Sunday 17 September 2017

Menelisik Akar Fundamentalisme Islam; Analisis Sejarah Rasyid Ridha dan Majalah Al-Manar

Prolog

Fundamentalisme Islam telah merebak di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bagi sebagian kelompok, fundamentalisme dirasa perlu sebagai jalan untuk mengembalikan segala sesuatu (laku-laku sosial, politik dan lainnya) sesuai dengan ‘Islam awal’, Islam yang ‘bersih’ sebagaimana masa salaf saleh, tiga kurun pertama. Sehingga, terjadi semacam monopoli agama dalam usaha-usaha mengembalikan jati diri sebuah identitas (yakni Islam), bahwa ketika Islam telah disematkan dalam identitas seseorang, maka ia harus menjalankan segala aktivitasnya sesuai dengan ‘Islam’ tadi. Tentunya, hal ini disertai klaim yang kuat bahwa itulah satu-satunya cara mengentaskan diri dari kubangan kemunduran yang disebabkan oleh banyak syubhat, bidah dan hal-hal lain yang bersifat ‘baru’ dalam agama. Hal ini bukan tanpa dasar. Upaya tersebut didasari keyakinan kuat bahwa agama melegitimasi pemurnian dan pengembalian ajaran sebagaimana ‘asal’nya—bagi kelompok yang melihat bahwa agama di masa kini telah menyimpang dari yang semestinya. Purifikasi agama terus mereka upayakan, meski dilakukan dengan cara-cara radikal—terang saja, inilah ciri umum  kaum fundamentalis.  

Maraknya isu fundamentalisme Islam ini ternyata tidak luput dari seorang magister Sejarah Modern dan Kontemporer Fakultas Sastra Universitas Ainu Syams, Kairo, Ahmad Shalah el-Mulla. Dalam tesisnya, ia menyuguhkan sebuah kajian mendalam tentang akar fundamentalisme Islam di Mesir yang terfokus pada Rasyid Ridha dan majalah Al-Manar (1898-1935 M.). Kajian ini terfokus pada pemikiran politik dan sosial yang melandasi keberlangsungan majalah tersebut sebagai salah satu dasar pemikiran yang penting dalam fundamentalisme Islam di Mesir, saat itu.  Tentunya, ia melacak akar pemikiran majalah sejak awal berdirinya pada 1898 hingga terhenti dari percetakan pada 1935, tahun di mana yang empunya wafat, Muhammad Rasyid Ridha. 

Dalam mukadimahnya, Mulla (pengkaji) mengutarakan dua sebab pemilihan Al-Manar sebagai kajian tesisnya. Pertama, urgensi sejarah. Majalah tersebut merupakan sarana penting dalam perang pemikiran yang terjadi di dunia Islam kala itu. Al-Manar ada sebagai jawaban politis dan tanggapan atas Barat yang dihadirkan di antara dua kelompok; pertama, pendukung adopsi segala unsur Barat sebagai faktor kemajuan umat dan kedua, oposisinya yang mensinyalir adanya bahaya yang mendasar jika unsur-unsur tersebut diterapkan di dunia Islam. Kedua, meruaknya paham Salafi dan perdebatan atas Barat yang tak kunjung usai, di samping tujuan untuk memberikan pemahaman yang benar atas informasi persoalan-persoalan kontemporer. Dalam tataran metodologi, Mulla menggunakan analisis sejarah pada teks-teks al-Manar sebagai sebuah jembatan penting perpindahan dari reformasi Islam yang anut saja, tanpa gerakan (taufiqi) menjadi gerakan aliran-aliran politik di masa-masa berikutnya, seperti Ikhwanul Muslimin (IM). 

Secara garis besar, pembahasan inti pengkaji dipetakan menjadi dua bab utama yang masing-masing terdiri dari tiga subbab. Bab pertama, tentang pemikiran politik. Subbab pertama, tentang dasar-dasar teori pemikiran politik majalah Al-Manar. Subbab kedua, tentang Al-Manar dan Dinasti Utsmani, dan subbab ketiga tentang Al-Manar dan Permasalahan Politik di Arab. Bab kedua, tentang pemikiran sosial. Subbab pertama pada pembahasan ini ialah tentang Al-Manar dan persoalan Wanita. Subbab kedua, antara Al-Manar dan Persoalan Pendidikan. Subbab berikutnya membahas tentang Al-Manar dan Dasar-dasar Masyarakat Kontemporer. 

