? Entahlah, saya pun belum memahaminya dengan pasti. 

Sastrawan, mereka yang mengatakan esensi tanpa simbolisasi. Mereka mengatakan kebenaran tanpa nyiyir dan menafikan yang lain. Mereka mengutarakan pemikiran tanpa kertas mahal bertuliskan "hasil kajian." Mereka yang menumpahkan segala emosi tanpa menyakiti hati. Mereka yang menghidupi hidup, sebenar-benar hidup. Meski mereka tiada, kelak buah cipta dan rasanya yang akan terus berbicara. Menasehati para pemuda yang hidup pada masa setelahnya. Mengingatkan mereka akan betapa arifnya menghidupi kehidupan dengan luasnya keindahan makna, tanpa diracuni oleh bias-bisa pencitraan. Haruskah kita menjadi sastrawan?

Kairo, 15 Oktober 2017.
Ketika adzan masjid sebelah berkumandang. Senja telah lama berpulang ke peraduan. 

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...