Tuesday 30 August 2016

Sepucuk Rindu untuk Markaz-ku

15 Juni kini menjadi sesuatu yang tak biasa bagiku. Padanya, tersimpan banyak kenangan indah selama setahun ke belakang. Meski bukan tepat setahun, hanya sekitar sembilan bulan aja, sih. Yah, tanggal itu merupakan tanggal perpisahan kami dari markaz Syekh Zayed. Sedih, sangat. Bahkan, hingga seminggu awal setelah lulus dari sana, kadang mata sampai berair, padahal hanya kejadian sederhana dalam mimpi. Saking kangennya, hehe. 
Mungkin, hanya aku yang merasakan hal seperti itu. Iya, memang aku selalu mendapati hal-hal yang tidak didapat orang lain. Atau, mungkin mendapati hal yang sama, namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Cara yang lebih indah dari apa yang mereka, teman-temanku rasakan. Pede aja gitu.
Entah mengapa, sampai saat ini, dua bulan tak belajar di sana, ingatan tentang markaz masih menggelayang di pikiran. Ta'stiir sama ta'attsur-nya terasa sekali. Dari cara belajarnya, cara ustadzah mengajar, cara kita berkelompok, suasana kelas, hingga kekerabatan dengan ustadzah. Mungkin, di antara yang lain, yang terakhir inilah yang paling berkesan mendalam bagiku. 
Salah satu tulisan ustadzahku tercinta, terfavorit satu markaz, usth. Marwa Ali. Yahfadhuhaa Allaahu.
Ustadzah, satu kata yang kini menjadi sebuah wacana, bagiku. Ia mengalami pergeseran makna, tepatnya mulai saat aku di pesantren yang akhirnya tiba di sini, hingga makna tentangnya, gambaran tentangnya, serta image tentangnya berubah, bukan lagi seperti apa yang aku pahami dulu. Lagi-lagi karena markaz.
Aaaa rasanya sulit sekali mengungkapkan cerita. Sebenarnya saya nggak pinter cerita, apa lagi tertulis gini. Saya hanya sedang berusaha menutupi kerinduan dengan coretan-coretan, dengan harapan rindu itu sedikit terobati. Atau setidaknya, aku bisa membuat coretan singkat saat aku merindu markaz, atau paling tidak ada teman yang sempat membaca tulisan ini hingga ia turut merasakan apa yang kurasa. Tentang keindahan di sana, kebersamaan, kasih sayang dan lain sebagainya yang tak akan bisa ditemukan di lain tempat, lain kesempatan. Atau paling tidak, coretan ini bisa aku kenang di kemudian hari, sebagai pelipur sesak kangen di hati.
Markaz..oh Markaz. Bagaimana aku harus menyifatimu?
Ustadzah.. beliau-beliau sangat kuhormati, saangat kusayangi. Apa yang aku bilang di depan, bahwa apa yang saya temui berbeda dengan teman-teman mungkin bisa dibenarkan. Yah, setidaknya hanya diri ni yang membenarkan. Iya, lha wong memang hanya saya yang merasakan. He.
Rasanya, kedekatan dengan ustadzah merupakan akar dari semuanya. Akar dari proses dan pembelajaran setelahnya. Hingga pada beberapa utaran pemikiran, saya kemudian menyadari bahwa apa yang saya katakan ialah apa yang ditekankan dengan sangat oleh ustadzah. Terdoktrin rasanya.
Istimewanya markaz mengambil separuh hatiku. Darinya, aku tahu apa itu bahasa Arab, dalam konteks yang berbeda dari apa yang kupelajari selama ini. Meski dulu di jurusan sains, namun saya pecinta bahasa Arab, lho. Berkahnya mungkin dengan kecintaan itu Allah mengirim saya belajar di ladang aslinya. Alhamdulillah.
Beliau-beliau yang mengajar di sana merupakan orang-orang yang ikhlas, penuh kasih sayang, mempunyai semangat yang tinggi, disiplin, kuat luar biasa, dan selalu menginspirasi. Beliau para pendidik yang hebat. Beliau tidak hanya mengajar, namun mendidik dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk umat. 

Beliau yang paling ngangeni, usth. Marwa Ali. 

Hmm. Saking indahnya, saya belum bisa menuliskannya dengan rangkaian kata. Terlalu indah. Terlalu bersejarah. Sama halnya dengan terasa terlalu cepat berlalu. Semua terlalu kecil untuk mewakili syukur pernah meneguk sereguk gelas dari oase al-Azhar. 
Intinya, kangen ustadzah. Kangeen pengen ketemu. Kangen pelukan, tawa dan cengkerama itu.
Sesederhana itu, rinduku padamu, Markaz-ku. 
Wahesytniii awiii. 
Lupa abis ngapain. Intinya liat foto ini jadi inget saat-saat tertawa di kelas bareng ustadzah Samar. Biasa.. karena kak Pile dkk. Wkwk


Edisi kangen markaz lughah. Mungkin karena lama nggak chat juga sama ustadzah. La khabar wa la gambar. He. 
Semoga Allah senantiasa melindungi panjenengan sedoyo, guru-guruku..

Kairo, Rabu, 31/8/16 pukul 3.51 AM CLT.

Tuesday 23 August 2016

Cuplikan Sekilas Wejangan Syekh Usamah al-Azhariy

Alhamdulillah, siang tadi penulis dapat "nunut" kuliah umum bersama Dr. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhariy, Penasihat Presiden Mesir. Lebih dari itu, beliau diakui sebagai Mujaddid al-Azhar sebagaimana dituturkan oleh Dr. Jamal Faruq, Dekan Fakultas Dakwah cabang Kairo, dalam sambutannya. Hal ini disebabkan karena keilmuan beliau yang sangat matang, sosok intelektual yang hakiki sebagai seorang Azhari. Keilmuan beliau melebihi usianya. Ungkapan ini dikuatkan dengan karya-karya beliau sebagai wujud representasi pemikiran yang mendalam, matang, sistematis, serta terlihat betapa banyak literatur yang beliau kuasai. Sosok Azhari sejati, begitu yang terlintas dalam benak penulis ketika mendengar nama beliau, Syekh Dr. Usamah Sayyid al-Azhari.

