Wednesday 1 March 2017

Pancasila; Perbedaan dan Keragaman sebagai Penguat Hakikat Kebangsaan


Jauh sebelum bangsa Indonesia lahir, adanya perbedaan (di muka bumi) merupakan sebuah keniscayaan.[1] Perbedaan ini merupakan sunnatullah (hukum-hukum Allah yang berlaku pada makhluk-Nya). Meski demikian, bukan berarti perbedaan ditawarkan begitu saja tanpa ada tuntutan untuk memeliharanya. Pemahaman tentang perbedaan ini tidak akan sempurna tanpa ada fakta yang memaparkan makna hakiki akan apa yang ingin dicapai di balik satu kata tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, perbedaan (sebagai keniscayaan) telah merasuk dalam poros penyusun rasa kebangsaan di tengah kemajemukan.
Lahirnya bangsa Indonesia dengan setiap jengkal keragamannya dianggap sukses merepresentasikan secara utuh bahwa perbedaan itu nyata. Nyata dan ada tepat sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Quran di banyak surat. Perbedaan yang dimaksud tidak hanya pada penampilan luar individu secara konkret, seperti fisik (fisiologis), latar belakang maupun golongan. Lebih dari itu, perbedaan justru sering kali meruncing pada apa yang tidak tampak sebagai abstraksi dari unsur-unsur yang tampak, yaitu ideologis. Maka, seharusnya polemik yang sering dituding dengan dalih perbedaan bukanlah sesuatu yang asing dan harus dibuang. Justru ia ditawarkan agar disikapi dengan bijak dengan tetap mementingkan persatuan sebagai asas yang sangat prinsipil dalam hidup berkebangsaan.