Sesuai dengan muatan buku tersebut, penulis akan membahas enam poin yang secara umum merupakan garis besar inti pembahasan. Pertama, dasar-dasar teori tentang pemikiran politik dalam Al-Manar. Kedua, hubungan Al-Manar dengan Dinasti Utsmani yang akan dilanjutkan dengan hubungan Al-Manar dengan problematika politik Arab. Keempat, tentang pandangan Al-Manar terhadap problematika perempuan, dilanjutkan dengan pandangannya terhadap pendidikan dan pengajaran. Dan terakhir, pandangan Al-Manar tentang dasar-dasar masyarakat modern. 


Ancaman Barat dan Kemunculan Reformasi Islam Kontemporer

Ketika melihat isu fundamentalisme dengan Mesir sebagai objek utama, maka secara natural hal ini mendorong pembaca untuk menilik sejarah pendudukan Perancis atas Mesir dan Syam. Atas runtuhnya Muhammad Ali, dunia Islam mengalami kemunduran dengan sangat jelas di berbagai aspek; politik, ekonomi, budaya bahkan peradaban secara umum. Dari sinilah kemudian terbuka berbagai akses secara bebas dan tak terkendali bagi Barat untuk menguasai dunia Islam secara lebih leluasa. Pun, dunia Islam (Timur-Tengah, Arab) terlanjur lemah tak berdaya dalam menghadapi serangan imperialisme Barat di negerinya.[1] Hal ini menyebabkan respon dari luar Dinasti Utsmani itu sendiri dalam bentuk munculnya gerakan Tasawuf Militer, seperti Wahabi, Sanusi dan Mahdiyyah yang berciri khas menolak penerapan segala sesuatu yang datang dari Barat, apapun bentuknya. Sedangkan dari dalam dinasti, terlihat jelas pada politik Jamiah Islamiah yang terkait erat dengan Sultan Abdul Hamid II. 

Di samping imperialisme, unsur terpenting yang sangat berbahaya dengan adanya pendudukan Barat atas Timur ialah aspek peradaban secara umum. Tidak hanya menyerang secara pemikiran dan praktikal, di saat yang bersamaan Barat juga mendoktrin bahwa Timur tidak mampu melawan bahkan dengan upaya sekecil apapun. Di tengah kemunduran sedemikian rupa, Timur dipaksa untuk menerima (istirdla’) Barat dengan cara pengaplikasian “laku-laku” Barat dalam praktik kesehariannya. Dimulai dari kemunduran inilah kemudian ilham reformasi Islam muncul. Karena bagaimanapun sikap yang diambil oleh Timur, baik pengingkaran maupun pura-pura tidak memahami kondisi sendiri merupakan hal yang sia-sia, hasilnya sama: tidak mengubah apa-apa. 

Asas yang mendasari gerakan reformasi ini ialah kembali kepada Islam yang ‘asli’ dan ‘benar’. sebagai tokoh pembaharu, Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani membatasi bahwa Islam yang dimaksud tergambar pada tiga hal, yakni Al-Quran, Sunah dan Salaf Saleh. Dengan demikian, mereka membedakan antara Islam kini dengan yang terdahulu. Bahwa, Islam di masa kini mengalami kemunduran disebabkan oleh banyaknya bidah yang menyeruak di kalangan muslim. Dalam hal ini, bidah yang dimaksud oleh keduanya terkait erat dengan tasawuf kontemporer yang mewacanakan zuhud sebagai ajaran khasnya. Namun, ternyata pemahaman zuhud ini menjurus pada abainya masyarakat terhadap tanggung jawab sosial dan meremehkan hal-hal yang berbau duniawi—karena zuhud ialah meninggalkan hal-hal duniawi dan mementingkan kehidupan akhirat semata. Karena dianggap bidah dan tidak berdasar, akhirnya kembali pada yang ‘asli’ merupakan satu-satunya solusi. Kembali kepada ketiga pilar tadi merupakan sebab kebangkitan Islam kembali, karena ketika dahulu Islam berjaya di masa-masa awal merupakan hasil dari praktik agama yang ‘bersih’ dan ‘benar’.[2] Inilah yang kemudian menjadi makna di balik kata reformasi Islam: kembali kepada Islam yang ‘asli’ dan ‘benar’.

