Tuesday 22 August 2017

Seperti Kucing-Kucing di Pelataran

Emosional.


Saat membaca pesan di grup Ushuluddin Putri terkait pengumuman hasil ujian, kurasa biasa saja. Tak ada yang menarik. Ini disebabkan, sejak berapa minggu yang lalu, isu yang sama selalu menghiasi dinding chatting. Yah, meski hanya bisa kulihat lewat hape temen, namun saya tau apa yang terjadi di sana. Haa. 

Senin, 21 Agustus 2017, nilai kami keluar. Setelah melalui berbagai adu argumentasi (di grup gitu, jadi ada banyak tipe temen; ada yang takut dengan ngirim emot-emot gitu, ada yang pasrah dengan memotivasi temen sekalian untuk terus berdoa--dan saya ngga sesalehah ini--, ada yang jadi petugas fakultas--suka ke kuliah ngecek nilai udah turun apa belum--, dan yang paling bikin pehape ini, para peramal :v, suka ngeramal kapan nilai turun, dan bener, sebulan kemudian baru turun. Heuhe) akhirnya benar, banyak temen yang ke kantor khusus pelajar pendatang. 

Hari ini baru ditempel. Setelah adu-keberangkatan (aku dan Undul dorong-dorongan untuk mau ke kampus, ngecek nilai), akhirnya ia mau ke sana. Sekalian pergi ke tempat Sang Guru di pukul sebelas. Benar saja, ia ngecek nilai, motoin untuk aku juga, hehe. Ia selalu baik, kalian tau? Yaah, seringkali aku yang nakal, tapi jujur itu tanda aku sayang sama dia (eaaa), pengen buat banyak momen untuk dikenang. Ya kan? Ya intinya gitu.

Alhamdulillah, tak ada yang istimewa untuk hasil ujian kali ini. Tadinya, kalimat itu mungkin yang terbersit dalam kepala, menyadari bahwa selama semester dua lalu, aku ngga begitu aktif ke kuliah. Awalnya rajin, namun kuliah belum aktif. Hmm giliran aku pergi, kuliah ngebut dan aktif-seaktif-aktifnya, hingga pas aku kembali, diktat udah diselesein semua. Hua hua.

Atas dasar itu, tak ada estimasi yang tinggi. Sadar diri. Hanya mengupayakan apa yang bisa diupayakan, meski yakin itu belum maksimal. Ngejar ketertinggalan, liat catatan temen, denger voicenote temen Mesir yang ngejelasin dengan sabar dan tulus, tanya ini-itu apa yang dosen inginkan dari kami dalam ujian nanti. Walhasil, Alhamdulillah semua dapat teratasi dengan cukup baik.

Jarak yang lumayan sedikit itu terulang lagi. Ketika dulu di SBMPTN gagal masuk UGM, gelo yang sangat hingga tak semangat ke kuliah itu ternyata tak kunjung reda. Setahun pertama setelah agak reda, ternyata aku harus belajar di tempat yang beda, di sini. Tangan Tuhan terlalu lembut membelai wajah ini. 

Melihat deret nilai yang begitu, ternyata mampu menarik sisi emosionalku. Kangen bapak-mama. Biasanya dulu, setelah terima rapor aku selalu melapor manja pada ibu, karena merasa berhak untuk itu, dengan apa yang telah aku raih. Kini, nun jauh di sana, hanya bisa merindu, kangen masa kecil dulu.

Mama, kali ini aku telah belajar cukup baik. Sedikit lagi, aku ada di posisi satu temen itu. Terkadang, hal ini mengingatkanku bahwa usaha iala keniscayaan, dan doa ialah tangan-tangan keselamatan. Bahwa usaha harus dinikmati sebagai bagian dari hidup saat ini. Bahwa semua ini berkat rahmat Allah, doa-doa yang melangit di setiap asa dari bapak, mama, para guru dan temen-temen semua. Terima kasih sedalam-dalamnya, telah menjadikanku bagian yang ada di setiap doa. Terima kasih telah menyayangiku melalui doa-doa. Itu merupakan pelukan yang sangat menguatkan, bagi seorang yang jauh di negeri seberang. 

Semua kembali ke kucing-kucing yang selalu ceria bermain di pelataran masjid al-Azhar. Bulunya lembut, bersih, warnanya indah. Mereka selalu mengingatkanku bahwa indah, bahagia, nyaman dan tenteram tumbuh dari dalam diri kita. Tak peduli apapun keadaan di sekitar, jika hati selalu memandangnya dengan indah maka semua akan lebih indah. 

Bagaimana kau meminta pahala atas syukur karena telah mengucapnya, sedangkan itu semua datang atas kehendak Yang Maha Kuasa?

Seperti kucing-kucing itu, aku bersyukur karena masih melihatnya sehat ceria
Seperti kucing-kucing itu, aku ingin semuanya baik-baik saja, sehat ceria dan bahagia
Seperti kucing-kucing itu, terima kasih karena telah baik-baik saja

Darrasa, 22 Agustus 2017
Damela, di antara dua waktu shalat, tanpa salam pisah dari senja
Terima kasih atas kesehatannya
Terima kasih..

Alhamdulillah, alhamdulillah alhamdulillah. 
Maturnuwuunn, Ya Rabb. 

