Tuesday 23 August 2016

Cuplikan Sekilas Wejangan Syekh Usamah al-Azhariy

Alhamdulillah, siang tadi penulis dapat "nunut" kuliah umum bersama Dr. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhariy, Penasihat Presiden Mesir. Lebih dari itu, beliau diakui sebagai Mujaddid al-Azhar sebagaimana dituturkan oleh Dr. Jamal Faruq, Dekan Fakultas Dakwah cabang Kairo, dalam sambutannya. Hal ini disebabkan karena keilmuan beliau yang sangat matang, sosok intelektual yang hakiki sebagai seorang Azhari. Keilmuan beliau melebihi usianya. Ungkapan ini dikuatkan dengan karya-karya beliau sebagai wujud representasi pemikiran yang mendalam, matang, sistematis, serta terlihat betapa banyak literatur yang beliau kuasai. Sosok Azhari sejati, begitu yang terlintas dalam benak penulis ketika mendengar nama beliau, Syekh Dr. Usamah Sayyid al-Azhari.

Syekh Dr. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari
Dalam kuliah umum kali ini, beliau menyampaikan materi seputar tema besar yang paling mendasar urgensitasnya dalam lingkup keilmuan seorang Azhari, atau secara lebih luas: lingkup keilmuan seseorang yang belajar di lembaga al-Azhar. Di bawah naungan tema besar "Pembentukan Watak Intelektual Seorang Azhari", beliau memulai dengan menilik kembali sejarah para Ulama al-Azhar sejak beratus tahun yang lalu. Di antaranya Syekh Ibrahim Salim yang dijuluki sebagai Ahli Mantiq, di mana beliau menghabiskan masa kecilnya di Ma'had Iskandariyah, juga seorang Guru Besar Mantiq di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo. Dalam kesehariannya, beliau menghabiskan waktu untuk belajar mulai pukul 6.30 pagi hingga 6.30 sore. Tentu, di sela-sela tersebut terpakai untuk shalat, istirahat sejenak, dan lainnya yang terakumulasi selama dua jam. Jadi, beliau mengkhususkan waktu untuk benar-benar belajar selama sepuluh jam. Sepuluh jam ini beliau bagi menjadi empat macam ilmu yang berbeda. Kesimpulan: apa yang beliau sampaikan dari ingatan tentang Syekh Salim ini ialah betapa seorang pelajar, penuntut ilmu, terlebih mereka yang belajar di al-Azhar harus dan benar-benar harus mengkhususkan waktunya untuk membaca, mudaarasah, muthaala'ah, mujaalasah, mumaarasah dan lain sebagainya sebagai konsekuensi seorang penuntut ilmu yang sejati. 
Di samping beliau, Syekh Usamah juga menyebutkan beberapa ulama lain yang diakui keilmuannya di seantero dunia, di antaranya Syekh Sya'rowi dengan tafsirnya, Syekh Ibrahim Mukhtar ibn Umar, Syekh Hassan al-Baquri, Syekh Syamsuddin Muhammad 'Illisy, kemudian putra beliau yakni Syekh Abdurrahman 'Illisy. Ketika menceritakan tentang riwayat para ulama ini secara singkat, beliau terkejut dan tersenyum kecut ketika menanyakan kepada hadirin: "Adakah di antara kalian yang mengenal, mengetahui Syekh 'Illisy?" Namun, tak ada satu pun yang menjawabnya. Entah diamnya kami saat itu apakah ada yang mengetahui atau tidak. Padahal, beberapa pertanyaan berikutnya yang beliau lemparkan dan dijawab dengan benar, tak tanggung-tanggung beliau memberikan dua ratus pound (saya kurang yakin, namun lembaran itu terlihat seperti itu. Mengingat dua ratus pound rasanya tidak ada yang mirip seperti misalnya: lima pound dengan dua puluh pound).
Setelah menilik sejarah secara singkat, beliau menekankan bagaimana peta pemikiran intelektualitas seorang Azhari yang matang dan mumpuni. Tercatat bahwasanya al-Azhar mengajarkan dua belas cabang ilmu yang berbeda secara bersamaan dalam tingkatan yang berbeda. Tidak ada pilihan bagi seorang Azhari untuk memilih ilmu apa saja yang ia kehendaki. Harus. Seorang Azhari sejati harus menguasai atau paling tidak mempelajari dua belas cabang ilmu ini secara matang dan komprehensif. Dua belas cabang ilmu ini dibagi menjadi tiga tingkatan pada masing-masing ilmu. Ditambah lagi, paling tidak ada sepuluh guru yang mengajar di satu bidang keilmuan dalam tingkatan (mustawa) yang sama. Itu ialah batas minimal. Sepuluh guru di setiap cabang ilmu di mustawa yang sama ialah batas minimal seorang santri Azhari dalam prosesnya membentuk watak intelektualitas seorang Azhari sejati. 
Tingkatan-tingkatan bidang keilmuan pada dua belas cabang yang berbeda ini dapat kita lihat pada jadwal talaqqi di al-Azhar. Misalnya dalam ilmu Nahwu, Jurumiyyah untuk tingkat awal, Tanqih Azhariyyah untuk menengah, serta Qatrunnada, Alfiyyah ibn Malik, Syarh Syudzur al-Dzahab untuk tingkat akhir. Mengingat jumlah santri al-Azhar yang melebihi dua puluh ribu santri, tidak mungkin jika ditampung dalam satu tempat saja, yakni masjid al-Azhar. Oleh karena itu, ada beberapa tempat lain yang dijadikan sebagai majelis ilmu di bawah naungan al-Azhar. Di antaranya; masjid Sayyidina Hussein, Masjid Dardir, masjid 'Aini, dan lain sebagainya (penulis tidak cukup pandai menghafal, hehe).

