Friday 30 March 2018

Sarapan

Semalam, saya ditanya oleh Kautsar, teman Turki yang pernah saya ceritakan itu. Besok Jumat kosong tidak? Tidak, jawabku. Ada acara kah? Iya. Jam berapa? Bakda Jumatan hingga waktu isya. Dia masih saja mengetik, terus menanyaiku kapan ada waktu luang, ia ingin bertemu. 

Ia memintaku untuk datang ke rumahnya, di Hayy Sabi', pukul 10 waktu Kairo. Awalnya daku mengiyakan, namun tetap saja, sampai di sana pukul 11.30an. Hehe. Sesampainya di minimarket Misr dan Sudan saya menelepon. Menanyakan posisi ia di mana. Ia memberikan arahan untukku berjalan, lurus terus, terus, aku melihatmu, katanya. Terus, ia terus melihatku dari balik jendela flat. Sambil kupegang telepon di telinga kanan, mataku mencari-cari di jendela mana kiranya ia berdiri. Akhirnya saya melihatnya, dan kututup telepon dengan info baru: gedung 13 flat 3/7. Sesampainya di depan gerbag pintu, saya agak kawatir, ini bukan pintunya. Sebab, dilihat dari jenis gerbang, ini pasti flat yang cukup keren. Saya ragu, hingga ada seorang paman yang menanyaiku, 'Mau ke temen mahasiswa?' dengan logat Mesirnya. 'Iya', jawabku. Ini, yang ini pintunya. Kebetulan, sebelum kupencet bel, ada paman lain yang hendak keluar, langsung saya masuk setelah salam. 

Ada di lantai 3, flat 7. Saya pencet bel, dan dibuka oleh Kautsar beberapa saat kemudian. Kami berpelukan erat, layaknya sahabat bertahun tak bersua. Saya langsung dipersilakan duduk, diambilkan minum dan langsung dihidangkan menu. Sepertinya, mereka rela menunggu sarapan jamak ta'khir (plus makan siang) gegara menungguiku. Hehe. 

Menunya, ada teh Turki, semacam syatthah kalo di Mesir tapi ini khas Turki juga. Pancake madu, keju, roti isy, acar dan air putih. Mereka berenam, saya hanya memutar mata mengikuti gerak mereka menyiapkan itu semua. Mereka ramah. 

karena enggak sempat ambil foto, ini saya ambil dari Google, hehe.

Hidangan lesehan itu sederhana, tapi bersahaja. Seperti di film Ertugrul gitu, kitanya melingkar. Menunya di tengah. Makannya sedikit, hehe. Tersu, mereka kalem, enggak ada gelak tawa seperti kita di rumah biasanya. Ohya, piringnya imut-imut, isinya pun beberapa sendok saja. Tersu, gelas tehnya, persis kek di foto di atas. Teh Turki.. Mereka enggak begitu suka kopi. Meski beberapa menit saja di ruangan itu, saya pulang dengan banyak pertanyan, jawaban, tanggapan dan kesan terhadap apa yang saya lihat tadi di sana. Kebersihan, kebersamaa, keindahan, kedisiplinan dan tanggung jawab, ternyata seindah itu. Kita hanya akan menyadari ketika kita dihadapkan dengan perspektif yang lain. Dari sini, jika naluri kesadaran masih cukup asali, kita akan refleks membandingkan dengan ihwal kehidupan keseharian kita, untuk kemudian diperbaiki, biasanya.

Ada enam mahasiswi yang tinggal di situ. Satu dari Albania, ada lagi dari Somalia (atau Nigeria, intinya sebangsa itu) namanya Fatma. Temen Albania tadi namanya Sijina (entah gimana nulis yang bener wkwk), intinya ia wajahnya Turkish banget, tapi ternyata bukan. Ia fasih bahasa Turki karena ia sempat belajar saat di setingkat SMA dulu. Turki punya perwakilan khusus, lembaga yang mengajarkan bahasa di banyak negara dunia. 

Kesan saya saat berada di sana ialah, mereka sangat lembut. Rapi, solid, dan santun. Mereka, meski sesama putri tetap memakai penutup kepala, kecuali satu dari mereka. Pkaiannya khas mahasiswi luar negeri yang sering saya temui di film-film Eropa. Ruang tamunya sebesar aula KSW, hehe. Luas, bersih, teratur dan terlihat kalau penghuninya disiplin. 

