Sunday 25 September 2016

Semusim Dingin yang Berlagu

Aku turun cepat-cepat dari lantai dua tempat mencetak coretan beberapa paragraf yang aku yakin nantinya akan dibantai di sana. Tentu saja langsung aku mengernyitkan dahi, terlalu silau. Terik mentari selalu menghargai siapa saja yang keluar rumah dengan menyuguhkan siraman hangat, jika tidak menyengat. Namun kali ini ia hanya menyapa manis. Tidak sejahat beberapa bulan lalu ketika dengan bangga ia menyengatkan panasnya, sambil tertawa jahat melihat manusia menyiratkan dahinya, menyipitkan mata. Hahaha. Ah, membayangkannya rasanya ingin tertawa juga, saat aku dan teman-teman berjalan cepat, sepulang dari markaz lughah. Takut hitam, haha.

Kini, tak lama lagi, syal dan jaket tebal kan kembali mewarnai hari-hari..
Merajut simponi, kembali berlagu meski Sang Penari telah lama berlalu,
Selalu kuingat alunan merdu itu,
Bersenandung lembut menyampaikan hikayat biru,
Memendam nada rindu sendu yang menikam setiap waktu,
Awan tahu, 
Meski musim berlalu tahun menjauh
Hidup dalam pelukan senja
Cara terbaik mendekap suara itu


***
Entah mengapa, Markaz Lughah menjadi sesuatu yang monumental bagiku. Hari ini, Ahad, 25 September ialah tahun ajaran baru bagi mereka, pelajar angkatan 2016. Tentu, setelah setahun belajar di sana, rasanya bahagia, bangga, merasa punya kenangan terindah sepanjang masa. Tahun ini, di tahun ajaran yang sama pula, kita mulai kuliah. Tahun pertama. Meski begitu, kadang hati cemburu pada mereka yang kini duduk di Mutaqaddim Awwal, apalagi Tsani. Mereka pasti langsung kuliah. Sejajar, sama tingkatnya dengan kita yang setahun lalu harus menikmati kelas bahasa dulu. Entah disukai atau tidak, begitu kenyataannya. 
Namun, sangat sempit jika kita hanya melihat ke arah kiri. Melupakan masa-masa indah setahun lalu di Markaz, lebih-lebih lalai terhadap apa hasil konkret dari pembelajaran di sana. Aku percaya, bahwa perbedaan waktu menghasilkan perbedaan hasil. Setidaknya, aku bahagia memiliki satu tahun bersama mereka, para guru, teman-teman, semuanya. Aku percaya, mereka tidak akan mendapatkan hal yang sama. Pengalaman akan berbeda, karena itu sebuah keniscayaan waktu.
Akhirnya, sampai di ujung yang klise lagi. Aku kangen Markaz, kangen ustadzah. 
Semoga beliau sehat selalu, diberi kemudahan, lancar segala urusan. 
Jika boleh, aku hanya ingin ngaji dan kuliah lancar, tanpa harus meninggalkan tempat terindah sepanjang sejarah, Markaz Lughah.

Ah, musim mulai berganti, Kawan
Terpaan angin kian sepoi, mengabarkan pada awan
Musim dingin 'kan segera datang

Terlempar aku pada November tahun lalu
Duduk manis mendengarkan cerita waktu
Tersihir 
Termangu..melaju kutak tau
Rerintik gerimis mengaburkan kaca jendela
Awan kelabu kembali mengadu
Ia ingin berbagi rindu

Ia kabarkan bahwa pertanda telah tiba
Musim berganti
Semi berlalu dingin menyapu

Ia ucap syukur pada Tuhan
Rerintik itu menitikkan embun dan masa

Musim dingin telah tiba, Kekasihku
Semusim berlalu bersamanya
Kita tertawa bahagia
Entah karena dingin yang mengalahkan mentari
Ataukah bahagia
Karena kehadirannya sebuah isyarat kelu
Kau tahu?
Kita berpisah di ujung rintik yang baru

