Sejarah mengalami diskontinuitas, meski dalam bentuknya
yang sulit dijelaskan.[1]
Penyataan Foucault ini sepertinya bisa disandingkan dengan peringatan Hari
Santri Nasional, yang genap diperingati satu tahun pada 22 Oktober besok. Dan
menurut penulis, di sinilah—peringatan Hari Santri Nasional—salah satu letak
diskontinuitas sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Segala sesuatu tidak akan pernah lepas dari sejarah;
entah dalam bentuk kronologinya secara nyata maupun sekadar rangkaian peristiwa
yang tersimpan rapi dalam benak masing-masing empunya. Pun saat kita mencoba
membicarakan tentang hari santri yang masih anget diketengahkan—terlebih
saat menjelang hari H— sejak keluarnya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 lalu, yang
menyatakan bahwa tanggal 22 Oktober resmi ditetapkan sebagai Hari Santri
Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional oleh presiden Indonesia, Ir. Joko
Widodo tersebut terilhami oleh Resolusi Jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim
Asy’ari pada 22 Oktober 1945 silam. Resolusi inilah yang membakar semangat para
pahlawan dalam melawan penjajah, hingga berujung pada pertempuran heroik yang
terjadi pada 10 November di Surabaya. Seperti yang dikatakan oleh Rais Aam
PBNU, KH. Ma’ruf Amin, tanpa Resolusi Jihad, tidak akan ada perlawanan heroik.
Tanpa perlawanan heroik, tidak akan ada Hari Pahlawan. Selanjutnya, jika tidak
ada Hari Pahlawan, kemungkinan besar tidak akan pernah ada kemerdekaan
Indonesia.
Hari Santri dalam Bingkai Nalar Histori
Sejarah Indonesia begitu panjang; di antaranya ada
yang berhasil terungkap dengan gamblang seperti proklamasi kemerdekaan, ada
pula yang terasa dibungkam, dijauhkan dari perhatian publik, seperti sejumlah jenderal
yang dimasukkan ke Lubang Buaya, hingga kini tidak begitu jelas sesiapa saja
yang terlibat di dalamnya. Dalam rangkaian panjang kemerdekaan itulah, santri
dan kiai ada di tengah-tengah mata rantai sejarah, turut mewarnai wajah
kemerdekaan bangsa. Maka, jika dilihat dari satu perspektif, momen peringatan
Hari Santri menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghargai daya juang para
santri dalam upayanya merebut kemerdekaan. Pasalnya, perjuangan para ulama dan
santri saat itu sungguh luar biasa; mengajukan dirinya untuk menjadi garda
terdepan dalam melawan penjajah. Hal tersebut bermakna bahwa, mereka siap untuk
mati. Semangat yang berkobar ini ditekankan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam
Resolusi Jihadnya sebagai wujud bela Tanah Air bagi warga bangsa, terlebih kaum
santri yang telah memahami bahwa cinta Tanah Air ialah bagian dari iman. Apalagi,
saat itu Tanah Air sedang terjajah, sangat membutuhkan para pahlawan yang siap
(mati) mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Maka, dalam keadaan mendesak
inilah, ruh jihad itu ditancapkan dengan kuat oleh beliau, hingga akhirnya
mengucur deras dalam jiwa setiap elemen bangsa ( terlebih santri) untuk
mengusir penjajah. Bahkan menurut hemat penulis, hal tersebut—sebuah
perlawanan—, merupakan tabiat setiap insan untuk mendapatkan hak hidup dengan
aman dan damai di Tanah Air berbagai belahan dunia.
