Thursday 21 September 2017

Fundamentalisme; Tangga Utama untuk (Mengenal) Radikalisme



Radikalisme merupakan isu yang telah lama diketengahkan, bahkan misalnya ketika kita menarik runut sejarah ini pada masa awal Islam. Yakni, sejak terjadinya arbitrase antara kelompok Sayidina Ali dan Muawiyah. Namun, melihat maraknya pembahasan tentang isu ini (tidak hanya di Indonesia, namun juga ranah internasional) mungkin dapat ditarik benang merah yang sama pada satu sisi, meskipun banyak perbedaan di sisi lainnya. Misalnya, ketika Syekh Ali Jumah mempunyai kitab al-Raddu ‘alâ Khawârij al-‘Ashr, yang dapat dipahami secara diksi bahwa, Khawarij masa klasik (katakanlah masa Islam awal) berbeda dengan Khawarij di masa kini.
Dunia Islam selalu diliputi oleh kekuasaan dan politik—kekuasaan yang membentuk seperangkat laku sosial di kalangan masyarakat Islam. Terang saja, hal ini terihat pada perihal arbitrase yang dilakukan pihak Sayidina Ali dan Muawiyah. Dalam Tarikh al-Thabari disebutkan bahwa sebenarnya, Sayidina Ali menolak untuk mengadakan arbitrase tersebut. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat beliau sangat memahami bagaimana karakter Muawiyah serta orang-orang yang ada di barisannya. Di sini, pihak Muawiyah meletakan al-Quran di ujung tombak, yang dimaksudkan untuk mengelabui pihak Sayidina Ali. Padahal, ada siasat politik dibalik pemaksaan terhadap Sayidina Ali setelah pada akhirnya mau menerima arbitrase tersebut. Di antara yang disebutkan dalam tarikh tersebut, pertama pemaksaan, kedua, pemilihan utusan yang diambil dari ‘orang’ mereka (pengikut Sayidina Ali), padahal beliau telah menunjuk Ibnu Abbas, namun ditolak.
Semenjak kejadian tersebut, muncullah kelompok Khawarij dan Syiah, sebagai dua kubu yang saling berlawanan. Sikap Khawarij yang lantas mengkafirkan pihak lain dengan dalih agama, lâ hukma illâ lillâh tersebut merupakan ide yang ada pada kelompok radikalis, ekstrimis dan teroris di masa kini. Ini yang kita sebut dengan ‘Khawarij Kekinian’, meminjam diksi Syekh Ali Jumah, al-Khawârij al-‘Ashri.

Untuk menghubungkan nalar pikir yang runut, kita akan mengambil titik tolak di masa awal abad 20, saat di mana imperialisme Barat sedang menguasai dunia Timur. Sebenarnya, yang perlu kita pahami terlebih dahulu di sini ialah makna radikalisme itu sendiri. Dan tentunya, pemaknaan ini tak bisa semerta-merta kita kunci, dipatenkan untuk dipakai dalam mengidentifikasi segala permasalahan yang ada. Padahal, manusia ialah anak dari zamannya. Sehingga perlu melihat bagaimana polemik yang terjadi saat itu, khususnya di dunia Timur yang sedang mengalami kemunduran. Pada akhirnya, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan, kebangkitan dan hal-hal semacam perlawanan terhadap penjajah, apapun bentuknya; baik dalam pendidikan, Islam, sosial, maupun ekonomi dan politik.
Agar tidak terlalu jauh mengambil sampel, mari kita melihat perubahan di banyak aspek kehidupan Islam sejak tentara Mongol meruntuhkan khilafah Abbasiyah pada 1258 M. Sejak keruntuhan tersebut, dunia Islam terlalu lemah unntuk menghadapi serangan yang dilakukan oleh Barat. Tidak hanya satu dua negara, namun hampir seluruh wilayah Timur diluluh-lantakkan begitu saja. Meskipun kemudian hadir Dinasti Turki Utsmani, namun dinasti ini pun tak bisa membendung arus Barat yang sedemikian derasnya. Dalam misi penjajahan Barat, kita mengenal adanya gold, glory dan gospel. Terkait dua hal pertama mungkin cukup jelas, sebagaimana yang dicari oleh Belanda di Indonesia ialah rempah-rempah (kekayaan dan kekuasaan). Namun, yang mempunyai sisi paling dominan terhadap paham radikalisme ialah gospel, kristenisasi dan delik-delik misionaris. Hal ini terlihat dari didirikannya sekolah-sekolah di negara-negara Islam yang didanai oleh pihak Barat,namun sebenarnya wakaf yang dihibahkan kepada masyarakat muslim ialah harta yang dirampas oleh mereka. Di samping adanya penyelundupan paham-paham Barat di sekolah-sekolah Islam, para pengajar muslim Tatar di Rusia juga diberantas, diburu, dipenjara dan dipersekusi oleh Inggris dan sekutunya. Ditekan sedemikian hingga mereka ‘terbunuh’ berkali-kali dalam mengajarkan Islam kepada anak-anaknya.

