Tuesday 16 October 2018

Malas Menulis

Kuliah sudah mulai, aku baru masuk dua kali, sejak dibuka tahun ajaran baru pada tiga mingguan yang lalu.

Tadi saya lihat, terakhir nyoret di sini ternyata Juli lalu. Saya teringat, selama liburan ternyata saya ngga ngapa-ngapain. Bahkan ngga nulis di blog sendiri. Entah.. Masih kemana aja, Mid?!

Inipun, rasanya ada banyaaak cerita yang pengen dituliskan, tapi gegara wifi lagi mutung, nulis blog dari hape itu kurang enak je.. Huhu. Jadi ketambahan malas nulisnya.

Intinya, hari ini, tadi ke Pusat Bahasa di Distrik Enam, Universitas al-Azhar. Sowan sama Usth. Nisrin.. Memberikan daftar nama anak yang besok mau diapresiasi dari pihak markaz. Alhamdulillah..

Abis itu, lanjut ke Azhar, ngaji sama Prof. Dr. Abu Musa, Guru Besar Balaghah di Fakultas Bahasa Arab, dan Anggota Dewan Ulama Senior al-Azhar. Sampai setengah dua siang, saya pulang.

Ini sudah adzan Ashar.. Pengen ke Markaz Qawmi tapi ko rada mager. Heu. Abis ini kw downtown sama Undul.. Terus ketemu Dr. Samih. Entah yang mana yang duluan, intinya itu.

Allah... Paringi kawula taufikkk. 

Sunday 29 July 2018

Nano-nano Rasanya

Bismillah..

Pagi ini, selesai piket masak sekitar jam sepuluhan. Emm agak lama, sebab selagi masak, bolak-balik liat wasap. Baru kali ini aja kok, kalo ngga mendesak juga, saya ngga suka buka-buka hape selagi kerja (piket masak, belajar, emm apapun itu yang bisa disebut kerja). Ehe. 

Semalem, seorang teman saya menanyakan foto Dr. Sonia. Pikirku, emm kayaknya untuk seminar. Untuk hal ini, saya udah cukup seneng, sebab ada yang menanti kehadiran beliau di seminar selain saya. :')) Sebenarnya, yang lain menanti sih.. Hanya saja, ngga sekuat saya. Iya sebab saya terlanjur melihat beliau sebagai sosok multidimensi yang mungkin, tidak diliaht oleh teman-teman selain saya. Guru, jelas. Ibu, kakak, teman, dan yang baru aku rasa akhir-akhir ini ialah.. Beliau ternyata murabbirruh, bagi diri ini. 

Setelah kukirim poto beliau, teman saya ini berujar, "Ternyata benar :D". Saya curiga, lantas kutanya, "Apanya?" Dari sini, obrolan pagi ini (belum beberes abis masak, belum ke kamar mandi, biarin) terus berlanjut. Hingga hatiku deg-degan saat tahu, bahwa beliau, Dr. Sonia, kini ada di Kairo. Aaaaa. Buncah bahagia campur sesal sebab kemarin ngga ikut ngaji memenuhi ruang tengah. Meski ini musim panas, ternyata lebih panas dari suasana hati yang bergemuruh. Getun. Saya sangat menyesal, merasa ditampar keras pipi kiri dan kanan. Pipi kiri, sebab mau ngaji, tapi malah ngga jadi. Sebab ketiduran lagi, setelah ketiduran yang ke berapa kali sejak bangun jam setengah dua kemarin. Pipi kanan, sebab, sekaliber Dr. Sonia aja masih berkenan mengaji, duduk bersimpuh di deoan Dr. Hasan Syafii.. Lha, ini, saya malah, ke mana aja?! :'(

Dari jawaban teman saya, ada tiga nama guru spesial yang disebut. Saya akhirnya memahami, ketiga guru ini, bagi saya, ada di kedudukan istimewa.. Dr. Hasan Syafii, meski saya belum ngaji secara langsung hingga hari ini (jadi tau kan, betapa saya di sini, selama ini, entah kemana aja, -_-) tapi beliau sangat saya kagumi. Beliau sudah sepuh. Beliau ketua Majma' al-Lughah yang ada di Zamalek sana. 

Kedua, Dr. Sonia.. Beliau, sebagaimana disinggung tadi. Saya kenal beliau sejak tingkat satu, saat diajar Mantik. Kemudian bertemu lagi di tingkat dua, beliau mendidik kami melalui mata kuliah Tauhid. Di samping mengaji di Masjid al-Azhar, di kuliah, saya cukup intens komunikasi dengan beliau lewat wa. Beliau sangat welcome, sangat perhatian dengan mahasiswinya, terutama pendatang. Ada banyak cerita dan pengalaman dengan beliau. Yah.. Barangkali, saya belum merasakan penyesalan sedalam ini atas apa yang terjadi, kecuali dua hal. Pertama, saat penutupan ngaji mantik dan tauhid  bareng beliau di Masjid al-Azhar, akhir Februari lalu. Kedua, mengetahui bahwa Dr. Sonia ikut mengaji Dr. Hasan Syafii, yang padahal kemarin sudah niat pengen hadir juga.. Namun urung. Hmpph. Semoga tiada penyesalan semacam ini, untuk ketiga kalinya. 