Pancasila sebagai Simpul Kebangsaan[2]
Pancasila merupakan jalan sintesis dan rumusan final cita-cita nasional dari berbagai sudut pandang. Kelima silanya merupakan pilar berdiri kokohnya bangsa Indonesia yang berlandaskan kebudayaan nasional. Yakni, kebudayaan keindonesiaan yang murni milik bangsa dalam lintas pulau, suku maupun agama.
Dalam lima sila-nya, Pancasila terbukti mampu mengiringi bangsa hingga kini. Tidak hanya mempertahankan budaya bangsa, namun juga mengembangkan dan menciptakan inovasi-inovasi baru tanpa mencerabut jati diri bangsa. Misalnya, Indonesia ialah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan apa adanya ia, Indonesia mampu membawa Islam dengan wajah yang damai, toleran dan mampu menarik perhatian dunia, melangkah jauh di depan negara-negara Timur Tengah. Dengan jati dirinya yang dicerminkan dalam Islam Nusantara, Indonesia mampu membuktikan bahwa menjadi Islam berbeda dengan Arabisasi—dengan segala simbolnya. Menjadi Islam ialah bagaimana hidup dalam nilai-nilai keislaman tanpa menelan habis segala yang datang dari Arab dan meyakini bahwa itulah Islam. Menjadi Islam ialah bagaimana menciptakan, menjaga dan mengembangkan peradaban manusia di bawah naungan nilai-nilai keislaman yang mulia. Bukan menyatukan kebudayaan, namun menyatukan peradaban. Karena peradaban hanyalah satu, yaitu peradaban manusia. Sedangkan kebudayaan, ia berbeda-beda sesuai perbedaan waktu, wilayah dan masa.
Budaya nasional sebagai kultur asli pribumi melekat erat dalam setiap butir Pancasila. Lebih dari itu, setiap butirnya merefleksikan setiap perjuangan yang dikorbankan untuk merebut kemerdekaan. Dalam naungan kelima butir sila tersebut, berbagai macam golongan, suku, ras dan agama, Indonesia mampu berdiri bersatu dengan kesadaran nasionalisme yang progresif. Berpandangan jauh ke depan dan memiliki semangat untuk kemajuan dan kemaslahatan. Jika kita menilik kembali ke tahun 1908, dalam Kongres Budi Utomo, Radjiman Widyodiningrat menyatakan: “Jika pribumi dipisahkan secara paksa dan sepenuhnya dari masa lalunya, yang akan terbentuk ialah manusia tanpa akar,tidak berkelas dan tersesat di antara dua peradaban.”[3] Tentunya, perjalanan bangsa Indonesia hingga kini (seharusnya) cukup menyadarkan anak bangsa, bahwa hidup yang sejati ialah mampu berinovasi dalam jati diri.
Dalam persepsi yang demikian, maka Pancasila merupakan simpul bangsa. Artinya, ia merupakan perangkat pemersatu bangsa dalam kesepahaman rasa kebangsaan yang muncul dari keberagaman. Karena sejauh ini, wacana yang selalu berkelindan dalam masyarakat kita ialah persatuan (bangsa).  Ada beberapa tudingan yang diarahkan bahwa persatuan bangsa kita masih rapuh; sedikit-sedikit konflik, sedikit-sedikit rusuh, dan respon lainnya yang justru menunjuk jari ke diri sendiri (bangsa) bahwa nyatanya, bangsa ini masih belia. Nalar pikir masih kolonialis dan bersumbu (mudah terpancing) bahkan untuk hal-hal sepele yang seringkali diragukan sebab-musababnya. Agaknya, budaya taklid telah merambah ke nalar pikir masyarakat kita. Namun, sayangnya taklid buta, hingga samar dan tak jelas kedudukan perkaranya.
Sejauh ini, persatuan bangsa Indonesia didorong kuat oleh transendensi (ketuhanan), humanisme, permusyawaratan dan keadilan sosial. Meskipun dalam praktiknya tak lepas dari berbagai gesekan dan konflik, namun setidaknya wacana-wacana yang mengkhawatirkan dapat diredam oleh payung butir-butir Pancasila. Berbagai konflik telah bertebaran menguji eksistensi Pancasila sebagai falsafah bangsa. Di antaranya, konflik etnis Organda di Papua pada 2015,[4] konflik Ambon pada 1999 dan 2011, maupun konflik-konflik lintas agama.
Di antara lainnya, konflik agama merupakan hal yang paling sensitif. Pasalnya, masyarakat kita mendadak bersumbu ketika mendengar atau mendapati hal-hal yang meremehkan agama mereka. Alih-alih membela agama, yang terjadi justru mereka tidak mengindahkan ajaran agamanya. Mereka terlalu menuruti nafsu, turut berteriak meski tidak tahu persis duduk perkaranya. Budaya tiru-meniru meluas, tidak terbatas pada produk saja, namun merambah ke sikap dan perilaku. Ironisnya, artikulasi wacana yang mereka dengungkan hanyalah hal-hal yang bersifat sepele, bukan prinsipil, dan ‘itu-itu’ saja.
Sebuah simpul merupakan sebuah penanda sejarah yang telah diakulturasikan menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan hajat nasional. Meski tidak secara tegas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan simpul bangsa, namun eksternalisasi-nya mampu menjaga stabilitas dan integrasi nasional, bahkan stabilitas dan integritas itu sendiri. Sebenarnya, bahasan tentang Pancasila seharusnya sudah berlalu sejak berpuluh tahun yang lalu. Iya, wong itu sudah keputusan final, kok. Adanya pihak-pihak yang mengusik kedudukan Pancasila, ingin mengganti dengan berbagai dalih dan dalil agamanya, serta aksi-aksi lainnya tidak lebih dari usaha seseorang yang lupa akan sejarahnya. Atau, tidak pernah membaca. Atau, mereka terlalu ambisius mengutarakan pemikiran tanpa melihat zaman, yang kesemuanya merujuk pada satu muara: tidak adanya rasa kebangsaan.
Rasa kebangsaan muncul dari pengalaman sosial, etno-kultural dan sosio-religius yang berpadu dalam satu botol bernama “bangsa.” Sebagaimana yang masyhur diperdengarkan, bahwa Bung Karno pernah mengatakan: “Suku dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki. Jadi, kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, artinya ialah bangsa Indonesia mempunyai banyak kaki yang saling menguatkan satu sama lain dalam menjunjung tubuh bangsa. Entah suku Sunda, Jawa, Batak ataupun lainnya, merupakan anasir esensial yang ketika satu dari mereka hilang, maka hilang juga sebagian tubuh mereka, tidak sempurna.”
Dengan latar belakang suku, ras, agama maupun golongan yang berbeda, Indonesia memiliki konsep kebangsaan yang khas. Dalam khazanah teori tentang bangsa, Indonesia merupakan perpaduan antara perspektif modernis di satu sisi, serta primordialis dan perenialis di sisi lainnya. Perspektif modern berpandangan bahwa bangsa merupakan hasil dari modernitas dunia pramodern. Adanya konsep sekuler, negara industri, negara birokrat merupakan transformasi atau rasionalisasi dari konsep bangsa pada masa pramodern yang dilegitimasi oleh dinasti-dinasti dan agama, kerajaan dan budaya-budaya yang melekat padanya. Konsep modern ini dapat kita temui pada karya B. Anderson (1991), E. Kedouri (1960), J. Breuilly (1982, 1996), E. Gellner (1964,1983), dan E. Hobsbawm (1990).[5]
Di sisi lain, persepsi primordialis berpandangan bahwa bangsa ialah warisan dan pemberian nenek moyang dan para pendahulu. Ia merupakan pemberian historis yang memberikan kekuatan inheren pada masa lalu dan masa kini (Clifford Geertz, 1963). Senada dengan primordialis, perenialis (oleh Adrian Hastings, 1997) mengatakan bahwa bangsa dapat ditemukan kapan saja dalam masa pramodern. Kedua persepsi ini hanya menitikberatkan pada dimensi keberlanjutan (diakronik) tanpa melihat pada keberlangsungannya (sinkronik) dengan masa yang akan datang. Padahal, idealnya ialah berpijak pada asal-muasal untuk menyongsong masa depan yang lebih gemilang. Seperti kalam hikmah dalam bahasa Arab: al-muhâfadhatu al al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdzu di al-jadîd al-ashlah, yakni menjaga tradisi lama yang baik dan memilah tradisi baru yang lebih baik.

