Sunday 25 March 2018

Tak Terduga

Rabu lalu, 20/3 aku berjalan melewati gang belakang kampus. Kalimat Dr. Muhanna di kelas tasawuf tadi terngiang, mengendap di benak. Ada rasa malu, bahagia, haru dan entah yang bercampur menjadi satu. Sekian lama aku tidak rutin lagi menghadiri majelis ngaji para syekh. Terasa kering jiwa ini. Terlalu sibuk di urusan yang entah, aku menganggapnya semu. Terlalu melelahkan badan dan pikiran, tapi mengeringkan jiwa dan menyuramkan kalbu. Aku, entah seberapa jauh telah menyimpang dari yang dulu pernah aku lalui. Aku menemui diriku yang baru, aneh, kering, sok sibuk, dan kabur, namun aku tak bias banyak berbuat dan mengelak. Aku selalu menjeit pada nurani, sekiranya ia mau mengembalikanku pada apa yang sebenarnya aku pergi mencarinya. 

Aku berjalan menelusuri gang kecil tadi. Agak tergesa, aku menuju salah satu took buku di deret pingggiran gang tadi. Toko buku ini terletak di pinggir kiri jalan dari arah kampus, RS Hussein ataupun Nadi Qaumi. Aku melihat pajangna buku yang tergeletak berjejeran di Tanah, hanya beralaskan kain atau sekadar karton. Beberapa buku telah ada di rak kamarku, namun banyak yang masih belum kupunya. 

Aku menanyakan tentang Hasyiah al-Bayjuri, kitab fikih Imam Syafii. Sang penjual langsung menunjukkan padaku sebuah kitab dua jilid, lembaran kertas kuning, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut. Setelah kutimbang, aku tak jadi mengambil buku tadi. Pertama, aku ingin membandingkan harga dengan toko yang lain. Kedua, aku belum tau, apakah benar buku ini yang dipakai dalam pengajian kitab Habib Ahmad al-Maqdi di Rawdlat al-Naem nanti selepas maghrib. Akhirnya, aku beranjak melihat kitab lainnya. 

Mataku tersangkut pada beberapa tumpukan kitab, ketika seorang pria menanyaiku asal daerah. Cilacap, jawabku. Terus, ia langsung menyambung bahwa ia dari Sulawesi, dan pernah belajar di kampus yang sama sepuluh tahun lalu. Kini, ia ke Mesir sebelum melanjutkan perjalannya umrah ke Tanah Suci. Perawakannya tinggi ramping, rapi, memakai kaos lengan pendek, bertopi dengan tali DSLR melingkar di leher. Ah, ia fotografer ternyata. Entah dalam makna asli, ataupun sekadar suka memotret hal yang dilaluinya untuk diabadikan.

Kutaruh ulang buku Imam Syafii tadi, al-Risalah. Aku belum begitu membutuhkannya. Well, mungkin aku butuh, namun dengan tumpukan kitab yang belum aku baca semua di kamar, aku tidak tega untuk mengambil buku tersebut untuk lantas kuanggurkan selama beberapa minggu, menunggu antrian. Pun, kecenderunganku bukan dalam bidang fikih. Masih saja, aku suka membaca buku-buku tentang filologi, tafsir, al-Quran atau apapun itu yang menurutku menarik. Meski akhir-akhir ini sering membaca buku-buku akidah filsafat, aku belum begitu yakin bahwa aku serius tertarik dengan jurusan ini.

Ia melihatku yang meletakkan kembali buku tadi. Spontan, ia Tanya, "Sudah punya buku ini?" Belum, kataku. "Ayo ambil ini, ambil. Penting ini, harus diambil. Biar saya yang bayar." Eh eh ndak usah, Mas. "Udah gakpapa, aku bayar." Dengan sigap ia mengambil uang dari dompet, membayar, lantas pergi, menuju kampus. Ia ingin menunjukkan pada bapak yang bersamanya, letak dan bentuk toko buku yang ada di kampus.

Bergegas pergi, aku menyela Tanya, "Mas, jenengan siapa namanya?" Abdillah, jawabnya. Untunglah, aku sudah menebak, jika ia menjawab Abdullah, setidaknya aku tak akan terlalu terganggu dengan film-film beradegan semacam itu. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...