Thursday 20 July 2017

Berlibur di "Teras" Mesir

"Mbak jangan lupa nanti berangkat jam 12 yaa," pesan wasap dari salah seorang temanku masuk di sore hari. Tentu, lewat hapenya Undul.

Akhirnya, jam setengah dua (kurang lebih 1.32 AM) coaster kami benar-benar bertolak dari RS Hussein menuju ke Dumyat, Damietta. Perjalanan malam itu benar-benar indah ditemani temaram sinar rembulan.  Ya, meski ini lebih pada sisi subyektifitas-ku sebagai pengagum Kairo malam. Tentunya, sejak menginjakkan kaki di Bumi Kinanah untuk pertama kali, dulu kami disambut oleh temaram lampu-lampu jalanan. Temaram yang tersebar di seluruh horizon mata memandang. Mesir selalu lebih indah seperti itu.

Lamat-lamat kupandangi jalanan yang dipagari rerimbunan pohon. Wah, mirip Jogja, pikirku. Ini bagian Kairo yang benar-benar kota, sehingga jalanan pun bersih, ditaburi beberapa baliho besar khas kota-kota. Namun rapi dan enak dipandang.

Pada akhirnya, kita shalat Shubuh di tengah perjalanan. Di tengah padang pasir, layaknya kemarin di perjalanan simposium, persis. Naik coaster yang begitu sama, terus shalat di masjid di tengah perjalanan beberapa menit sebelum syuruq. Setelah itu, lanjut perjalanan hingga benar-benar tiba di pantai Dumyat sekitar pukul tujuh waktu Kairo. 

Pantai Dumyat; tempat bertemunya sungai Nil dengan laut Mediterania dengan mercusuar di ujung sana.

Kurang lebih satu jam di sana. Kita sarapan lalu melihat pertemuan antara sungai Nil dengan laut Mediterania. Ayat yang tertulis di monumen di tengah jalur ini pun mengatakan demikian, (مرج البحرين يلتقيان، بينهما برزخ لا يبغيان). Selepas dari sana, kita menuju pantai Amasha, pantai yang tanpa bayar sekadar untuk "mernahke" main di pantai, kayak di Indonesia dulu. 

Setelah itu, kita bertolak ke Rasheed (Rosetta), ketemu museum sama pantai juga. Pertama, kita masuk taman, yang terletak tepat di depan museum Rasheed. Setelah itu, kita bergegas masuk museum karena ia akan tutup pukul empat sore. Akhirnya, masuklah kita. Museum ini terdiri dari dari tiga lantai. Lantai pertama, ada pakaian raja-raja terdahulu, ada pedang-pedang yang sangat panjang dengan berbagai bentuknya. Ada pula replika Batu Rosetta yang tertulis Hiroglif di situ, namun yang asli ada di London. Berharap selalu untuk bisa ke sana. Layaknya pantai itu. Ketika melihat birunya pantulan langit, saya tak mampu melihat ujung di sana. Hanya sebuah garis yang membatasi langit dengan air. Hanya ada umbulan layar kapal yang mengabarkan perjalanan dari seberang. Beberapa kapal bergantian mendekat, para nelayan pulang ke kampung halaman. Saya selalu bertanya, antara tahu, sok tahu, dan ngarang, benar-benar nggak tau: "Di sebarang sana itu Eropa, kan?" Sambil menunjuk-nunjuk, kayak anak kecil yang ngasi tau mama-nya pengen ke suatu tempat. Tentu, saya juga tidak menginginkan jawaban pasti, yang benar-benar menjawab pertanyaan tadi. Harapan ingin mengelilingi dunia semakin membara, mendesakku untuk segera "ngrampungke" yang di sini dengan "baik," lalu berkelana ke berbagai belahan dunia. Semoga.



***
Lantai dua, sebut saja Salamlek. Disebut demikian karena ini tempat menerima tamu, bertemu teman sejawat, dan lain sebagainya. Tidak banyak yang saya ingat di sini, namun kurang lebih ada sebuah jendela berpola di seberang pintu masuk, yang katanya berfungsi sebagai peninjau dari dalam ke luar. Lalu, lantai tiga. Lantai ini disebut Haramlek, dari kata Harimiy yang bisa dimaknai tempat khusus wanita. Lantai ini dikhususkan untuk para wanita, terlihat dari susunan jendela berpola yang berbeda dengan lantai di bawahnya. Terdapat dapur, kamar mandi, tempat merokok (mungkin untuk sang suami, kalau tidak salah ingat), ada kantor, ada ariikah (tampat duduk dari kayu dilapisi kain tenun, seperti itu kiranya), ada al-Quran bertuliskan tangan salah seorang murid siapa gitu, saya lupa (aduh payah banget lupa semua). Intinya, di setiap lantai selalu ada lukisan yang memenuhi dinding, menggambarkan keadaan kota Rasheed zaman dahulu. Kota kedua setelah Kairo yang paling banyak  menyimpan sejarah Mesir Kuno. 

Yang paling seru nih, saat kita naik kapal, menyisir sungai Nil sembari melihat-lihat pinggiran kota. Menikmati sunset di sore hari yang pada waktu itu berbeda dengan biasanya. Tentu karena tempat yang berbeda. Namun, dengan siapa kita bepergian biasanya menjadi faktor dominan yang mendukung banyaknya kenangan yang tertinggal. Haa.

di sepanjang sungai Nil, Rasyid

Oiya, Dumyat dan Rasyid ini, merupakan dua kota tertua yang ada di Mesir. Mereka terletak di "teras"  (tsaghr) Mesir yang berhadapan langsung dengan laut. Banyak benteng dibangun di sini, termasuk benteng Qaitbay, yang saya kira hanya ada di Alexandria. Ternyata saya salah besar. Sultan Qaitbay berhasil membangun 240 bangunan di seantero Mesir semasa kekuasaannya. Termasuk Qaitbay Rasyid ini, Qaitbay Alexandria, Qarafah Kubra di seberang Masyikhah, dan masih banyak lainnya.



"Dari sini kita belajar bahwa, agar suatu negara bisa kuat, maka perkuat dahulu "teras-teras"-nya. Perbatasannya harus kuat dulu. Karena seringkali musuh masuk lewat celah yang ada di perbatasan-perbatasan itu." Papar Mas Mu'hid, salah satu guide senior di Kupretist du Caire, saat menjelaskan batu-batu peluru meriam di benteng Qaitbay, Rasheed. 

اللي يعيش يشوف كتير،  واللي يمشي يشوف أكتر
"Who lives sees, but who walks sees more."

Malam Jumat, 20 Juli 2017 pukul 10.59 PM.



No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...