Sebelum membaca—makna Hari Santri—lebih jauh lagi,
perlu digaris-bawahi bahwa santri tidak terbatas pada murid pesantren,
sebagaimana perspektif khalayak umum tentang satu kata tersebut. Lebih jauh, Ketua
Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj (Kang Said) menegaskan bahwa santri dalam pengertian (hari
santri) ini adalah orang Islam yang beriman kepada Allah dan berakhlak terpuji[2]. Jadi, merupakan pemikiran yang sempit jika kita mengatakan
bahwa penetapan hari tersebut merupakan sebuah peng-eksklusif-an terhadap kaum
santri, sebagaimana yang diutarakan oleh Muhammadiyyah, di satu satu sisi. Di
sisi lain, penulis merasa perlu ada penetapan tersebut, mengingat bahwa
kalangan pesantren selalu dilempar dengan tuduhan yang sama sekali tidak
diajarkan di sana—sebut saja radikal, misalnya. Dengan adanya Hari Santri
Nasional ini, pemerintah secara tegas membawa citra santri sebagaimana mestinya
muncul ke permukaan, yang bahkan bangsa Indonesia—tercatat sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar dunia, santri terbanyak—pun terkadang masih rabun
dengan peran mereka. Maka, hal tersebut merupakan langkah yang tepat untuk
melepaskan diri dari sejarah yang (seolah) membungkam adanya andil yang sangat
besar dan berpengaruh dalam sejarah tubuh bangsa mereka sendiri.
Dalam praktik kehidupan bermasyarakat tentu tidak akan
pernah terlepas dari perbedaan. Begitu pula dengan penetapan Hari Santri
Nasional, di belakang penyematan nama baru dalam kalender bangsa Indonesia
tersebut tidak terlepas dari berbagai macam pendapat. Pada mulanya,
Muhammadiyyah menolak adanya penetapan tersebut dengan alasan dikhawatirkan akan
terjadi semacam sekat, batasan maupun perbedaan antara santri dan non-santri.
Namun, sebagaimana disebutkan di atas, nama ‘santri’ bukanlah untuk mereka yang
belajar di pesantren saja, namun lebih kepada siapa yang menggunakan akhlak
santri dalam kesehariannya. Toh, kaum santri juga tidak merasa adigung
dengan Keppres tersebut. Dalam artian, keyakinan teguh bahwa mereka ialah kaum
santri yang wajib membela bangsa—entah diakui ataupun tidak—mampu membawa
mereka bersikap seolah legowo atas pengakuan pemerintah dalam ranah
perjuangan mereka. Legowo dalam artian, diakui ataupun tidak, santri
tetaplah santri. Sejarah bangsa Indonesia sendiri yang bersaksi bagaimana satu
kata tersebut bermakna dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan Indonesia.
Meski tidak menutup kemungkinan mereka (kaum santri) akan berpikir: jika negara
tidak bersifat ahistoris, maka (seharusnya) bukan merupakan hal yang sulit
untuk menetapkan Hari Santri Nasional.
Hari Santri milik seluruh bangsa Indonesia.
Kehadirannya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah tujuh puluh satu tahun
silam. Ia hadir, tumbuh menyatu dengan potongan-potongan sejarah lainnya. Bukan
saatnya bagi generasi penerus bangsa untuk memperselisihkan penetapan hari
tersebut. Syahdan, Indonesia sudah cukup terampil menghadapi berbagai
perbedaan; baik pendapat, suku, ras, agama maupun yang lainnya. Terbukti,
Indonesia merupakan negara paling moderat, bahkan jika disandingkan dengan
negara-negara Timur Tengah sekalipun. Bukankah lebih baik untuk membentuk nalar
historis yang benar, agar terpantul refleksi nyata peran generasi muda?
Hari Santri; Media Reflektif Kaum Santri
Jika dari satu perspektif penetapan Hari Santri
Nasional merupakan penghargaan pemerintah atas kaum santri, maka refleksi dan introspeksi kaum santri—atau, lebih tepatnya:
bangsa Indonesia—merupakan satu bentuk keniscayaan (perspektif lainnya) yang
harus ada. Atau minimal, sebagai bentuk ‘tambahan’ rasa syukur atas
ditetapkannya hari tersebut. Memang benar, penetapan hari santri tersebut merupakan
salah satu janji pemerintah saat kampanye. Namun, tidak lantas kita—kaum
santri—merasa cukup dan berbangga laiknya memenangkan sebuah taruhan.
