Jauh sebelum bangsa Indonesia lahir, adanya perbedaan (di muka bumi) merupakan
sebuah keniscayaan.[1] Perbedaan ini
merupakan sunnatullah (hukum-hukum Allah yang berlaku pada makhluk-Nya).
Meski demikian, bukan berarti perbedaan ditawarkan begitu saja tanpa ada
tuntutan untuk memeliharanya. Pemahaman tentang perbedaan ini tidak akan
sempurna tanpa ada fakta yang memaparkan makna hakiki akan apa yang ingin
dicapai di balik satu kata tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, perbedaan
(sebagai keniscayaan) telah merasuk dalam poros penyusun rasa kebangsaan di
tengah kemajemukan.
Lahirnya bangsa Indonesia dengan setiap jengkal keragamannya dianggap
sukses merepresentasikan secara utuh bahwa perbedaan itu nyata. Nyata dan ada
tepat sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Quran di banyak surat. Perbedaan
yang dimaksud tidak hanya pada penampilan luar individu secara konkret, seperti
fisik (fisiologis), latar belakang maupun golongan. Lebih dari itu, perbedaan
justru sering kali meruncing pada apa yang tidak tampak sebagai abstraksi dari
unsur-unsur yang tampak, yaitu ideologis. Maka, seharusnya polemik yang sering
dituding dengan dalih perbedaan bukanlah sesuatu yang asing dan harus dibuang.
Justru ia ditawarkan agar disikapi dengan bijak dengan tetap mementingkan
persatuan sebagai asas yang sangat prinsipil dalam hidup berkebangsaan.
Pancasila sebagai Simpul Kebangsaan[2]
Pancasila merupakan jalan sintesis dan rumusan final cita-cita nasional
dari berbagai sudut pandang. Kelima silanya merupakan pilar berdiri kokohnya
bangsa Indonesia yang berlandaskan kebudayaan nasional. Yakni, kebudayaan
keindonesiaan yang murni milik bangsa dalam lintas pulau, suku maupun agama.
Dalam lima sila-nya, Pancasila terbukti mampu mengiringi bangsa hingga
kini. Tidak hanya mempertahankan budaya bangsa, namun juga mengembangkan dan
menciptakan inovasi-inovasi baru tanpa mencerabut jati diri bangsa. Misalnya,
Indonesia ialah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan apa
adanya ia, Indonesia mampu membawa Islam dengan wajah yang damai, toleran dan
mampu menarik perhatian dunia, melangkah jauh di depan negara-negara Timur
Tengah. Dengan jati dirinya yang dicerminkan dalam Islam Nusantara, Indonesia
mampu membuktikan bahwa menjadi Islam berbeda dengan Arabisasi—dengan segala
simbolnya. Menjadi Islam ialah bagaimana hidup dalam nilai-nilai keislaman
tanpa menelan habis segala yang datang dari Arab dan meyakini bahwa itulah
Islam. Menjadi Islam ialah bagaimana menciptakan, menjaga dan mengembangkan
peradaban manusia di bawah naungan nilai-nilai keislaman yang mulia. Bukan
menyatukan kebudayaan, namun menyatukan peradaban. Karena peradaban hanyalah
satu, yaitu peradaban manusia. Sedangkan kebudayaan, ia berbeda-beda sesuai
perbedaan waktu, wilayah dan masa.
Budaya nasional sebagai kultur asli pribumi melekat erat dalam setiap
butir Pancasila. Lebih dari itu, setiap butirnya merefleksikan setiap
perjuangan yang dikorbankan untuk merebut kemerdekaan. Dalam naungan kelima
butir sila tersebut, berbagai macam golongan, suku, ras dan agama, Indonesia
mampu berdiri bersatu dengan kesadaran nasionalisme yang progresif.
Berpandangan jauh ke depan dan memiliki semangat untuk kemajuan dan
kemaslahatan. Jika kita menilik kembali ke tahun 1908, dalam Kongres Budi
Utomo, Radjiman Widyodiningrat menyatakan: “Jika pribumi dipisahkan secara
paksa dan sepenuhnya dari masa lalunya, yang akan terbentuk ialah manusia tanpa
akar,tidak berkelas dan tersesat di antara dua peradaban.”[3]
Tentunya, perjalanan bangsa Indonesia hingga kini (seharusnya) cukup
menyadarkan anak bangsa, bahwa hidup yang sejati ialah mampu berinovasi dalam
jati diri.