Tak luput dari ini, Mesir juga turut merasakan hal yang dirasakan bangsa Timur lainnya, meski dengan cara yang berbeda. Dalam perlawanan terhadap penjajah, ada Muhammad Abduh yang lebh fokus pada pembenahan sistem pendidikan di Mesir, al-Azhar khususnya. Meskipun pendapatnya ditolak pihak internal al-Azhar dan ia ‘terpental’ keluar, namun ia tetap bersikeras untuk melakukan pembaharuan pendidikan yang termanifestasikan dalam bentuk Fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo.
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Rasyid Ridha merupakan tiga sosok pembaharu Mesir di masa imperialisme Eropa di Timur Tengah (dunia Islam) pada awal abad dua puluh. Dua tokoh pertama berhasil mendirikan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa di Perancis, karena tidak adanya akses yang sama di negerinya, Timur Tengah. Melalui majalah ini, Rasyid Ridha sangat terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut, yanglantas mendirikan majalah al-Manar atas persetujuan Muhammad Abduh, gurunya. majalah al-Manar pada awalnya ditujukan untuk mengecam kekhalifahan Sultan Muhammad II, khalifah Dinasti Turki Utsmani saat itu. Sebegitu urgennya, ia dibaca oleh masyarakat seluruh dunia, menjawab soal fatwa dari Maroko, India, Afrika, dan negara-negara dunia lainnya terkait persoalan kekinian di masing-masing negara. Tak ayal, Indonesia. Al-‘Urwah al-Wutsqa dan al-Manar juga dibaca oleh cendekiawan Indonesia yang pernah belajar di luar negeri, seperti misalnya KH Ahmad Dahlan. Sehingga, dalam beberapa aspek, kita mendapati adanya keterpengaruhan yang kuat antara dua majalah ini dengan beliau, pendiri Muhammadiyah.
Namun, urgensinya bukan pada keterpengaruhan itu semata. Radikalisme di Indonesia mulai marak setelah masa reformasi, di mana akses kebebasan mengeluarkan pendapat terbuka luas. Yang perlu diketahui, radikalisme tidak melulu berbahaya. Radikalisme, secara hierarki merupakan lanjutan dari fundamentalisme (cenderung menutup diri terhadap yang ‘liyan’, Islam konservatif). Setelah itu, barulah masuk tahapan liberal(isme). Kemudian naik menjadi radikalisme, ekstrimisme, yang berujung dan terhenti pada aksi-aksi terorisme. Di sini, fundamentalisme memang terjadi di masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan ini terlihat dari al-Manar. Sebagimana yang dipaparkan oleh Shalah al-Mulla, mereka melakukan ini karena kondisi saat itu genting, sedang dijajah. Nilai-nilai Islam meluruh, bidah meruyak dan Islam terancam kehilangan ruh dan eksistensinya. Sehingga, untuk menjadi benteng pertahanan yang kuat atas modernisasi yang ditanamkan oleh Barat (sekulerisasi, pemisahan agama dari segala aspek kehidupan), Islam harus berpegang teguh pada al-Quran, Sunah, dan salaf saleh. Inilah pokok nalar fundamentalisme, saat itu. Sekali lagi, saat itu berbeda dengan saat ini, di mana sekarang umat Islam dalam keadaan damai (dalam makna global, meski banyak krisis yang menggerogoti nalar dan laku umat muslim), tidak “perang” sebagaimana dahulu. Maka, nalar fundamentalisme dibenarkan pada saat itu, tidak untuk saat ini. Hemat penulis, fundamentalisme masa kini ialah nalar pikir dan sikap yang dibenarkan hanya oleh mereka yang menutup mata; dari sejarah dan identitas (huwiyyah) Islam yang hakiki.
Radikalisme yang marak di Indonesia merupakan dampak dari kesalahpahaman konsep ‘kembali kepada al-Quran dan Sunah’ yang dipakai tokoh fundamentalis zaman dahulu, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha khususnya. Cenderung menafsiri teks secara letterlack, menutup diri dari sejarah dan fakta-fakta realistis, menganggap yang lain ialah ‘liyan’ berbahaya dan dangkalnya pengetahuan merupakan sederet fakta yang berkelindan dalam term radikalisme. Radikal tidak berbahaya, selagi tidak diekspresikan dalam laku nyata. Ia merupakan tahap pertengahan antara fundamentalisme dan terorisme yang justru lebih berbahaya. Meski demikian, bukan berarti ini harus dibiarkan. Banyaknya acara menangkal radikalisme, deradikalisasi dan dialektika antaragama di Indonesia dan dunia yang dihelat, termasuk oleh al-Azhar merupakan sebentuk upaya agar radikalisme ini tidak meningkat ke tahap terorisme.
Demikian kiranya, agar laku-laku radikal yang ada bisa disikapi dengan lebih bijak. Sekali lagi, radikalisme belum se-bahaya terorisme. Dengan tidak menutup mata dari sejarah, manut pada ulama, banyak membaca, kiranya cukup sebagi langkah awal “mencegah” radikalisme masuk ke ranah terorisme.  

*masuk dalam nominasi Lomba Opini PPMI Mesir 2017. Rabu, 20 September 2017.


No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...