Kami sarapan bersama, sambil ngobrol ringan. Seusai sarapan pun, masih kami lanjutkan (dasar cewek wkwk). Ia cerita kalau Dr. Sonia mengirim pesan, menanyakan kabar, dan kangen intinya. Hehe, saya tau bagaimana hubungan keduanya, sangat dekat. Kami saling tukar cerita, meski sering kali saya dibuli karena jarang masuk kuliah. Masalah aja, katanya. :v

Akhirnya, makasih yang terdalam, Kautsar. 
Moga-moga sukses selalu menyertai kita. Aamiin. 
Sarapan tadi, meski saya lagi makan sedikit, bahagia masih banyak tersisa. Hehehe. 

*di 11.58 waktu Kairo, selepas hunting buku di Syari' Mu'izz.

Sunday 25 March 2018

Tak Terduga

Rabu lalu, 20/3 aku berjalan melewati gang belakang kampus. Kalimat Dr. Muhanna di kelas tasawuf tadi terngiang, mengendap di benak. Ada rasa malu, bahagia, haru dan entah yang bercampur menjadi satu. Sekian lama aku tidak rutin lagi menghadiri majelis ngaji para syekh. Terasa kering jiwa ini. Terlalu sibuk di urusan yang entah, aku menganggapnya semu. Terlalu melelahkan badan dan pikiran, tapi mengeringkan jiwa dan menyuramkan kalbu. Aku, entah seberapa jauh telah menyimpang dari yang dulu pernah aku lalui. Aku menemui diriku yang baru, aneh, kering, sok sibuk, dan kabur, namun aku tak bias banyak berbuat dan mengelak. Aku selalu menjeit pada nurani, sekiranya ia mau mengembalikanku pada apa yang sebenarnya aku pergi mencarinya. 

Aku berjalan menelusuri gang kecil tadi. Agak tergesa, aku menuju salah satu took buku di deret pingggiran gang tadi. Toko buku ini terletak di pinggir kiri jalan dari arah kampus, RS Hussein ataupun Nadi Qaumi. Aku melihat pajangna buku yang tergeletak berjejeran di Tanah, hanya beralaskan kain atau sekadar karton. Beberapa buku telah ada di rak kamarku, namun banyak yang masih belum kupunya. 

Aku menanyakan tentang Hasyiah al-Bayjuri, kitab fikih Imam Syafii. Sang penjual langsung menunjukkan padaku sebuah kitab dua jilid, lembaran kertas kuning, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut. Setelah kutimbang, aku tak jadi mengambil buku tadi. Pertama, aku ingin membandingkan harga dengan toko yang lain. Kedua, aku belum tau, apakah benar buku ini yang dipakai dalam pengajian kitab Habib Ahmad al-Maqdi di Rawdlat al-Naem nanti selepas maghrib. Akhirnya, aku beranjak melihat kitab lainnya. 

Mataku tersangkut pada beberapa tumpukan kitab, ketika seorang pria menanyaiku asal daerah. Cilacap, jawabku. Terus, ia langsung menyambung bahwa ia dari Sulawesi, dan pernah belajar di kampus yang sama sepuluh tahun lalu. Kini, ia ke Mesir sebelum melanjutkan perjalannya umrah ke Tanah Suci. Perawakannya tinggi ramping, rapi, memakai kaos lengan pendek, bertopi dengan tali DSLR melingkar di leher. Ah, ia fotografer ternyata. Entah dalam makna asli, ataupun sekadar suka memotret hal yang dilaluinya untuk diabadikan.

Kutaruh ulang buku Imam Syafii tadi, al-Risalah. Aku belum begitu membutuhkannya. Well, mungkin aku butuh, namun dengan tumpukan kitab yang belum aku baca semua di kamar, aku tidak tega untuk mengambil buku tersebut untuk lantas kuanggurkan selama beberapa minggu, menunggu antrian. Pun, kecenderunganku bukan dalam bidang fikih. Masih saja, aku suka membaca buku-buku tentang filologi, tafsir, al-Quran atau apapun itu yang menurutku menarik. Meski akhir-akhir ini sering membaca buku-buku akidah filsafat, aku belum begitu yakin bahwa aku serius tertarik dengan jurusan ini.

Ia melihatku yang meletakkan kembali buku tadi. Spontan, ia Tanya, "Sudah punya buku ini?" Belum, kataku. "Ayo ambil ini, ambil. Penting ini, harus diambil. Biar saya yang bayar." Eh eh ndak usah, Mas. "Udah gakpapa, aku bayar." Dengan sigap ia mengambil uang dari dompet, membayar, lantas pergi, menuju kampus. Ia ingin menunjukkan pada bapak yang bersamanya, letak dan bentuk toko buku yang ada di kampus.

Bergegas pergi, aku menyela Tanya, "Mas, jenengan siapa namanya?" Abdillah, jawabnya. Untunglah, aku sudah menebak, jika ia menjawab Abdullah, setidaknya aku tak akan terlalu terganggu dengan film-film beradegan semacam itu. 

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...