Thursday 3 August 2017

Sesederhana Lupa

Akhir-akhir ini, sedang ada beberapa hal yang sedikit nyangkut di pikiran. Utamanya perihal amnesia tulisku yang belum menemukan obatnya. Mungkin, ada beberapa fase bagi masing-masing individu dalam meniti prosesnya, termasuk aku. Tak jarang, kita sering melihat ulama panutan kita mengalami hal yang senada, hanya mungkin cara penyikapannya yang berbeda. Seperti Mahmud Muhammad Syakir, ketika ia dihadapkan pada perbedaan konsep syair Jahili dengan gurunya, Thaha Husein. Hingga akhirnya keluar dari universitas, ia justru membayar itu semua dengan penelitian terhadap syair-syair Mutanabbi, dengan tekun, telaten, dan penuh niat agar mampu menyanggah pendapat sang guru dengan penuh kesopanan. Bagaimanapun, Thaha Husein telah berjasa memasukkan dirinya ke Universitas Kairo berkat lobi diplomatis yang disampaikannya kepada rektor universitas. Menanggapi keresahan passion bahasanya, yang beradu-campur dengan sains dan kecenderungan Matematikanya.

Rasanya, dalam hal sesempit apapun, mereka (orang-orang terdahulu) mampu menghasilkan sebuah karya yang berarti. Tak hanya sebuah karya. Namun, karya yang berarti yang dikenang sepanjang masa. Alih-alih begitu, sedikit resah saja cukup menjadi alasan mandeg dalam meraih harapan. Belum diraih saja sudah mandeg, kapan bisa diraih?

Sesederhana lupa. Rasanya tak ada yang tersisa di kepala ini. Entah ingatan masa lalu (tentang menulis), maupun simpanan bacaan buku yang katanya 'lumayan' itu. Ternyata, lumayan yang pernah kumaksud tak mampu berkontribusi apapun. Lumayanku dulu, ternyata hanya sebuah pelipur asa di tengah semangat yang menggelora untuk mampu menguasai bahasa (Arab).

Jika Mahmud M Syakir mengatakan bahwa: "Menganggap remeh suatu ilmu merupakan sebuah penyakit akut yang sangat potensial menutup jalan ilmu dan pemahaman," maka rasanya bukan itu yang sedang mendaku. Para ulama kita mengajarkan, sedikit apapun ilmu yang diperoleh, itu ialah ilmu. Itulah bagianmu hari ini. Tak ada yang bisa didapat dengan instan dan mudah. Ini zaman memang modern, tapi perolehan ilmu tidak lantas turut modern dan digital, otomatis datang. Justru sebaliknya. Dengan "ledakan teknologi", keilmuan dengan berbagai prasyaratnya menjadi kudu lebih kuat dalam membentengi setiap celah proses perolehannya. Sesederhana lupa, teknologi menggeser peran penting manusia dalam kerja literaturnya.

Sesederhana lupa, kadang kita melambai tanpa pengetahuan apapun tentang apa yang telah dan akan terjadi. Sesederhana lupa, akupun amnesia menuliskan kata-kata.

Pernah ketika aku merasa sangat percaya diri menuliskan berbagai kata maupun motivasi. Seolah semua orang selainku ialah mereka yang perlu kukatai dan kumotivasi. Namun ternyata, seiring berjalannya waktu, aku tak kunjung menemui pembenaran atas itu. Aku malu, karena apa yang dulu pernah kukata merupakan sejengkal pengetahuan yang kutahu dari satu sisi saja. Menganggap gelap semua sisi selain sisi di mana aku berdiri. Menganggap semua cahaya mati, dan cahayakulah yang sedang meyinari. Tak lain, ia hanya menyinari mata sebelahku saja, aku tertutup dari berjuta sisi lain dibuatnya. 

Rasanya kelu. Ketika dulu pernah merasa fase 'bisa', kini sesederhana siang yang berganti malam dalam pengaturan Sang Pangeran, akupun terjangkit lupa. Lupa cara mengatakan yang baik, lupa cara menyampaikan yan baik, bahkan lupa kalau dulu pernah merajut asa bersama(nya). Namun kurasa, ini bukanlah sesuatu yang harus disesali. Aku merasa, ini bagian dari jatah yang harus kuterima. Jika dulu pernah marajut bersama, maka rajutan itu akan tetap ada, sepanjang hidup mungkin akan selalu di sana. Aku tidak bisa menghilangkan segala sesuatu begitu saja, sekecil apapun itu, akan ada sisa yang menjadi tanda di sana, di masa dulu. Apalagi rajutan-rajutan asa itu. Ah, biar kusimpan. Agar paling tidak, amnesiaku tak separah itu. Rajutan itu menjadi titik penting dalam proses pemulihan amnesia tulis, yang mampu membangkitkan jemari, menulis kembali impian-impian indah, meski pada akhirnya kita terbangun di saat yang tak pernah mungkin ada di benak kita.

Sesederhana lupa, aku ingin berjalan di taman bunga, menghirup semerbak wewangian bunga di tetesan embun pagi yang bahagia.


Sesederhana lupa, mungkin mengungkap sebuah kata rindu tak bisa sesederhana itu. Ada ketakutan, cemas, dan kekhawatiran kalau-kalau kau tahu bahwa aku masih selalu merindumu. Lalu menjauh, dan memilih untuk amnesia dari suluk dan perangai asa. 

Sesederhana lupa, biarkan ia menggantung di lazuardi sana. Beriring, berarak, menggelayut bersama nadi yang selalu berdenyut.

Damela, 
Kamis, 3 Agustus 2017 di pukul 08.44 PM CLT

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...