Ketiga, Dr. Muhanna.. Beliau, murabbirruh bagi saya, mungkin teman-teman lain juga. Beliau mengampu kajian tasawuf di tiga kali pertemuan dalam seminggu. Hari Rabu, kita ada Qawāid al-Tashawwuf, sore hari di Dzullah Utsmāniyyah, di mihrab utama Masjid al-Azhar. Berikutnya hari Jumat, tasawuf juga, kitabnya Ihyā Ulūmiddīn, di tempat yang sama. Alhamdulillah.. Insya Allah saya terus mulazamah dengan kedua majelis ini. Terakhir, ada Syarh al-Hikam al-Athāiyyah, Sabtu bakda Maghrib di Masjid Sayidah Nafisah, dekat benteng Shalahudddin al-Ayyubi. Yang ini, semoga Allah memperkenankan saya untuk duduk mendengar lembutnya kata-kata beliau. 

Ketiga nama ulama al-Azhar tadi, ternyata ialah sosok yang telah menempati sebagian ruang di hati ini. Dr. Muhanna, Dr. Hasan, Dr. Sonia, dalam hubungan ketiganya terdapat ikatan guru-murid yang sangat indah. Sejak dua tahun saya kenal beliau, saya melihat betapa Dr. Sonia sangat ta'dzim terhadap guru-guru beliau, dan masyayikh Azhar secara umum. Betapa beliau sangat bangga terhadap almamaternya. Betapa beliau dahulu, sosok pekerja keras dan ulet dalam belajar, sehingga bisa sampai dalam kedudukan seperti sekarang, dan dengan penuh kepercayaan diri berbangga atas al-Azhar. Pada beliau, saya melihat, bahwa untuk berbangga, kita mesti mati-matian menjaga nama baik dan jujur menapak jalan hidup sesuai manhajnya. Pada al-Azhar.. Saya memahami apa makna perjuangan menggali ilmu yang sejati. Meski belum, saya bertekad supaya bisa sehebat pendahulu kami di sini.. Dengan cita-cita dan semangat untuk menerima estafet dalam berjuang dan khidmah terhadap umat.

Intinya, saat ini, saya lagi gemes sama diri sendiri. Yhaa kemana ajaa selama ini. Miiid, Mid. Kapok kan?!

Semoga semangat belajar atau apapun itu, bukan karena seseorang. Bukan karena Dr. Sonia, bukan sebab Dr. Muhanna, Usth. Marwa, Usth. Nisrin atau beliau-beliau yang saya merasa dekat dan beliau juga ngga hanya sekali, mengungkapkan hal serupa, padaku. Hehe. Saya mesti memahami, kudu ada semangat dan kesadaran diri bahwa, beliau yang sudah ada di kursi dosen, syekh, profesor, semuanya berangkat dari ketekunan, keprihatinan, menahan lara dalam menuntut ilmu, dan berbagai upaya dalam menggapai cita-cita. Menjadi anak didik beliau artinya harus siap jungkir balik. Menjadi santri al-Azhar, artinya kudu siap belajar tenanan. Sebab sudah jauh dari rumah, kalau masih biasa aja, ya untuk apa?

Semoga tekad saya hari ini dicatat malaikat, untuk selalu mengingatkan saya bahwa masa ini, masa-masa untuk prihatin. Masa-masa mengilhami setiap laku dan cara pikir dari beliau-beliau guru dan masyayikh saya di sini. Bukan justru hanya berbangga, sebab saya berkesempatan meraup ilmu dari mereka. Bukan justru rajin ngutip quotesnya, ditaruh di wa, ig, fb atau apapun hal-hal sejenis itu, tapi nol dalam pengilhaman laku dan cara pikir. Atau kalau tidak nol, paling tidak, terlihat tiadanya usaha serupa, namun tenggelam dalam buncah bangga tak terasa. 

Pada akhirnya, semoga Dr. Sonia berkenan menerima undangan seminar kami, dalam rangkaian acara Grand Closing Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin 2017/2018. 

Ahad, 29/7/2018 setelah adzan Dhuhur. 

Friday 27 July 2018

Sibuk

Beberapa saat lalu sempat dibuat badmood sebab wifi lagi mutung. Ala kulli haal alhamdulillah..

Sejak awal bulan ini, aku merasakan kurangnya waktu untuk diri sendiri. Senat, Bedug, kajian, talaqqi, sekolah menulis, kelas opini, hingga kegiatan rutinan seminggu sekali memenuhi jadwal harianku. Semua ini membuatku cukup mengerti, bahwa semakin dewasa, amanah dan keputusan yang diambil mestinya semakin bijak. 

Aku sampai lupa. Kemarin, rasanya ada banyak hal yang pengen kutulis. Sayangnya, di malam hari, sering aku tak kuasa untuk membuka laptop, menukiskannya di sini. Selain lelah, wifi juga sama sekali tak mendukung. Yang kedua ini, jauh lebih menyakitkan daripada lainnya. Sama bayar, koneksi tetap lambat. 