Sebaliknya, dengan adanya penetapan tersebut, sesungguhnya tanggung jawab atas
sebuah nama itu—santri—justru lebih besar. Mengutip apa yang dikatakan oleh
Kang Said saat peresmian Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo pada 18
Oktober lalu, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat
kompleks, salah satunya ialah Sumber Daya Manusia[3].
Santri merupakan setengah dari kehidupan bangsa
Indonesia. Santri juga salah satu bentuk SDM dari sekian macam manusia yang ada
di dunia. Dalam kaitannya dengan Hari Santri, tidak berarti bahwa perjuangan
(baca: jihad) telah usai. Sebagaimana diketahui, bahwa jihad ada dua macam;
jihad perang dan jihad istishlah (perbaikan). Agaknya, bentuk jihad yang
pertama tidak relevan jika dipraktikkan di era modern seperti sekarang.
Alih-alih mengumandangkan jihad (dengan perang), tuduhan terorisme justru (akan)
semakin mudah dilemparkan. Maka dari itu, jihad perbaikan ialah solusi tepat
dalam menyongsong peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober besok.
Perbaikan dalam bingkai jihad selaras dengan Revolusi
Mental yang digaungkan oleh presiden Jokowi. Setelah Indonesia merdeka dari
penjajah, tenyata mental belum mengalami hal yang sama—merdeka. Mental bangsa
masih berkutat pada mental kolonial, mental penjajahan. Hingga lebih dari
setengah abad merdeka, konsumerisme, meniru budaya bangsa lain, korupsi,
pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, aborsi dan berbagai tindak kejahatan
lainnya masih lekat di telinga kita. Setiap hari rasanya generasi bangsa terus
dijejali dengan berita kriminalitas, game, gadget entah apa
isinya yang secara perlahan dan tidak sadar mematikan mental bangsa, mematikan
mental mereka dari berpikir dan berinovasi, berpandangan jauh menatap masa
depan. Mereka merasa cukup tahu tentang kehebatan para leluhurnya, tanpa
berpikir kritis bahwa saat ini, generasi bangsa harus bekerja keras
mengembalikan kehebatan dan kejayaan masa lalu—khususnya dalam lingkup
keislaman, karena santri ialah generasi penerus Islam. Oleh karena itu, di
antara cara terdekat yang mungkin dilakukan ialah menitipkan generasi muda ke
pondok pesantren, sedini mungkin. Atau, mengaji di tempat manapun, yang
terpenting urgensinya. Atau, bagi mereka yang berkeyakinan (agama) lain,
silakan berkontribusi dalam lingkupnya masing-masing. Jamaluddin al-Afghani,
seorang pembaharu Mesir pernah berkata, jika kalian bangga menyebut kehebatan
leluhur (kalian), maka kalian harus melakukan apa yang dahulu mereka lakukan.[4]
Siapkah generasi masa kini memikul tanggung jawab ini?
Esai ini dilombakan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2016 yang diselenggarakan oleh PCINU Mesir, berhasil menduduki urutan pertama dari 24 karya yang masuk, se-Timur Tengah. Alhamdulillah, wamaa taufiiqii illaa billaah.
Esai ini dilombakan dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2016 yang diselenggarakan oleh PCINU Mesir, berhasil menduduki urutan pertama dari 24 karya yang masuk, se-Timur Tengah. Alhamdulillah, wamaa taufiiqii illaa billaah.
Daftar Pustaka
[1] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku The
Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New YorK 1976, cet. I.
2012, IRCiSoD Diva Press, Yogyakarta, hlm. 26.
[2] http://www.nu.or.id/gallery/read/379/Kang-Said-Santri-Tak-Hanya-Murid-Pesantren, pada 10 Oktober 2016 pukul 8.45 PM waktu Kairo.
[3] http://www.nu.or.id/post/read/72127/ini-tantangan-bangsa-indonesia-menurut-kiai-said-,
Selasa, 18 Oktober 2016 pada 9.06 PM waktu Kairo.
No comments:
Post a Comment