Tantangan Pancasila sebagai Simpul Kebangsaan di Era Modern
Benar adanya jika Pancasila merupakan cita-cita final hajat nasional. Entah di mana keberadaannya yang hakiki jika melihat media yang gembor sana-sini memojokkan satu sama lain. Saking lihainya memojokkan, seolah sudah tak ada lagi ruang bagi kebenaran. Pasalnya, semakin jauh generasi bangsa dari masa rintisan, semakin jauh mereka menghayati makna dasar negara yang telah dirumuskan. Mungkin, benar saja demikian. Toh, nyatanya mereka hanya meneruskan, bukan merumuskan.
Seiring berjalannya zaman, kompleksitas kebutuhan masyarakat akan suatu nilai (akan) kian bertambah. Pencarian akan nilai-nilai baik mungkin akan digencarkan, meski sebenarnya seluruh nilai tersebut terangkum dalam butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Artinya, generasi bangsa semakin disamarkan dari hakikat bangsanya sendiri. Terjadi semacam kekaburan identitas dan jati diri dalam derasnya arus modernitas. Entah karena sibuknya mereka dengan tiruan budaya luar, atau hilangnya kendali kritis yang (seharusnya) muncul sebagai pengakuan terhadap asal-mula bangsanya.
Pembumian rasa kebangsaan dan persatuan dalam kerangka Pancasila menjadi pilihan mutlak keberlangsungan bangsa. Bukan karena bangsa ini sakit, bukan pula karena generasi bangsa tidak menghargai jasa para pendahulunya. Lebih dari itu, agar bangsa senantiasa siap menghadapi modernitas yang kian beringas. Agar bangsa selalu siaga menghadapi problematika sosial yang belum pernah dialami sebelumnya. Tidak ada cara yang paling sempurna dalam memahami makna kebangsaan dan persatuan, kecuali dengan upaya menyinergikan potensi diri (bangsa; anasir yang menguatkannya) serta menjaga budaya nasional.
Dalam suatu acara, mantan Presiden Indonesia, BJ. Habibie menegaskan bahwa bangsa tidak akan maju tanpa ilmu, agama dan budaya (nasionalnya). Ilmu dan budaya sebagai faktor yang bekerja pada bagian luarnya, sedangkan agama sebagai ruh dalam pergerakan nasionalisme yang progresif, demi kemajuan dan kemaslahatan bangsa. Dengan keduanya, bangsa Indonesia akan muncul sesuai dengan luas wilayahnya dan dengan kualitas yang sepadan dengan kuantitasnya. Tanpa agama, tak ada nilai-nilai yang menentukan dan mengiringi baik-buruknya suatu laku. Dalam hal ini, ekstrenalisasi agama tidak terbatas pada Islam saja, namun semua agama. Karena pada hakikatnya, semua agama mengajarkan kebaikan, kebaikan yang sama. Hanya saja, pemeluknya seringkali mengklaim ini milik saya dan itu milik Anda dengan fokus perhatian mereka pada simbol, bukan kemanusiaan. Demikian kiranya kaum neo-skripturalis muncul di tengah-tengah modernitas.
Ada sebuah kata hikmah dalam bahasa Arab, yang sekiranya dapat dikiaskan dan diaplikasikan dalam setiap ranah kehidupan. Bukan hanya dalam ranah Islam, keagamaan, atau kewilayahan, namun fleksibel untuk semua lini kehidupan. Kata-kata tersebut ialah: “Nahnu nurîdu an na’îsya dîna al-nabiy, lâ zaman al-nabiy, li anna al-dîna yatajâwazu al-zamân wa al-makân.” Artinya: “Kita ingin hidup dalam agama Nabi Saw, bukan zaman Nabi Saw. Karena agama menembus batas masa dan benua.”

