Saturday 13 August 2016

Senja Sabtu di Kelas Cerpen (Satu)

"Di mana, Thif.. masih jauh, ta?" tanyaku pada seorang teman saat mencari lokasi kumpul teman-teman kelompok belajar. Maklum, ini pertama kalinya bagi saya "menjelajah" taman al-Azhar, karena waktu Ormaba (Orientasi Mahasiswa Baru) yang digelar oleh PPMI tahun lalu, saya gagal mengikutinya secara "tuntas". Ah, kadang saya menyesal di situ. Tapi, saya yakin ada hikmah di baliknya, meski secara jelas, saya belum bisa menemukannya (lebih tepat: belum tersadar bahwa hikmah itu sudah ada, barangkali). Jadi, ya begitu. Saat-saat belajar tadi merupakan saat yang kunanti. Berkunjung ke taman Azhar. Ah, senangnya.
Sepertinya tidak ada yang menarik di kelas belajar siang itu, jika saja salah seorang guru pengampu (materi saat itu, cerpen) tidak membawakannya dengan apik. Tabiatnya yang memang cuek, blak-blakan, penuh kejutan, dan semacam keunikan lainnya membuat kelas belajar siang itu sedikit menarik. Entah mengapa, bahkan sejak saya membaca file yang di-upload-nya di grup fb, saya merasa ada sebuah kecemburuan terhadap sang guru. Entahlah, yang jelas sebuah kecemburuan positif. Bagaimana bisa beliau menulis dengan sebegitu banyak tokoh, karya sastra, maupun film yang berhasil beliau tampilkan dengan ringkas, namun padat penuk makna. Menarik. Baru kali ini saya merasa benar-benar terdorong untuk membaca sebuah tulisan sampai akhir tanpa merasa jenuh (padahal bacaan saya belum sebanyak-tak terhitug itu). Dan, ah, lagi-lagi aku selalu tak bisa menyatukan antara ide di kepala ini (yang akhir-akhir ini sukanya nonton terus, biasa, drama Korea. hehe) dengan tulisan yang (akhirnya) aku tuang di sini. 
Tetiba terlintas dalam jari-jemariku (bukan pikiran, karena nyatanya jejari inilah yang menuliskan) sebuah asumsi bahwa kekerabatan antara imajinasi dan alunan jari ini tak pernah serasi. Karena entah mengapa, di sepanjang perjalanan yang digariskan olehnnya, selalu saja ia tak mau mematuhinya. Alunan jari berjalan tanpa aturan pakem dari imajinasi. Ia lari dengan sendirinya. Ditambah sayangnya, Sang Imajinasi (yang sayangnya dia hanya sebuah abstraksi, bukan dan takkan pernah menjelma menjadi sesosok makhluk) tak mampu mengendalikannya, tak mampu mengeremnya. Pasrah begitu saja melihat pungggung-punggung jari menari, menuliskan kehendak insting (untuk saya mungkin lebih tepat semacam ide yang entah dari mana datangnya). Kemudian pada akhirnya, lahirlah sebuah tulisan yang (seringkali) tidak sesuai dengan keinginan hati. Ah, kenapa alurnya jadi begini. Kenapa ide pokoknya ganti seperti ini. Ah, apa yang salah dengan jari dan imajinasi ini. Entahlah. Ringkasnya, saya akan menjawab sendiri: itulah sebuah keniscayaan seorang penulis, keharusan seorang perangkai kata-kata (untuk taraf pemula: saya sendiri, haha).
Huft. Mari kita kembali pada apa yang ingin disampaikan oleh seorang imaji. Singkatnya, siang itu, sore itu, senja itu, pepohonan itu, jalanan, orang-orang, suasana, semuanya membuat suasana hati saya menjadi lebih baik. Refreshing. Ah, mungkin semacam itu lah. Kadang kala, malu juga ketika saya mengatakan sebuah jalan-jalan sebagai sebuah refreshing. Refreshing apanya? Saya sedang tidak dalam deadline makalah. Tidak sedang dalam PR markaz lughah (iya wong itu udah selesai). Tidak pula sedang dalam kungkungan diktat dan seabrek jatah bacaan lainnya juga. Padahal, buku-buku yang saya beli di Pameran Buku Internasional (Ma'radl al-Qahirah al-Dauliy 46) kemarin agaknya menjerit, meraung, berteriak meminta segera diperhatikan. Eh, yang empunya malah sibuk nonton drama Korea. Keterlaluan, kan. Mahal-mahal beli buku pake uang orang tua, dibela-belain pergi ke sana sepanjang mingggu sampai sakit, eh ujung-ujungnya hanya dipajang juga. Dasar, saya memang pembeli tak tau diri (ampun, Tuan).
Yah, begitulah. Saya selalu berdoa agar Tuhan memaafkan, memberi kesempatan, memerintahkan hati saya untuk sepenuhnya mencintai mereka (buku-buku pajangan bagi seorang pangaku pecinta ilmu). 