Syekh Dr. Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari
Dalam kuliah umum kali ini, beliau menyampaikan materi seputar tema besar yang paling mendasar urgensitasnya dalam lingkup keilmuan seorang Azhari, atau secara lebih luas: lingkup keilmuan seseorang yang belajar di lembaga al-Azhar. Di bawah naungan tema besar "Pembentukan Watak Intelektual Seorang Azhari", beliau memulai dengan menilik kembali sejarah para Ulama al-Azhar sejak beratus tahun yang lalu. Di antaranya Syekh Ibrahim Salim yang dijuluki sebagai Ahli Mantiq, di mana beliau menghabiskan masa kecilnya di Ma'had Iskandariyah, juga seorang Guru Besar Mantiq di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo. Dalam kesehariannya, beliau menghabiskan waktu untuk belajar mulai pukul 6.30 pagi hingga 6.30 sore. Tentu, di sela-sela tersebut terpakai untuk shalat, istirahat sejenak, dan lainnya yang terakumulasi selama dua jam. Jadi, beliau mengkhususkan waktu untuk benar-benar belajar selama sepuluh jam. Sepuluh jam ini beliau bagi menjadi empat macam ilmu yang berbeda. Kesimpulan: apa yang beliau sampaikan dari ingatan tentang Syekh Salim ini ialah betapa seorang pelajar, penuntut ilmu, terlebih mereka yang belajar di al-Azhar harus dan benar-benar harus mengkhususkan waktunya untuk membaca, mudaarasah, muthaala'ah, mujaalasah, mumaarasah dan lain sebagainya sebagai konsekuensi seorang penuntut ilmu yang sejati. 
Di samping beliau, Syekh Usamah juga menyebutkan beberapa ulama lain yang diakui keilmuannya di seantero dunia, di antaranya Syekh Sya'rowi dengan tafsirnya, Syekh Ibrahim Mukhtar ibn Umar, Syekh Hassan al-Baquri, Syekh Syamsuddin Muhammad 'Illisy, kemudian putra beliau yakni Syekh Abdurrahman 'Illisy. Ketika menceritakan tentang riwayat para ulama ini secara singkat, beliau terkejut dan tersenyum kecut ketika menanyakan kepada hadirin: "Adakah di antara kalian yang mengenal, mengetahui Syekh 'Illisy?" Namun, tak ada satu pun yang menjawabnya. Entah diamnya kami saat itu apakah ada yang mengetahui atau tidak. Padahal, beberapa pertanyaan berikutnya yang beliau lemparkan dan dijawab dengan benar, tak tanggung-tanggung beliau memberikan dua ratus pound (saya kurang yakin, namun lembaran itu terlihat seperti itu. Mengingat dua ratus pound rasanya tidak ada yang mirip seperti misalnya: lima pound dengan dua puluh pound).
Setelah menilik sejarah secara singkat, beliau menekankan bagaimana peta pemikiran intelektualitas seorang Azhari yang matang dan mumpuni. Tercatat bahwasanya al-Azhar mengajarkan dua belas cabang ilmu yang berbeda secara bersamaan dalam tingkatan yang berbeda. Tidak ada pilihan bagi seorang Azhari untuk memilih ilmu apa saja yang ia kehendaki. Harus. Seorang Azhari sejati harus menguasai atau paling tidak mempelajari dua belas cabang ilmu ini secara matang dan komprehensif. Dua belas cabang ilmu ini dibagi menjadi tiga tingkatan pada masing-masing ilmu. Ditambah lagi, paling tidak ada sepuluh guru yang mengajar di satu bidang keilmuan dalam tingkatan (mustawa) yang sama. Itu ialah batas minimal. Sepuluh guru di setiap cabang ilmu di mustawa yang sama ialah batas minimal seorang santri Azhari dalam prosesnya membentuk watak intelektualitas seorang Azhari sejati. 
Tingkatan-tingkatan bidang keilmuan pada dua belas cabang yang berbeda ini dapat kita lihat pada jadwal talaqqi di al-Azhar. Misalnya dalam ilmu Nahwu, Jurumiyyah untuk tingkat awal, Tanqih Azhariyyah untuk menengah, serta Qatrunnada, Alfiyyah ibn Malik, Syarh Syudzur al-Dzahab untuk tingkat akhir. Mengingat jumlah santri al-Azhar yang melebihi dua puluh ribu santri, tidak mungkin jika ditampung dalam satu tempat saja, yakni masjid al-Azhar. Oleh karena itu, ada beberapa tempat lain yang dijadikan sebagai majelis ilmu di bawah naungan al-Azhar. Di antaranya; masjid Sayyidina Hussein, Masjid Dardir, masjid 'Aini, dan lain sebagainya (penulis tidak cukup pandai menghafal, hehe).