Dalam tesisnya, Mulla tidak membahas secara detail kehidupan Rasyid Ridha. Ia hanya menampilkan bagian terpenting yang membentuk pemikiran dan kecenderungannya dalam melakukan pembaharuan Islam hingga akhirnya membawanya hijrah ke Mesir dan mendirikan Al-Manar. Dilahirkan di desa Qalamun, Tripoli, Ridha tumbuh dalam pendidikan yang bercorak fundamen, tradidional, literal sejak awal. Selain sebagai Asy’arian, Ridha kecil sangat terkagum dengan tasawuf, utamanya dengan kitab Ihyâ Ulûmiddîn karya Imam Ghazali. Meski demikian, tak lama setelah itu ia merasakan banyak keraguan dalam praktik-praktik sufi. Ia mendapati banyak bidah di dalamnya, hal-hal yang memungkinkan untuk menyekutukan Allah, selain bahwa zuhud membahayakan akidah dari berbagai sisi. Pada akhirnya, ia meninggalkan laku-laku sufi tersebut. Keluarnya Ridha dari laku-laku tersebut juga ditengarai oleh keterpengaruhannya terhadap Salafi-Hanbali yang direpresentasikan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebagai seorang yang mendalami ilmu Hadits, Ridha sangat nyaman dan terbiasa dengan corak literal dalam mazhab tersebut, sebagaimana yang terlihat secara jelas pada metodologi Ibnu Taimiyyah. Dengan keterpengaruhan atas Ibnu Taimiyyah tersebut, Ridha semakin membenci tasawuf dan memandangnya dengan keras. Demikian, pada akhirnya pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah inilah yang membuat Ridha (semakin) keras dalam pemikirannya, tajam, terlalu ambisius dalam membela pendapat sendiri dan tidak mau menerima pendapat yang beroposisi dengannya.[3]

Dalam masa pencarian jalan hidupnya, Ridha mengenal Al-Afghani dan Muhammd Abduh melalui majalahnya, al-‘Urwah al-Wutsqa. Majalah inilah yang kemudian membangkitkan semangatnya untuk melakukan pembaharuan, memalingkan perhatiannya kepada kemunduran umat Muslim kini dan prinsipnya bahwa Islam akan menyelamatkan mereka. Atas asumsi bahwa kediktatoran Dinasti  Utsmani saat itu tidak akan memberinya kesempatan, ia berpindah ke Mesir, berbekal keyakinan bahwa ia akan bertemu Muhammad Abduh yang ia kenali dari majalahnya. Akhirnya, pada 19 Januari 1898 ia bertemu Muhammad Abduh dan mendirikan Al-Manar, dengan tujuan utama mengecam penguasa Dinasti Utsmani dan kediktatoran pemerintah di masa Sultan Abdul Hamid.[4]

Corak pembaharuan Al-Manar mengupayakan kebenaran bahwa Islam relevan sepanjang zaman sampai kapanpun. Dengan demikian, langkah awal yang dilakukan ialah menyadari makna kemunduran Islam. Sebenarnya, Muhammad Abduh dan Ridha menolak dengan kuat akan kemunduran Islam—inilah perbedaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari para pembaharu kebanyakan. Akan tetapi, tertanam kuat dalam diri keduanya bahwa Islam yang dulu pernah di puncak kejayaan telah mengalami kemunduran terus-menerus. Sehingga dari sini, mereka berusaha berinteraksi dengan sejarah secara positif; menyadari bahwa setiap zaman mempunyai corak kemajuannya tersendiri. Namun, di sini terjadi dualisme; di satu sisi, tiga abad pertama merupakan sebaik-baik umat Islam. Sedangkan di sisi lain, pembaharuan ingin menjadi yang terbaik di masanya, beroposisi dengan cara pandang Muslim kebanyakan yang selalu melihat tiga abad pertama sebagai bentuk Islam yang paling ideal, tak peduli di zaman kapan ia berada. Dengan kesadaran tersebut, mereka mengupayakan pembaharuan yang tidak ahistoris; memilih corak yang sesuai dengan zaman yang sedang berlangsung, termasuk adopsi beberapa unsur kemajuan di Barat. Inilah yang membedakan keduanya dari para pembaharu kebanyakan yang selalu melihat bahwa Islam awal ialah satu-satunya jalan keselamatan tanpa mau menerima perkembangan peradaban zaman; ahistoris.


