Saturday 25 March 2017

Menyoal Hoax; Paradoksial Media yang Klise

Perkara klise namun beda versi. Mungkin kalimat tersebut yang terlintas dalam benak (penulis) ketika mendengar bahwa (banyak) informasi yang telah tercemar hoax. Mencuatnya hoax ke permukaan media bukanlah hal yang baru. Dalam beberapa kurun waktu ke belakang, hoax pernah meruyak di pasaran, hanya dengan ‘wajah’ dan variasi yang berbeda dengan masa kini. Hal ini tentu dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi pada masanya. Apalagi, masa elektronik melesat jauh melangkahi masa Tribal (pra-literat) seperti sekarang.
Dalam tataran masa kini, media sebagai sarana komunikasi utama memegang peran yang kuat dalam penyebaran informasi—termasuk penyebaran info-info yang (ternyata) hoax. Bahkan menurut Marshall Mc Luhan, media merupakan inti peradaban. Ia melihat media sebagai hal utama yang memengaruhi lainnya. Melalui media lah masyarakat memikirkan sesuatu, merasakan, dan bertindak atas sesuatu. Pun, peran tersebut seolah menjadi gerbang utama, yang notabene ketika berhasil masuk, berarti entah apa lagi yang akan terjadi di dalam sana, lose control. Ada sejumlah invisible hand yang mengatur sirkulasi dan modifikasi info-info yang telah masuk ke dalam jaring mereka. Entah untuk sekadar lucu-lucuan, seperti misalnya meme Presiden Soeharto yang berbunyi: “Piye lek, penak jamanku, tho?” yang merupakan infografis yang masuk di kategori pertama—untuk hiburan saja. Ada juga clickbait (pemelintiran info seolah benar-benar terjadi), bahkan hoax yang memicu ke arah segregasi sosial. Yang terakhir inilah yang sekiranya perlu mendapat perhatian serius.  
Namun, sejauh yang sekarang mendapat perhatian ialah pembicaraan tentang hoax itu sendiri. Mungkin, dari beberapa sumber yang menjelaskan maknanya, dapat dipahami (dalam bahasa yang paling sederhana) bahwa hoax ialah berita yang tidak benar. Hemat penulis, ia merupakan salah satu virus peradaban—yang tidak ilmiah sama sekali—yang memiliki daya pengaruh yang sangat kentara. Pengaruh yang, menurut Rocky Gerung, seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya UI memicu timbulnya segregasi sosial. Jangankan hoax, menyikapi berita yang provokatif saja masyarakat kita masih kelimpungan. Maka sebenarnya, bukan tentang bagaimana menjauhkan diri ketika berinteraksi dengan media maya, namun paling tidak cara-cara mawas diri yang tepat. Mengingat masyarakat sebagai telah direposisi menjadi medan, maka masyarakat dituntut untuk lebih menguasai medan, bukan di-remote dan ditendang sana-sini mengikuti ronde pihak-pihak yang berkepentingan. Manusia ialah aktor, bukan objek (Gerald Sussman, 1997: 26).
Media ialah pesan (the medium is a message). Pesan ini dapat dimaknai sebagai pesan, substansi dari komunikasi, yang pertama. Namun, McLuhan memenggal kata terakhir menjadi “mass-age,”yang maksudnya manipulasi gambaran tentang diri sendiri, masyarakat, bahkan dunia dengan memanfaatkan kesadaran dan mengarahkan persepsi kita. Di sinilah pengalihan fungsi media teranalisis. Ia mengalami diskontinuitas, bukan hanya dalam perwujudan dirinya, namun juga substansi yang terkandung di dalamnya.
Kemudian, tentang mengapa terjadi retakan fungsi media. Kiranya, hal ini berkaitan erat dengan berbagai kepentingan; baik politik tingkat tinggi (khususnya dalam hoax kategori ketiga, yakni pemicu segregasi sosial) maupun non-politik. Sebab adanya berbagai kepentingan tersebut dipicu oleh konsentrasi media yang dimiliki oleh tangan-tangan tertentu, yang notabene berbau profit dan partisan. Kepentingan mereka bukan hanya merekrut simpatisan, memoles wajah baik nan polos di depan masyarakat, namun bisa juga menjatuhkan pihak lain yang berpotensi mengangkangi karier maupun kepentingannya. Ada hal-hal yang ingin disembunyikan, tidak ingin publik mengetahui darinya kecuali yang baik-baik. Ditambah lagi, adanya media sosial (di masa kini) merupakan pelancar ngeksis di segala akun yang memungkinkan. Budaya ngeksis telah mengajarkan pemelintiran fakta, pembungkaman kebenaran dan tidak akan dipublikasikan kecuali hal terbaik yang pernah dilakukan—meski hanya sekali dalam setahun. Bahkan, tidak jarang melakukan pencitraan sekadar untuk mengisi update rutinan. Seperti yang dicetuskan oleh Mc Luhan, teknologi yang di dalamnya termasuk media membentuk istilah Technological Determinism, yakni teknologi (media) dijadikan sebagai alat penghakiman dan pengambilan tesis atas sesuatu.