Urgensitas Seseorang dalam Mempelajari Sebuah Keilmuan
Sebuah bidang keilmuan tidak dipelajari karena ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, sebuah keilmuan dipelajari untuk mencapai sebuah tujuan yang pasti, jelas, sistematis. Ia merupakan sebuah perantara untuk mencapai tingkat pemahaman yang matang dalam tingkatan sempurna (idraak). Sehingga dari sini lah terbentuk sebuah watak intelektualitas yang mantap hingga mampu untuk melakukan sebuah sumbangsih nyata dalam lingkup keilmuan tertentu. Ingat, إنما العلم وسيلة وليس غاية.
Sering kali ketika kita ditanya: apa manfaat dari sebuah ilmu? sontak kita menjawab: agar kita merasa takut kepada Allah (لخشية الله). Sebuah jawaban klise. Jawaban tersebut bukanlah jawaban yang dapat diterima dalam konteks apa yang sedang kita bicarakan, tegas beliau. Jawaban tersebut lebih kepada sebuah ceramah dalam khutbah Jumat (entah khutbah tertulis atau tidak, haha). 
Memang benar, manfaat ilmu ialah untuk mengenal Allah, sehingga menumbuhkan rasa takut (الخشية ) kepada-Nya. Namun, jawaban tersebut merupakan jawaban yang sangat sangat jauh, jawaban jangka panjang. Sebelum sampai kepada khasyyah ini, ada banyak tahapan yang harus dilalui seseorang dalam perjalanan menuntut ilmu. Yakni, terbentuknya sebuah pemahaman yang benar, pemahaman yang matang untuk kemudian mampu mengetahui seluk-beluk sebuah nash. Jadi, inti yang paling utama dalam proses pembelajaran sebuah keilmuan ialah untuk paham. Kedua, untuk memahami wahyu Allah (al-Quran, sunnah) dengan pemahaman matang dan mantap, kuat, sebagai tindak lanjutan dari apa yang telah diperoleh pada tahap pertama tadi. 
Juga, terdapat empat cakupan pokok dalam rangkaian sebuah keilmuan yang utuh, sebagai berikut.
1. الفهم والإفهام, tercakup di dalamnya ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fikih Lughah, dll.
2. التثبت والتوثيق; Ilmu Hadits beserta al-Jarh wa al-Ta'dil-nya, Sirah Nabawiyyah, Tarikh.
3. الحجية والتحليل; Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Mantiq, Aadab al-Bahts wa al-Munadharah.
4. بناء الإنسان; Fikih, Tasawuf.

