Thursday 22 September 2016

Antara Buku, Pena dan Rindu

Buku
Suatu masa, aku sangat berterima kasih kepadanya. Tanpanya, bahkan aku tak bisa mengerti apa itu kata-kata. Kehadirannya menumbuhkan sejenis napas baru, sebuah kesegaran baru di tengah hiruk-pikuknya waktu. Padanya, aku menemukan dunia lain, dunia yang arif, dunia yang membawaku menyingkap perspektif baru bahwa hidup, terlalu sempit jika kita mencukupkan diri pada sebuah ilmu. Atau mungkin sebuah komunitas, sebuah kebersamaan, sebuah kebanggaan akan segala sesuatu yang seringkali membuat kita lupa jati diri kita yang sebenarnya. 
namun, seringkali ia membuatku ingin menangis, berteriak, gila dalam satu waktu yang sama. Pasalnya, tatanan deretan huruf yang rapi itu seolah mengorak-arik isi kepalaku. Di satu waktu aku sangat pening dibuatnya. Seperti saat ini misalnya, ingin rasa kuberteriak sekencang mungkin, berharap semua penat di kepala ini menghilang. Rasanya, pesimistis kini mendahului optimisme-ku, yang sedari kemarin aku tahan baik-baik, aku jaga berharap dengannya aku mampu membuktikan apa yang sebenarnya aku perjuangkan. Namun, berteriak dengan kencang, rasanya tak etis pula. Lalu bagaimana harus kuhadapi ini semua? Rasanya mentok sekali. Kurang sehari, baru dapat tiga halaman. 
Buku, haruskah aku melebur menjadi deretan abjad yang tersusun rapi, berjajar dengan santun, namun kau menyimpan sejuta hal yang sangat runyam?

Pena
Tak lain halnya dengan buku, satu benda ini tak lain ialah sebuah benda jumud, tak punya makna. Ia mati sejak berhari-hari yang lalu. Entah apakah karena buku, aku ataukah rindu?
Rasanya aku tak bisa hidup dengan normal meski buku dan pena ada di tanganku, jika saja rindu terus menikamku, membunuhku di setiap detik nadiku.

Rindu
Mungkin, di antara keduanya, faktor inilah yang paling berpengaruh terhadap kegilaanku sekarang. Bukan gila secara psikologis, namun mungkin saja aku ditimpa kegilaan yang lain. Kegilaan karena ia tak menemukan tempat rehabilitasi yang benar. Meracau, berteriak namun tak sampai. Gila karena rinduku tak tersampaikan oleh waktu. Rindu menghalangiku dari untaian jemari yang merangkai nuansa, maksud apa yang sebenarnya sedang kuperjuangkan sedari dulu.
Intinya, buku, pena dan rindu berhasil membuatku gila, karena bahkan memasak air di dapur pun lupa. Hingga airnya kering, lalu tersisa bara yang membakar wajah panci nan tua. Hitam, pekat, lalu menyeruak bau tak sedap.
Entahlah. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...