Urgensitas Seseorang dalam Mempelajari Sebuah Keilmuan
Sebuah bidang keilmuan tidak dipelajari karena ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, sebuah keilmuan dipelajari untuk mencapai sebuah tujuan yang pasti, jelas, sistematis. Ia merupakan sebuah perantara untuk mencapai tingkat pemahaman yang matang dalam tingkatan sempurna (idraak). Sehingga dari sini lah terbentuk sebuah watak intelektualitas yang mantap hingga mampu untuk melakukan sebuah sumbangsih nyata dalam lingkup keilmuan tertentu. Ingat, إنما العلم وسيلة وليس غاية.
Sering kali ketika kita ditanya: apa manfaat dari sebuah ilmu? sontak kita menjawab: agar kita merasa takut kepada Allah (لخشية الله). Sebuah jawaban klise. Jawaban tersebut bukanlah jawaban yang dapat diterima dalam konteks apa yang sedang kita bicarakan, tegas beliau. Jawaban tersebut lebih kepada sebuah ceramah dalam khutbah Jumat (entah khutbah tertulis atau tidak, haha). 
Memang benar, manfaat ilmu ialah untuk mengenal Allah, sehingga menumbuhkan rasa takut (الخشية ) kepada-Nya. Namun, jawaban tersebut merupakan jawaban yang sangat sangat jauh, jawaban jangka panjang. Sebelum sampai kepada khasyyah ini, ada banyak tahapan yang harus dilalui seseorang dalam perjalanan menuntut ilmu. Yakni, terbentuknya sebuah pemahaman yang benar, pemahaman yang matang untuk kemudian mampu mengetahui seluk-beluk sebuah nash. Jadi, inti yang paling utama dalam proses pembelajaran sebuah keilmuan ialah untuk paham. Kedua, untuk memahami wahyu Allah (al-Quran, sunnah) dengan pemahaman matang dan mantap, kuat, sebagai tindak lanjutan dari apa yang telah diperoleh pada tahap pertama tadi. 
Juga, terdapat empat cakupan pokok dalam rangkaian sebuah keilmuan yang utuh, sebagai berikut.
1. الفهم والإفهام, tercakup di dalamnya ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fikih Lughah, dll.
2. التثبت والتوثيق; Ilmu Hadits beserta al-Jarh wa al-Ta'dil-nya, Sirah Nabawiyyah, Tarikh.
3. الحجية والتحليل; Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Mantiq, Aadab al-Bahts wa al-Munadharah.
4. بناء الإنسان; Fikih, Tasawuf.

Huft.. serasa kecil sekali saya, mencoba menuliskan apa yang beliau sampaikan tadi siang dalam kemampuan yang masih kudu jungkir-balik, sangat sangat jauh. Kalamnya berat, Teman (terutama bagi manusia seperti saya). Majelis tadi serasa sebuah tempat pemberitahuan agen rahasia tentang gerilya penting yang akan disampaikan oleh kapten. Mungkin terkesan agak serem, memang iya. Beliau bukanlah sosok humoris. Beliau selalu serius dalam menyampaikan segala sesuatu. Jika kita lihat, tersirat dalam wajah beliau segudang pemikiran, istiqra' yang matang dan konsisten memaksa wajah teduh itu menyiratkan lelah, namun tetap kukuh. Alisnya, sangat mudah bersatu, terlalu sering mengerutkan dahi atas apa yang menjadi keprihatinan kita saat ini. Wajahnya selalu memancarkan cahaya, menggambarkan seorang intelektual matang yang berkhidmah untuk umat. Wajah seorang Mujaddid Azhari, wajah sosok intelektual yang digembleng dengan matang, له قدم راسخ. Bagaimana tidak? beliau ialah murid tersayang Syekh Ali Jumah. Tentu saja, penulis tak bisa menggambarkannya secara detail dengan kata-kata. Intinya, ya seperti itu.
Jika diberi rizqi untuk mengikuti majelisnya beliau, kita bisa mengamati bagaimana beliau dalam menyampaikan ilmu. Bagaimana beliau ketika duduk di samping guru atau seseorang yang lebih sepuh darinya. Bagaimana majelis beliau, bagaimana segala gerak-gerik yang menjadi ciri khas beliau sungguh merupakan sebuah anugerah tak terhingga atas kemuliaan yang Allah karuniakan kepada manusia atas makhluk lainnya. 
Masih belum selesai. 
Banyak di antara kita memahami bahwa seorang ahli tafsir ialah mereka yang banyak membaca kitab tafsir, lalu menceritakannya kepada yang lain. Sungguh bukan seperti itu. Seorang ahli tafsir ialah ia yang membaca tafsir dengan kecakapan pemahaman yang sedemikian hingga ia mampu mengambil sebuah hukum (istinbath) atasnya. Sebuah jangkauan yang sangat dalam dan jauh. Jangkauan yang hanya dapat diperoleh oleh mereka yang belajar selama 10-15 tahun di al-Azhar, dengan rincian waktu belajar, sistem belajar, jumlah guru seperti yang telah disebutkan di atas (ingin rasanya saya buat bagan, namun sepertinya belum sekarang, ngapunten. Hee)

Ushul Fiqh; Kedudukan Ilmu Tertinggi dalam Lingkup Azhari
Sebuah keilmuan yang menjadi ciri khas al-Azhar ialah Ushul Fiqh dan Balaghah. Imam Ghazali berkata dalam Mustashfaa-nya, bahwa seseorang yang tidak memahami mantiq secara matang dan komprehensif, maka ke-tsiqah-an, kecakapannya dalam bidang keilmuan selain itu diragukan. Kemudian, jika seseorang itu lemah (jika terlalu kasar untuk menyebutnya: buta) dalam ilmu Ushul Fiqh, maka jatuhlah seluruh pengambilan hukum yang ia lakukan atasnya. Seseorang yang tidak memahami kedua bidang keilmuan ini, tidak pantas menjadi sampel atas keilmuan syariah al-Azhar, tandas beliau.
Sebuah ilmu disandarkan pada tiga pokok, yakni al-Malakah (kecakapan), al-Idraak (pemahaman yang mendalam), dan al-Masaa'il (pemahaman yang dipraktikkan nyata dalam sebuah permasalahan). Ketiga pokok ini akan mengantarkan seseorang pada pengambilan hukum (dalam konteks Fikih, ataupun pengambilan suatu kesimpulan analisis dalam konteks lainnya) yang tidak pernah tergambar, terbayangkan dalam pikiran, namun dapat ditemukan melalui sebuah pemahaman (الأحكام التي غابت عن الأذهان و تواردت في المفهوم).

سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي عمل أفضل؟ قال: العلم. و ككر السؤال فأجاب مثله حتى اشتكى السائل: يا رسول الله سألت عن أي عمل أفضل وتجيبني بعلم. كيف يكون هكذا؟ فقال: إن قليل العمل ينفع بالعلم, وكثيره لا ينفع مع الجهل (أو كما قال) 

"ليس العلم في الورقات والدورات. إنما العلم بملازمة العلماء ومجالسة العلم ومدارسته وممارسته وكثير القراءة فيه واستقرائه"

Terakhir, bagi mereka yang pernah menimba ilmu di oase al-Azhar, mereka tidak pernah menyebut Mesir hanya dengan "Mesir" saja. Namun, bahkan para ulama alumni al-Azhar terdahulu menyebutnya dengan "Mesir-ku Tercinta".

"مصرنا الحبيبة"

Weeh kembali ke inti. Jadi, batas ideal seorang Azhari ialah belajar selama 10-15 tahun di al-Azhar. Mempelajari dua belas bidang ilmu, masing-masing ilmu tiga mustawa, setiap mustawa kitab yang sama minimal 10 guru. Maka, berikut hasilnya.

12 x 3 x 10 = 360 majelis ilmu. 

Sebanyak itu pula jumlah tiang di masjid al-Azhar. Helwah jiddan, shah?! Hehe
Tapi, sebenarnya ada 365 tiang di masjid al-Azhar yang berhasil penulis catat dalam buku. Namun, sampai saat ini masih belum menemukan dari mana angka ini. Padahal, lihat teman sebelah yang Mashriyyah-pun nulisnya 365, dan ada asal-usul perhitungannya. Namun, tetap saja hasil perhitungan kali antara bidang ilmu, mustawa, serta guru ialah 360.  Aduh, saya lupaa. Entahlah, intinya seperti itu. Hehe

Alhamdulillaaaaah. 

*di depan kipas angin, padahal rada kurang fit. Ditemani bunyi 'plek plek plek', bunyi kertas yang tersapu angin dari kipas, sama audio penenang hati. Hehe. 
Humm akhirnya tertuliskan apa yang saya ingin tulis. Maaf jika kadang nggak nyambung gagasan antar paragrafnya. Yaah anggap saja cerita, seperti biasanya saya nulis (nggak jelas) itu. He.

Menarik napas panjang... lega.

Alhamdulillah. Semoga manfaat. 
Eh iya, kadang kalau ingat majelis tadi dengan segala ke-serem-annya suka senyum-senyum sendiri (bukan kasmaran kok, tenang aja. Eh bisa jadi, deng). Bahagianya 'nunut' majelis beliau tadi juga masih kerasa. Hehe. Alhamdulillaah. 
Catatan: kuliah umum ini bertempat di Auditorium Syekh Zayed Markaz Lughah, di samping Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar Kairo, el-Hayy el-Saadis, tercatat Selasa, 23 Agustus 2016.

Kairo, Rabu 24/8/16, pukul 2.49 AM CLT. 

Monday 22 August 2016

Hafiz Ibrahim; Tentang Ratapan Bahasa Arab

رجعت لنفسي فاتهمت حصاتي * وناديت قومي فاحتسبت حياتي
رموني بعقم في الشباب وليتني * عقمت فلم أجزع لقول عداتي

Itulah dua bait pertama syair tentang ratapan bahasa Arab karya Hafiz Ibrahim. Alhamdulillah, saya tahu syair ini dari dosen saya di markaz lughah, ustadzah Noura Ibrahim. Beliau seorang dosen senior di markaz, mungkin terhitung paling senior. Cara penyampaian materinya keren, selalu menggunakan perumpamaan, al-Qurannya ..jangan ditanya lagi. Beliau selalu menukil tafsir ayat-ayat yang terkait dengan materi hari itu, lalu menjelaskannya dengan cara yang indah, dan.. ngangenin. Hehe. Kini, beliau ada di UEA, dikirim ke sana untuk mengajar. Mungkin, akhir tahun ini kembali lagi ke Mesir. Semoga..
Kembali ke syair. 
Awalnya saya tak paham, apa maksud dari syair ini. Syair yang lebih dari dua puluh bait ini menggunakan kata-kata yang cukup dalam. Sekilas mendengarnya, belum tentu dapat memahaminya. Di awal penyampaiannya, Sang Penyair Hafiz Ibrahim menggunakan tasybih baligh, seolah-olah bahasa Arab dapat berbicara layaknya manusia. Ia (bahasa Arab) berkaca pada dirinya sendiri, merenungi dan meratapi keadaannya yang sangat memprihatinkan. Banyak kalangan (khususnya kaum orientalis) yang menganggap bahwa bahasa Arab itu mandul, tak ada sesuatu yang baik darinya apalagi istimewa. Meski ada beberapa mereka yang mengakui keistimewaanya, namun mereka lebih condong pada meremehkan, karena dengan bahasa Arab yang sedemikian hebatnya, kaumnya, malah tega mematikannya. 
Tak hanya orientalis, kaumnya sendiri, kaum muslimin pun meninggalkannya. Mereka (kita) telah kehilangan kebanggaan atasnya. Kebanggaan bahwa bahasa Arab ialah bahasa kita. Bahasa al-Quran. Entah apa yang menjadikan kita begitu menutup mata, mengabaikan dan meninggalkan bahasa Arab. Termasuk para pelajar yang belajar di Timur Tengah, misalnya. Atau, para ulama di seantero dunia telah berusaha mati-matian mengembalikan keemasan masa kejayaan Islam. Namun, rasaya begitu sulit untuk kita bangkit, jika kita masih saja berbangga dengan budaya tetangga. 
أرى لرجال الغرب عزا ومنعة * وكم عز أقوام بعز لغاتي
Kondisi kita dewasa ini sungguh memprihatinkan. Kita lebih bangga berbahasa Inggris dari pada bahasa Arab. Kita lebih melirik mereka yang belajar di negeri Barat, ketimbang mereka yang belajar di Timur. Adat ketimuran (budaya Islam) semakin dianggap sebagai adat yang kuno, tidak relevan. Berbagai macam kejadian lainnya juga mendukung betapa kita sekarang ini terjerat di antara tali-tali orientalis yang semakin menguat, karena kita masih berangan pada kejayaan kita yang pernah tersemat.
Tersayat rasanya ketika mendengar dan merenungi syair ini. Hemat saya, syair ini cukup komprehensif dalam merepresentasikan keadaan umat Islam akhir-akhir ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama terdahulu, bahwa keunggulan suatu kaum ditunjukkan dengan keunggulan bahasanya. Namun, lagi-lagi, kita sekarang bukanlah kita yang dulu. Semua aspek dalam kehidupan kita sudah ditelanjangi oleh budaya Barat. Ironinya, bahkan kalangan kita menerimanya dengan lapang dada, tanpa adanya perlawanan kritis terhadap apa yang terjadi. Atau mungkin, bagi mereka tak ada pilihan lain selian mengikuti perkembangan zaman yang katanya modern ini.
(bersambung)