Nah, entah nyambung atau tidak dengan paragraf di atas (berusaha sekuat tenaga menyambungkan gagasan), penulis tetiba terpikirkan untuk mengatakan sesuatu --yang menurutnya sih, nyambung. Ah, semoga jemari ini tidak semakin jauh tersesat. Begini lah apa yang ada di benak saya: ada beberapa pemikiran yang seringkali saya dibuat takjub olehnya. Tak pernah terpikirkan sama sekali, bahkan jika ia tak muncul di hadapan saya. Bahkan, mungkin saya akan menganggapnya tak ada dan tak akan pernah memikirkannya. Saya bukan seorang yang kreatif (karena golongna darah saya A), bukan juga seorang pemikir, apalagi seseorang yang intelektual (padahal itu cita-cita saya: Intelektual Muslim Muda asli Timur Tengah, haha). Namun, sekarang ini, saat ini, lingkungan dan psikologis saya menuntut untuk itu. Mengapa? Semuanya mungkin jika saya berusaha sekuat mungkin. Semuanya akan menjadi nyata. Tidak hanya sekadar imaji yang hidup dalam kungkungan abstraksi, namun sebagai asa nyata yang terwujud karena kekuatan tangan Tuhan berpihak kepada saya. 
Dari situlah, saya mengikuti satu per satu kelas dalam kelompok belajar ini. Hingga sampai di kelas cerpen, tempat di mana khayalan yang bersemayam di kepala ini hidup bebas tanpa penghakiman. Hidup nyaman tanpa cercaan seorang pengamat sastra yang selalu mencari celah kelemahan. Dari sini lah, saya ingin menjadi seseorang yang (belajar untuk menjadi) intelektualis. Meski belum tahu sejauh apa pengorbanan yang akan dibayar oleh seorang pengaku pecinta ilmu ini. Juga, meski kelas ini bukan satu-satunya kegiatan yang ia geluti, namun semoga apa yang ia niatkan, Tuhan berkehendak untuk mengabulkan.
Bersaing, berpacu dengan waktu karena sejatinya ia lah modal utamaku. Semoga Tuhan rida dengan segala tetes kerigat dan air mata yang berusaha meyakinkan akan kuasa-Nya. Meski ia tak meragukan kekuasaan-Nya secuilpun, namun rasanya, tetes keringat dan air mata menjadi bumbu atas hambarnya dunia jika kita tak menjalaninya dengan sepenuh takut dan sebesar pengharapan atas segala janji-Nya. 
(Aku menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Merasa terlalu berpanjang lebar mengungkap ini itu). Padahal, saya hanya ingin mengungkapkan kelas cerpen sore itu. Lagi-lagi, jari jemari tak mau mengikuti imajinasi. Ah, maafkan. Hingga aku lelah menulis, namun belum ada satu pun yang ada di pikiran awalku tertuang dalam sela paragraf (di atas) yang entah apa maksudnya. Melayang, terbang, dan .. ah, lagi-lagi aku mengatakan yang tak berarti seperti ini. Menjatuhkan muru'ah saja, tegas batin kecilku. 
Intinya, kelas itu berakhir pada sebuah senja. Sebuah senja yang selalu aku suka (huft, bahkan sudut pandang pun aku tak konsisten menuliskannya, kadang 'aku', sering pula berlagak sok formal dan intelektual, 'saya'). Mm menarik. Mungkin itu kesan mendalam yang dapat saya sarikan dari kelas tadi sore. Bagaimanapun, cerpen ialah sebuah sastra yang saya suka di samping novel, puisi, meski saya (hanya) condong untuk menjadi seorang penikmat, bukan pencipta. Haha). Menarik di sini bukan dalam artian yang mainstream lho, ya. Ya, anggap saja menarik dalam perspektif beda tak terkata, gitu aja.
Berakhir dengan makan malam bersama (kita-kita yang masak, uwuu), akhirnya kita bertolak menuju gerbang utama. Untuk apa? Pulang. Bukan. Kita ke arah gerbang utama untuk cari space yang 'cantik' buat foto (ujung-ujungnya poto juga). Iya, karena di tempat lesehan belajar tadi gelap (remang-remang sih, lebih tepatnya). Kasian kan, kamera udah bagus, eh objeknya yang nge-blur, ahaha. 
Hmm. Alhamdulillah. Maaf, sedari tadi saya hanya meracau. Mencoba menulis dengan seapik mungkin, namun, beginilah hasilnya. Tak lebih dari sekadar curhat yang kurang sarat dengan kalam padat bahkan kering dari makna yang tersirat (mungkin harapan awalnya membuat tulisan hikmah, gitu. Eh, ujung-ujungnya curhat juga :p. Ah, payah sekali saya ini). Namun, tak apa. Kegigihan saya untuk terus mencoba tak akan berhenti di sini saja. Saya akan terus mencoba dan mecoba. Dus, doakan saya, Kawan!

Seorang anak yang sedang belajar menulis. Ampun dicelo, hee. 

Kairo, Sabtu, 14/8/16 pukul 1:08 AM
Sepulang kelas cerpen Sekolah Menulis Walisongo (SMW) di Taman al-Azhar, Darrasa tercinta.
Di bawah gelayut segudang harapan, semoga Allah-ku mengabulkan. :)

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...