Thursday 21 September 2017

Magnolia; Membaca Keanehan dalam Keterkaitan

Review (Katanya)



“But, it did happen.”—Magnolia (1999)



Ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa, sesuatu telah terjadi secara ‘kebetulan’. Seperti beberapa hari lalu, betapa penulis (dan tiga teman lainnya) merasa masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup setelah beberapa saat nyawa terasa di ujung tanduk. Setelah mengumpulkan nyali, akhirnya kami berempat berhasil memotong jalur cepat dengan segala rapalan doa, pengakuan dosa dan harap-harap cemas agar diberi kesempatan hidup (sekali lagi). Mengulas tentang kebetulan atau tidak suatu kejadian, mungkin akan lebih bijak jika kita tidak berharap dan menuntut keinginan, namun melihat pada kenyataan bahwa inilah apa yang nyata ada.



Sekilas saat menunggu bus kemudian, penulis tersadar betapa ‘gila’ apa yang baru saja terjadi. Pastinya tidak begitu paham, apakah sebuah kebetulan belaka atau sebuah ketidaksadaran atas apa yang sedang dilakukan. Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa seorang pencuri tidak beriman saat ia mencuri. Artinya, ada sebuah kesadaran yang ‘hilang’ saat kejadian dan hanya akan kembali disadari saat ia berada di kejadian lainnya, seperti Jimmy Gator (Philip Baker Hall) sesaat setelah mengaku pada istrinya dan Donnie Smith (William H. Macy), saat di perjalanan pulang. Atas apa yang telah berlalu memang benar bahwa, “... berbagai hal aneh/ganjil terjadi setiap waktu,” (Magnolia, 1999).



Merenungi Kematian

Diksi kematian selalu dikaitkan dengan misteri, padahal itu merupakan hal yang pasti. Barangkali, yang menjadi misteri—jika benar demikian—ialah bagaimana kematian itu terjadi. Ketika penulis menyeberang jalur cepat Maadi, tak ada bayangan lain (saat itu) selain rapalan doa dan gambaran kematian yang sesaat lagi mungkin terjadi. Hal ini mungkin selaras dengan apa yang telah diajarkan di madrasah bahwa seorang insan akan mati atas ‘apa’ yang dilakukannya. Dalam pada ini, manusia menemukan perenungan baru tentang kematian; bagaimana akan mati, di mana, kapan dan bersama siapa, misalnya. Dalam Magnolia (1999), Paul Thomas Anderson telah menampilkan cara-cara kematian yang berbeda. Ini dikemas secara apik dalam sebuah drama play-pause yang dirilis pada 17 Desember 1999 silam.



Berbeda dengan The Sea of The Trees (2015), kematian yang ditampilkan di awal scene terpisah dari cerita delapan tokoh yang membintangi Magnolia. Meski dapat dipastikan penonton akan bingung menentukan sekat cerita, namun sebenarnya ini hal yang mampu menarik keingintahuan mereka. Kita akan dibawa melalui alur yang terpotong-potong dan membingungkan, melihat konflik yang penuh dengan emosional di masing-masing kehidupan tokoh yang—secara tersurat—terpisah. Tak heran, tangan akan terampil menekan pause-play melihat rangkaian cerita untuk dua tujuan; pertama, usaha menangkap logika cerita, kedua, untuk mendiskusikan dengan teman yang seringkali tak berkesimpulan. Akhirnya, sepanjang tiga jam menguap dalam terkaan dan renungan atas ‘kesibukan’ masing-masing tokoh.



Durasi sepanjang tiga jam satu menit lima puluh detik ini terasa padat oleh pergantian scene yang dihadirkan dengan begitu cepat. Jika diamati, akan ada satu hingga dua kejadian dalam waktu satu menit. Untungnya, beberapa tokoh tergabung dalam suatu hubungan yang mengerucutkan dari delapan menjadi empat kelompok ‘main’. Hal ini tentu berbeda dengan corak hidup yang monostar, seperti Piku (2015), Oldboy (2013), Siti (2015), Genius (2016) dan film-film lain yang telah ditonton bersama di dalam kelas. Dalam kehidupan yang masing-masing inilah orang-orang mungkin untuk saling terkait; pernah bertemu di saat tertentu dan mempunyai sisi-sisi kehidupan yang sama, minimal secara emosional. Amarah, rasa kacau, penyesalan, kasih sayang yang dirasakan oleh para tokoh dalam kehidupannya ‘menyatukan’ mereka dalam kelopak bunga Magnolia—yang terpajang di rumah Jimmy Gator. Linda Partridge (Julianne Moore) gusar menghadapi kematian suaminya, Earl Partridge (Jason Robards), seorang yang sekarat (a dying man) karena kanker.



Kegusaran terlihat jelas dari cara Linda berbicara dengan apoteker, dan ini menjadikannya terlihat terlalu ofensif (secara emosi dalam) menyikapi lawan bicaranya. Apalagi saat ia pulang dan mendapati Phil sedang menelepon Frank Mackey, anak suaminya yang tak disukainya. Dalam konteks kegusaran yang sama, saya kira Soo Hyun (Kim Hye Soo) lebih mampu mengendalikan respons emosional saat menantikan dengan sangat kembalinya detektif Jae-Han (Cho Jin Woong)—senior yang dicintainya secara diam-diam—yang menghilang selama lima belas tahun tanpa kabar, Signal (2016). Ia lebih tenang dari Linda Partridge, meski batinnya terkoyak lebih dalam—menantikan yang tiba-tiba menghilang, tak kunjung datang, tanpa tahu apakah ia masih hidup atau telah mati, di samping terus diingatkan oleh kenangan. Terkadang kebersamaan dengan seseorang menjadikan hidup itu lebih ‘hidup’ daripada kehidupan yang indah, pun bermateri.  