Untuk lebih lanjut, silakan buka di channel Youtube. 


Di sela semilir angin Selasa pagi,
Kairo, 23/8/16 pukul 2.02 AM CLT. 

Sunday 21 August 2016

'Krek'; Tengkuk itu Ingin Meringkuk

Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan penuh kelapangan.. Lega.
Alhamdulillah, sepatah kata yang cukup mewakili untuk hari kemarin.

Hari yang panjang.. begitu aku menamainya. Iya, karena semenjak pagi saya keluar rumah. Bakda Ashar pulang, pergi lagi hingga pukul 21.30 baru benar-benar pulang. Sebenarnya tidak ada kegiatan yang istimewa dari hari ini. Iya, wong saya hanya menjalankan kewajiban saja. Apanya yang istimewa dari penunaian sebuah kewajiban? Tak ada. Hanya saja, dalam setiap keadaan, kita diwajibkan untuk selalu bersyukur, apa pun yang kita sangkakan kepada-Nya.
Hari ini, hari yang melelahkan, ternyata. Sampai-sampai aku tertidur dengan pulasnya ketika seorang yang dihargai dan digugu menerangkan sebuah tema. Nikmatnya tidur sungguh terasa, masya Allah. Jujur, saya lebih suka cara tertidur yang seperti ini ketimbang tidur dengan memanjakan punggung di atas empuknya kasur. Ah, memang nikmat. Namun, segala sesuatu yang tidak biasa memang terlihat tidak biasa (haha, gimana sih, Mid). Seperti tidur tadi, misalnya. Tetiba dibangunin oleh teman (mbak-mbak Mesir lebih tepatnya). Ah, iya. Aku tersenyum kecut karena tersadar ternyata aku berhasil tertidur (ngga kerasaaa, beneran. Maap maap). Akhirnya, untuk menyamarkan aksi saya tadi (tidur di tengah pelajaran) yaah saya goyangkan pena seolah nulis apaa gitu, atau saya goyangkan kaki saya sebagai pertanda bahwa saya masih hidup (kan gerak, hehe). Sebagai tanda bahwa saya (seolah) memperhatikan pelajaran sedari tadi tanpa ada yang terlewatkan, haha. Nakal poll ee.
Banyak pelajaran (bukan dars, ya. Beda topik udahan) yang bisa saya raup semenjak hari-hari kemarin. Bukan karena rajin (yah, pede banget ni anak), bukan. Justru karena saya seperti anak kecil yang butuh seorang munabbih yang selalu mengingatkan lah, saya teringat bahwa saya harus bangun tanpa pengutik. Berjalan tanpa sandaran, berlari tanpa kembali. Yah, dan berbagai hal semacam itu lah. Sebenarnya.. saya harus bisa mencapai mimpi saya.
Ah, itu nomor dua. Yang pertama, sebenarnya.. tengkuk saya pegal dan sepertinya harus segera merebahkannya di atas singgasana bilik tercinta. Ah, walhasil, nggak jelas lagi kan, tulisannya. Huft.
Dan, saya pun belum bisa tertidur sampai detik ini. Padahal besok ada jam terbang pagi lagi.
Allaah al-Musta'aaan. 

Kemudian menikmati bunyi 'krek' yang muncul dari tengkuk yang ingin segera meringkuk.
Bahagia, alhamdulillah.
di depan laptop yang tadinya mau menyusun ulang jadwal talaqqi, nyalin revisian Apendiks al-Mizan, nulis blog, dan sebanyak aktivitas yang ternyata mental dari tembok media sosial. Ah, doakan, Kawaan. Semoga aku bisa nulis beneran. Haha
Bismillah..
Senin, 22/08/2016 pukul 2.03 AM CLT.

Saturday 13 August 2016

Senja Sabtu di Kelas Cerpen (Satu)

