Radikalisme
merupakan isu yang telah lama diketengahkan, bahkan misalnya ketika kita
menarik runut sejarah ini pada masa awal Islam. Yakni, sejak terjadinya
arbitrase antara kelompok Sayidina Ali dan Muawiyah. Namun, melihat maraknya
pembahasan tentang isu ini (tidak hanya di Indonesia, namun juga ranah
internasional) mungkin dapat ditarik benang merah yang sama pada satu sisi,
meskipun banyak perbedaan di sisi lainnya. Misalnya, ketika Syekh Ali Jumah
mempunyai kitab al-Raddu ‘alâ Khawârij al-‘Ashr, yang dapat dipahami
secara diksi bahwa, Khawarij masa klasik (katakanlah masa Islam awal) berbeda
dengan Khawarij di masa kini.
Dunia Islam
selalu diliputi oleh kekuasaan dan politik—kekuasaan yang membentuk seperangkat
laku sosial di kalangan masyarakat Islam. Terang saja, hal ini terihat pada
perihal arbitrase yang dilakukan pihak Sayidina Ali dan Muawiyah. Dalam Tarikh
al-Thabari disebutkan bahwa sebenarnya, Sayidina Ali menolak untuk
mengadakan arbitrase tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat beliau
sangat memahami bagaimana karakter Muawiyah serta orang-orang yang ada di
barisannya. Di sini, pihak Muawiyah meletakan al-Quran di ujung tombak, yang
dimaksudkan untuk mengelabui pihak Sayidina Ali. Padahal, ada siasat politik
dibalik pemaksaan terhadap Sayidina Ali setelah pada akhirnya mau menerima
arbitrase tersebut. Di antara yang disebutkan dalam tarikh tersebut, pertama
pemaksaan, kedua, pemilihan utusan yang diambil dari ‘orang’ mereka (pengikut
Sayidina Ali), padahal beliau telah menunjuk Ibnu Abbas, namun ditolak.
Semenjak
kejadian tersebut, muncullah kelompok Khawarij dan Syiah, sebagai dua kubu yang
saling berlawanan. Sikap Khawarij yang lantas mengkafirkan pihak lain dengan
dalih agama, lâ hukma illâ lillâh tersebut merupakan ide yang ada pada kelompok
radikalis, ekstrimis dan teroris di masa kini. Ini yang kita sebut dengan
‘Khawarij Kekinian’, meminjam diksi Syekh Ali Jumah, al-Khawârij al-‘Ashri.
Untuk
menghubungkan nalar pikir yang runut, kita akan mengambil titik tolak di masa
awal abad 20, saat di mana imperialisme Barat sedang menguasai dunia Timur.
Sebenarnya, yang perlu kita pahami terlebih dahulu di sini ialah makna
radikalisme itu sendiri. Dan tentunya, pemaknaan ini tak bisa semerta-merta
kita kunci, dipatenkan untuk dipakai dalam mengidentifikasi segala permasalahan
yang ada. Padahal, manusia ialah anak dari zamannya. Sehingga perlu melihat
bagaimana polemik yang terjadi saat itu, khususnya di dunia Timur yang sedang
mengalami kemunduran. Pada akhirnya, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan,
kebangkitan dan hal-hal semacam perlawanan terhadap penjajah, apapun bentuknya;
baik dalam pendidikan, Islam, sosial, maupun ekonomi dan politik.
Agar tidak
terlalu jauh mengambil sampel, mari kita melihat perubahan di banyak aspek
kehidupan Islam sejak tentara Mongol meruntuhkan khilafah Abbasiyah pada 1258
M. Sejak keruntuhan tersebut, dunia Islam terlalu lemah unntuk menghadapi
serangan yang dilakukan oleh Barat. Tidak hanya satu dua negara, namun hampir
seluruh wilayah Timur diluluh-lantakkan begitu saja. Meskipun kemudian hadir
Dinasti Turki Utsmani, namun dinasti ini pun tak bisa membendung arus Barat
yang sedemikian derasnya. Dalam misi penjajahan Barat, kita mengenal adanya gold,
glory dan gospel. Terkait dua hal pertama mungkin cukup jelas,
sebagaimana yang dicari oleh Belanda di Indonesia ialah rempah-rempah (kekayaan
dan kekuasaan). Namun, yang mempunyai sisi paling dominan terhadap paham
radikalisme ialah gospel, kristenisasi dan delik-delik misionaris. Hal ini
terlihat dari didirikannya sekolah-sekolah di negara-negara Islam yang didanai
oleh pihak Barat,namun sebenarnya wakaf yang dihibahkan kepada masyarakat
muslim ialah harta yang dirampas oleh mereka. Di samping adanya penyelundupan
paham-paham Barat di sekolah-sekolah Islam, para pengajar muslim Tatar di Rusia
juga diberantas, diburu, dipenjara dan dipersekusi oleh Inggris dan sekutunya.
Ditekan sedemikian hingga mereka ‘terbunuh’ berkali-kali dalam mengajarkan
Islam kepada anak-anaknya.