Dalam persepsi yang demikian, maka Pancasila merupakan simpul bangsa.
Artinya, ia merupakan perangkat pemersatu bangsa dalam kesepahaman rasa
kebangsaan yang muncul dari keberagaman. Karena sejauh ini, wacana yang selalu
berkelindan dalam masyarakat kita ialah persatuan (bangsa). Ada beberapa tudingan yang diarahkan bahwa
persatuan bangsa kita masih rapuh; sedikit-sedikit konflik, sedikit-sedikit
rusuh, dan respon lainnya yang justru menunjuk jari ke diri sendiri (bangsa)
bahwa nyatanya, bangsa ini masih belia. Nalar pikir masih kolonialis dan bersumbu
(mudah terpancing) bahkan untuk hal-hal sepele yang seringkali diragukan
sebab-musababnya. Agaknya, budaya taklid telah merambah ke nalar pikir
masyarakat kita. Namun, sayangnya taklid buta, hingga samar dan tak jelas
kedudukan perkaranya.
Sejauh ini, persatuan bangsa Indonesia didorong kuat oleh transendensi
(ketuhanan), humanisme, permusyawaratan dan keadilan sosial. Meskipun dalam
praktiknya tak lepas dari berbagai gesekan dan konflik, namun setidaknya wacana-wacana
yang mengkhawatirkan dapat diredam oleh payung butir-butir Pancasila. Berbagai
konflik telah bertebaran menguji eksistensi Pancasila sebagai falsafah bangsa. Di
antaranya, konflik etnis Organda di Papua pada 2015,[4]
konflik Ambon pada 1999 dan 2011, maupun konflik-konflik lintas agama.
Di antara lainnya, konflik agama merupakan hal yang paling sensitif.
Pasalnya, masyarakat kita mendadak bersumbu ketika mendengar atau mendapati
hal-hal yang meremehkan agama mereka. Alih-alih membela agama, yang terjadi
justru mereka tidak mengindahkan ajaran agamanya. Mereka terlalu menuruti
nafsu, turut berteriak meski tidak tahu persis duduk perkaranya. Budaya
tiru-meniru meluas, tidak terbatas pada produk saja, namun merambah ke sikap
dan perilaku. Ironisnya, artikulasi wacana yang mereka dengungkan hanyalah
hal-hal yang bersifat sepele, bukan prinsipil, dan ‘itu-itu’ saja.
Sebuah simpul merupakan sebuah penanda sejarah yang telah
diakulturasikan menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan hajat nasional. Meski
tidak secara tegas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan simpul bangsa, namun
eksternalisasi-nya mampu menjaga stabilitas dan integrasi nasional, bahkan
stabilitas dan integritas itu sendiri. Sebenarnya, bahasan tentang Pancasila
seharusnya sudah berlalu sejak berpuluh tahun yang lalu. Iya, wong itu sudah
keputusan final, kok. Adanya pihak-pihak yang mengusik kedudukan Pancasila,
ingin mengganti dengan berbagai dalih dan dalil agamanya, serta aksi-aksi
lainnya tidak lebih dari usaha seseorang yang lupa akan sejarahnya. Atau, tidak
pernah membaca. Atau, mereka terlalu ambisius mengutarakan pemikiran tanpa
melihat zaman, yang kesemuanya merujuk pada satu muara: tidak adanya rasa
kebangsaan.
Rasa kebangsaan muncul dari pengalaman sosial, etno-kultural dan
sosio-religius yang berpadu dalam satu botol bernama “bangsa.” Sebagaimana yang
masyhur diperdengarkan, bahwa Bung Karno pernah mengatakan: “Suku dalam bahasa
Jawa artinya sikil, kaki. Jadi, kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku, artinya ialah bangsa Indonesia mempunyai banyak kaki yang saling
menguatkan satu sama lain dalam menjunjung tubuh bangsa. Entah suku Sunda,
Jawa, Batak ataupun lainnya, merupakan anasir esensial yang ketika satu dari
mereka hilang, maka hilang juga sebagian tubuh mereka, tidak sempurna.”
Dengan latar belakang suku, ras, agama maupun golongan yang berbeda,
Indonesia memiliki konsep kebangsaan yang khas. Dalam khazanah teori tentang
bangsa, Indonesia merupakan perpaduan antara perspektif modernis di satu sisi,
serta primordialis dan perenialis di sisi lainnya. Perspektif modern
berpandangan bahwa bangsa merupakan hasil dari modernitas dunia pramodern.
