Saturday 29 October 2016

(Ayo Kita) Rekonstruksi Makna Lebaran
Oleh: Hamidatul H.

إن يوما جامعا شملي بهم * ذاك عيد ليس لي عيد سواه
“Sungguh pada suatu  hari di mana aku bersua dengan mereka (yang kucintai) * Itulah sebuah hari raya. Selain saat jumpa itu, maka bukanlah ia sebuah hari raya bagiku.”
Bulan Ramadan telah berlalu, Kawan. Bagaimanakah perasaanmu? Sedih, enggan berpisah dengannya, rindu akan atmosfernya, atau malah senang dan bahagia sebab ia telah berlalu dan lebaran telah riang menyapamu?
Lebaran, begitulah momen itu disebut. Saat di mana umat muslim di berbagai belahan dunia merayakan hari itu dengan penuh kebahagiaan, penuh rasa kemenangan. Bagaimana tidak? Mereka telah melaksanakan ibadah puasa satu bulan penuh selama bulan Ramadan, yang artinya, mereka telah berjuang mengarahkan hawa nafsunya sedemikian hingga Allah rida terhadapnya.
Hari raya Idul Fitri yang selanjutnya akrab disebut dengan lebaran ini merupakan sebuah nikmat. Sebuah nikmat, karena di hari itu umat Islam merasakan kebahagiaan yang tiada tara, dengan ketaatan yang telah dilaluinya selama satu bulan. Bahkan, mereka mendapat gelontoran pahala dari amalan-amalan yang telah dilakukan, dengan syarat: niat karena Allah swt., sebagaimana firman-Nya: ” Qul bi fadhlillaahi wa birahmatihii fa bidzaalika fal yafrahuu..”.
Dari sinilah sebenarnya kita harus merenungi apa makna lebaran yang sesungguhnya. Banyak dari kalangan masyarakat kita yang berangggapan bahwa lebaran ialah hari di mana pakaian baru, makanan melimpah, hari bersenang-senang, dan lain sebagainya. Padahal, pernah suatu kaum berjalan melewati sebuah perkampungan, dan bertanya kepada seorang rahib yang mukim di sana tentang kapan jatuhnya hari raya mereka. Ia menjawab: “ Hari raya bukanlah untuk orang-orang yang memakai pakaian baru. Sungguh, hari raya ialah (hanya) untuk mereka yang bertambah ketaatan pada Tuhannya.”
Esensi sebagai inti segala sesuatu hanya dapat dinikmati oleh mereka yang memahami hakikat dari esensi itu sendiri. Maka sebenarnya, esensi dari lebaran ialah lebar (bahasa Jawa: rampung, selesai, bebas –pen) dari dosa dan seperti terlahir kembali. Itulah mengapa lebaran dinamakan dengan ‘Iid al-fithri (kembalinya sebuah fitrah). Fitrah manusia yang suci, layaknya sebuah bayi yang baru lahir dari perut ibunya; bersih tanpa kotoran hati maupun perbuatan.
Bagaimana bisa kita menjamin kembalinya sebuah fitrah?
Berawal dari pemahaman kata yang terkandung dalam kalimat “Idul Fitri”, secara bahasa dapat kita pahami sebagai kembalinya sebuah fitrah. Secara kontekstual, hal ini merupakan sebuah jawaban, jaminan, bahkan bisa jadi sebuah tantangan akan pencapaian seorang hamba atas syariat yang diamanahkan kepadanya, yakni berpuasa di bulan Ramadan. Apakah ia -akan- benar mencapai jaminan itu? Apakah ia -juga akan- gagal? Atau bahkan, apakah mungkin ia tidak mendapat jaminan itu sama sekali?
Secara tersirat, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas dapat kita temukan pada banyak hadits Rasulullah tentang keutamaan bulan Ramadan, keistimewaan amalan yang dilakukan, jaminan terbebas dari neraka, dan lain sebagainya. Mengapa Rasul menganjurkan amalan ini-itu, mengapa umat Islam didorong untuk meraup sebanyak mungkin pahala, berlomba-lomba dalam kebaikan, memohon ampun dan seterusnya? Tak lain, agar kita berhak mendapat jaminan itu. Tak lain pula, agar kita mendapat jatah sebagai orang-orang yang kembali fitrahnya, terbebas dari dosa dan api neraka.
