Wednesday 26 July 2017

Komentar untuk Laman al-Manhaj




Awalnya, saya tidak sengaja membuka laman ini. Kebetulan besok siang ada jadwal kajian dengan tema sufi/tasawuf, tepatnya Arkeologi Tasawuf. Singkat cerita, saya googling, di samping ada referensi buku. Dari beberapa laman, saya mendapati tulisan yang ditulis oleh sdr. Abd Aziz bin Abdullah al-Husaini menarik saya untuk menuliskan balasan atas apa yang ditulisnya. Pasalnya, hal ini agak berbahaya bagi mereka yang lagi semangat-semangatnya belajar tentang Islam. Atau para pelajar yang biasanya mereka googling untuk tugas makalah, hanya mengandalkan mbah Google sebagai sumber primer. Saya mengerti seperti apa mereka kegirangan mendapati bahan untuk "ditempel" di makalahnya. Saya juga pernah mengalami masa-masa seperti itu, meski seringkali pak guru bilang: "Jangan ngambil dari internet." Iya, karena memang yang di sana tidak "jelas" asal-muasalnya. Entah dari mana, bagaimana dan untuk kepentingan apa, tulisan-tulisan banyak beredar sekadar untuk meramaikan dan jadi "hiburan".

Yah, meski tidak dipungkiri, ada kalangan yang benar-benar ingin ngepost diniati untuk jadi bahan rujukan. Saya tersenyum saja. Jika bukan intelektual yang matang dan mumpuni, minimal S2 dengan berbagai kriteria "baik"-nya (jika ingin memakai takaran akademik), ya mestinya jangan mengharapkan hal seperti itu. Terlalu berani, menurut saya. Toh, literasi sudah banyak. Dengan tulisan yang diunggah di media sosial (dengan segala "keringkasan"-nya, atau bahkan kekeringannya dari metode kepenulisan), plus dengan harapan untuk dijadikan rujukan, saya kira itu suatu hal yang jauh pungguk dari rembulan. Mungkin setelah di-post, akan timbul perasaan bahagia, bisa "memproduksi" tulisan. Namun, semoga saja tidak berhenti di situ. Terus belajar, membaca dan diulang-ulang, di-"angen-angen" atas apa yang ditulisnya, untuk kemudian menghapus tulisan yang ingin dijadikan "rujukan" tadi, dan menggantinya dengan tulisan yang lebih baik, lebih berisi, berbobot, dan bisa dipertanggung-jawabkan (kebenarannya), ini dalam hal keilmuan lho, ya. Beda kalo memang untuk ceita dan sharing pengalaman saja, misalnya. Saya garis bawahi di sini, "dipertanggung-jawabkan." Karena, apapun itu, mesti akan dipertanggung-jawabkan. Misal, pendengaran, penglihatan, hati akan ditanyai tentang itu, seperti ada di al-Quran. Lalu, praktikum di laboratorium pun harus bisa dipertanggung-jawabkan, bukan asal benar dan ada nilainya. Bahkan, organisasi apapun pun ada pertanggung-jawaban. Kepala keluarga, kepala RT, Bupati... seterusnya, semua akan dimintai tentang itu, tanggung-jawab. 

Makanya, paling tidak, agar tidak sendirian dalam hal tanggung jawab, harus ada "gandhengan" untuk menemani prosesi itu. Kalau dalam hal keilmuan ya jelas, guru. Makanya, di sinilah kemudian sanad menjadi penting. Ia merupakan bagian dari keistimewaan umat ini. Law laa al-sanadu, la qaala man syaa'a maa syaa'a. Jika bukan karena sanad, maka pasti setiap orang akan mengatakan apa yang ingin dikatakannya (tanpa tanggungjawab keaslian sumber dan isi). Kiranya, seperti ini telah banyak dicontohkan oleh ulama kita, mulai dari ilmu Rijal al-Hadits, periwayatan, kapabilitas rawi, semuanya ada. Tinggal apakah kita mau mengingatnya, untuk kemudian diaplikasikan dalam dunia nyata.

Kembali ke isi laman itu.
Sependek yang saya ketahui, tasawuf secara "laku" telah ada sejak zaman Rasulullah, sebagaimana masyhur. Namun, secara "ilmu" ia belum bisa dikatakan "ada" saat masa-masa awal Islam. Artinya, laku-laku sufi yang dilakukan saat itu, saat itu juga belum dinamakan dengan sufi. Epistemologinya berlangsung beriringan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dunia keilmuan Islam. Sebagaimana yang disinggung di laman itu bahwa memang ia ada sejak zaman Rasulullah. Para tunawisma yang tinggal di serambi masjid Nabawi, akrena tidak punya tempat tinggal, sehingga mereka "nunut" ke Rasulullah. Kemudian mereka ngaji, mulazamah dan meraup ilmu-ilmu dari Rasulullah. Makanya, tidak jarang Ahli Sufah ini menjadi pembesar para Sahabat, seperti Abu Hurairah,  Abu Dzarr al-Ghiffari, dan lain sebagainya.