Media sebagai penyampai informasi (telah) kehilangan kepercayaan publik setelah mencemari dirinya sendiri dengan sajian-sajian tak bermutu. Padahal, tak cukup dari itu, ia juga berperan dalam membentuk kultur masyarakat. Andil paradoks media sebagai penyampai informasi semakin terang dengan fakta bahwa ia dijangkiti oleh disauntentifikasi data dan beberapa kepentingan. Mestinya, masyarakat pun mulai menyadari akan hal ini. Karena, sedekat apapun dengan media, tidak menutup tuntutan adanya kepekaan; baik kepekaan sosial maupun kepekaan panca indra. Antara indra pendengaran dan penglihatan memiliki peran signifikan dalam mencerna dan menganalisis informasi terkait. Di sisi lain, meski sejak lama terjadi diskontinuitas dalam perannya, namun tidak bisa diketahui (secara pasti) sejak kapan retakan fungsi media terjadi. Begitu sulit mencari, karena sifat media yang tidak bisa dilihat seperti misalnya teks-teks buku yang mewujud nyata. Akhirnya, masyarakat pun hanya bisa mengiyakan apa yang telah dilihat oleh para pakar jurnalistik. Dibantu dengan beberapa kriteria berita yang sehat untuk membedakannya dari yang selainnya. Tak lebih dari itu.
Di sisi lain, faktor râwi (pembawa berita) masuk dalam kategori yang “berkuasa.” Dalam artian, adanya suatu pergeseran fungsi media ialah adanya kuasa pihak-pihak tertentu; entah dalam hal kekuasaan, latar belakang yang menguatkan posisi seseorang atau pihak di mata publik, ataupun kedekatan antarpihak yang berjkepentingan.
Kerap kali, media memang telah dialih-fungsikan oleh pihak-pihak berkepentingan. Dari yang awalnya sebagai pelayan masyarakat menjadi subyek atas masyarakat. Dalam artian, masyarakat dijadikan ladang permainan yang wajib menonton sampai ronde itu selesai, seperti tersebut di atas. Padahal, salah satu pijakan dalam membangun bangsa yang berperadaban ialah dengan konsumsi info yang sehat. Karena di atas kesehatan info, berita, maklumat itulah cara berpikir yang sehat akan diproses. Baru akan. Lantas, apa jadinya saat ruang media begitu keruh dengan polusi (berbagai) kepentingan?
Ironisnya lagi, adanya media alternatif tidak cukup membendung arus hoax yang dilancarkan oleh media-media besar. Hal ini terjadi sebab adanya verifikasi yang dilakukan oleh Dewan Pers atas komando  UU Nomor 40 Tahun 1999, yang akhirnya pun akhirnya tidak solutif. Verifikasi dan pemberian barcode atas media hanya meruncing pada media besar, dan ini beresiko pada terisolirnya media-media kecil yang tampil apa adanya; tanpa kepentingan dan menyajikan kebenaran. Maka, sebenarnya kita tidak bisa mengandalkan pemerintah dalam hal pemberantasan hoax. Karena ternyata, mereka lah yang punya segalanya; data, intelijen, juga media. Maka dari itulah, disinyalir bahwa mereka sebenarnya pihak tersangka, atau minimal potentially melakukan konten informasi hoax. Di sisi lain, mereka juga pengendali yang signifikan dalam mendialogkan media dengan etika; baik etika jurnalistik maupun etika sosial masyarakat dan kultur budaya serta jati diri bangsa.
Dalam memerangi hoax, tentu tidak bisa pasang badan sendiri saja. Tidak juga mengandalkan orang lain saja. Namun, mestinya ada sinergi bersama dari seluruh masyarakat bangsa di samping pemerintah dengan berbagai bidang mereka. Mestinya, kita perlu membangkitkan—meminjam istilah Noam Chomsky—“Intellectual Self Defense,” pertahanan atau tameng intelektual pribadi. Sekiranya, untuk menuju ke sana, masyarakat (baca: kita) harus belajar kritis dalam menyikapi segala sesuatu. Tidak pasif maupun apatis, namun bergerak aktif, kritis, dan merasa dituntut untuk bertabayun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas indra yang telah Allah anugerahkan. Pun, sebagai bentuk semangat yang kuat dalam menegakkan konsumsi maklumat yang sehat sebagai modal awal pondasi peradaban. Dus, mari cerdas berdigital, agar kita aman dalam bersosial!


No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...