Sunday 5 November 2017

Perjalanan Menuju Diri Sendiri


Seminggu yang lalu, pada Senin tepatnya, aku mulai belajar pada salah seorang senior di kajian. Syukurlah, rumahnya tak terlalu jauh. Hanya memang, sedikit mungkin sekitar 0,001 Masisir yang tinggal di daerah itu. Jadi, nambah rutinitas keseharianku yang semakin menjadikan rumahku hanya tempat untuk kembali dan sekadar menyelonjorkan kaki. 

Bagi beberapa orang yang melihat, mungkin orang-orang yang (terlihat) sibuk mampu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Bertemu dengan siapa saja, membentuk relasi sosial pada seantero mahasiswa Indonesia di sini, atau minimal mempunyai teman yang bisa diajak ngobrol, meski sebenarnya tak terlalu penting. Intinya, ada teman dan  tak terlihat menyedihkan. 

Ah, orang-orang unik memang. 

Sepulang dari rumah tadi, kira-kira bakda Isya, terpukul rasanya hati ini. Ternyata, sekadar membaca saja belum bisa. Ditambah lagi, dengan kondisi mengenaskan seperti itu aku seringkali merasa punya kemampuan baca yang lumayan, jika dilihat dari teman-teman seangkatan. Lagi-lagi entah apa saja yang telah aku lakukan selama masuk tahun ketiga ini. Aku tak begitu yakin. Mungkin saja, aku hanya bermain dengan relasi, mencari eksistensi diri, namun masih belum menemukan diri yang sejati. Selama ini hanya tentang eksistensi yang rasanya, palsu. 

Tentang kebingungan mencari jati diri. Mungkin, masa-masa di usiaku kini masihkah bisa disebut dengan pencarian jati diri? Aku tak terlalu yakin. Mengapa, karena banyak di luar sana, teman sebaya yang kurasa telah mampu menemukan jati dirinya. Dalam satu bidang di antara sejuta bidang yang ada di dunia. Rasanya, mereka telah menemukan dan enjoy saja. Terlepas dari sudut pandang orang lain tentang kemanfaatan, kesungguhan, dan seberapa jauh bidang tersebut mengisyaratkan kondisi yang empunya. 

Selalu terdetak ingatan tentang betapa malangnya diri ini, seperti ini. Seringkali ada pikiran-pikiran yang menyusup, masuk ke kepala, nyempil-nyempil di antara sesaknya lalu lintas jalanan. Meski demikian, setidaknya hal itu mampu mengalihkanku dari bisingnya deruman bus, klakson-klakson Tramco yang terus mendesak, teriakan para penumpang, aih juga mobil-mobil pribadi yang saling berebut jalan, serta sesaknya bus ketika penumpang masuk berdesakan. Huft, ini perjalanan hidup. Menuju diri sendiri. 

Sampai di Sadis, penumpang berangsur turun. Kebanyakan mereka ialah mahasiswa yang kuliahnya di kampus II al-Azhar, kawasan kampus yang baru. Satu kawasan ini dipagari tembok yang tak begitu tinggi, membentang membentuk segi panjang—meski lebih mirip segi tak beraturan. Ah, mungkin trapesium, mungkin. Entah segi berapa. Di kawasan ini ada Pusat Bahasa al-Azhar, Fakultas Syariah, Gedung Program Pascasarjana, Auditorium Shalah Kamil, Gedung Rektorat Universitas, Gedung Pusat Arsip Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Fakultas Media, Fakultas Perdagangan, Asrama Mahasiswa Indonesia, dan gedung-gedung lain yang tak terhitung jumlahnga, di samping Gedung Studi Islam dan Bahasa Arab untuk putri. 

Perjalanan menuju kampus, selalu kusebut perjalanan menuju diri sendiri. 

Deret gedung yang menjulang, jalan layang yang selalu padat, pekuburan yang berdampingan dengan pemukiman, ramainya manusia di pinggir jalan, serta kawasan kampus yang jadi tempat belajar sekian tahun ke depan. Ah, bukan tempat belajar katanya. Tempat melatih metode pemikiran. 

Menuju diri sendiri, karena ketika kita mengunjungi suatu tempat, kita akan menemukan kembali diri kita yang dulu, di tempat itu, dengan paripurna. Meninggalkan suatu tempat berarti meninggalkan sebagian diri kita di tempat tersebut. Bukan hati yang tertinggal, namun jiwa. 

Dulu aku pernah belajar di Pusat Bahasa al-Azhar. Dua tahun yang lalu, kisaran. Tak hanya diktat dan ujian yang saya dapatkan, jiwa baru yang kini hidup bersama keseharianku ialah bekal terdalam yang pernah digoreskan Tuhan. Ada suatu yang hidup bahkan ketika diri ini tak lagi di sana. Pun, ada yang hilang ketika mengingat bahwa suatu saat, aku akan meninggalkan dengan ataupun tanpa alasan. Pusat Bahasa, melewati gedung seperti itu setiap hari membuatku menemukan kembali jiwa yang dulu pernah pergi. 

Meski begitu, kampus putri menjadi satu hal yang sama dengan Pusat Bahasa tadi. Kuliah selalu mengingatkanku bahwa hidup begitu cepat berlalu. Dengan atauoun tanpa kerja keras menghidupi rasa syukur yang diberi oleh Tuhan. Mungkin, hidup yang sungguhan hanya akan saya dapatkan dengan kesungguhan yang sungguh-sungguh, dan tentu dengan pertolongan Tuhan. 

Perjalanan menuju diri sendiri, saya menyebutnya seperti itu. 

Pagi yang dingin, Darrasa 5 November 2017.
Semoga selalu diberi taufik oleh-Nya. Aamiin.


No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...