Perkara klise namun beda versi. Mungkin kalimat tersebut yang terlintas
dalam benak (penulis) ketika mendengar bahwa (banyak) informasi yang telah
tercemar hoax. Mencuatnya hoax ke permukaan media bukanlah hal
yang baru. Dalam beberapa kurun waktu ke belakang, hoax pernah meruyak
di pasaran, hanya dengan ‘wajah’ dan variasi yang berbeda dengan masa kini. Hal
ini tentu dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi pada masanya.
Apalagi, masa elektronik melesat jauh melangkahi masa Tribal (pra-literat)
seperti sekarang.
Dalam tataran masa kini, media sebagai sarana komunikasi utama memegang
peran yang kuat dalam penyebaran informasi—termasuk penyebaran info-info yang
(ternyata) hoax. Bahkan menurut Marshall Mc Luhan, media merupakan inti
peradaban. Ia melihat media sebagai hal utama yang memengaruhi lainnya. Melalui
media lah masyarakat memikirkan sesuatu, merasakan, dan bertindak atas sesuatu.
Pun, peran tersebut seolah menjadi gerbang utama, yang notabene ketika berhasil
masuk, berarti entah apa lagi yang akan terjadi di dalam sana, lose control.
Ada sejumlah invisible hand yang mengatur sirkulasi dan
modifikasi info-info yang telah masuk ke dalam jaring mereka. Entah untuk sekadar
lucu-lucuan, seperti misalnya meme Presiden Soeharto yang berbunyi: “Piye
lek, penak jamanku, tho?” yang merupakan infografis yang masuk di kategori
pertama—untuk hiburan saja. Ada juga clickbait (pemelintiran info seolah
benar-benar terjadi), bahkan hoax yang memicu ke arah segregasi sosial.
Yang terakhir inilah yang sekiranya perlu mendapat perhatian serius.
Namun, sejauh yang sekarang mendapat perhatian ialah pembicaraan tentang
hoax itu sendiri. Mungkin, dari beberapa sumber yang menjelaskan
maknanya, dapat dipahami (dalam bahasa yang paling sederhana) bahwa hoax ialah
berita yang tidak benar. Hemat penulis, ia merupakan salah satu virus
peradaban—yang tidak ilmiah sama sekali—yang memiliki daya pengaruh yang sangat
kentara. Pengaruh yang, menurut Rocky Gerung, seorang dosen Fakultas Ilmu
Budaya UI memicu timbulnya segregasi sosial. Jangankan hoax, menyikapi
berita yang provokatif saja masyarakat kita masih kelimpungan. Maka sebenarnya,
bukan tentang bagaimana menjauhkan diri ketika berinteraksi dengan media maya,
namun paling tidak cara-cara mawas diri yang tepat. Mengingat masyarakat
sebagai telah direposisi menjadi medan, maka masyarakat dituntut untuk lebih
menguasai medan, bukan di-remote dan ditendang sana-sini mengikuti ronde
pihak-pihak yang berkepentingan. Manusia ialah aktor, bukan objek (Gerald
Sussman, 1997: 26).
Media ialah pesan (the medium is a
message). Pesan ini dapat dimaknai sebagai pesan, substansi dari
komunikasi, yang pertama. Namun, McLuhan memenggal kata terakhir menjadi “mass-age,”yang
maksudnya manipulasi gambaran tentang diri sendiri, masyarakat, bahkan dunia
dengan memanfaatkan kesadaran dan mengarahkan persepsi kita. Di sinilah
pengalihan fungsi media teranalisis. Ia mengalami diskontinuitas, bukan hanya
dalam perwujudan dirinya, namun juga substansi yang terkandung di dalamnya.
Kemudian, tentang mengapa terjadi retakan fungsi media. Kiranya, hal ini
berkaitan erat dengan berbagai kepentingan; baik politik tingkat tinggi
(khususnya dalam hoax kategori ketiga, yakni pemicu segregasi sosial)
maupun non-politik. Sebab adanya berbagai kepentingan tersebut dipicu oleh
konsentrasi media yang dimiliki oleh tangan-tangan tertentu, yang notabene
berbau profit dan partisan. Kepentingan mereka bukan hanya merekrut simpatisan,
memoles wajah baik nan polos di depan masyarakat, namun bisa juga menjatuhkan
pihak lain yang berpotensi mengangkangi karier maupun kepentingannya. Ada
hal-hal yang ingin disembunyikan, tidak ingin publik mengetahui darinya kecuali
yang baik-baik. Ditambah lagi, adanya media sosial (di masa kini) merupakan
pelancar ngeksis di segala akun yang memungkinkan. Budaya ngeksis
telah mengajarkan pemelintiran fakta, pembungkaman kebenaran dan tidak akan
dipublikasikan kecuali hal terbaik yang pernah dilakukan—meski hanya sekali
dalam setahun. Bahkan, tidak jarang melakukan pencitraan sekadar untuk mengisi update
rutinan. Seperti yang dicetuskan oleh Mc Luhan, teknologi yang di dalamnya
termasuk media membentuk istilah Technological Determinism, yakni
teknologi (media) dijadikan sebagai alat penghakiman dan pengambilan tesis atas
sesuatu.