Pemikiran Politik dalam Al-Manar

Dalam bagian ini, Mulla menengarai adanya pendidikan tokoh dan pergolakan dunia Islam sebagai faktor yang mendorong Ridha dalam pembaharuannya. Sebenarnya, dimulai pada bagian ini, Ridha terlihat mengalami pergolakan hebat yang membuatnya mengalami berbagai macam tahap pemikiran. Dalam menyikapi persoalan, Ridha selalu mempunyai dua sisi yang saling berlawanan. Ada berbagai faktor yang mudah membuatnya berubah pikiran hingga mengalihkan laju Al-Manar. 

Sejak awal, ia telah membagi sikap Ridha terhadap penjajahan Barat menjadi dua. Pertama, adanya gencatan senjata hingga propaganda secara terang-terangan dengan pihak penjajah (Inggris) sejak awal berdirinya Al-Manar hingga 1912. Kedua, permusuhan terhadapnya sejak tersingkap pengkhiatan mereka terhadap dunia Arab dan provokasi umat Muslim untuk melawannya. 

Di sini, Ridha membatasi esainya pada tujuan penjajahan atas ekonomi dan perdagangan. Dengan bahasanya yang keras, sebenarnya Ridha sedang mencela bangsanya sendiri atas kerelaan sebagai alat mainan Barat, dengan kepasrahan dan kelemahan mereka dalam menghadapinya. Meski demikian, ia menawarkan solusi atas prahara tersebut. Pembangunan institusi pendidikan, perusahaa-perusahaan keuangan merupakan salah satu yang paling mungkin untuk dilakukan saat itu. 

Dukungan Al-Manar terhadap Inggris (sebagai penjajah) disebabkan oleh pandangan Ridha bahwa Inggris berbeda dengan lainnya. Hal ini dilihat dari adanya keberlangsungan pendidikan di Mesir, kebebasan akidah dan yang terpenting menurutnya ialah mereka tidak melakukan kristenisasi, seperti negara-negara Eropa lainnya (Perancis di Maroko, Belanda di Indonesia dan Rusia di Asia Tengah). Atas dasar inilah kemudian Al-Manar mengajak umat Muslim untuk bersepakat dengan Inggris. Ridha melihat bahwa kesepakatan ini lebih dibutuhkan oleh kaum muslimin, di mana “hamba” dengan segala kelemahannya membutuhkan “tuan” yang lebih kuat dan berkuasa.[5] Kesepakatan ini tidak berlangsung lama, karena setelah PD I, Ridha mendapati bahwa Inggris hanya berbeda zahirnya saja, intinya sama: keras.

Selanjutnya, pandangan Al-Manar terhadap kaum Kristiani. Secara pribadi, Ridha cukup toleran terhadap mereka.[6] Namun secara umum, Al-Manar cukup keras dan fanatik dengan kaum tersebut,  didasarkan pada kecurigaan Ridha atas mereka yang dapat digunakan kapan saja untuk memecah-belah umat Muslim di negara Arab, di samping bahwa keruntuhan gradual Dinasti Utsmani merupakan dampak upaya mereka dalam memerdekakan negara-negara Eropa di bawah kekuasaannya. 