Yasudah. Yang terkini ialah hasil ujian. Ada banyak kegiatan yang menguras tenaga, namun semuanya entah untuk apa. Kadang hati menghendaki, sudah mengaji saja. Bekal untuk pulang ke rumah. Kesibukanmu selain mengaji itu kurang guna. Iya, di satu sisi, aku membenarkannya. Namun di sisi lain, aku berpikir: kenyataan bahwa aku hidup di zaman entah ini, aku mesti berjalan mengiringi tabiat zaman di mana dan kapan aku berada. Zaman yang, ketika kita hanya berkutat dengan tradisi semacam mengaji kitab kuning, menghafal matan, dan sejenisnya, aku merasa, kita akan selamanya hidup dengan diri sendiri, jika terus seperti itu. 

Zaman ini, menuntut aku setidaknya, atau kita, untuk bisa menghidupi masa. Aku tidak berpikir bahwa yang khusyuk mengaji, tidak akan bisa mengimbangi tuntutan zaman. Tidak pupa menjamin bahwa yang sibuk dengan segala macam kesibukannya, akan melenggang dan mempunyai otoritas untuk mengiringi zaman. Barangkali, ketika keduanya sejalan, inilah yang menurutku cara paling ideal untuk bisa hidup di zaman seperti sekarang. Mengaji, namun juga bisa bersosialisasi. 

Kembali ke hasil ujian (natijah). 
Alhamdulillah, alhamdulillah.. Sebenarnya aku bingung mesti berekspresi macam apa. Allah selalu Maha Kuasa atas segala sesuatu. Natijah tahun ini, membuktikan separuh awal dari kata bijak "bil imtihān yukramu al-mar'u aw yuhān".

Berkat doa dari banyak pihak; mama, bapak, guru, teman, kerabat, dan yang aku tahu siapa itu, alhamdulillah, pihak kantor administrasi menuliskan bahwa aku meraih predikat istimewa. 

Tentunya, ini menjadi sebuah alarm tersendiri bagiku. Pertama, bahwa, apapun yang kita lakukan, mesti dilandasi dengan niat yang baik. Meski masalah niat tak bisa dilihat ketika di dalam hati, namun bisa dilihat pada apa yang dilakukan di luar hati. 

Kedua, bahwa, Allah Maha Segala-galanya. Bisa membuat haru siapapun yang berprasangka di luar kehendak-Nya. 

Selama kuliah kemarin, aku jarang sekali masuk kelas. Aku selalu lebih sibuk di luar kampus, daripada duduk dan mendengar model ceramah yabg disampaikan para dosen. Kecuali satu, mata kuliah Tauhid, aku tak pernah benar-benar tertarik mengikuti kegiatan di kelas. 

Ini barangkali hal yang kurang baik. Namun, dengan segala macam kesibukan di luar kampus, aku ditampar, atas banyak kekhawatiran kemarin bahwa jika niatmu lurus, Allah yang akan mengurus segala perkaramu. Jika kita sepenuh hati khidmah di jalan-Nya, Allah akan selalu menunjukkan taufik menuju pintu-Nya. 

Kadang kala aku merasa belum berhak. Aku berpikir bahwa ini ujian dari-Nya. Justru ketika aku telah sampai di tahap ini, aku merasa semakin berat memikul amanah sebagai seorang pelajar yang kata orang, sibuk, organisasi, ada di mana-mana, tapi akademik tetap keren. Aku semakin membutuhkan rahmat-Nya agar bisa mempertahankan dan meningkatkan terus, apa yang telah aku capai di tahun sebelumnya. 

Meski tahun ini cukup banyak yang mendapat predikat itu, aku bersyukur, sebab Allah memberi kesempatan untuk ada di barisan mereka, yang notabene aktif kuliah. Ini secara hasil akhir. Di sisi lainnya, Allah izinkan aku untuk turut aktif di beberapa organisasi dan komunitas belajar yang, pada akhirnya, aku tak ketinggalan jauh sekali dari mereka pula. 

Allah.. Sebanyak apapun aku bersyukur, tetaplah itu hanya setitik, sedikit. 

Darrasa, 28 Juli 2018. 
Semoga rumah ini menjadi satu-satunya tempat aku kembali, selama di sini. 

Monday 16 July 2018

Permisif

Baiklah, aku sudah terlampau lama tidak menulis di sini.

Sejak awal bulan Juli ini, ada banyak sekali kegiatan yang harus kuikuti. Mengapa harus? Sebab, sederet kesibukan itu bukan tanpa alasan. Ada komitmen yang mesti membuatku terikat, sehingga dengan itu sangat bisa diketahui, seberapa kuatkah komitmen kita atas sesuatu. Atau sebaliknya, seberapa lalai dan lemah kita dalam menghadapi jalan hidup semacam itu.

Seberapa sibuk sih? Entah. Tapi intinya, saat itu aku merasa jadi orang paling sibuk sedunia rumah. Siang, jelas di luar. Pulang malem, paling cepet sore hari menjelang maghrib. Khusus hari Senin dan Kamis, sorenya, jam 8 malam harus ke Rumah Syariah, belajar bareng anak-anak baru, sampe jam 10. Jadi kalo Kamis, pagi sampe sore di SMW. Bakda asharnya, ada jadwal di ruwaq Azhar. Ini masih tanda tanya si sebenernya, sebab kalo kelas itu sering kali kita molor. Ngga tepat waktu. Jadi, rawan terlewat jadwal ngaji di sore harinya. Pulang, langsung mandi, siap-siap ke Rumah Syariah. Heuhe.

