Wednesday 7 September 2016

Senja-ku Kini dalam Bayangan Sebuah Apriori

Alhamdulillah.
Menghitung hari, melalui banyak suasana alam, berganti dari musim ke musim. Senja. Jangan kalian cela dia, ia sangat teristimewa. Jangan kau caci ia, karena ia hanya pergi untuk sementara. Jangan kau tunggu ia, karena kehadirannya ialah sebuah titipan Yang Maha Kuasa. Jangan kau tangisi ia, karena kepergiannya ialah sebuah keniscayaan duka. Empat hari, empat bulan, satu tahun, hingga hampir dua tahun, rasanya masih tetap saja sama. 
Senja di langit sore itu begitu jingga, meninggalkan segores ukiran yang sulit tergantikan, apalagi dihapuskan. Senja, entah mengapa aku begitu terkagum padamu. Senja, meski klasik namanya, namun bagiku ia yang teristimewa. Setidaknya, hari-hari panjang itu terlupakan sekejap ketika kulihat semburatmu menyiratkan sebuah isyarat. 
Senja, begitu kumemanggilmu. Bukan tentang seseorang, namun tentang sebuah kasih sayang. Kasih sayang. Setidaknya, dengannya aku mampu merasakan cinta tanpa kehadirannya. Kasih sayang yang tanpa mewujud benda-benda tak tahan lama, atau makhluk bernama manusia yang selalu fana. Kasih sayang yang tanpa harus disiram pedihnya perpisahan. Toh, hanya aku yang merasakan. Kumohon jangan pernah mewujud seseorang. Aku harap jangan. Aku selalu tak mampu menanggung sesak-pedihnya perpisahan. Tetaplah hadir sebagai sebuah abstraksi dalam memoar perjalanan hari-hari yang merapuh, menguat, mengerut lalu kembali berturut. Akan tetapi, hati telah menemukan rumahnya. Jingga-mu terlanjur mampu menghadirkan sebuah tokoh istimewa bagiku, meski hanya ilusi yang tersimpan dalam sebuah apriori. Lalu, selepas itu, senjaku lenyap bersama senyap kepergiannya.
Seiring berjalannya waktu, aku ingin terus melihatmu. Setidaknya, aku tahu jika dirimu tak apa, baik-baik saja. Seiring berjalannya waktu pula, aku ingin melupakanmu, karena melihatmu, membuatku tak mampu menatap hari-hariku berikutnya. Kutau kau pasti akan menghilang. Lenyap dari pandangan keseharian. Meski hati selalu menahanmu, namun bayangan hadirmu selalu saja menghampiriku. Bahkan setelah ia berontak sebenar-benar ketidak-mampuan. Bisa apa daku atas hati yang seperti itu?
Binar semburat senja mengingatkanku akan kenangan kepergian itu. Apa yang telah aku takutkan dahulu pun nyata adanya. Berpisah tanpa salam perpisahan. Harus kutahan sekuat tenaga agar air mata tak lagi ada. Namun, hatiku selalu mengingkari logika. Ia tahu, di mana tempat nyaman yang menenangkan seluruh jiwa. Menghadirkan sebuah apriori secara paksa, menyalahi apa yang telah dan akan ada. 
Senja, dalam hati kuingin terus bersamamu. Menikmati kerinduan dalam senandung penantian malam. Merangkai kata, mereka-reka apa yang akan kita lakukan bersama di hari tua.  
Namun, senja yang dulu bukanlah senja yang kini selalu kulihat. Teduhnya kian berganti menjadi hangat yang mungkin akan terus menyengat. Membakar hati, hingga semua kenangan itu tak tersisa lagi.
Semusim berganti, namun senja itu lebih cepat melenyapkan diri. Melarikan diri, tanpa meninggalkan seulas semburat kemuning, setitik pun tidak. Kau berbohong padaku. Kuathu itu setelah senja menatap bisu, membisik kelu yang tertahankan oleh ufuk nan biru, abu-abu, lalu kelabu. Tabu. Betapa sesak saat kutahu bahwa semburat kerinduan itu sengaja kau sembunyikan, dahulu. Lebih sesak lagi saat kutahu, padahal kau sendiri tak mampu menahan perihnya saat perpisahan itu. Namun percayalah, takdir berbaik hati, jangan pernah membencinya. Takdir menyayangi kita, maka jalanilah hari dengan segenap cinta. Cinta atas kuasanya menumbuhkan rasa dalam palung terdalam yang pernah dicipta. 
Pernah di suatu hari mentari begitu cerah bercahaya. Kupikir senjaku yang dulu akan kembali, lagi. Namun, hati tak merestui pikiran. Sama halnya ketika ia tak merestui setiap perpisahan. Hati selalu tahu hakikat yang tak pernah terlintas dalam ruang imaji terhebat. Ia tahu, senja itu, tak kan pernah ada senja seindah sore itu. Senjaku. 
Senja, meski kau bukan manusia, namun kehadiranmu adalah ia yang kucinta. Hadirmu mewujud manusia istimewa yang pernah ada.

*menjemput Senjaku kembali, sore ini.
  Mentari t'lah mengantarmu kini, enggankah kau jujur atas kerinduan hati?
  Aku masih di sini, dengan hati yang sama, dengan keluruhan yang sama seperti pertama kali kau         semburatkan jingga.
 Namun, jika kini kau berubah adanya, semburat jinggamu tak bisa digantika oleh semburat senja      yang lain.
 Bagiku, kau lah senjaku. Bukan yang lain. Tak ada yang lain.

 Kairo, 7 September 2016. 
 Rumah Darrasa, tepat di pukul 3.00 PM CLT. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...