Saturday 29 October 2016

Ramadan; Kontinuitas Penghambaan atau Sekedar Musiman?!
Hakikat kehidupan ialah sebuah khidmat; khidmat atas eksistensi kita sebagai hamba Tuhan yang taat, hingga sampai pada khidmat atas dan untuk umat kanjeng Rasul Muhammad saw.
Kalimat ini -agaknya- ialah bagian dari kesimpulan yang bisa penulis tarik dari sudut pandang sebuah penghambaan manusia terhadap Tuhannya. Sebuah penghambaan (selanjutnya disebut dengan pengabdian) yang -seharusnya- dilakukan secara totalitas; tanpa adanya batasan dan acuan zaman, tempat, seseorang, maupun hal lainnya, sebagai totalitas yang penuh dengan dedikasi dan kesadaran sepenuh hati. Mengingat, tak ada satu alasanpun bagi kita -sebagai hamba- untuk mengelak dan mengingkari akan makna firman Allah: “..Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembah) kepada-Ku.” (QS. adz-Dzâriyyât: 56).
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketaatan selaras dengan iman, keyakinan kita, yakni dalam kualitas naik serta turunnya. Iman itulah yang mendorong kita untuk melakukan sebuah ketaatan dalam bentuk penghambaan manusia terhadap Tuhannya, maupun dalam bentuk kesalehan sosial -sebagai representasi nyata atas penghambaan itu dalam praktik kehidupan yang hidup, kehidupan yang nyata. Secara jelas, ketaatan -yang sesaat-  ini dapat kita lihat pada bulan Ramadan.
Lihatlah lautan lepas. Ada gelombang di sana, ada angin teduh yang sepoi, ada batu karang, pasir, dan benda-benda lain yang melengkapi indahnya sebuah bingkai pemandangan pantai. Ketaatan manusia sebagai ruh kehidupan seorang hamba bagaikan sebuah gelombang, tak akan menarik tanpa gemuruh suaranya; sepi, dingin, datar, hampa, kosong dan sumbang.
Puncak gelombang itu bagaikan bulan Ramadan. Bulan yang penuh keindahan dengan keberkahan dan lipatan pahala yang tak terhitung jumlahnya, bulan dimana manusia -biasanya, menyuarakan slogan- berlomba-lomba dalam kebaikan; baik beribadah maupun beramal. Namun, fakta lapangan mengatakan bahwa, ada sebuah anomali ketaatan yang perlu dikupas faktor penyebabnya. Biasanya, ibadah dan amal tersebut hanya dilakukan pada bulan itu, dan, ini yang sebenarnya memprihatinkan -sejauh yang penulis rasakan.
Tak kalah dengan bulan Ramadan yang sesaat, semuanya pun ikut sesaat; amal sesaat, shadaqah sesaat, nderes sesaat, ngaji sesaat, shalat malam sesaat, bahkan, seperti yang jamak diketahui -di Indonesia khususnya-,  hijab pun turut sesaat. Persis seperti tabiat gelombang yang hanya sesaat ia memuncak, selepas itu, ia mengalir tenang seperti air kebanyakan (analogikan pada kebanyakan manusia pada umumnya).
Melihat fenomena seperti ini, sebagai agama yang penuh dengan hikmah dan kelembutan, Islam tak mengangkat tangan atas apa yang -akan- manusia keluhkan, karena ia memang diciptakan sebagai makhluk yang suka mengeluh. Islam juga tidak meninggalkan syariat dengan segala tuntutannya begitu saja, tanpa memberikan keringanan maupun solusi atas keluhan dan ketidak-mampuan manusia dalam pelaksanannya. Setelah memaparkan seluruh kewajiban dan hak manusia atas Allah dengan segala balasan pahala serta siksa atasnya, Islam datang dengan nasehat dan kalam hikmah tak terhingga. 
Kun rabbaaniyyan, wa laa takun Ramadaaniyyan; Jadilah hamba Allah yang sejati, janganlah menghamba  (hanya)  pada bulan Ramadan yang suci. Kiranya, kalimat ini cukup padat untuk kita renungkan. Sebuah renungan tentang kontinuitas dalam pengabdian (penghambaan. red), dedikasi, serta tanggung jawab yang penuh atas sematan sebuah nama itu, hamba.
Jika kita renungkan dengan menghadirkan sinergi antara akal dan hati, kalimat ini telah mencakup seluruh aspek peribadatan manusia serta penghambaannya kepada Tuhan, sebagai bentuk kecintaan terhadap-Nya. Karena, puncak keikhlasan ialah cinta, lebih dari itu, bahwa seseorang ialah hamba dari apa yang ia cintai. Maka, jelaslah bahwa kontinuitas penghambaan ialah bentuk kecintaan sejati yang tumbuh dari kesadaran hati serta ketaatan pada Sang Ilahi.
Lalu, bagaimana dengan mereka -dan kita- yang masih melakukan ibadah musiman?
Jadilah hamba sejati! Berhentilah memanjakan nafsu yang, bahkan hati dan akalmu pun berseteru. Apakah ada yang lebih pantas selain mengabdi -dengan kesadaran dan ketaatan sepenuh hati- untuk bekal kita mati? Allaah al-musta’aan




No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...