Entah, dengan segala ke-kemrungsung-an ini, aku merasa ada yang hilang dari aku dulu. Hatiku tetap kering. Ternyata benar, berkawan dengan banyak teman tak cukup membuat hatimu tenang. Terlalu sibuk bersosialisasi, sehingga lupa sekadar introspeksi diri. Terlalu sering keluar, hingga tak ada waktu untuk berkelakar di kamar dan belajar. 

Empat hari di awal bulan lalu, aku mengedit buletin Bedug, berturut-turut. Setelah itu, masuk di kelas SMW. Kelas Opini Bedug, rutinan Jumat; Kelas Ilmu Kalam, ditambah ngaji di ruwaq ilmu-ilmu syariat di Masjid al-Azhar. Yaa, ngga selalu di masjid sih, ada beberapa yang mesti di ruang kuliah Fakultas Ushuluddin, fakultas kesayangan.

Pada akhirnya, aku mensyukuri bahwa Allah masih memberikanku umur hingga hari ini, sehingga bisa melihat apa yang selama ini aku lakukan. Termasuk kemarin, saat aku merasa bosan, tak bisa mengatur nutrisi untuk diri sendiri, merasa banyak waktu terbuang di luar bersama kawan, aku merajuk. Pengen rasanya, sekali saja di rumah pada siang hari. Lagi-lagi, waktunya tidak pas. Saat itu waktu evaluasi buletin edisi 23 dan aku tidak menghadirinya. Aku menyesal. Awalnya, aku merasa boleh-boleh saja. Namun setelah dirasa, tak elok juga. 

Merasa boleh, ialah saat dimana keterjagaan komitmen kita diuji. Aku gagal saat ujian komitemn kemarin. Aku mengiyakan kepenatanku butuh waktu sejenak untuk sendiri, menjauh dari keriuhan orang-orang di sana. Semua kesibukan yang pada awalnya mampu kujaga dengan baik, pada akhirnya buyar begitu saja saat aku permisif terhadap diri sendiri. 

Pagi menjelang siang, Kairo, 17 Juli 2018 08.29 AM.

Monday 4 June 2018

Melepas Kangen

Sore ini, mendung. Akhir-akhir ini suasana di Kairo tak begitu panas.Alhamdulillah, hawa seperti ini sangat berarti bagi kami yang sedang menempuh UAS. 

Siang tadi ujian Tayyarat al-Fikriyyah al-Mu'ashirah (tapi saku salah sebut, malah mu'asharah, di depan Ustadzah Marwa pula). Alhamdulillah, kata Ertugrul, "al-juhdu minna wa al-tawfiqu min Allah." Kita wajib berusaha, di tangan Allahlah segala taufik. 

Setelah mampir di hammam sebentar, aku keluar dari gedung B FDI Banat Kaio. Menuruni tangga, aku melihat Undul telah menantiku, lama mungkin. Kami selalu berangkat-pulang bareng. Semoga Allah melanggengkan persahabatan kami. 

Aku keluarkan hape. Aku memencet ikon 'Kontak', mencari sebuah nama. Urung, aku akhirnya membuka kamera, ada teman pengen selfi bareng. Hehe. Selepas itu, kuteruskan niatku tadi.

Aku menelepon. Beberapa saat berdering akhirnya terdengar suara 'klik', jawaban panggilan dari sana. Awalnya sedikit gemetar, namun kuusahakan biasa, sebab kangen, dan kayaknya bakal cerita banyak. Hehe. 

"Assalamualaikum, Hamidah," sapa terdengar dari sana. "Waalaikumsalam, Ustadzati," dengan nada semringah aku jawab salam itu. Salam yang, beberapa bulan ini tak kudengar. Salam yang, selalau datang di mimpi di kala kangen. Beliau termasuk orang terkasihku. Aku bersaksi, demi Allah, aku menyayangi beliau, sebagaimana beliau bersaksi pada-Nya, bahwa ia menyayangiku. Berkali-kali aku dengar pengakuan ini dari beliau. Rasanya, hati lapang-selapang-lapangnya.

Setelah bertukar kabar, aku langsung masuk ke inti, "Selamat ulang tahun, Ustadzah. Barakallah fi 'umrik." Beliau menjawab dengan nada bahagia, mungkin semacam kejutan, di siang hari Ramadan ada yang memberi tahniah ulang tahun. Selepas itu, kami membahas banyak hal, termasuk bagaimana kabar suami beliau. "Apakah membuatmu marah, Ustadzah?" "Iya, sedikit. Alhamdulillah ia... " beliau melanjutkan, semangat cerita tentang suaminya, diselingi tawa renyah. Bangga dan bahagia, batinku. :)

Alhamdulillah. Aku cerita kalau hari itu baru selesai ujian, masih ada seminggu lagi. Bahwa, akhir ujian, ialah akhir Rmadan. Beliau sedikit terperangah, lantas bertanya, ujian apa hari ini? Tayyarat, jawabku. Aha.. ini penting, sambung beliau. Beajar apa aja? Tanya beliau. Ateis(me), globalisasi, liberalism dan sejenisnya, Ustazdah. Sebab kemunculan, cara menghadapi dan semacam itulah. Aa, moga-moga mengantarkan pada hal-hal yang baik dan benar. Aamiin, aku mengiyakan.