"Di mana, Thif.. masih jauh, ta?" tanyaku pada seorang teman saat mencari lokasi kumpul teman-teman kelompok belajar. Maklum, ini pertama kalinya bagi saya "menjelajah" taman al-Azhar, karena waktu Ormaba (Orientasi Mahasiswa Baru) yang digelar oleh PPMI tahun lalu, saya gagal mengikutinya secara "tuntas". Ah, kadang saya menyesal di situ. Tapi, saya yakin ada hikmah di baliknya, meski secara jelas, saya belum bisa menemukannya (lebih tepat: belum tersadar bahwa hikmah itu sudah ada, barangkali). Jadi, ya begitu. Saat-saat belajar tadi merupakan saat yang kunanti. Berkunjung ke taman Azhar. Ah, senangnya.
Sepertinya tidak ada yang menarik di kelas belajar siang itu, jika saja salah seorang guru pengampu (materi saat itu, cerpen) tidak membawakannya dengan apik. Tabiatnya yang memang cuek, blak-blakan, penuh kejutan, dan semacam keunikan lainnya membuat kelas belajar siang itu sedikit menarik. Entah mengapa, bahkan sejak saya membaca file yang di-upload-nya di grup fb, saya merasa ada sebuah kecemburuan terhadap sang guru. Entahlah, yang jelas sebuah kecemburuan positif. Bagaimana bisa beliau menulis dengan sebegitu banyak tokoh, karya sastra, maupun film yang berhasil beliau tampilkan dengan ringkas, namun padat penuk makna. Menarik. Baru kali ini saya merasa benar-benar terdorong untuk membaca sebuah tulisan sampai akhir tanpa merasa jenuh (padahal bacaan saya belum sebanyak-tak terhitug itu). Dan, ah, lagi-lagi aku selalu tak bisa menyatukan antara ide di kepala ini (yang akhir-akhir ini sukanya nonton terus, biasa, drama Korea. hehe) dengan tulisan yang (akhirnya) aku tuang di sini. 
Tetiba terlintas dalam jari-jemariku (bukan pikiran, karena nyatanya jejari inilah yang menuliskan) sebuah asumsi bahwa kekerabatan antara imajinasi dan alunan jari ini tak pernah serasi. Karena entah mengapa, di sepanjang perjalanan yang digariskan olehnnya, selalu saja ia tak mau mematuhinya. Alunan jari berjalan tanpa aturan pakem dari imajinasi. Ia lari dengan sendirinya. Ditambah sayangnya, Sang Imajinasi (yang sayangnya dia hanya sebuah abstraksi, bukan dan takkan pernah menjelma menjadi sesosok makhluk) tak mampu mengendalikannya, tak mampu mengeremnya. Pasrah begitu saja melihat pungggung-punggung jari menari, menuliskan kehendak insting (untuk saya mungkin lebih tepat semacam ide yang entah dari mana datangnya). Kemudian pada akhirnya, lahirlah sebuah tulisan yang (seringkali) tidak sesuai dengan keinginan hati. Ah, kenapa alurnya jadi begini. Kenapa ide pokoknya ganti seperti ini. Ah, apa yang salah dengan jari dan imajinasi ini. Entahlah. Ringkasnya, saya akan menjawab sendiri: itulah sebuah keniscayaan seorang penulis, keharusan seorang perangkai kata-kata (untuk taraf pemula: saya sendiri, haha).
Huft. Mari kita kembali pada apa yang ingin disampaikan oleh seorang imaji. Singkatnya, siang itu, sore itu, senja itu, pepohonan itu, jalanan, orang-orang, suasana, semuanya membuat suasana hati saya menjadi lebih baik. Refreshing. Ah, mungkin semacam itu lah. Kadang kala, malu juga ketika saya mengatakan sebuah jalan-jalan sebagai sebuah refreshing. Refreshing apanya? Saya sedang tidak dalam deadline makalah. Tidak sedang dalam PR markaz lughah (iya wong itu udah selesai). Tidak pula sedang dalam kungkungan diktat dan seabrek jatah bacaan lainnya juga. Padahal, buku-buku yang saya beli di Pameran Buku Internasional (Ma'radl al-Qahirah al-Dauliy 46) kemarin agaknya menjerit, meraung, berteriak meminta segera diperhatikan. Eh, yang empunya malah sibuk nonton drama Korea. Keterlaluan, kan. Mahal-mahal beli buku pake uang orang tua, dibela-belain pergi ke sana sepanjang mingggu sampai sakit, eh ujung-ujungnya hanya dipajang juga. Dasar, saya memang pembeli tak tau diri (ampun, Tuan).
Yah, begitulah. Saya selalu berdoa agar Tuhan memaafkan, memberi kesempatan, memerintahkan hati saya untuk sepenuhnya mencintai mereka (buku-buku pajangan bagi seorang pangaku pecinta ilmu). 
Nah, entah nyambung atau tidak dengan paragraf di atas (berusaha sekuat tenaga menyambungkan gagasan), penulis tetiba terpikirkan untuk mengatakan sesuatu --yang menurutnya sih, nyambung. Ah, semoga jemari ini tidak semakin jauh tersesat. Begini lah apa yang ada di benak saya: ada beberapa pemikiran yang seringkali saya dibuat takjub olehnya. Tak pernah terpikirkan sama sekali, bahkan jika ia tak muncul di hadapan saya. Bahkan, mungkin saya akan menganggapnya tak ada dan tak akan pernah memikirkannya. Saya bukan seorang yang kreatif (karena golongna darah saya A), bukan juga seorang pemikir, apalagi seseorang yang intelektual (padahal itu cita-cita saya: Intelektual Muslim Muda asli Timur Tengah, haha). Namun, sekarang ini, saat ini, lingkungan dan psikologis saya menuntut untuk itu. Mengapa? Semuanya mungkin jika saya berusaha sekuat mungkin. Semuanya akan menjadi nyata. Tidak hanya sekadar imaji yang hidup dalam kungkungan abstraksi, namun sebagai asa nyata yang terwujud karena kekuatan tangan Tuhan berpihak kepada saya. 
Dari situlah, saya mengikuti satu per satu kelas dalam kelompok belajar ini. Hingga sampai di kelas cerpen, tempat di mana khayalan yang bersemayam di kepala ini hidup bebas tanpa penghakiman. Hidup nyaman tanpa cercaan seorang pengamat sastra yang selalu mencari celah kelemahan. Dari sini lah, saya ingin menjadi seseorang yang (belajar untuk menjadi) intelektualis. Meski belum tahu sejauh apa pengorbanan yang akan dibayar oleh seorang pengaku pecinta ilmu ini. Juga, meski kelas ini bukan satu-satunya kegiatan yang ia geluti, namun semoga apa yang ia niatkan, Tuhan berkehendak untuk mengabulkan.
Bersaing, berpacu dengan waktu karena sejatinya ia lah modal utamaku. Semoga Tuhan rida dengan segala tetes kerigat dan air mata yang berusaha meyakinkan akan kuasa-Nya. Meski ia tak meragukan kekuasaan-Nya secuilpun, namun rasanya, tetes keringat dan air mata menjadi bumbu atas hambarnya dunia jika kita tak menjalaninya dengan sepenuh takut dan sebesar pengharapan atas segala janji-Nya. 
(Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Merasa terlalu berpanjang lebar mengungkap ini itu). Padahal, saya hanya ingin mengungkapkan kelas cerpen sore itu. Lagi-lagi, jari jemari tak mau mengikuti imajinasi. Ah, maafkan. Hingga aku lelah menulis, namun belum ada satu pun yang ada di pikiran awalku tertuang dalam sela paragraf (di atas) yang entah apa maksudnya. Melayang, terbang, dan .. ah, lagi-lagi aku mengatakan yang tak berarti seperti ini. Menjatuhkan muru'ah saja, tegas batin kecilku. 
Intinya, kelas itu berakhir pada sebuah senja. Sebuah senja yang selalu aku suka (huft, bahkan sudut pandang pun aku tak konsisten menuliskannya, kadang 'aku', sering pula berlagak sok formal dan intelektual, 'saya'). Mm menarik. Mungkin itu kesan mendalam yang dapat saya sarikan dari kelas tadi sore. Bagaimanapun, cerpen ialah sebuah sastra yang saya suka di samping novel, puisi, meski saya (hanya) condong untuk menjadi seorang penikmat, bukan pencipta. Haha). Menarik di sini bukan dalam artian yang mainstream lho, ya. Ya, anggap saja menarik dalam perspektif beda tak terkata, gitu aja.
Berakhir dengan makan malam bersama (kita-kita yang masak, uwuu), akhirnya kita bertolak menuju gerbang utama. Untuk apa? Pulang. Bukan. Kita ke arah gerbang utama untuk cari space yang 'cantik' buat foto (ujung-ujungnya poto juga). Iya, karena di tempat lesehan belajar tadi gelap (remang-remang sih, lebih tepatnya). Kasian kan, kamera udah bagus, eh objeknya yang nge-blur, ahaha. 
Hmm. Alhamdulillah. Maaf, sedari tadi saya hanya meracau. Mencoba menulis dengan seapik mungkin, namun, beginilah hasilnya. Tak lebih dari sekadar curhat yang kurang sarat dengan kalam padat bahkan kering dari makna yang tersirat (mungkin harapan awalnya membuat tulisan hikmah, gitu. Eh, ujung-ujungnya curhat juga :p. Ah, payah sekali saya ini). Namun, tak apa. Kegigihan saya untuk terus mencoba tak akan berhenti di sini saja. Saya akan terus mencoba dan mecoba. Dus, doakan saya, Kawan!