Adanya konsep sekuler, negara industri, negara birokrat merupakan transformasi
atau rasionalisasi dari konsep bangsa pada masa pramodern yang dilegitimasi
oleh dinasti-dinasti dan agama, kerajaan dan budaya-budaya yang melekat
padanya. Konsep modern ini dapat kita temui pada karya B. Anderson (1991), E. Kedouri
(1960), J. Breuilly (1982, 1996), E. Gellner (1964,1983), dan E. Hobsbawm
(1990).[5]
Di sisi lain, persepsi primordialis berpandangan bahwa bangsa ialah
warisan dan pemberian nenek moyang dan para pendahulu. Ia merupakan pemberian
historis yang memberikan kekuatan inheren pada masa lalu dan masa kini
(Clifford Geertz, 1963). Senada dengan primordialis, perenialis (oleh Adrian
Hastings, 1997) mengatakan bahwa bangsa dapat ditemukan kapan saja dalam masa
pramodern. Kedua persepsi ini hanya menitikberatkan pada dimensi keberlanjutan
(diakronik) tanpa melihat pada keberlangsungannya (sinkronik) dengan masa yang
akan datang. Padahal, idealnya ialah berpijak pada asal-muasal untuk
menyongsong masa depan yang lebih gemilang. Seperti kalam hikmah dalam bahasa Arab:
al-muhâfadhatu al al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdzu di al-jadîd al-ashlah,
yakni menjaga tradisi lama yang baik dan memilah tradisi baru yang lebih baik.
Tantangan Pancasila sebagai Simpul
Kebangsaan di Era Modern
Benar adanya jika Pancasila merupakan cita-cita final hajat nasional.
Entah di mana keberadaannya yang hakiki jika melihat media yang gembor
sana-sini memojokkan satu sama lain. Saking lihainya memojokkan, seolah sudah
tak ada lagi ruang bagi kebenaran. Pasalnya, semakin jauh generasi bangsa dari
masa rintisan, semakin jauh mereka menghayati makna dasar negara yang telah
dirumuskan. Mungkin, benar saja demikian. Toh, nyatanya mereka hanya
meneruskan, bukan merumuskan.
Seiring berjalannya zaman, kompleksitas kebutuhan masyarakat akan suatu
nilai (akan) kian bertambah. Pencarian akan nilai-nilai baik mungkin akan
digencarkan, meski sebenarnya seluruh nilai tersebut terangkum dalam
butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Artinya, generasi bangsa semakin disamarkan
dari hakikat bangsanya sendiri. Terjadi semacam kekaburan identitas dan jati
diri dalam derasnya arus modernitas. Entah karena sibuknya mereka dengan tiruan
budaya luar, atau hilangnya kendali kritis yang (seharusnya) muncul sebagai
pengakuan terhadap asal-mula bangsanya.
Pembumian rasa kebangsaan dan persatuan dalam kerangka Pancasila menjadi
pilihan mutlak keberlangsungan bangsa. Bukan karena bangsa ini sakit, bukan
pula karena generasi bangsa tidak menghargai jasa para pendahulunya. Lebih dari
itu, agar bangsa senantiasa siap menghadapi modernitas yang kian beringas. Agar
bangsa selalu siaga menghadapi problematika sosial yang belum pernah dialami
sebelumnya. Tidak ada cara yang paling sempurna dalam memahami makna kebangsaan
dan persatuan, kecuali dengan upaya menyinergikan potensi diri (bangsa; anasir
yang menguatkannya) serta menjaga budaya nasional.
Dalam suatu acara, mantan Presiden Indonesia, BJ. Habibie menegaskan
bahwa bangsa tidak akan maju tanpa ilmu, agama dan budaya (nasionalnya). Ilmu
dan budaya sebagai faktor yang bekerja pada bagian luarnya, sedangkan agama
sebagai ruh dalam pergerakan nasionalisme yang progresif, demi kemajuan dan
kemaslahatan bangsa. Dengan keduanya, bangsa Indonesia akan muncul sesuai
dengan luas wilayahnya dan dengan kualitas yang sepadan dengan kuantitasnya. Tanpa
agama, tak ada nilai-nilai yang menentukan dan mengiringi baik-buruknya suatu
laku. Dalam hal ini, ekstrenalisasi agama tidak terbatas pada Islam saja, namun
semua agama. Karena pada hakikatnya, semua agama mengajarkan kebaikan, kebaikan
yang sama. Hanya saja, pemeluknya seringkali mengklaim ini milik saya dan itu
milik Anda dengan fokus perhatian mereka pada simbol, bukan kemanusiaan.