Setelah beberapa waktu saat aku masih berbicara dengan beliau, datang Lathif. Aku menyapa dengan isyarat tangan, ia mendekat. Lantas aku bilang, Ustadzah, ini Lathif lagi sama aku, pengen bilang sepatah-dua patah kata. Aku pindah tangankan hape, ke Lathif. Ia cerita sama Ustadzah tentang ujian, tanya kabar, Ramadan dan sejenis itu. Pada akhirnya, ia hanya ingin menyampaikan tahniah ulang tahun, tak kasi tau sebelumnya. Hehe, bahagianya hari itu. 

Aku mohon pamit, sebab Undul mau beli sesuatu di Maktabah Star. Tamam, beliau mengizinkan, namun sebelum ditutup beliau memotong, "Tapi aku pengen nyempein ini ke kamu, beneran." Aku pasang telinga siap mendengarkan. Beliau secara langsung pengen nyampein sesuatu, tandanya aku ngga ganggu waktu beliau, beliau lagi selo, dan seneng aku telpon. Hehe. 

Beliau bilang, katanya, kami seneng banget, kamu ngomong pake bahasa fusha kek gini. Bisa ngomong banyak, bias nyusun kalimat dengan baik, ngomongnya lancer, Alhamdulillah. Kami seneng sekali. Kata beliau. Aah, aku malu. Aku bilang, ini belum aa-apa, Ust. Jalanku masih panjang, dan belum berhak kek gitu. Engga, berhak. Kamu berhak, Nda. Sebab usaha keras dan ijtihadmu setelah taufik Allah, kamu bias meraihnya. Dipesani atau tidak, pokoknya harus tekun dan rajin. Ini pesan ustadzah. Pun, kamu itu contoh yang selalu tak sampaikan ke anak-anak, contoh santri yang berhasil dan ngomong Arab fusha. Ya Allah, aku merasa di hadapan beliau saat itu.

Akhirnya, aku sambal jalan ke maktabah, kuteruskan nelpon beliau. Ngobrol banyak hal, terutama tentang pilihan jurusan di tahun ketika ini, insya Allah. Aku cerita ke beliau tentang keinginanku untuk masuk akidah-filsafat atau tafsir al-Quran. Beliau diam sebentar, lantas membuka: Semuanya tergantung keinginanmu, Nda. Tapi, tak bilang, ini nasihatku... Beliau lanjut cerita benyak, bagaimana sekiranya aku milih tafsir. Beliau mensyen kitab Tafsir wa al-Mufassirun karya Syekh Dzahabi juga. Bahwa kau akan bias ngerti keindahan makna al-Quran lebih dalam, bias tau tafsir yang diterima dari yang ditolak, dan seterusnya. Hingga saat aku tiba di maktabah, beliau sampe di bagian jurusan filsafat-akidah. Tetiba, telepon mati. Aku dapat pesan, pulsamu tingggal 0,5 sekian. Yah, pulsa habis. 

Aku tanya Undul, dia ngga punya pulsa juga. Kucoba berkali-kali, hape ini menolak sinyal untuk kesana. Ah, yasudah. Aku kirim pesan wa saja nanti, setiba di rumah, batinku. Tak selang satu menit, beliau memanggil. Tanya kenapa mati, dan seterusnya. Hal ini (putus sinyal) terjadi sampe tiga kali. Sebanyak itu pula, beliau meneleponku ulang. Bahagia, namun malu juga. Sebab aku sudah merepotkan beliau, menghabiskan pulsa pula. Bagaimana tidak, sejak telepon terputus kali pertama tadi, kami masih ngobrol lebih dari tiga puluh menit. Waktu yang cukup panjang, untukku, yang sebatas anak didik beliau tiga tahunan lalu di DL, yang barangkali ngga ada teman yang masih kontak sesering ini, untuk mendengar cerita dan tawa renyah beliau. 

Cerita berlanjut, kami tertawa, sejenak saksama mendengar beliau, sejenak manggut-manggut, sesekali agak bersorak. Aku tanya buku beliau yang Alhamdulillah sudah ketemu, sudah diprin, beliau minta doa agar segera rampung tesisnya.. Terus menyinggung dedek bayi hehe. Aku ngga jelas bilangnya, isyarat-isyarat gitu, kata beliau: Opo to Nda yang jelas. Akhirnya, aku terang-terangan, udah ada dedek bayi belum, ustadzah? Hehe. Doain aja, semoga segera. 

Masjid sebelah sudah iqamah. Selamat berbuka. Selamat menjalankan shalat maghrib, isya dan tarawih. 

