Tuesday 17 October 2017

Generasi Merunduk

abaikan, ini gak nyambung sama isi.


Ternyata, semakin ke sini semakin banyak hal perlu dipikirkan. Entahlah, mungkin sebuah keniscayaan ketika umur seseorang bertambah, ada tambahan beban yang kudu dipikirkan. Ah, mungkin ini hanya berlaku bagi kalangan yang tumbuh dengan pendewasaan yang benar. Buktinya, ada beberapa kawan yang, semakin besar, hidupnya terasa lebih nyaman. Misal, dikit-dikit bahasnya nikah. Sampe di lini masa Instagram pun, mayoritas foto yang mampang di deretan menu Search pun tentang pernikahan. Ah, mungkin petugas KUA di seluruh dunia sedang sibuk-sibuknya. 

Di sisi lain, ada banyak kabar yang melintas tentang santri yang juara. Ada lagi tentang mereka yang menemukan terobosan baru di minyak, tenaga listrik dan ranah tekno lainnya. Di belahan dunia sana, ada yang baru saja menapak kaki, memantapkan langkah baru menuntut ilmu. Di belahan selatannya, ada yang baru pindah ke Aussie, ikut suami menempuh master di Monash University. Ketika kita liat di globe, di bagian atasnya ada yang sedang ribut menyoal diksi pribumi yang dilontarkan salah satu pejabat baru. Sebegitu masifnya runtuhan puing-puing globalisasi membenarkan asumsiku bahwa saat ini semua menjadi transparan. Semua terlihat. Kegiatan apapun yang ada, sekali taruh di storyApp, seantero dunia bisa melihatnya. Transparan sekali. 

Meski demikian, entah mengapa efek sampingnya luar biasa. Gara-gara ada alat transparan tadi, semua jadi penuh pencitraan, pertama. Yah, ini terlepas dari mereka yang memungut puing-puing untuk didaur ulang, dimanfaatkan. Kedua, semuanya jadi merunduk, gara-gara sibuk berebut reruntuhan kecil tadi. Dan jujur saya, meski hanya punya satu, saya pun turut kena candu. Alesannya, banyak chat masuk. Ah, dengan culasnya saya pede mengatakan itu. Padahal, alesan aja. 

Generasi merunduk. Dari yang saya amati, benar-benar ada satu skip nilai yang hilang. Mereka yang biasa sibuk dengan gadgetnya cenderung pasif, cuek, dan apatis. Pasif dengan sekitar karena mereka sibuk mantengin layar. Kudu dua tiga kali manggil namanya kalo kita pengen ngajak dia berdialektika. Elah, ketinggian bahasanya. Ngobrol, lebih tepatnya. Jadi, telinga yang selalu terbuka setiap saat sudah terdistorsi fungsinya. Tak lagi ada respon cepat tanggap, aktif dan masif.

Cuek dan apatis, kebanyakan ini terjadi ketika sudah terakumulasi candu gadget. Selain merunduk, yang paling sering dikeluarkan paling gumam "hmm", atau jawab sekenanya "iya" atau tiba-tiba "apa sih" dengan ketus dan raut kesal ketika disebut nama berkali-kali. Gara-gara gadget, kita kurang ngobrol jadinya. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...