Ridha berpikir bahwa kaum Krsitiani dan Muslim dapat bersatu membela tanah air dalam satu payung nasionalisme. Awalnya, ia menolak konsep tersebut mentah-mentah dengan alasan bahwa agama dan syariat merupakan sumber utama politik praktis, dan nasionalisme (sebagai produk Barat) berseberangan dengan Islam. Lambat laun, Ridha berubah pikiran dan menerima nasionalisme yang disandarkan pada agama dengan nilai-nilai yang dimilikinya; keadilan, kebebasan dan persamaan—apalagi jika terkait dengan bela negara. Perubahan pandangan ini utamanya terlihat setelah wafatnya Musthafa Kamil, Muhammad Farid dan beralihnya kepemimpinan gerakan nasionalisme Mesir kepada Saad Zaghlul, sejawatnya saat belajar kepada Syekh Muhammad Abduh. Di samping itu, Ridha mengkritik bahwa konsep musyawarah (syura) umat Islam masih sangat teoritis dan jauh dari laku-laku praktis. Hal ini ditengarai dari kepemimpinan Dinasti Umayyah yang cenderung diktator dan memaksa untuk mematuhi pemimpin, baik adil maupun zalim. Karenanya, ia merasa perlu untuk mengadopsi demokrasi sebagai pengembangan konsep musyawarah. Umat Islam tidak bisa mencukupkan diri dengan musyawarah, karena salah satu tolok ukur negara maju ialah demokrasi. Oleh karenanya, Ridha mencoba menemukan titik temu antara demokrasi dan prinsip-prinsip Islam. 

Dalam hubungan agama dengan negara, Al-Manar ada di posisi bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Meski tidak ada nas yang mengatur secara jelas bagaimana hubungan keduanya, namun laku-laku sosial, politik dan sejarah mengatakan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Al-Manar membela dengan keras bahwa keduanya tidak bisa dipisah, bahkan menyatakan bahwa jika syariat dijauhkan dari agama, maka syariat itu laksana tiada.  

Bisa dikatakan, perubahan pandangan Ridha terhadap Dinasti Utsmani menemui alasan yang dapat diterima—dari sudut pandangnya. Kondisi politik pasca PD I memaksa Ridha untuk bersikap sebagai seorang yang memperjuangkan agama di tengah keruntuhan umat. Pada 1918, kemunduran dinasti yang disusul dengan penguasan Eropa atas negara-negara di bawah kuasanya semakin menggugah semangat untuk memperjuangkan berdirinya khilafah di bumi sebagai representasi kekuasaan Islam satu-satunya. Ternyata apa yang teradi tidak sesuai dengan harapan ketika Kamal Attarturk mengubah sekuler sebagai jalan yang tepat bagi Turki Utsmani pada 1927. Dari sinilah kemudian ia berpaling dari sikap awal, dengan rasa heran bahwa Kamal sampai hati mengubah sistem yang telah berlangsung selama ini. 

Tak hanya di sini, sistem perpolitikan dunia Arab yang pelik dan selalu menghasilkan pandangan baru seolah mempermainkan Ridha di tengah-tengah berbagai pihak yang bersekutu. Pengkhianatan yang dilakukan Syarif Husain[7] misalnya, seolah membuat posisi Ridha semakin jelas bahwa ia hanya bersama Al-Manar. Pihak-pihak yang dipercayai telah memutuskan jalan masing-masing tanpa sepengetahuannya. Bersamaan dengan posisi ini, datangnya Wahabi di pertengahan abad delapan belas merupakan sebuah angin segar bagi perjuangan Ridha yang selama ini selalu menemui persimpangannya.


Pemikiran Sosial dalam Ide Pembaharuan Al-Manar

Memasuki pemikiran sosial, Mulla membahas tiga persoalan, yaitu tentang wanita, pendidikan dan pengajaran serta dasar-dasar masyarakat modern. Berbeda dengan pembahasan sebelumnya, hawa yang ada di sekitar problematika sosial tidak sepanas politik. Tentu karena bukan tempatnya, Al-Manar lebih berdialog dengan dirinya sendiri dalam mengemukakan ide-ide sosial, di samping bahwa porsi yang diberikan Mulla dalam pembahasan ide-ide sosial jauh lebih sedikit. 