Emosi batin antara cinta, penyesalan, amarah, ketakutan bercampur membentuk sense bahwa fenomena hidup seperti itu benar dialami oleh manusia. Jikapun tidak,  Phil Parma (Philip S. Hoffmen) sebagai seorang yang ‘melihat’ turut membenarkan bahwa terkadang, rumitnya hidup seseorang menambah kegusaran psikologis tersendiri, di samping ketidakberpihakan keberuntungan pada hidup yang kita jalani.



Lain dengan Earl sebagai seorang pesakitan, Jim Kurring (John C. Reilly) ialah seorang polisi yang mendadak jatuh cinta di tengah operasi kerjanya. Yang menarik di sini ialah saat Claudia (anak Jimmy Gator) menganggap bahwa Jim tak pernah menyesal atas perbuatan buruk—ia seorang polisi, sekali lagi. Hampir mengiyakan, ternyata anggapan(ku) dibantah oleh pernyataan Jim sendiri, bahwa ternyata, ia juga pernah merasa bodoh dan tak berguna.



Di satu sisi kehidupan yang lain, ada Stanley Spector (Jeremy Blackman), seorang anak yang cerdas yang mengikuti kuis di California, What Do Kids Know? pada minggu ke 12.000 yang dipandu oleh Jimmy Gator (Philip B. Hall). Tak seperti Donnie Smith (William H. Macy) yang muncul sebagai juara dari kelompok anak-anak, Stanley harus meninggalkan panggung dengan menyisakan amarah pada sang ayah.



Meski membingungkan, ada beberapa sekat yang menjadi batasan antara satu cerita dengan lainnya, yang ternyata pernah bersinggungan—untuk tidak dikatakan saling terkait secara langsung. Bagi seorang kritikus film mungkin akan sepakat dengan ratusan reviewer lain yang mengarah pada satu kata: awesome, dengan melihat setiap detail, plot, penokohan dan unsur lainnya. Dalam taraf minimal yang bisa saya dapatkan selain mati, hidup dengan cara yang unik dan tak terduga ialah misalnya, peran Tom Cruise yang begitu totalitas, namun cukup mengganggu, utamanya di sepertiga pertama waktu keseluruhan film. Bagi yang mengerti ‘gaya’ Tom mungkin akan terbiasa, namun perannya merupakan yang paling mengena, entah karena porsi scene yang lebih banyak maupun dari perannya sebagai yang empunya Seduce and Destroy. Kemudian, background musik yang terlalu keras dan terus menerus. Bahkan saat Frank menungjungi Earl Partridge—di menit ke lima puluh satu setelah dua jam berlalu—yang diiringi suara hujan kodok, itu merupakan suatu hal aneh tersendiri bagi penulis; mengapa harus kodok (?)



Epilog

Ada tiga bagian dalam film yang mungkin secara tersirat membagi film menjadi tiga segmen; awal, tengah dan akhir. Dalam pada awal dan akhir yang menghadirkan tiga jenis kematian ini, penulis rasa tidak ada hubungannya dengan cerita di antara keduanya. Terasa sekali bahwa dalam satu jam pertama merupakan pemaparan cerita dan pengenalan tokoh. Lantas disusul dengan konflik yang apiknya, setiap scene masing-masing tokoh dipotong di saat ketegangan yang sama. Satu yang penulis aminkan ialah bahwa, terdapat banyak cerita mengenai kebetulan, kesempatan, dan berbagai potongan serta hal-hal aneh yang diceritakan.



Meski aneh, itulah yang terjadi. Dan umumnya, kita mengatakan begini: “Jika itu ada di film, aku tak ‘kan mempercayai itu,”—karena mayoritas yang ada di film ialah fiktif, mungkin. Namun, bukan berarti yang fiktif kosong dari kesempatan untuk dijadikan sesuatu yang benar-benar nyata secara nilai. Kita bisa mengkiaskan kejadian di film dengan kehidupan nyata, sebagai sebentuk usaha mengambil nilai sekiranya itu bisa. Hujan kodok merupakan satu hal aneh yang nyata dalam film (ini), di samping kejadian aneh lain (unik, mungkin) yang tersebar di sepanjang adegan—keterkaitan hidup para tokoh, nalar cerita dan persinggungan sesaat yang mengerucut di sepertiga terakhir film yang mengafirmasi bahwa bagaimanapun dikatakan tidak (terkait), sebenarnya terkait. Barangkali, asumsi keterkaitan dan keanehan ini dapat menjadi satu renungan tersendiri untuk menghargai hidup dan menjalaninya dengan bahagia dan baik-baik saja. Siapa yang tahu jika—mengkiaskan pada hujan kodok—suatu hari nanti datang serangan nuklir, rudal maupun bom yang membabi-buta dan secara tiba-tiba?




No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...