Itulah sekelumit makna dari kata “lebaran”, ataupun hari raya Idul Fitri dalam versi Arabnya. Rasanya ada yang kurang jika kita tidak menyinggung lebaran di Tanah Perantauan ini, Negeri Kinanah tempat kita menimba ilmu dan merangkai masa depan. Lupakan sejenak (kenangan) lebaran di Indonesia, karena kini, benua dan samudra jauh terbentang di depan kita. Sedih, memang. Tetapi, lebih menyedihkan jika kita menyia-nyiakan kesempatan di sini, bukan?!
Tak hanya saat lebaran, sejak awal Ramadan pun masyarakat Mesir -khususnya- telah ramai bersuka cita mengucapkan kalimat  kullu ‘aam wa antum bikhaiir. Kalimat tersebut merupakan bentuk tahni’ah (ucapan selamat). Selain itu, kalimat minal ‘aaidiin al-faaiziin juga merupakan bentuk lain dari ucapan itu. Nah, perlu diperhatikan di sini, bahwasanya dalam redaksi ‘aaidiin dan kalimat setelahnya, yakni faaiziin lebih indah jika kita tidak memakai huruf ‘athaf (kata sambung) wau (و (. Tentunya, makna kalimat yang tanpa kata sambung ini juga lebih indah, dan mencakup makna yang lebih luas.
Mengenai masyarakat Mesir, sebenarnya penulis belum mengetahui bagaimana tradisi lebaran di sini. Namun, biasanya mereka juga berkunjung ke desa tempat tinggal orang tua mereka, berkumpul dan bersua, menghabiskan waktu bersama keluarga. Karena setelah itu, mereka akan kembali berkutat dengan rutinitas dan kesibukan masing-masing; ngantor dan seabrek macam pekerjaan lainnya.
Untuk kedermawanan, sebagian dari mereka sangat dermawan, hingga biasanya mereka disandingkan dengan matsal (perumpamaan) bahwa ia seperti Hatim al-Thaai, penyair Arab Jahiliah yang sangat dermawan, tak ada yang mampu menyamai pemberiannya. Maka, tak heran jika Masisir sering mendapat berbagai macam musa’adah (bantuan); baik sembako maupun uang, terlebih di bulan Ramadan dan hari-hari besar umat Islam. Selebihnya, bisa dikatakan bahwa mereka -pribumi Mesir- seperti istrinya Hatim; pelit dan tak suka campur tangan urusan orang lain.
Agaknya, lebaran tahun ini terasa “istimewa”; tanpa keluarga, tanpa orang-orang tercinta, atau bahkan sekadar tetangga. Ke’istimewa’an ini senada dengan kalam hikmah yang mengatakan: “laysa lil muhibbi ‘iidun illaa qurba mahbuubihi” (tak ada hari raya bagi seorang pecinta, kecuali dekat dengan orang yang dicintainya). Meski keramaian dan orang-orangnya juga berbeda, hendaknya hal-hal tersebut tidak mengurangi makna dan esensi dari lebaran itu sendiri.
Hasan al-Bashri pernah berkata:” Setiap hari yang mampu dilalui tanpa maksiat kepada Allah ialah hari raya, dan barangsiapa mampu memotong setiap hari menjadi taat, dzikir dan syukur kepada Allah swt., maka baginya (pula ialah sebuah) hari raya.” Alangkah indahnya jika setiap hari ialah hari raya!
Terlepas dari bagaimana kondisi lingkungan dan orang-orang sekitar, maka kondisi hati harus lebih diperhatikan. Hati harus selalu siaga; ingat tujuan dari rumah, berjuang semaksimal kemampuan dan nrimo ing pandum, serta maksimalkan kesempatan. Allaah al-musta’aan.

Kullu ‘aam wa hadharaatukum bikhaeeer !! 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...