16 Ramadan 1439/ 4 Juni 2018. 

Friday 13 April 2018

Ngobrol Bareng Dr. Refaat Fauzi

Kami berempat sedang menghabiskan jajan beli di kantin kampus tadi. Duduk di bangku di pinggir jalan, di samping kantin, kami akan berangkat ke Sabi'. Siang itu, rencananya kami akan sowan ke Dr. Refaat Fauzi, seorang ahli fikih, muhaddits, dosen dan ketua jurusan Syariah Islamiyyah di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo. Jadilah kami berangkat. Awalnya, saya ragu untuk melangkah, sebab badan sedang tidak fit. Terlalu sibuk sejak berminggu-minggu lalu, hingga tidur asal-asalan, tidak teratur, dan diktat kuliah pun baru sekali putaran. Ini baru selesai ngedit Bedug edisi 22, setelah ini ngaji Dr. Mehanna di Masjid al-Azhar. Selepas itu, cus ke diktat! Janji, Mid. -_-

Sampailah kami di titik kumpul. Kami berkumpul menunggu rombongan dari Asyir mupun Darrasa, di sebeuha sekolah, Namanya: Madrasah Sayidah Nafisah li al-Tsanawiyyah Banat. Hmm, sejenis Mts apa ya, kalo di Indonesia. Di tembok seberang jalan, tembok sekolah ini maksudnya, ada banya kata-kata mutiara. Di antaranya, 'Tanyalah pada ilmu pengetahuan, sebab ia tidak akan menanyakan pada yang lain'. 'Jangan kau dekati Nil, jika kau berdiam tak menjalankan kewajiban. Ketahuilah, air Nil yang jernih tidak diciptakan untuk mereka (dan dirimu) yang malas-malasan. Ada ayat-ayat al-Quran, seperti surat Nun. Semuanya cantik, semuanya indah. Kaligrafinya mengetuk pintu kesadaran paling bawah sadar siapapun yang melihatnya. Atau yang tak sengaja melemparkan pandangan pada tembok itu ketika melintas menuju Bawwabat, Asyir, Zahra, atau kemanapun mereka pergi membawa diri.

 Kau tau? Sesampainya kami di sana, saya dibuat tercengang. Perpustakaan beliau gede banget nget. Untuk ukuran dosen, ini menurut saya sangat besar dan tidak terbayang betapa beliau kutu buku. Lemari saya di kamar? Yah, enggak ada apa-apanya dengan punya beliau. Lemari saya baru 0,001 lemari buku beliau. Gede ruangnya pun, lebih gede dari rumah kami, hehehe. Saya tidak akan habis membaca itu hingga 60 tahunan, mungkin. Aha, bahkan, took-took buku di sepanjang gang menuju rumah pun, masih jauh berbeda. Sebab, kebanyakan took buku ini hanya satu petak ruangan kamarku, atau paling mentok satu ruangan tamu rumah kami. Temboknya bias diambil dan dibaca. Hehehe. 

Beliau, sependek yang saya tahu ialah dosen di Darul Ulum, Universitas Kairo. Fakultas yang banyak melahirkan cendekiawan Mesir. Fakultas favorit, meski saya belum dan mungkin tidak akan pernah icip-icip belajar di kelasnya. He. Wajahnya teduh. Beliau orang syariah, tapi spesialisasinya Hadits. Beliau banyak menahkik kitab, termasuk yang kemarin kami ijazahan padanya, al-Kalim al-Thayyib punya Ibnu Taimiyyah. Isinya tentang dzikir; keutamaan, macam-macam dan sebagainya. Kami membaca satu fasal, 'Kalian lanjutkan sendiri di rumah', pesannya. 'Atau silakan kalau mau dating, kami membaca ini setiap usai shubuh, setiap pagi kecuali Jumat', tambahnya. 

Sebelum memberi kami ijazah, beliau terlebih dahulu memberikan nasihat, wejangan kepada kami. Ada tiga, pertama takwa. Sebagaimana kita tau, Allah selalu mengabarkan pada kita bahwa jika engkau bertakwa, Aku akan mengajarkan ilmu padamu. Dan, ini mestinya terpatri dalam setiap insan, apalagi penuntut ilmu (katanya). Takwa itu wiqayah, penjagaan. Menjaga diri dari hal yang tidak Allah ridai, menjaga diri dalam senantiasa melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

Kedua, dzikir. Kita berdzikir, artinya kita mengingat Allah. Dia mengabarkan pada kita bahwa di saat ini, Ia juga akan mengingat kita, bahkan lebih banyak daripada kita mengingatnya. Ia akan bersama dengan-Nya, disadari ataupun tidak. Selain hati menjadi tenang, dzikir ini akan membukakan pintu-pintu gelap dalam diri kita, diajari sama Allah, dekat, dirahmati, dan... bayangkan sendiri jika kita dekat dengan seseorang, kita akan memberikan apapun yang ia minta. Bahakn, jikapun tidak, ia akan memberikan yang terbaik untuk yang dikasihinya. Sempatkan waktu pagi setengah jam, sore seperempat jam, untuk dzikir. Sudah gitu aja, pesannya.

