Ramadan; Kontinuitas Penghambaan atau
Sekedar Musiman?!
Hakikat kehidupan ialah sebuah khidmat;
khidmat atas eksistensi kita sebagai hamba Tuhan yang taat, hingga sampai pada
khidmat atas dan untuk umat kanjeng Rasul Muhammad saw.
Kalimat ini -agaknya- ialah bagian dari
kesimpulan yang bisa penulis tarik dari sudut pandang sebuah penghambaan
manusia terhadap Tuhannya. Sebuah penghambaan (selanjutnya disebut dengan
pengabdian) yang -seharusnya- dilakukan secara totalitas; tanpa adanya batasan
dan acuan zaman, tempat, seseorang, maupun hal lainnya, sebagai totalitas yang
penuh dengan dedikasi dan kesadaran sepenuh hati. Mengingat, tak ada satu
alasanpun bagi kita -sebagai hamba- untuk mengelak dan mengingkari akan makna
firman Allah: “..Dan Aku tidak menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk
beribadah (menyembah) kepada-Ku.” (QS. adz-Dzâriyyât: 56).
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketaatan
selaras dengan iman, keyakinan kita, yakni dalam kualitas naik serta turunnya.
Iman itulah yang mendorong kita untuk melakukan sebuah ketaatan dalam bentuk
penghambaan manusia terhadap Tuhannya, maupun dalam bentuk kesalehan sosial -sebagai
representasi nyata atas penghambaan itu dalam praktik kehidupan yang hidup,
kehidupan yang nyata. Secara jelas, ketaatan -yang sesaat- ini dapat kita lihat pada bulan Ramadan.
Lihatlah lautan lepas. Ada gelombang di
sana, ada angin teduh yang sepoi, ada batu karang, pasir, dan benda-benda lain
yang melengkapi indahnya sebuah bingkai pemandangan pantai. Ketaatan manusia
sebagai ruh kehidupan seorang hamba bagaikan sebuah gelombang, tak akan menarik
tanpa gemuruh suaranya; sepi, dingin, datar, hampa, kosong dan sumbang.
Puncak gelombang itu bagaikan bulan
Ramadan. Bulan yang penuh keindahan dengan keberkahan dan lipatan pahala yang
tak terhitung jumlahnya, bulan dimana manusia -biasanya, menyuarakan slogan-
berlomba-lomba dalam kebaikan; baik beribadah maupun beramal. Namun, fakta
lapangan mengatakan bahwa, ada sebuah anomali ketaatan yang perlu dikupas
faktor penyebabnya. Biasanya, ibadah dan amal tersebut hanya dilakukan pada
bulan itu, dan, ini yang sebenarnya memprihatinkan -sejauh yang penulis rasakan.
Tak kalah dengan bulan Ramadan yang sesaat,
semuanya pun ikut sesaat; amal sesaat, shadaqah sesaat, nderes sesaat,
ngaji sesaat, shalat malam sesaat, bahkan, seperti yang jamak diketahui -di
Indonesia khususnya-, hijab pun turut sesaat.
Persis seperti tabiat gelombang yang hanya sesaat ia memuncak, selepas itu, ia
mengalir tenang seperti air kebanyakan (analogikan pada kebanyakan manusia pada
umumnya).
Melihat fenomena seperti ini, sebagai agama
yang penuh dengan hikmah dan kelembutan, Islam tak mengangkat tangan atas apa
yang -akan- manusia keluhkan, karena ia memang diciptakan sebagai makhluk yang
suka mengeluh. Islam juga tidak meninggalkan syariat dengan segala tuntutannya
begitu saja, tanpa memberikan keringanan maupun solusi atas keluhan dan
ketidak-mampuan manusia dalam pelaksanannya. Setelah memaparkan seluruh
kewajiban dan hak manusia atas Allah dengan segala balasan pahala serta siksa
atasnya, Islam datang dengan nasehat dan kalam hikmah tak terhingga.
Kun rabbaaniyyan, wa laa takun
Ramadaaniyyan; Jadilah hamba Allah yang sejati, janganlah menghamba (hanya)
pada bulan Ramadan yang suci. Kiranya, kalimat ini cukup padat untuk
kita renungkan. Sebuah renungan tentang kontinuitas dalam pengabdian
(penghambaan. red), dedikasi, serta tanggung jawab yang penuh atas sematan
sebuah nama itu, hamba.
Jika kita renungkan dengan menghadirkan
sinergi antara akal dan hati, kalimat ini telah mencakup seluruh aspek
peribadatan manusia serta penghambaannya kepada Tuhan, sebagai bentuk kecintaan
terhadap-Nya. Karena, puncak keikhlasan ialah cinta, lebih dari itu, bahwa seseorang
ialah hamba dari apa yang ia cintai. Maka, jelaslah bahwa kontinuitas
penghambaan ialah bentuk kecintaan sejati yang tumbuh dari kesadaran hati serta
ketaatan pada Sang Ilahi.
Lalu, bagaimana dengan mereka -dan kita-
yang masih melakukan ibadah musiman?
Jadilah hamba sejati! Berhentilah memanjakan
nafsu yang, bahkan hati dan akalmu pun berseteru. Apakah ada yang lebih pantas
selain mengabdi -dengan kesadaran dan ketaatan sepenuh hati- untuk bekal kita
mati? Allaah al-musta’aan.
No comments:
Post a Comment