Demikian kiranya kaum neo-skripturalis muncul di tengah-tengah modernitas.
Ada sebuah kata hikmah dalam bahasa Arab, yang sekiranya dapat dikiaskan
dan diaplikasikan dalam setiap ranah kehidupan. Bukan hanya dalam ranah Islam,
keagamaan, atau kewilayahan, namun fleksibel untuk semua lini kehidupan. Kata-kata
tersebut ialah: “Nahnu nurîdu an na’îsya dîna al-nabiy, lâ zaman al-nabiy,
li anna al-dîna yatajâwazu al-zamân wa al-makân.” Artinya: “Kita ingin
hidup dalam agama Nabi Saw, bukan zaman Nabi Saw. Karena agama menembus batas
masa dan benua.”
Penutup
Dalam konteks keindonesiaan, maka kehidupan yang paling ideal ialah
kehidupan dalam budaya nasionalisme yang berasaskan falsafah negara. Negara
republik yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Terdiri dari beratus suku beribu pulau, Indonesia akan menjadi bangsa yang
menghargai pemberian Tuhannya. Bukan untuk menjadi Arab karena jumlah muslim
terbesar di dunia. Bukan dengan mengangkat senjata dengan dalih bela agama.
Juga bukan dengan teriakan sumbang tak mengerti duduk perkaranya. Karena agama
Nabi Saw menghargai manusia sebagai wujudnya kemanusiaan, setara dalam
perlakuan.
Memaknai kebangkitan kembali rasa kebangsaan yang (dirasa) mulai hilang,
diperlukan kesungguhan dalam berupaya mengembalikan kesepemahaman. Revitalisasi
tidak bisa digaungkan dengan sendirinya, harus ada sinergi dari seluruh elemen
bangsa.
Memaknai revitalisasi juga berbeda-beda tergantung pada profesi
masing-masing generasi bangsa. Hanya saja, satu titik yang memungkinkan untuk
mencapai satu tujuan ialah adanya gotong royong, bersama-sama mengoptimalkan
potensi jati diri bangsa dalam semangat nasionalisme progresif yang sehat.
Sebagaimana suku, keragaman budaya dan agama saling menguatkan identitas
bangsa, maka seperti itu pula upaya optimalisasi bangsa sesuai profesi
generasinya. Bukan memaksa menyatu-samakan, namun saling bersinergi dalam
perbedaan. Bukan mengedepankan egoisme sosial, namun mementingkan persatuan
dalam bingkai Pancasila dalam menyongsong kehidupan global. Revitalisasi ialah
kesadaran dalam optimalisasi jati diri.
Mungkin, semua yang penulis paparkan terkesan mengambang, omong kosong
dan hanya membual. Pasalnya, untuk hal sejenis ini tidak perlu banyak teori,
namun pematangan secara langsung dalam lapangan. Rasanya, teori kebangsaan,
persatuan, Pancasila dari dulu hingga sekarang selalu itu-itu saja, namun
mengapa di setiap zaman selalu dipertanyakan? Wallâhu a’lamu.
[1] Lihat pada: QS. Hud (11): 118,
QS. Al-Maidah (5): 48, QS. Asy-Syura (42): 8, QS. An-Nahl (19): 63, dan masih
banyak ayat lainnya.
[2] Pengertian simpul kebangsaan di sini berdasar pendapat penulis sebagai
kesimpulan yang disarikan dari beberapa referensi yang coba penulis cari. Demikian,
sebab tidak/belum adanya pengertian yang mutlak (jâmi’ mâni’) atas makna
istilah tersebut. Jika pun ternyata ada sumber yang membahas pengertian
tersebut secara mutlak, maka sepenuhnya hal tersebut merupakan kekurangan
pribadi penulis dalam mencari sumber maupun referensi terkait.
[3] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan
Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, tt, hlm. 354.
[4]
https://kristmasprince.wordpress.com/2015/06/20/konflik-etnis-dan-masalah-integrasi-nasional-di-papua/
No comments:
Post a Comment