Sunday 15 October 2017

Sastra; Sebuah Ruang Tanpa Pencitraan



Sastra ialah cara terbaik untuk menyampaikan kata-kata. Setidaknya, meski saya bukan mahasiswi jurusan sastra, pun tak pernah belajar bagaimana seharusnya sastra, saya turut menikmatinya. Menikmatinya sebagai satu-satunya ruang yang bersih, jujur dan apa adanya. Menampilkan keindahan dengan lebih indah. Menceritakan sejarah kelam dengan tidak berlebihan. Membuka paradigma dengan kejujuran dan keterbukaan, tanpa dibumbui hawa-hawa panas nan penuh kepentingan. 

Entah, selama beberapa minggu di ujung liburan kemarin rasanya ada banyak perkara yang masuk dan terpaksa diolah oleh saraf-saraf di kepala. Beberapa pandangan yang setidaknya membuat saya tidak bisa berkata banyak seperti dahulu. Tergagu. Perkara-perkara yang setidaknya membuat saya berpikir bahwa hidup saya selama ini belum benar-benar berarti. Semua kata yang pernah saya tulis dan dilabeli sebagai makalah, ternyata tidak seintelek itu. Piagam-piagam, sertifikat dan amplop yang pernah saya terima ternyata hanya simbolis semata. Pujian, ujaran kebahagiaan yang pernah dilontarkan teman-teman pun hanya kata-kata semu yang ditutupi oleh sesaknya kepentingan, buramnya kaca mata dalam berpandangan ke depan, melihat yang benar-benar murni tanpa pencitraan, secara sadar maupun tidak. Entah mengapa, saya merasa tidak benar-benar hidup dengan baik. Saya hanya ikut-ikutan arus yang kian kemari kian membanggakan hal-hal yang bersifat materi. 

Hari ini, siang tadi tepatnya, saya tidak sengaja melihat salah satu foto di deretan menu Search di Instagram. Ternyata ia seorang yang terkenal. Ia seorang sastrawan kenamaan, baik di Masisir maupun di Indonesia. Sering diundang di kampus-kampus Indonesia, sering jumpa dengan seniman, sastrawan bahkan para kiai sepuh yang masyhur di telinga. Ternyata, ia santri yang waktu mondoknya lumayan lama. Dan ternyata, ia tidak sefanatik mereka (dan saya mungkin juga pernah) yang menggembar-gemborkan perkara-perkara simbolis yang dibangga-banggakan. Ia beraksi nyata. Ia berkarya. Ia tidak banyak kata. Ia larut dalam dunia asyiknya, sastra.

Setelah beberapa saat melihat-lihat postingannya--atau stalking gitu aja--saya teringat, terpikirkan kondisi diri. Sebenarnya saya siapa? Melihat beberapa kerabat, teman yang telah menjadi "orang," saya hanya tersenyum kecut. Haa, saya bukan siapa-siapa. Saya bukan apa-apa. Saya belum menjadi seperti mereka yang mampu menulis karya. Pun, ada satu scene, satu jenis kelompok masyarakat yang pernah saya kepingin menjadi bagiannya, namun akhirnya tersadar, itu tidak akan nyata. Akhirnya, pikiran saya terhenti bahwa saya harus memulai untuk hal-hal yang konkret. Bukan lagi ikut-ikutan mencari teman, turut mengambil bagian di kehidupan yang katanya modern ini sebab relasi dan komunikasi, atau bahasa kasarnya popularitas. Dan, lagi-lagi saya kepikiran bahwa, popularitas tidak ada artinya tanpa diri yang benar-benar berkualitas. Itu semua semu, menurutku. Mungkin, inilah bagian yang dinyatakan dalam al-Quran bahwa, dunia hanyalah tipuan belaka. Saling menipu dalam secarik kertas bertuliskan nama dan penghargaan. Saling menipu dan bersembunyi di balik emotikon WhatsApp. Saling pencitraan dengan mengapdet foto-foto berbaju kesalehan. Padahal, bajunya hanya dipake sekali dalam sebulan. Padahal, sebenarnya foto sama ulama tadi hanya kebetulan. Padahal, semua yang pernah dicapai hanya pemberian dari Yang Maha Menghidupkan. Meski begitu, seringkali kita mengklaim bahwa itulah capaian diri yang membanggakan. 

Dalam akun tadi, setidaknya ada angin yang mendesir, mengubah lamunanku bahwa hidup, mestinya lebih berarti dari apa yang kita pahami dalam makna kata "berarti" itu sendiri. Dalam artian, bukan sekadar bangun mandi makan pergi lalu kembali setelah bersosialisasi, namun ada bagian yang menjadi porsi diri, jiwa dan hati. Nyatanya, yang katanya bersosialisasi belum sepenuhnya mempunyai hati. Pun, yang mampu meraih predikat mahasiswa terbaik, atau apa terbaik belum sepenuhnya bijak, layaknya para penganggit sajak. Lagi-lagi, semua itu tadi hanya simbolisasi. Kita terkungkung dalam dunia modern yang merasa cukup dengan runtuhan puing-puing teknologi yang mengelabui. Tak lebih dari itu, semua yang kita temui menjadikan materi, lambang dan gambar sebagai esensi. Sebenarnya, sejauh mana kita memahami makna esensi? Entahlah, saya pun belum memahaminya dengan pasti. 

Sastrawan, mereka yang mengatakan esensi tanpa simbolisasi. Mereka mengatakan kebenaran tanpa nyiyir dan menafikan yang lain. Mereka mengutarakan pemikiran tanpa kertas mahal bertuliskan "hasil kajian." Mereka yang menumpahkan segala emosi tanpa menyakiti hati. Mereka yang menghidupi hidup, sebenar-benar hidup. Meski mereka tiada, kelak buah cipta dan rasanya yang akan terus berbicara. Menasehati para pemuda yang hidup pada masa setelahnya. Mengingatkan mereka akan betapa arifnya menghidupi kehidupan dengan luasnya keindahan makna, tanpa diracuni oleh bias-bisa pencitraan. Haruskah kita menjadi sastrawan?

Kairo, 15 Oktober 2017.
Ketika adzan masjid sebelah berkumandang. Senja telah lama berpulang ke peraduan. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...