Terakhir, rajin dan tekunlah membaca. Ini... akan panjang. Hehe. Kemarin beliau sempat menyinggung tentang Ibnu Taimiyyah, Wahabiyah, maqashid syariah, perjalanan intelektual beliau dan lainnya masih banyak. 

Beliau mengatakan bahwa, perpustakaan ini dimulai sejak tahun 77an. Karena beliau suka baca, suka beli, dikumpulkan akhirnya. Selama kurang lebih 48 tahun akhirnya jadi seperti apa yang kalian lihat sekarang, tambah beliau.

pukul 11:15 Jumat pagi, sambil antri hammam, dan pasang mood untuk sadar diri: baca diktat.
Ayooo, Mid! Gek ndang lhoo. -__-

Nyuwun pangestu, rencang sedoyo, siapapun yang baca coretan ini. Tapi nggeh ngapunten, saya hanya bias ucap terima kasih doanya, sebab sebaik-baik terima kasih sudah diwakili Allahku. Mangke disampaikan oleh malaikat. Maturnuwun.

Friday 30 March 2018

Sarapan

Semalam, saya ditanya oleh Kautsar, teman Turki yang pernah saya ceritakan itu. Besok Jumat kosong tidak? Tidak, jawabku. Ada acara kah? Iya. Jam berapa? Bakda Jumatan hingga waktu isya. Dia masih saja mengetik, terus menanyaiku kapan ada waktu luang, ia ingin bertemu. 

Ia memintaku untuk datang ke rumahnya, di Hayy Sabi', pukul 10 waktu Kairo. Awalnya daku mengiyakan, namun tetap saja, sampai di sana pukul 11.30an. Hehe. Sesampainya di minimarket Misr dan Sudan saya menelepon. Menanyakan posisi ia di mana. Ia memberikan arahan untukku berjalan, lurus terus, terus, aku melihatmu, katanya. Terus, ia terus melihatku dari balik jendela flat. Sambil kupegang telepon di telinga kanan, mataku mencari-cari di jendela mana kiranya ia berdiri. Akhirnya saya melihatnya, dan kututup telepon dengan info baru: gedung 13 flat 3/7. Sesampainya di depan gerbag pintu, saya agak kawatir, ini bukan pintunya. Sebab, dilihat dari jenis gerbang, ini pasti flat yang cukup keren. Saya ragu, hingga ada seorang paman yang menanyaiku, 'Mau ke temen mahasiswa?' dengan logat Mesirnya. 'Iya', jawabku. Ini, yang ini pintunya. Kebetulan, sebelum kupencet bel, ada paman lain yang hendak keluar, langsung saya masuk setelah salam. 

Ada di lantai 3, flat 7. Saya pencet bel, dan dibuka oleh Kautsar beberapa saat kemudian. Kami berpelukan erat, layaknya sahabat bertahun tak bersua. Saya langsung dipersilakan duduk, diambilkan minum dan langsung dihidangkan menu. Sepertinya, mereka rela menunggu sarapan jamak ta'khir (plus makan siang) gegara menungguiku. Hehe. 

Menunya, ada teh Turki, semacam syatthah kalo di Mesir tapi ini khas Turki juga. Pancake madu, keju, roti isy, acar dan air putih. Mereka berenam, saya hanya memutar mata mengikuti gerak mereka menyiapkan itu semua. Mereka ramah. 

karena enggak sempat ambil foto, ini saya ambil dari Google, hehe.

Hidangan lesehan itu sederhana, tapi bersahaja. Seperti di film Ertugrul gitu, kitanya melingkar. Menunya di tengah. Makannya sedikit, hehe. Tersu, mereka kalem, enggak ada gelak tawa seperti kita di rumah biasanya. Ohya, piringnya imut-imut, isinya pun beberapa sendok saja. Tersu, gelas tehnya, persis kek di foto di atas. Teh Turki.. Mereka enggak begitu suka kopi. Meski beberapa menit saja di ruangan itu, saya pulang dengan banyak pertanyan, jawaban, tanggapan dan kesan terhadap apa yang saya lihat tadi di sana. Kebersihan, kebersamaa, keindahan, kedisiplinan dan tanggung jawab, ternyata seindah itu. Kita hanya akan menyadari ketika kita dihadapkan dengan perspektif yang lain. Dari sini, jika naluri kesadaran masih cukup asali, kita akan refleks membandingkan dengan ihwal kehidupan keseharian kita, untuk kemudian diperbaiki, biasanya.

Ada enam mahasiswi yang tinggal di situ. Satu dari Albania, ada lagi dari Somalia (atau Nigeria, intinya sebangsa itu) namanya Fatma. Temen Albania tadi namanya Sijina (entah gimana nulis yang bener wkwk), intinya ia wajahnya Turkish banget, tapi ternyata bukan. Ia fasih bahasa Turki karena ia sempat belajar saat di setingkat SMA dulu. Turki punya perwakilan khusus, lembaga yang mengajarkan bahasa di banyak negara dunia. 

Kesan saya saat berada di sana ialah, mereka sangat lembut. Rapi, solid, dan santun. Mereka, meski sesama putri tetap memakai penutup kepala, kecuali satu dari mereka. Pkaiannya khas mahasiswi luar negeri yang sering saya temui di film-film Eropa. Ruang tamunya sebesar aula KSW, hehe. Luas, bersih, teratur dan terlihat kalau penghuninya disiplin. 