Huft.. serasa kecil sekali saya, mencoba menuliskan apa yang beliau sampaikan tadi siang dalam kemampuan yang masih kudu jungkir-balik, sangat sangat jauh. Kalamnya berat, Teman (terutama bagi manusia seperti saya). Majelis tadi serasa sebuah tempat pemberitahuan agen rahasia tentang gerilya penting yang akan disampaikan oleh kapten. Mungkin terkesan agak serem, memang iya. Beliau bukanlah sosok humoris. Beliau selalu serius dalam menyampaikan segala sesuatu. Jika kita lihat, tersirat dalam wajah beliau segudang pemikiran, istiqra' yang matang dan konsisten memaksa wajah teduh itu menyiratkan lelah, namun tetap kukuh. Alisnya, sangat mudah bersatu, terlalu sering mengerutkan dahi atas apa yang menjadi keprihatinan kita saat ini. Wajahnya selalu memancarkan cahaya, menggambarkan seorang intelektual matang yang berkhidmah untuk umat. Wajah seorang Mujaddid Azhari, wajah sosok intelektual yang digembleng dengan matang, له قدم راسخ. Bagaimana tidak? beliau ialah murid tersayang Syekh Ali Jumah. Tentu saja, penulis tak bisa menggambarkannya secara detail dengan kata-kata. Intinya, ya seperti itu.
Jika diberi rizqi untuk mengikuti majelisnya beliau, kita bisa mengamati bagaimana beliau dalam menyampaikan ilmu. Bagaimana beliau ketika duduk di samping guru atau seseorang yang lebih sepuh darinya. Bagaimana majelis beliau, bagaimana segala gerak-gerik yang menjadi ciri khas beliau sungguh merupakan sebuah anugerah tak terhingga atas kemuliaan yang Allah karuniakan kepada manusia atas makhluk lainnya. 
Masih belum selesai. 
Banyak di antara kita memahami bahwa seorang ahli tafsir ialah mereka yang banyak membaca kitab tafsir, lalu menceritakannya kepada yang lain. Sungguh bukan seperti itu. Seorang ahli tafsir ialah ia yang membaca tafsir dengan kecakapan pemahaman yang sedemikian hingga ia mampu mengambil sebuah hukum (istinbath) atasnya. Sebuah jangkauan yang sangat dalam dan jauh. Jangkauan yang hanya dapat diperoleh oleh mereka yang belajar selama 10-15 tahun di al-Azhar, dengan rincian waktu belajar, sistem belajar, jumlah guru seperti yang telah disebutkan di atas (ingin rasanya saya buat bagan, namun sepertinya belum sekarang, ngapunten. Hee)