Tak luput dari ini,
Mesir juga turut merasakan hal yang dirasakan bangsa Timur lainnya, meski
dengan cara yang berbeda. Dalam perlawanan terhadap penjajah, ada Muhammad
Abduh yang lebh fokus pada pembenahan sistem pendidikan di Mesir, al-Azhar
khususnya. Meskipun pendapatnya ditolak pihak internal al-Azhar dan ia
‘terpental’ keluar, namun ia tetap bersikeras untuk melakukan pembaharuan
pendidikan yang termanifestasikan dalam bentuk Fakultas Darul Ulum, Universitas
Kairo.
Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Rasyid Ridha merupakan tiga sosok pembaharu
Mesir di masa imperialisme Eropa di Timur Tengah (dunia Islam) pada awal abad
dua puluh. Dua tokoh pertama berhasil mendirikan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa
di Perancis, karena tidak adanya akses yang sama di negerinya, Timur Tengah.
Melalui majalah ini, Rasyid Ridha sangat terpengaruh dengan pemikiran kedua
tokoh tersebut, yanglantas mendirikan majalah al-Manar atas persetujuan
Muhammad Abduh, gurunya. majalah al-Manar pada awalnya ditujukan untuk
mengecam kekhalifahan Sultan Muhammad II, khalifah Dinasti Turki Utsmani saat
itu. Sebegitu urgennya, ia dibaca oleh masyarakat seluruh dunia, menjawab soal
fatwa dari Maroko, India, Afrika, dan negara-negara dunia lainnya terkait
persoalan kekinian di masing-masing negara. Tak ayal, Indonesia. Al-‘Urwah
al-Wutsqa dan al-Manar juga dibaca oleh cendekiawan Indonesia yang pernah
belajar di luar negeri, seperti misalnya KH Ahmad Dahlan. Sehingga, dalam
beberapa aspek, kita mendapati adanya keterpengaruhan yang kuat antara dua majalah
ini dengan beliau, pendiri Muhammadiyah.
Namun,
urgensinya bukan pada keterpengaruhan itu semata. Radikalisme di Indonesia
mulai marak setelah masa reformasi, di mana akses kebebasan mengeluarkan
pendapat terbuka luas. Yang perlu diketahui, radikalisme tidak melulu
berbahaya. Radikalisme, secara hierarki merupakan lanjutan dari fundamentalisme
(cenderung menutup diri terhadap yang ‘liyan’, Islam konservatif). Setelah itu,
barulah masuk tahapan liberal(isme). Kemudian naik menjadi radikalisme, ekstrimisme,
yang berujung dan terhenti pada aksi-aksi terorisme. Di sini, fundamentalisme
memang terjadi di masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan ini terlihat dari
al-Manar. Sebagimana yang dipaparkan oleh Shalah al-Mulla, mereka melakukan ini
karena kondisi saat itu genting, sedang dijajah. Nilai-nilai Islam meluruh,
bidah meruyak dan Islam terancam kehilangan ruh dan eksistensinya. Sehingga,
untuk menjadi benteng pertahanan yang kuat atas modernisasi yang ditanamkan
oleh Barat (sekulerisasi, pemisahan agama dari segala aspek kehidupan), Islam
harus berpegang teguh pada al-Quran, Sunah, dan salaf saleh. Inilah pokok nalar
fundamentalisme, saat itu. Sekali lagi, saat itu berbeda dengan saat ini, di
mana sekarang umat Islam dalam keadaan damai (dalam makna global, meski banyak
krisis yang menggerogoti nalar dan laku umat muslim), tidak “perang”
sebagaimana dahulu. Maka, nalar fundamentalisme dibenarkan pada saat itu, tidak
untuk saat ini. Hemat penulis, fundamentalisme masa kini ialah nalar pikir dan
sikap yang dibenarkan hanya oleh mereka yang menutup mata; dari sejarah dan
identitas (huwiyyah) Islam yang hakiki.
Radikalisme
yang marak di Indonesia merupakan dampak dari kesalahpahaman konsep ‘kembali
kepada al-Quran dan Sunah’ yang dipakai tokoh fundamentalis zaman dahulu,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha khususnya. Cenderung menafsiri teks secara letterlack,
menutup diri dari sejarah dan fakta-fakta realistis, menganggap yang lain
ialah ‘liyan’ berbahaya dan dangkalnya pengetahuan merupakan sederet fakta yang
berkelindan dalam term radikalisme. Radikal tidak berbahaya, selagi tidak
diekspresikan dalam laku nyata. Ia merupakan tahap pertengahan antara
fundamentalisme dan terorisme yang justru lebih berbahaya. Meski demikian,
bukan berarti ini harus dibiarkan. Banyaknya acara menangkal radikalisme,
deradikalisasi dan dialektika antaragama di Indonesia dan dunia yang dihelat,
termasuk oleh al-Azhar merupakan sebentuk upaya agar radikalisme ini tidak
meningkat ke tahap terorisme.
Demikian
kiranya, agar laku-laku radikal yang ada bisa disikapi dengan lebih bijak.
Sekali lagi, radikalisme belum se-bahaya terorisme. Dengan tidak menutup mata
dari sejarah, manut pada ulama, banyak membaca, kiranya cukup sebagi
langkah awal “mencegah” radikalisme masuk ke ranah terorisme.
*masuk dalam nominasi Lomba Opini PPMI Mesir 2017. Rabu, 20 September 2017.