Thursday 3 August 2017

Sesederhana Lupa

Akhir-akhir ini, sedang ada beberapa hal yang sedikit nyangkut di pikiran. Utamanya perihal amnesia tulisku yang belum menemukan obatnya. Mungkin, ada beberapa fase bagi masing-masing individu dalam meniti prosesnya, termasuk aku. Tak jarang, kita sering melihat ulama panutan kita mengalami hal yang senada, hanya mungkin cara penyikapannya yang berbeda. Seperti Mahmud Muhammad Syakir, ketika ia dihadapkan pada perbedaan konsep syair Jahili dengan gurunya, Thaha Husein. Hingga akhirnya keluar dari universitas, ia justru membayar itu semua dengan penelitian terhadap syair-syair Mutanabbi, dengan tekun, telaten, dan penuh niat agar mampu menyanggah pendapat sang guru dengan penuh kesopanan. Bagaimanapun, Thaha Husein telah berjasa memasukkan dirinya ke Universitas Kairo berkat lobi diplomatis yang disampaikannya kepada rektor universitas. Menanggapi keresahan passion bahasanya, yang beradu-campur dengan sains dan kecenderungan Matematikanya.

Rasanya, dalam hal sesempit apapun, mereka (orang-orang terdahulu) mampu menghasilkan sebuah karya yang berarti. Tak hanya sebuah karya. Namun, karya yang berarti yang dikenang sepanjang masa. Alih-alih begitu, sedikit resah saja cukup menjadi alasan mandeg dalam meraih harapan. Belum diraih saja sudah mandeg, kapan bisa diraih?

Sesederhana lupa. Rasanya tak ada yang tersisa di kepala ini. Entah ingatan masa lalu (tentang menulis), maupun simpanan bacaan buku yang katanya 'lumayan' itu. Ternyata, lumayan yang pernah kumaksud tak mampu berkontribusi apapun. Lumayanku dulu, ternyata hanya sebuah pelipur asa di tengah semangat yang menggelora untuk mampu menguasai bahasa (Arab).

Jika Mahmud M Syakir mengatakan bahwa: "Menganggap remeh suatu ilmu merupakan sebuah penyakit akut yang sangat potensial menutup jalan ilmu dan pemahaman," maka rasanya bukan itu yang sedang mendaku. Para ulama kita mengajarkan, sedikit apapun ilmu yang diperoleh, itu ialah ilmu. Itulah bagianmu hari ini. Tak ada yang bisa didapat dengan instan dan mudah. Ini zaman memang modern, tapi perolehan ilmu tidak lantas turut modern dan digital, otomatis datang. Justru sebaliknya. Dengan "ledakan teknologi", keilmuan dengan berbagai prasyaratnya menjadi kudu lebih kuat dalam membentengi setiap celah proses perolehannya. Sesederhana lupa, teknologi menggeser peran penting manusia dalam kerja literaturnya.

Sesederhana lupa, kadang kita melambai tanpa pengetahuan apapun tentang apa yang telah dan akan terjadi. Sesederhana lupa, akupun amnesia menuliskan kata-kata.

Pernah ketika aku merasa sangat percaya diri menuliskan berbagai kata maupun motivasi. Seolah semua orang selainku ialah mereka yang perlu kukatai dan kumotivasi. Namun ternyata, seiring berjalannya waktu, aku tak kunjung menemui pembenaran atas itu. Aku malu, karena apa yang dulu pernah kukata merupakan sejengkal pengetahuan yang kutahu dari satu sisi saja. Menganggap gelap semua sisi selain sisi di mana aku berdiri. Menganggap semua cahaya mati, dan cahayakulah yang sedang meyinari. Tak lain, ia hanya menyinari mata sebelahku saja, aku tertutup dari berjuta sisi lain dibuatnya. 

Rasanya kelu. Ketika dulu pernah merasa fase 'bisa', kini sesederhana siang yang berganti malam dalam pengaturan Sang Pangeran, akupun terjangkit lupa. Lupa cara mengatakan yang baik, lupa cara menyampaikan yan baik, bahkan lupa kalau dulu pernah merajut asa bersama(nya). Namun kurasa, ini bukanlah sesuatu yang harus disesali. Aku merasa, ini bagian dari jatah yang harus kuterima. Jika dulu pernah marajut bersama, maka rajutan itu akan tetap ada, sepanjang hidup mungkin akan selalu di sana. Aku tidak bisa menghilangkan segala sesuatu begitu saja, sekecil apapun itu, akan ada sisa yang menjadi tanda di sana, di masa dulu. Apalagi rajutan-rajutan asa itu. Ah, biar kusimpan. Agar paling tidak, amnesiaku tak separah itu. Rajutan itu menjadi titik penting dalam proses pemulihan amnesia tulis, yang mampu membangkitkan jemari, menulis kembali impian-impian indah, meski pada akhirnya kita terbangun di saat yang tak pernah mungkin ada di benak kita.

Sesederhana lupa, aku ingin berjalan di taman bunga, menghirup semerbak wewangian bunga di tetesan embun pagi yang bahagia.


Sesederhana lupa, mungkin mengungkap sebuah kata rindu tak bisa sesederhana itu. Ada ketakutan, cemas, dan kekhawatiran kalau-kalau kau tahu bahwa aku masih selalu merindumu. Lalu menjauh, dan memilih untuk amnesia dari suluk dan perangai asa. 

Sesederhana lupa, biarkan ia menggantung di lazuardi sana. Beriring, berarak, menggelayut bersama nadi yang selalu berdenyut.

Damela, 
Kamis, 3 Agustus 2017 di pukul 08.44 PM CLT

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...