*Seorang yang merindukan hiruk-pikuk keseharian belajar di markaz lughah

Thursday 22 September 2016

Antara Buku, Pena dan Rindu

Buku
Suatu masa, aku sangat berterima kasih kepadanya. Tanpanya, bahkan aku tak bisa mengerti apa itu kata-kata. Kehadirannya menumbuhkan sejenis napas baru, sebuah kesegaran baru di tengah hiruk-pikuknya waktu. Padanya, aku menemukan dunia lain, dunia yang arif, dunia yang membawaku menyingkap perspektif baru bahwa hidup, terlalu sempit jika kita mencukupkan diri pada sebuah ilmu. Atau mungkin sebuah komunitas, sebuah kebersamaan, sebuah kebanggaan akan segala sesuatu yang seringkali membuat kita lupa jati diri kita yang sebenarnya. 
namun, seringkali ia membuatku ingin menangis, berteriak, gila dalam satu waktu yang sama. Pasalnya, tatanan deretan huruf yang rapi itu seolah mengorak-arik isi kepalaku. Di satu waktu aku sangat pening dibuatnya. Seperti saat ini misalnya, ingin rasa kuberteriak sekencang mungkin, berharap semua penat di kepala ini menghilang. Rasanya, pesimistis kini mendahului optimisme-ku, yang sedari kemarin aku tahan baik-baik, aku jaga berharap dengannya aku mampu membuktikan apa yang sebenarnya aku perjuangkan. Namun, berteriak dengan kencang, rasanya tak etis pula. Lalu bagaimana harus kuhadapi ini semua? Rasanya mentok sekali. Kurang sehari, baru dapat tiga halaman. 
Buku, haruskah aku melebur menjadi deretan abjad yang tersusun rapi, berjajar dengan santun, namun kau menyimpan sejuta hal yang sangat runyam?

Pena
Tak lain halnya dengan buku, satu benda ini tak lain ialah sebuah benda jumud, tak punya makna. Ia mati sejak berhari-hari yang lalu. Entah apakah karena buku, aku ataukah rindu?
Rasanya aku tak bisa hidup dengan normal meski buku dan pena ada di tanganku, jika saja rindu terus menikamku, membunuhku di setiap detik nadiku.

Rindu
Mungkin, di antara keduanya, faktor inilah yang paling berpengaruh terhadap kegilaanku sekarang. Bukan gila secara psikologis, namun mungkin saja aku ditimpa kegilaan yang lain. Kegilaan karena ia tak menemukan tempat rehabilitasi yang benar. Meracau, berteriak namun tak sampai. Gila karena rinduku tak tersampaikan oleh waktu. Rindu menghalangiku dari untaian jemari yang merangkai nuansa, maksud apa yang sebenarnya sedang kuperjuangkan sedari dulu.
Intinya, buku, pena dan rindu berhasil membuatku gila, karena bahkan memasak air di dapur pun lupa. Hingga airnya kering, lalu tersisa bara yang membakar wajah panci nan tua. Hitam, pekat, lalu menyeruak bau tak sedap.
Entahlah. 