Media sebagai penyampai informasi (telah) kehilangan kepercayaan publik
setelah mencemari dirinya sendiri dengan sajian-sajian tak bermutu. Padahal,
tak cukup dari itu, ia juga berperan dalam membentuk kultur masyarakat. Andil
paradoks media sebagai penyampai informasi semakin terang dengan fakta bahwa ia
dijangkiti oleh disauntentifikasi data dan beberapa kepentingan. Mestinya,
masyarakat pun mulai menyadari akan hal ini. Karena, sedekat apapun dengan
media, tidak menutup tuntutan adanya kepekaan; baik kepekaan sosial maupun
kepekaan panca indra. Antara indra pendengaran dan penglihatan memiliki peran
signifikan dalam mencerna dan menganalisis informasi terkait. Di sisi lain,
meski sejak lama terjadi diskontinuitas dalam perannya, namun tidak bisa
diketahui (secara pasti) sejak kapan retakan fungsi media terjadi. Begitu sulit
mencari, karena sifat media yang tidak bisa dilihat seperti misalnya teks-teks
buku yang mewujud nyata. Akhirnya, masyarakat pun hanya bisa mengiyakan apa
yang telah dilihat oleh para pakar jurnalistik. Dibantu dengan beberapa kriteria
berita yang sehat untuk membedakannya dari yang selainnya. Tak lebih dari itu.
Di sisi lain, faktor râwi (pembawa berita) masuk dalam kategori
yang “berkuasa.” Dalam artian, adanya suatu pergeseran fungsi media ialah
adanya kuasa pihak-pihak tertentu; entah dalam hal kekuasaan, latar belakang
yang menguatkan posisi seseorang atau pihak di mata publik, ataupun kedekatan
antarpihak yang berjkepentingan.
Kerap kali, media memang telah dialih-fungsikan oleh pihak-pihak
berkepentingan. Dari yang awalnya sebagai pelayan masyarakat menjadi subyek
atas masyarakat. Dalam artian, masyarakat dijadikan ladang permainan yang wajib
menonton sampai ronde itu selesai, seperti tersebut di atas. Padahal, salah
satu pijakan dalam membangun bangsa yang berperadaban ialah dengan konsumsi
info yang sehat. Karena di atas kesehatan info, berita, maklumat itulah cara
berpikir yang sehat akan diproses. Baru akan. Lantas, apa jadinya saat ruang
media begitu keruh dengan polusi (berbagai) kepentingan?
Ironisnya lagi, adanya media alternatif tidak cukup membendung arus hoax
yang dilancarkan oleh media-media besar. Hal ini terjadi sebab adanya
verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers atas komando UU Nomor 40 Tahun 1999, yang akhirnya pun
akhirnya tidak solutif. Verifikasi dan pemberian barcode atas media
hanya meruncing pada media besar, dan ini beresiko pada terisolirnya
media-media kecil yang tampil apa adanya; tanpa kepentingan dan menyajikan
kebenaran. Maka, sebenarnya kita tidak bisa mengandalkan pemerintah dalam hal
pemberantasan hoax. Karena ternyata, mereka lah yang punya segalanya; data,
intelijen, juga media. Maka dari itulah, disinyalir bahwa mereka sebenarnya
pihak tersangka, atau minimal potentially melakukan konten informasi hoax.
Di sisi lain, mereka juga pengendali yang signifikan dalam mendialogkan media
dengan etika; baik etika jurnalistik maupun etika sosial masyarakat dan kultur
budaya serta jati diri bangsa.
Dalam memerangi hoax, tentu tidak bisa pasang badan sendiri saja.
Tidak juga mengandalkan orang lain saja. Namun, mestinya ada sinergi bersama
dari seluruh masyarakat bangsa di samping pemerintah dengan berbagai bidang
mereka. Mestinya, kita perlu membangkitkan—meminjam istilah Noam Chomsky—“Intellectual
Self Defense,” pertahanan atau tameng intelektual pribadi. Sekiranya, untuk
menuju ke sana, masyarakat (baca: kita) harus belajar kritis dalam menyikapi
segala sesuatu. Tidak pasif maupun apatis, namun bergerak aktif, kritis, dan
merasa dituntut untuk bertabayun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban
atas indra yang telah Allah anugerahkan. Pun, sebagai bentuk semangat yang kuat
dalam menegakkan konsumsi maklumat yang sehat sebagai modal awal pondasi
peradaban. Dus, mari cerdas berdigital, agar kita aman dalam bersosial!