Tentang wanita, Al-Manar selalu mengulang bahwa kedudukan wanita ada di bawah kuasa pria—meski beberapa kali menyatakan adanya kesetaraan. Kebebasan wanita yang dimaksud terdapat pada keluar rumah, belajar dan bekerja. Meski demikian, tiga hal tersebut diperinci lagi seperti belajar cukup di lembaga sekolah pertama, bekerja hanya boleh di ladang, bukan tempat-tempat borjouis seperti di Eropa. Selanjutnya Ridha menyatakan bahwa tidak ada kemerdekaan bagi seorang wanita, tidak ada kesetaraan  karena itu mustahil (fitrah wanita ialah tunduk pada pria, menjaga rumah, mendidik anak, itu saja), apalagi menduduki jabatan.[8]

Demikian pula, Ridha menyatakan bahwa menikah didasarkan atas penunaian kewajiban dan hak masing-masing pihak sesuai syariat Islam, bukan atas dasar cinta. Hal ini diteruskan dengan kebahagiaan rumah tangga tidak terletak pada rasa, namun pada ketaatan istri pada suaminya. Sesuai dengan konsep yang dianut bahwa tidak ada kesetaraan antara pria-wanita (yang ada hanya komplementer), mahar yang diberikan di awal pernikahan ialah sebagai jaminan (akad tunai) bahwa wanita harus selalu menaati pria. Dalam hal poligami, Ridha berbeda pendapat dengan gurunya, Syekh Muhammad Abduh yang melarang praktik tersebut. Meski di akhir hidupnya ia menyatakan bahwa poligami tersebut sebenranya suatu yang sulit diatasi oleh pria.

Dalam bidang pendidikan, Al-Manar  berhadapan dengan Al-Azhar sebagai institusi Islam yang meski dipercaya pada waktu itu, namun ia menganggapnya sebagai institusi yang ‘mandul’. Dari sini kemudian Ridha mendirikan Dar al-Dakwah wa al-Irsyad, sebagai kekecewaan atas Al-Azhar dengan segala sistem dan administrasinya. Al-Manar mencecar sistem tradisional yang berlaku saat itu, di samping menyerang mereka yang menolak pembaharuan yang dilakukan Syekh Abduh.[9]

Dalam pembahasan modernitas madani, Al-Manar cenderung berpegang teguh pada agama sebagai dasar dalam melaksanakan laku-laku praktis. Ia tidak sependapat dengan gagasan yang dibawa Kamal Attarturk, sekuler. Dan sebenarnya, apa-apa yang diputuskan oleh Ridha ialah sesuai keyakinannya bahwa Islam ialah satu-satunya penyelamat atas segala penyimpangan yang tersebar di masa kini. 

Sekilas tentang Buku

Buku Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah; Rasyîd Ridlâ wa Majallat al-Manâr (1898-1935)  karya Ahmad Shalah al-Mulla pertama kali diterbitkan pada Januari 2008 oleh Dar al-Kutub wa al-Watsaiq al-Qaumiyyah. Karena pembahasan yang strategis, ia dicetak kedua kalinya oleh penerbit yang sama pada 2013, hingga akhirnya dicetak untuk ketiga kalinya oleh al-Haiah al-Mashriyyah al-Ammah li al-Kitab pada 2015. 

Sesuai dengan bidangnya, Mulla menyisiri setiap pembahasan dengan analisis sejarah. Pembaca diajak untuk menelusuri kejadian secara mendetail dari sumbernya langsung, Al-Manar. Dengan bahasa yang lugas, mengalir dan runut ia mampu membawa pembaca hanyut dalam problematika yang sedang dihadapi oleh tokoh, Rasyid Ridha. Ia mampu memilih kata-kata yang mampu menarik pembaca untuk melangsungkan bacaan, seperti penyebutan inti bahasan di kalimat pertama paragraf. Atau, tidak jarang ia melemparkan pertanyaan di awal, untuk kemudian dijawab pada paragraf berikutnya. Menurut penulis, hal tersebut mampu mengembalikan fokus pembaca dari deskripsi sejarah yang demikian panjang. Di samping sebagai penekanan sesuatu yang penting—yang mungkin lalai dari pembaca—, atau sebagai tameng (jika ada yang mempertanyakannya), pertanyaan tersebut juga sebagai satu langkah agar pembahasan sejarah tidak terkesan monoton (hanya susunan dekriptif-naratif). Kemudian, penempatan setiap poin inti dari suatu rincian di paragraf baru juga mengurangi lelahnya pembaca mengikuti inti dan scene penting dalam alur sejarah sepanjang itu. Hal ini semakin terasa lengkap ketika di akhir setiap pembahasan terdapat kesimpulan secara global atas apa yang telah dipaparkan. Selain diperkaya dengan perjalanan sejarah, sebab-musabab serta berbagai kejadian yang ada di sekitar tokoh pada masa itu, hal ini memungkinkan para pembaca untuk men-sweeping, membaca dengan lebih cepat tanpa melewatkan inti pembahasan. Sistematika tersebut kiranya disebabkan oleh status buku sebagai tesis. Terlebih, pengkaji ialah dosen Sejarah di Universitas Dimyat, sehingga metodologi kepenulisan bukan merupakan hal yang baru lagi bagi dunia yang digelutinya. 