Wednesday 7 September 2016

Senja-ku Kini dalam Bayangan Sebuah Apriori

Alhamdulillah.
Menghitung hari, melalui banyak suasana alam, berganti dari musim ke musim. Senja. Jangan kalian cela dia, ia sangat teristimewa. Jangan kau caci ia, karena ia hanya pergi untuk sementara. Jangan kau tunggu ia, karena kehadirannya ialah sebuah titipan Yang Maha Kuasa. Jangan kau tangisi ia, karena kepergiannya ialah sebuah keniscayaan duka. Empat hari, empat bulan, satu tahun, hingga hampir dua tahun, rasanya masih tetap saja sama. 
Senja di langit sore itu begitu jingga, meninggalkan segores ukiran yang sulit tergantikan, apalagi dihapuskan. Senja, entah mengapa aku begitu terkagum padamu. Senja, meski klasik namanya, namun bagiku ia yang teristimewa. Setidaknya, hari-hari panjang itu terlupakan sekejap ketika kulihat semburatmu menyiratkan sebuah isyarat. 
Senja, begitu kumemanggilmu. Bukan tentang seseorang, namun tentang sebuah kasih sayang. Kasih sayang. Setidaknya, dengannya aku mampu merasakan cinta tanpa kehadirannya. Kasih sayang yang tanpa mewujud benda-benda tak tahan lama, atau makhluk bernama manusia yang selalu fana. Kasih sayang yang tanpa harus disiram pedihnya perpisahan. Toh, hanya aku yang merasakan. Kumohon jangan pernah mewujud seseorang. Aku harap jangan. Aku selalu tak mampu menanggung sesak-pedihnya perpisahan. Tetaplah hadir sebagai sebuah abstraksi dalam memoar perjalanan hari-hari yang merapuh, menguat, mengerut lalu kembali berturut. Akan tetapi, hati telah menemukan rumahnya. Jingga-mu terlanjur mampu menghadirkan sebuah tokoh istimewa bagiku, meski hanya ilusi yang tersimpan dalam sebuah apriori. Lalu, selepas itu, senjaku lenyap bersama senyap kepergiannya.
Seiring berjalannya waktu, aku ingin terus melihatmu. Setidaknya, aku tahu jika dirimu tak apa, baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu pula, aku ingin melupakanmu, karena melihatmu, membuatku tak mampu menatap hari-hariku berikutnya. Kutau kau pasti akan menghilang. Lenyap dari pandangan keseharian. Meski hati selalu menahanmu, namun bayangan hadirmu selalu saja menghampiriku. Bahkan setelah ia berontak sebenar-benar ketidak-mampuan. Bisa apa daku atas hati yang seperti itu?
Binar semburat senja mengingatkanku akan kenangan kepergian itu. Apa yang telah aku takutkan dahulu pun nyata adanya. Berpisah tanpa salam perpisahan. Harus kutahan sekuat tenaga agar air mata tak lagi ada. Namun, hatiku selalu mengingkari logika. Ia tahu, di mana tempat nyaman yang menenangkan seluruh jiwa. Menghadirkan sebuah apriori secara paksa, menyalahi apa yang telah dan akan ada. 
Senja, dalam hati kuingin terus bersamamu. Menikmati kerinduan dalam senandung penantian malam. Merangkai kata, mereka-reka apa yang akan kita lakukan bersama di hari tua.  
Namun, senja yang dulu bukanlah senja yang kini selalu kulihat. Teduhnya kian berganti menjadi hangat yang mungkin akan terus menyengat. Membakar hati, hingga semua kenangan itu tak tersisa lagi.
Semusim berganti, namun senja itu lebih cepat melenyapkan diri. Melarikan diri, tanpa meninggalkan seulas semburat kemuning, setitik pun tidak. Kau berbohong padaku. Kuathu itu setelah senja menatap bisu, membisik kelu yang tertahankan oleh ufuk nan biru, abu-abu, lalu kelabu. Tabu. Betapa sesak saat kutahu bahwa semburat kerinduan itu sengaja kau sembunyikan, dahulu. Lebih sesak lagi saat kutahu, padahal kau sendiri tak mampu menahan perihnya saat perpisahan itu. Namun percayalah, takdir berbaik hati, jangan pernah membencinya. Takdir menyayangi kita, maka jalanilah hari dengan segenap cinta. Cinta atas kuasanya menumbuhkan rasa dalam palung terdalam yang pernah dicipta. 
Pernah di suatu hari mentari begitu cerah bercahaya. Kupikir senjaku yang dulu akan kembali, lagi. Namun, hati tak merestui pikiran. Sama halnya ketika ia tak merestui setiap perpisahan. Hati selalu tahu hakikat yang tak pernah terlintas dalam ruang imaji terhebat. Ia tahu, senja itu, tak kan pernah ada senja seindah sore itu. Senjaku. 
Senja, meski kau bukan manusia, namun kehadiranmu adalah ia yang kucinta. Hadirmu mewujud manusia istimewa yang pernah ada.

*menjemput Senjaku kembali, sore ini.
  Mentari t'lah mengantarmu kini, enggankah kau jujur atas kerinduan hati?
  Aku masih di sini, dengan hati yang sama, dengan keluruhan yang sama seperti pertama kali kau         semburatkan jingga.
 Namun, jika kini kau berubah adanya, semburat jinggamu tak bisa digantika oleh semburat senja      yang lain.
 Bagiku, kau lah senjaku. Bukan yang lain. Tak ada yang lain.

 Kairo, 7 September 2016. 
 Rumah Darrasa, tepat di pukul 3.00 PM CLT. 

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...