Seorang anak yang sedang belajar menulis. Ampun dicelo, hee. 

Kairo, Sabtu, 14/8/16 pukul 1:08 AM
Sepulang kelas cerpen Sekolah Menulis Walisongo (SMW) di Taman al-Azhar, Darrasa tercinta.
Di bawah gelayut segudang harapan, semoga Allah-ku mengabulkan. :)

Friday 12 August 2016

Dilema Waktu Daku (?)

Jumat kembali menyapa bantaran Darrasah, mengundang sebuah kerinduan seorang anak yang lama menantikannya. Bukan karena lama tak bersua, ah, mungkin iya. Tiga minggu berlalu tanpa pertemuannya dengan seorang Guru yang sangat disayanginya. Tiga Jumat berlalu tanpa ia mengecup telapak lembut Sang Guru. Hampa, rasanya. Marah bergemuruh di batinnya. Konflik batin terus mengusik hatinya, membuatnya merasa tak nyaman, tak yakin akan apa yang ia lakukan di luar sana. Apakah jalan yang ia pilih benar? Ia tidak yakin. Kecenderungannya untuk bertatap muka dengan Sang Guru, mengaji, membuatnya sempat terpikirkan bahwa segala kegiatan di luar itu ialah ilusi. Segala kegiatan yang ia lakukan di luar "mengaji", hanyalah sebuah ilusi utopis yang tak bisa ia mengerti. Hatinya tak puas. Kesibukan segudang yang dihadapkan padanya menyisakan hampa. Tak berbekas setitikpun. Apakah jalan yang ia pilih salah?
Barangkali diri ini harus belajar memahami hakikat hidup yang sejati. Hakikat hidup yang ia jalani, bukan hakikat hidup yang tertuang dalam buku-buku teori, seminar, daurah-daurah, atau apalah itu. Hidup tak segampang itu, Kawan! Pada kenyataanya, semakin umur ini menua, persoalan yang ada semakin kompleks pula. Persoalan hidup yang tidak hanya sekadar PR sekolah, dimarahi guru, dimarahi kakak karena bandel, semua itu sudah lewat, Teman. Masa terus berganti, bergulir terus menjauh, menuruni lereng keseimbangan hidup, menaiki tangga, sampai akhirnya kaupun lelah, dan pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hidup, dengan pilihannya yang sedemikian rupa kadang membuatku terlalu bersemangat. Membuatku gigih karena aku masih muda. Kekuatan badan sedang berpihak padaku, aku bisa lakukan apa saja yang kumau. Hanya saja, barangkali diri ini harus menyadari, ada sebuah keniscayaan yang tak dapat dielakkan siapapun. Bahwa hati tak mungkin diisi oleh dua hal berbeda dalam waktu yang sama. ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه.. الآية . 
Ah, lagi-lagi daku meracau. Mungkin inilah ekspresi yang paling bisa daku katakan, bahwa kesibukan yang daku hadapi selama ini, ternyata tak cukup melegakan hati. Merasa diri ini seperti bola, dilempar sana, dilempar sini hanya untuk sebuah gol. Gol yang ternyata (hanya) dipersembahkan ke suatu golongan. Namun, apa yag didapatkan oleh hati hanyalah kekecewaan. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan hanya untuk suatu hal yang bahkan hatinya tak paham untuk apa. Padahal, selama ini hatinya ialah teman terbaik yang bisa ia tanya. Selama umur ini, daku selalu meminta tanya kepadanya, dan hanya melaksanakan apa yang membuatnya tenang. Hati, nurani, mereka murni, Kawan! Mereka ada di bawah pengawasan-Nya. Mungkin karena itulah daku belum pernah sekecewa ini, dan belum pernah merasa se-sia-sia ini atas apa yang telah ia perjuangkan. Terlepas dari kebermanfaatan, daku bahagia bisa bermanfaat untuk sekitar. Namun, hanya saja daku baru menyadari, kenapa bisa sebodoh ini. Kehilangan kontrol atas apa yang telah menjadi orientasi. Tak bisa melawan, tak bisa memenangkan pilihan yang ditawarkan oleh hatinya. Selalu berpikir bahwa ia mampu atas semua, namun ternyata lagi-lagi itu hanya gambaran saja. Faktanya, ia bukanlah gadis superhero yang kuat, tak kenal lelah, sangat gigih memperjuangkan orientasinya. Pikirnya bisa! Nyatanya, ia harus tunduk pada kenyataan mutlak, bahwa hidup ialah pilihan. Tak bisa kita lakukan apa saja semau kita. Tak bisa kita memenangkan ego, mengabaikan realitas. Hidup, ialah pilihan. Jika saat ini kau tak mampu memilih, maka selamanya kau tak akan mendapatkan kecuali sebatas penggalih.
Ah, lagi-lagi, daku hanya takut. Takut jika ini ialah bentuk berpalingnya Tuhan dariku. Daku selalu disibukkan oleh banyak kegiatan, namun hati ini tak pernah benar-benar puas dan tenang atas apa yang telah dilakukan. Daku berubah menjadi sosok yang bahkan hati pun tak mengenalnya. Daku yang kini berbeda dengan daku yang lalu. Daku rindu ada di jalan itu..
Bagaimana daku kembali seperti dulu?