Sebagai sosok yang unik—dilematis, mungkin—Ridha selalu mempunyai dua sikap yang beroposisi seiring berjalannya waktu. Seperti hubungan Al-Manar dengan Dinasti Utsmani, nasionalisme, ilmu-ilmu modern, tentang wanita, dan Syarif Husain, misalnya. Awalnya mendukung, lambat laun dukungannya berbalik menjadi kecaman, kebencian dan sikap permusuhan yang ditunjukkan melalui artikel-artikel Al-Manar. Pada kasus Syarif Husain misalnya, Mulla menunjukkan hubungan kausalitas yang cukup detail atas perubahan sikap tersebut. Namun, penulis merasa kurang adanya hentakan yang hebat dalam mendeskripsikan tersingkapnya korespondensi Syarief Husain dengan Inggris. Mulla hanya menyebutkan sebabnya ialah pertemuan Ridha dengan anaknya, Faishal bin Husain selama kunjungan ke Suriah, tanpa memberi detail bagaimana pertemuan tersebut berlangsung. Karena sasaran buku tersebut seolah untuk kalangan menegah ke atas (dalam kerja literatur), seyogianya pembaca mempunyai pijakan pengetahuan terlebih dahulu agar mampu mengikuti arah pembahasan dengan lebih sempurna. Seperti misal, penyebutan Tahrîr al-Mar’ah-nya Qasim Amin dan al-Islâm wa Ushûl Al-Hukmi-nya Ali Abdul Raziq akan lebih menarik jika pembaca mengetahui alur persoalan yang terjadi di dalamnya.

Kemudian jenis font. Awalnya, penulis merasa kurang nyaman dengan font buku, meski selanjutnya dapat dipastikan bahwa mata akan mampu beradaptasi. Penggunaan tanda baca yang kurang tepat mengganggu proses pemahaman karena ternyata bukan titik, namun seharusnya tanda pisah—misalnya. Pun, penggunaan hamzah washal dan qatha’ yang kurang tepat sedikit mengganggu proses membaca. 

Terlepas dari berbagai kekurangan kecil, mestinya hal tersebut tidak lantas membuat pembaca enggan. Karena memahami isi kandungan buku jauh lebih penting dari sekadar mempersoalkan tampilan luar. Dengan sajian analisis historis tersebut, pembaca akan mampu menerawang, memuat gambaran jelas terkait politik dan keadaan sosio-historis dunia Islam pada masa itu. Betapa perkataan Muhammad Abduh menemui pembenarannya sejak dahulu, bahwa ketika politik masuk dalam ranah apapun, ia hanya akan merusaknya sama sekali. Pada akhirnya, pembaca tidak sekadar menerka kondisi dan mengagungkan teori, namun benar-benar ‘melihat’ apa yang terjadi melalui apa yang tercatat dalam sumber aslinya, lengkap dengan setiap detail kejadiannya.

