Thursday 13 July 2017

"Nyanding"

Sesaat setelah tiba di sana, panitia lantas mengajak kami keliling sekitar kota, sebut saja Medina City Tour, biar agak keren sedikit, haha. Karena delegasi dari PPMI Mesir tiba lebih awal dari delegasi lainnya, jadilah kita yang punya banyak waktu untuk q-time bareng panitia, hehe. Keliling Madinah, berkunjung ke situs-situs sejarah yang dulu hanya bisa kubaca di buku-buku pelajaran sekolah (SKI) atau buku-buku tarikh, seperti Sirah Nabawiah Ibnu Hisyam (kalo yang ini, ingatanku langsung tertuju sama mba Ayyun, juara II MQK Nasional Jambi 2014 lalu, keren kan?)

Banyak situs yang kami kunjungi. Ada masjid Sayidina Ali, IUM, gunung Uhud, medan Badr, apalagi ya, saya ngga ingat semua. Di antara yang paling saya ingat ialah kata-kata panitia saat kita muter di sekitar masjid Nabawi (muter pake mobil, maksudnya). Sambil perkenalan hotel tempat kita acara besok (Movenpick Hotel, ada di sekitar masjid Nabawi, deket banget), mereka sambil mengutarakan hal yang sering disayangkan bagi pelajar yang "nyanding" sesuatu. 

Kurang lebihnya mereka bilang gini: "Iya, sayangnya ketika kita udah tinggal di sini, di deket masjid Nabawi, rasanya mulai "biasa" aja sama makam Rasulullah. Padahal, waktu awal-awal dateng, rasanya kayak suatu hal yang luar biasa banget bisa hidup di Kota Rasul, bisa tiap hari ziarah, "nyanding" beliau. Tapi, seiring berjalannya waktu, semua menjadi berbeda dari awalnya. Semua seolah biasa. Seolah memang begitulah kita selamanya."

Hmm. Ketika kudengar kata-kata itu, ingatan saya juga langsung kembali ke tempat saya tinggal. Di belakang masjid al-Azhar, Hussein, Darrasa. 

Merupakan suatu hal yang tidak bisa bagi saya bisa berkesempatan hidup dekat dengan masjid al-Azhar, dekat pula dengan kampus al-Azhar yang lama, yang asli. Hehehe. Tapi, sepertinya rasa "biasa" aja juga mulai menghinggapi keseharianku. Biasa aja, meskipun tinggal dekat dengan masjid al-Azhar. Biasa aja, meskipun saya "nyanding" al-Azhar. Gawat.

Paling tidak, ada konskuensi bagi seseorang yang "nyanding" sesuatu. Nyanding orang tua, nyanding pesantren, nyanding seseorang, apalagi nyanding yang kek beginian; nyanding masjid al-Azhar, bahkan nyanding tempat yang selalu diharapkan oleh setiap orang (muslim) untuk ziarah ke sana. Tempat yang bahkan siapapun yang pernah ke sana pasti mengharapkan ke sana lagi berkali-kali. Berkali-kali selama hidup ia ingin kembali, Kota Nabi.

Mungkin, setidaknya tempat-tempat tersebut cukup menjadi pengingat untuk apa melangkah sejauh ini, selama ini. Tempat-tempat tadi menjadi saksi perubahan zaman, pergantian kekuasaan, pengamat sejarah dan penyetir kebudayaan. Ya, memang lalai lebih sering terjadi daripada jaga-nya. Bahkan, terlalu banyak kisah di masa (kejayaan) dulu, banyaknya peninggalan turats Islam, sering kali membuat bingung: "harus mulai dari mana," "harus bagaimana," atau minimal "bagaimana saya bisa menjaga turats-turats ini semua?" Saya kan generasi mereka, saya harus bertanggung jawab dong, dengan peninggalan "warisan" mereka. Di sini, sering kali saya bingung. Iya, karena inginnya menjaga semuanya, meski dengan keyakinan yang pasti (jazm) kalau saya tak bisa. Kkita tau sendiri, bahkan buku-buku yang ditulis abad dua, tiga Hijriah masih ada! sekarang telah memasuki abad 1438, alangkah luar biasanya "warisan" generasi kita sebelumnya. Geleng kepala seribu kali pun tak bisa memberi apa-apa, hehe. Terlalu hebat apa yang ditinggalkan leluhur, hingga akhirnya kita lalai, selalu berbangga tanpa melakukan apa-apa. Hingga tak sadar, semuanya telah digerogoti "orang sana," dan kita terlanjur lemah untuk membalasnya.

Iya, selalu sadar bahwa tak bisa memberikan sumbangsih apa-apa tanpa usaha yang beneran "usaha." 
Selalu saja digaungkan, kita harus usaha, kita harus kerja keras, kita harus ini, harus itu, namun rasanya kita kebanyakan kata. Selalu saja sama, tapi kata-kata itu juga hilang ketika melihat kehebatan "orang sana," yang selalu diterima dunia dengan tangan terbuka. Yah.. lupa lagi kita.

Tidak ada cara lain, kecuali saya harus berusaha. Sebenar-benar usaha, dengan cara yang saya bisa. 
Kita harus berusaha bersama dengan sekuat tenaga. Berusaha bersama dengan cara yang kita punya. Karena saya yakin, cara kita berbeda-beda. Pun yakin, dengan berbeda-bedanya itulah kekuatan untuk bangkit mencapai gerbangnya.

Yah, terlalu muluk apa yang saya tuliskan. Selalu saya berkata tentang "kebudayaan,"peradaban," "kejayaan," "bahasa Arab," dan sejenis itu. Namun, saya ternyata terlalu kecil untuk melakukannya. Sehingga, saya selalu berharap siapapun yang membaca mau bergandeng tangan, maju bersama dengan cara masing-masing tadi untuk mengembalikan yang dulu pernah ada. Jangan memasrahkan semua pada ulama, karena mereka pun tak akan bersama kita selamanya. Kita juga tak bisa mengandalkan semua pada guru kita, karena mereka hanya mengantarkan dan menerangi jalan kita. Pada akhirnya, sebuah keniscayaan bahwa kita harus melangkah sendiri. Melangkah di jalan yang guru kita terangi. Apa iya ketika mereka pergi kita akan lari dan kembali?


Malam Jumat, 13 Juli 2017 pukul 10:36 PM. 
Nulis di kamar Undul, ditemani kipas dan didesek untuk nemeni bikin donat sekarang juga. Yah, kan harus saya akhiri nulis jadinya. Huw.
Ini dari tadi ditanyain "udah belum-udah belum" terus. Sekarang beneran udah, Undul. 
Mari kita buat donat. Yuhuu!

*Maaf kali ini saya abaikan etika nulis yang baik. Ngga ada kata miring, mungkin juga banyak kapital yang ngga seharusnya, atau kebalikannya, atau mungkin kurang-kurang yang lain. Mianhe, hehe.


No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...