Penutup
Dalam konteks keindonesiaan, maka kehidupan yang paling ideal ialah kehidupan dalam budaya nasionalisme yang berasaskan falsafah negara. Negara republik yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dengan Pancasila sebagai dasar negara. Terdiri dari beratus suku beribu pulau, Indonesia akan menjadi bangsa yang menghargai pemberian Tuhannya. Bukan untuk menjadi Arab karena jumlah muslim terbesar di dunia. Bukan dengan mengangkat senjata dengan dalih bela agama. Juga bukan dengan teriakan sumbang tak mengerti duduk perkaranya. Karena agama Nabi Saw menghargai manusia sebagai wujudnya kemanusiaan, setara dalam perlakuan.
Memaknai kebangkitan kembali rasa kebangsaan yang (dirasa) mulai hilang, diperlukan kesungguhan dalam berupaya mengembalikan kesepemahaman. Revitalisasi tidak bisa digaungkan dengan sendirinya, harus ada sinergi dari seluruh elemen bangsa.
Memaknai revitalisasi juga berbeda-beda tergantung pada profesi masing-masing generasi bangsa. Hanya saja, satu titik yang memungkinkan untuk mencapai satu tujuan ialah adanya gotong royong, bersama-sama mengoptimalkan potensi jati diri bangsa dalam semangat nasionalisme progresif yang sehat. Sebagaimana suku, keragaman budaya dan agama saling menguatkan identitas bangsa, maka seperti itu pula upaya optimalisasi bangsa sesuai profesi generasinya. Bukan memaksa menyatu-samakan, namun saling bersinergi dalam perbedaan. Bukan mengedepankan egoisme sosial, namun mementingkan persatuan dalam bingkai Pancasila dalam menyongsong kehidupan global. Revitalisasi ialah kesadaran dalam optimalisasi jati diri.
Mungkin, semua yang penulis paparkan terkesan mengambang, omong kosong dan hanya membual. Pasalnya, untuk hal sejenis ini tidak perlu banyak teori, namun pematangan secara langsung dalam lapangan. Rasanya, teori kebangsaan, persatuan, Pancasila dari dulu hingga sekarang selalu itu-itu saja, namun mengapa di setiap zaman selalu dipertanyakan? Wallâhu a’lamu.


















[1] Lihat pada: QS. Hud (11): 118, QS. Al-Maidah (5): 48, QS. Asy-Syura (42): 8, QS. An-Nahl (19): 63, dan masih banyak ayat lainnya.
[2] Pengertian simpul kebangsaan di sini berdasar pendapat penulis sebagai kesimpulan yang disarikan dari beberapa referensi yang coba penulis cari. Demikian, sebab tidak/belum adanya pengertian yang mutlak (jâmi’ mâni’) atas makna istilah tersebut. Jika pun ternyata ada sumber yang membahas pengertian tersebut secara mutlak, maka sepenuhnya hal tersebut merupakan kekurangan pribadi penulis dalam mencari sumber maupun referensi terkait.
[3] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, tt, hlm. 354.
[4] https://kristmasprince.wordpress.com/2015/06/20/konflik-etnis-dan-masalah-integrasi-nasional-di-papua/
[5] Yudi Latif, Op. cit., hlm. 361-365.

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...