Kami sarapan bersama, sambil ngobrol ringan. Seusai sarapan pun, masih kami lanjutkan (dasar cewek wkwk). Ia cerita kalau Dr. Sonia mengirim pesan, menanyakan kabar, dan kangen intinya. Hehe, saya tau bagaimana hubungan keduanya, sangat dekat. Kami saling tukar cerita, meski sering kali saya dibuli karena jarang masuk kuliah. Masalah aja, katanya. :v

Akhirnya, makasih yang terdalam, Kautsar. 
Moga-moga sukses selalu menyertai kita. Aamiin. 
Sarapan tadi, meski saya lagi makan sedikit, bahagia masih banyak tersisa. Hehehe. 

*di 11.58 waktu Kairo, selepas hunting buku di Syari' Mu'izz.

Sunday 25 March 2018

Tak Terduga

Rabu lalu, 20/3 aku berjalan melewati gang belakang kampus. Kalimat Dr. Muhanna di kelas tasawuf tadi terngiang, mengendap di benak. Ada rasa malu, bahagia, haru dan entah yang bercampur menjadi satu. Sekian lama aku tidak rutin lagi menghadiri majelis ngaji para syekh. Terasa kering jiwa ini. Terlalu sibuk di urusan yang entah, aku menganggapnya semu. Terlalu melelahkan badan dan pikiran, tapi mengeringkan jiwa dan menyuramkan kalbu. Aku, entah seberapa jauh telah menyimpang dari yang dulu pernah aku lalui. Aku menemui diriku yang baru, aneh, kering, sok sibuk, dan kabur, namun aku tak bias banyak berbuat dan mengelak. Aku selalu menjeit pada nurani, sekiranya ia mau mengembalikanku pada apa yang sebenarnya aku pergi mencarinya. 

Aku berjalan menelusuri gang kecil tadi. Agak tergesa, aku menuju salah satu took buku di deret pingggiran gang tadi. Toko buku ini terletak di pinggir kiri jalan dari arah kampus, RS Hussein ataupun Nadi Qaumi. Aku melihat pajangna buku yang tergeletak berjejeran di Tanah, hanya beralaskan kain atau sekadar karton. Beberapa buku telah ada di rak kamarku, namun banyak yang masih belum kupunya. 

Aku menanyakan tentang Hasyiah al-Bayjuri, kitab fikih Imam Syafii. Sang penjual langsung menunjukkan padaku sebuah kitab dua jilid, lembaran kertas kuning, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut. Setelah kutimbang, aku tak jadi mengambil buku tadi. Pertama, aku ingin membandingkan harga dengan toko yang lain. Kedua, aku belum tau, apakah benar buku ini yang dipakai dalam pengajian kitab Habib Ahmad al-Maqdi di Rawdlat al-Naem nanti selepas maghrib. Akhirnya, aku beranjak melihat kitab lainnya. 

Mataku tersangkut pada beberapa tumpukan kitab, ketika seorang pria menanyaiku asal daerah. Cilacap, jawabku. Terus, ia langsung menyambung bahwa ia dari Sulawesi, dan pernah belajar di kampus yang sama sepuluh tahun lalu. Kini, ia ke Mesir sebelum melanjutkan perjalannya umrah ke Tanah Suci. Perawakannya tinggi ramping, rapi, memakai kaos lengan pendek, bertopi dengan tali DSLR melingkar di leher. Ah, ia fotografer ternyata. Entah dalam makna asli, ataupun sekadar suka memotret hal yang dilaluinya untuk diabadikan.

Kutaruh ulang buku Imam Syafii tadi, al-Risalah. Aku belum begitu membutuhkannya. Well, mungkin aku butuh, namun dengan tumpukan kitab yang belum aku baca semua di kamar, aku tidak tega untuk mengambil buku tersebut untuk lantas kuanggurkan selama beberapa minggu, menunggu antrian. Pun, kecenderunganku bukan dalam bidang fikih. Masih saja, aku suka membaca buku-buku tentang filologi, tafsir, al-Quran atau apapun itu yang menurutku menarik. Meski akhir-akhir ini sering membaca buku-buku akidah filsafat, aku belum begitu yakin bahwa aku serius tertarik dengan jurusan ini.

Ia melihatku yang meletakkan kembali buku tadi. Spontan, ia Tanya, "Sudah punya buku ini?" Belum, kataku. "Ayo ambil ini, ambil. Penting ini, harus diambil. Biar saya yang bayar." Eh eh ndak usah, Mas. "Udah gakpapa, aku bayar." Dengan sigap ia mengambil uang dari dompet, membayar, lantas pergi, menuju kampus. Ia ingin menunjukkan pada bapak yang bersamanya, letak dan bentuk toko buku yang ada di kampus.

Bergegas pergi, aku menyela Tanya, "Mas, jenengan siapa namanya?" Abdillah, jawabnya. Untunglah, aku sudah menebak, jika ia menjawab Abdullah, setidaknya aku tak akan terlalu terganggu dengan film-film beradegan semacam itu. 

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...