Seorang santri yang teramat rindu Gurunya, namun kesibukan bersikeras menjauhkan keduanya.
Ia sangat sedih. Semoga Allah menyayanginya, menuntun kembali ke jalan-Nya.
Kairo, Jumat, 8/8/16 pukul 4:08 PM


Thursday 11 August 2016

Tentang Hamidatul Hasanah


Nama lengkapnya Hamidatul Hasanah. Ia kelahiran Cilacap, 6 Desember 1996. Tumbuh dan berkembang di keluarga yang sederhana dan harmonis. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Ahmad Sodali, seorang petani desa yang kebetulan diamanahi untuk menghidupkan musholla desa, tepat di depan rumahnya. Kesehariannya sangat sederhana. Beliau  juga sangat menjaga tradisi kejawen. Kegiatan kesehariannya selalu dimulai dengan nderes al-Quran, setelah itu muthola'ah kitab sebentar. Setelah dirasa cukup, beliau akan segera bersiap ke ladang maupun kebun. Biasanya, beliau meminta bantuan seseorang untuk membantu mengolah ladang yang kemudian diganti dengan upah yang disepakati kedua pihak. Dengan begitu, beliau bisa mengurus kebun sayurnya yang tak jauh dari rumah dengan Sang Istri tercinta, ibu Khamsiyah. 
Sang Ibu, Khamsiyah, merupakan ibu yang sangat sayang dengan anak-anaknya. Sentuhan dan pelukannya merupakan pelipur lara yang tak ada duanya. Beliau juga ahli memasak. Bahkan, satu desa tak ada yang bisa menandingi masakan ibu. Terlalu sulit mencari duanya, hehe. Ini juga yang kadang membuat Hamida kangen di sini. Jauh dari pelukan, apalagi masakan Sang Maestro di rumah, hehe. 
foto lebaran 2016. Bapak berkoko hijau, tengah. 
Perjalanan panjang telah merangkai tapak kehidupan Hamida. Berawal dari masa kecil yang bahagia, meski agak bandel (karena ngaji dipegang oleh Ayah dan kakak perempuannya, jadi ia merasa berbangga dan kadang suka meremehkan). Namun, keuletannya dalam belajar akhirnya mengantarkan kakinya untuk berpijak di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada tahun 2011 silam. Padahal, impian masa kecilnya dulu ialah nyantri di pesantren-pesantren besar di Jawa Timur, seperti Lirboyo, Tebu Ireng maupun Ploso. Ia ingin seperti saudara-saudaranya yang berhasil nyantri di pesantren salaf. Namun, Tuhan berkehendak lain; menitipkannya di Krapyak yang merupakan sebuah perjalanan yang sangat berarti baginya. Hingga, pada 27 Agustus 2015 lalu, ia bertolak ke Kairo guna menimba ilmu lebih dalam lagi. Sebelumnya, ia belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berkonsentrasi di bidang Kimia Pendidikan, senada dengan program sains yang diambilnya ketika belajar di MA Ali Maksum Krapyak, Yogya. 
Kini, terlepas dari perjalanan masa lalu, Hamida hanyalah seorang kecil yang sedang mencari mutiara indah di antara bebatuan pantai. Bayangan orang-orang tercinta; Bapak, Ibu, kakak, membuatnya gigih berjuang meraih impian. Ia percaya bahwa kelak, ia akan menjadi orang hebat. Tuhan mendengar setiap butir doa yang mengangkasa darinya, dari keluarga, serta mereka yang tulus menyebut namanya dalam setiap doa. 

Hamidatul Hasanah,
Kairo, 8/11/2016 pukul 11.54 PM CLT.
*dalam rindu pangkuan lembut Ibu, bully-an kakak, dan wejangan Bapak. :) 
  semoga Allah senantiasa menjaga kalian.

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...