Urgensitas buku tersebut terletak pada topik yang diketengahkan. Rasyid Ridha sebagai penulis aktif Al-Manar mempunyai kedudukan yang penting karenanya. Ia disebut sebagai Al-Ghazali pada masanya oleh Shibli Shumail, seorang filsuf Mesir yang mulhid, ateis. Sebagai satu-satunya corong pemikiran Islam di masanya, Al-Manar menjawab pertanyaan dari India, Transvaal (Afrika Selatan), Iran, Turki, Maroko dan berbagai negara lintas benua yang menanyakan seputar hukum pada fenomena-fenomena kontemporer. Sebegitu penting kedudukannya, hingga setelah ke-sekian kali akhirnya Rasyid Ridha menyempatkan untuk memenuhi undangan Muktamar Pendidikan dan Pengajaran di India yang akhirnya dibukukan sebagai al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm (sebelumnya ditebitkan di al-Manar pada 1912). Maka, buku yang membahas akar fundamentalisme Islam di Mesir kontemporer ini sangat cocok untuk masuk dalam daftar bacaan yang mesti dipertimbangkan. 


Epilog

Sebenarnya, Al-Manar mempunyai dua sisi yang menjadi ciri khasnya sebagai satu-satunya wadah dalam menyampaikan pemikiran tokoh Rasyid Ridha. Di satu sisi, ia sangat berpegang teguh pada watak pemiliknya, tradisional. Di sisi lain, sebenarnya ia juga tidak semerta-merta menutup mata dari peradaban Barat, meski di banyak kesempatan ia selalu menyatakan harus melawan arus tersebut dengan penguatan di banyak bidang. 

Banyaknya perubahan pemikiran yang terjadi pada diri Ridha, selain dipengaruhi oleh pendidikan masa kecilnya juga dipengaruhi oleh emosional pribadi, selain bahwa keadaan dunia Islam yang tergoncang terlihat sebagai faktor yang dominan. Pasca terbukanya rahasia Syarif Husain, Ridha beralih membencinya dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang beroposisi dengannya. Setidaknya, hal ini terlihat saat kebahagiannya membuncah ketika melihat kemenangan Abdul Aziz bin Ali Saud atas Syarif Husain. Dari sinilah salah satu pintu Wahabi semakin terbuka, selain faktor politis tentang kemerdekaan negara-negara Arab di bawah Dinasti Utsmani dan doktrin yang dibawanya sejak kecil, kecintaannya terhadap Ibnu Taimiyyah yang mempengaruhi watak keras dan tajam terhadap pendapat yang beroposisi dengannya.

Secara tersirat, sikap fundamentalis Ridha terlihat dari penyikapan saat menghadapi persoalan seperti penolakan belajar bahasa Perancis, nasionalisme, demokrasi, masyarakat madani, persoalan wanita dan secara umum dapat dilihat pada bab-bab yang disajikan oleh Mulla. Namun sebelum melangkah lebih jauh, bagaimanapun juga generasi masa kini tidak merasakan goncangan kemunduran yang dihadapinya. Fundamentalisme sebagai tingkatan awal terorisme menemui akarnya, terlegitimasi dalam diri Ridha. Namun, pembelaan terhadap Abdullah bin Wahab di kemudian hari masih menjadi titik hitam yang belum diketahui sebabnya. Sehingga sangat penting kiranya untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana duduk perkara yang sebenarnya, meski membutuhkan waktu dan referensi yang cukup banyak, kiranya hal tersebut bukan sesuatu yang mustahil dilakukan. 




Akhirnya, penulis hanya membaca buku Mulla sebagaimana ia buku. Bukan pada kapasitas penulis untuk mendedah dengan sempurna, sehingga tidak ada hal yang benar-benar baru, selain apa yang telah dituangkan oleh pengkaji, Mulla. Demikian, wallâhu a’lamu.



Disampaikan dalam bedah buku Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah kerjasama al-Mizan SC dengan Said Aqil Siradj Center (SASC) dan Kemass, di Auditorium Kemass, Ahad 27 Agustus 2017.



[1] Ahmad Shalah al-Mulla, Judzûr al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah fî Mishra al-Mu’âshirah; Rasyîd Ridlâ wa Majallat al-Manâr (1898-1935), al-Haiah al-Mashriyyah al-Ammah li al-Kitab, 2015, hlm. 13.
[2] Ibid., hlm. 17-21.
[3] Ibid., hlm. 33-35.
[4] Ibid., hlm. 35-40.

[5] Ibid., hlm. 71.
[6] Ibid., hlm. 78.
[7] Ibid., hlm. 173.
[8] Ibid., hlm. 248-255.
[9] Ibid., hlm. 294.

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...