Ushul Fiqh; Kedudukan Ilmu Tertinggi dalam Lingkup Azhari
Sebuah keilmuan yang menjadi ciri khas al-Azhar ialah Ushul Fiqh dan Balaghah. Imam Ghazali berkata dalam Mustashfaa-nya, bahwa seseorang yang tidak memahami mantiq secara matang dan komprehensif, maka ke-tsiqah-an, kecakapannya dalam bidang keilmuan selain itu diragukan. Kemudian, jika seseorang itu lemah (jika terlalu kasar untuk menyebutnya: buta) dalam ilmu Ushul Fiqh, maka jatuhlah seluruh pengambilan hukum yang ia lakukan atasnya. Seseorang yang tidak memahami kedua bidang keilmuan ini, tidak pantas menjadi sampel atas keilmuan syariah al-Azhar, tandas beliau.
Sebuah ilmu disandarkan pada tiga pokok, yakni al-Malakah (kecakapan), al-Idraak (pemahaman yang mendalam), dan al-Masaa'il (pemahaman yang dipraktikkan nyata dalam sebuah permasalahan). Ketiga pokok ini akan mengantarkan seseorang pada pengambilan hukum (dalam konteks Fikih, ataupun pengambilan suatu kesimpulan analisis dalam konteks lainnya) yang tidak pernah tergambar, terbayangkan dalam pikiran, namun dapat ditemukan melalui sebuah pemahaman (الأحكام التي غابت عن الأذهان و تواردت في المفهوم).

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي عمل أفضل؟ قال: العلم. و ككر السؤال فأجاب مثله حتى اشتكى السائل: يا رسول الله سألت عن أي عمل أفضل وتجيبني بعلم. كيف يكون هكذا؟ فقال: إن قليل العمل ينفع بالعلم, وكثيره لا ينفع مع الجهل (أو كما قال) 

"ليس العلم في الورقات والدورات. إنما العلم بملازمة العلماء ومجالسة العلم ومدارسته وممارسته وكثير القراءة فيه واستقرائه"

Terakhir, bagi mereka yang pernah menimba ilmu di oase al-Azhar, mereka tidak pernah menyebut Mesir hanya dengan "Mesir" saja. Namun, bahkan para ulama alumni al-Azhar terdahulu menyebutnya dengan "Mesir-ku Tercinta".

"مصرنا الحبيبة"

Weeh kembali ke inti. Jadi, batas ideal seorang Azhari ialah belajar selama 10-15 tahun di al-Azhar. Mempelajari dua belas bidang ilmu, masing-masing ilmu tiga mustawa, setiap mustawa kitab yang sama minimal 10 guru. Maka, berikut hasilnya.

12 x 3 x 10 = 360 majelis ilmu. 

Sebanyak itu pula jumlah tiang di masjid al-Azhar. Helwah jiddan, shah?! Hehe
Tapi, sebenarnya ada 365 tiang di masjid al-Azhar yang berhasil penulis catat dalam buku. Namun, sampai saat ini masih belum menemukan dari mana angka ini. Padahal, lihat teman sebelah yang Mashriyyah-pun nulisnya 365, dan ada asal-usul perhitungannya. Namun, tetap saja hasil perhitungan kali antara bidang ilmu, mustawa, serta guru ialah 360.  Aduh, saya lupaa. Entahlah, intinya seperti itu. Hehe

Alhamdulillaaaaah. 

*di depan kipas angin, padahal rada kurang fit. Ditemani bunyi 'plek plek plek', bunyi kertas yang tersapu angin dari kipas, sama audio penenang hati. Hehe. 
Humm akhirnya tertuliskan apa yang saya ingin tulis. Maaf jika kadang nggak nyambung gagasan antar paragrafnya. Yaah anggap saja cerita, seperti biasanya saya nulis (nggak jelas) itu. He.

Menarik napas panjang... lega.

Alhamdulillah. Semoga manfaat. 
Eh iya, kadang kalau ingat majelis tadi dengan segala ke-serem-annya suka senyum-senyum sendiri (bukan kasmaran kok, tenang aja. Eh bisa jadi, deng). Bahagianya 'nunut' majelis beliau tadi juga masih kerasa. Hehe. Alhamdulillaah. 
Catatan: kuliah umum ini bertempat di Auditorium Syekh Zayed Markaz Lughah, di samping Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar Kairo, el-Hayy el-Saadis, tercatat Selasa, 23 Agustus 2016.

Kairo, Rabu 24/8/16, pukul 2.49 AM CLT. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...