Ada beberapa derivasi yang muncul dalam pengambilan asal-muasal kata sufi dan tasawuf sebagaimana yang dikenal saat ini. Misal, ada kata al-shuffah, al-shuuf, al-shaff, al-shafa. Nah, banyak sekali, kan? Untuk melihat perubahan dari "laku" menuju "ilmu", maka harus memakai "perangkat," di antaranya arkeologi pengetahuan (adopsi teori dari Michel Foucault, sebagaimana yang akan dibahas di makalah besok, insya Allah. Jangan protes dengan pengambilan ilmuawan dari Barat. Moderasi dalam dunia keilmuan tidak mengenal "jenis kelamin" tokoh. Kita diajarkan untuk mengambil yang bisa diambil --yang baik-- dari siapapun. Ingat kan, 'undhur maa qaal, wa laa tandhur man qaal'. Udah singkatnya aja gitu. Kalo masih protes dengan adopsi teori-teori Barat untuk mengkaji keilmuan Islam, berarti 'dolanmu kurang adoh', kata orang, bukan kata saya). 

Saya di sini tidak memakai rujukan kitab atas apa yang akan saya tulis. Hanya sebersit apa yang saya ketahui dari guru-guru saya, tentang apa yang dipahami dari term sufi dan tasawuf. Maka, jika ada sesuatu yang kiranya kurang bisa diterima oleh pembaca sekalian, silakan dibuka lagi apa yang pernah dipelajari tentang tasawuf, atau secara langsung tanyakan pada guru-guru saya. 

Sependek saya, bukan sufi yang menyebabkan kekacauan akidah di masa awal Islam. Namun berbagai kepentingan (baik politis maupun non-politis, profit maupun non-profit) dari tokoh atau oknum tertentu. Misal, pembunuhan Sayidina Utsman, baiat Sayidina Ali, arbritase antara Sahabat Ali dan Muawiyah, semuanya dilandasi kepentingan tertentu. Ada sumbernya di Tarikh al-Thabari, Bidayah wa Nihayah juga, misalnya. 

Dalam dunia sufi, ada yang namanya ilmu hudluri (tanpa belajar), juga ilmu hushuli (dengan usaha, belajar). Nah, mereka kaum sufi ini memahami alam semesta dari ilmu yang kedua ini, melalui laku kesalehan, yang berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka dianugrahi 'weruh sak durunge winarah', karena pengetahuan mereka didapat melalui pengamatan, dengan hati dan kesalehan dan ilham dari Tuhan. Memang ini kontroversial, namun ada banyak sanggahan yang menepiskan kritik-kritik semacam ini. 

Nah, yang paling geli terdengar di telinga adalah ketika ia menyebutkan bahwa Allah ada di atas langit. Jika demikian, hadits yang mengatakan bahwa Allah turun di sepertiga malam terakhir ke langit dunia untuk mengijabah doa-doa, siapa yang di langit? Berarti langit kosong, dong? Kan Allah turun ke langit dunia tadi. Misal, 'Arsy itu makhluk atau bukan? Lalu, dijawab misalnya ia makhluk. Ditanya lagi, lha kalo 'arsy makhluk, di mana Allah ketika 'arsy belum dicipta? "Kaana Allaahu wa laa syay'a ma'ahu, tsumma khalaqa al-asy'yaa'a. (Allah ada. Dan tidak ada apapun selain-Nya, kemudian Dia menciptakan segala sesuatunya). Jika terus seperti ini, maka kita menganggap bahwa Allah butuh tempat, ada di arah tertentu, dan anggapan-anggapan lain. Memang Muktazilah meyakini begitu. Tapi bagi kami, laysa kamitslihii syay'un. Dan singkatnya, jika ada yang bertanya tentang "arrahmaanu 'ala al-'arsyi istawaa," jawabnya begini: al-iistiwaa'u ma'luum, wa al-kaifu majhuul, wa al-yaqiinu bihi mathluub, wa al-su'aalu 'anhu bid'atun. (Al-istiwa'/kedudukan/keberadaan itu diketahui, caranya bagaimana tidak diketahui, percaya (tafwidl) itu harus, dan pertanyaan tentang itu bidah).Terlepas dari apapun pemahamannya, saya mengambil dari pemahaman Sunni-Asy'ari, dari kedua kitab beliau langsung, al-Ibaanah dan al-Luma'.

Selanjutnya, kiranya bisa dijawab langsung oleh masing-masing yang pernah belajar tentang tasawuf melalui guru yang "benar." Maka dari itu, ini sekadar pengingat. Dan bahwa yang  ditulis di laman alminhaj.or.id belum bisa dipertanggung-jawabkan. 

Silakan jika ingin melihat versi lengkap laman itu https://almanhaj.or.id/3681-ajaran-tasawuf-merusak-aqidah-islam.html

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...