Wacana dan
Epistemifikasi Maqashid Syariah
Latar Belakang
Segala sesuatu tidak pernah berangkat dari ruang
kosong. Selalu ada sebab, yang entah bagaimana bentuknya, hal tersebut dapat
dijadikan sebagai sebuah titik tolak atau wacana awal sebuah fenomena.
Misalnya, ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat agar mereka tidak shalat
Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraizah. Perintah Rasul ini menimbulkan
dua kelompok sahabat yang berbeda pendapat. Kelompok pertama memahami perintah
tersebut sebagai sesuatu yang jelas; tidak boleh menunaikan shalat Ashar
sebelum mereka sampai di Bani Quraizah. Sedangkan kelompok kedua memahami
perintah Rasul tersebut mengandung makna, bahwa mereka harus mempercepat jalan
agar segera sampai, bukan malah menunda atau memperlambat jalan hingga habis
waktu shalat.
Fenomena yang terjadi seputar pelaksanaan shalat Ashar
tersebut awalnya hanyalah sebagian dari bentuk laku-laku keseharian yang alami,
terjadi begitu saja tanpa adanya sebuah dorongan untuk menjadikannya sesuatu—dalam
hal ini pengistilahan maqashid. Tentunya, mereka melakukannya dengan sebuah
maksud, tujuan dan arah tertentu yang ingin dicapai olehnya. Barulah
akhir-akhir ini, setelah melalui berbagai macam proses yang tidak mudah, dapat
ditelisik bahwa ternyata fenomena pada masa Islam awal, yakni masa sahabat,
merupakan titik tolak dari wacana maqashid syariah yang kemudian
bertransformasi menjadi sebuah bidang keilmuan yang independen seperti sekarang
ini.
Sayangnya, kapan istilah maqashid itu ditetapkan,
penulis belum mendapatkan sumber yang menyebutkannya dengan jelas dan pasti.
Bahkan pada masa sahabat, hingga masa setelah Imam Mazhab yang empat pun belum
muncul istilah tersebut. Hanya saja, istilah-istilah yang masuk dalam cakupan
lingkup maqashid sudah latah digunakan. Seperti ilat, nasikh-mansukh,
‘âm-khash, dan lain sebagainya. Pertanyaan selanjutnya bukanlah bagaimana
fenomena pada masa sahabat terjadi, apa sebabnya, serta pertanyaan-pertanyaan
lain yang senada. Namun, bagaimana fenomena saat
itu bisa menjadi sebuah diskursus di masa kini, apa urgensi dari independensi
sebuah diskursus ilmu, serta mengapa sebuah
wacana dapat menjadi sebuah diskursus ilmu yang matang.
Definisi Umum
Maqashid syariah erat kaitannya dengan fikih dan usul
fikih. Maqashid merupakan sesuatu di balik adanya sebuah hukum. Dalam praktik
keseharian, segala tindak-tanduk manusia tertuang dengan rapi dalam bentuk fikih,
yang bentuk pensyariatannya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Hal ini
sesuai dengan firman Allah yang mengatakan bahwasanya Dia tidak menciptakan
segala sesuatu dengan sia-sia.[1] Dari sinilah
kemudian mata rantai antara maqashid, syariah, usul, serta fikih dibentuk.
Sehingga, segala sesuatu yang berkaitan dengan maqashid selalu
berkelit-kelindan dalam istilah-istilah tersebut, merangkai satu kesatuan yang
saling terikat satu sama lain. Tidak bisa seseorang memahami maqashid syariah
tanpa mengetahui usul fikih. Sebagaimana mustahil bagi seseorang untuk
mengetahui usul fikih, tanpa memahami fikih-nya terlebih dahulu.[2]
Maqashid
syariah merupakan bentuk susunan murakkab idlâfi. Istilah tersebut
terbentuk dari kata maqashid dan syariah. Menurut bahasa, maqashid merupakan
bentuk jamak dari kata maqshad, yang artinya maksud, tujuan yang ingin
dicapai. Sedangkan syariah ialah agama, manhaj dan cara. [3] Secara bahasa,
pada dasarnya kata syariah menunjuk pada metode, atau tempat sejenis mata air.[4] Imam al-Farra’
mengatakan bahwa syariah dilegitimasikan untuk agama dan manhaj. Sedangkan Ibnu
Taimiyyah mengatakan bahwa syariah, di antaranya ialah bentuk taat kepada
Allah, Rasul-Nya, serta kepada para pemimpin umat. [5]
Menurut
Jasser Auda, maqashid syariah merepresentasikan adanya hikmah di balik sebuah
hukum.[6] Maqashid juga
merupakan suatu tujuan yang diharapkan oleh adanya pensyariatan dengan berbagai
macam bentuk pelarangan serta pembolehan sebagai cara untuk mewujudkannya.
Misalnya, pelarangan khamr merupakan salah satu cara menjaga akal manusia. [7]
Wacana
ialah sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan epistemifikasi[8] dapat diartikan
sebagai proses pembakuan suatu diskursus ilmu. Setiap diskursus ilmu yang
matang tentu mengalami epistemifikasi. Dalam prosesnya, epistemifikasi
mengalami berbagai macam cara yang berbeda. Ada kalanya, sebuah diskursus ilmu
matang secara episteme terlebih dahulu, namun ia belum menemukan istilah
yang tepat atas episteme tersebut. Seringkali bentuk semacam ini muncul
sebagai laku keseharian yang alami. Misalnya, tasawuf dan usul fikih. Istilah
tasawuf baru muncul di akhir abad kedua Hijriah.[9] Sedangkan usul
fikih, sebelum masa Imam Syafii, ia belum muncul sebagai istilah yang merujuk
pada makna tertentu. Kemudian setelah beliau wafat, para ulama setelahnya mulai
menelisik bahwa apa-apa yang dahulu dipraktikkan oleh Imam Syafii merupakan
kontekstualisasi dari istilah usul fikih itu sendiri. Sebelum dibakukan dengan
istilah keduanya, masing-masing istilah tersebut merupakan kesadaran
sehari-hari yang begitu saja terjadi, dipahami secara komunal dalam suatu
lingkungan tertentu tanpa adanya istilah yang tersemat seperti sekarang ini.
Epistemifikasi Maqashid Syariah secara Umum
Pada mulanya, maqashid syariah muncul bersamaan dengan
adanya nas yang tertuang dalam al-Quran dan Sunah. Ada yang dimaksud di sini
bukanlah ada secara istilah, namun ada secara tematik. Banyak ayat yang
menyiratkan maqashid tersebut, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 185,
al-Maidah ayat 6, al-Hajj ayat 78, dan masih banyak lagi. Selain hukum-hukum
Islam secara umum, dalam al-Quran juga tertuang hukum-hukum yang lebih
spesifik, meski ternyata juga masih dalam bentuk umum yang nantinya akan
diperjelas dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Nabi, seperti shalat, puasa,
zakat, dan lainnya.
Berangkat
pada tesis bahwa maqashid syariah muncul bersamaan dengan munculnya Islam, maka
pada saat itu—masa-masa Islam awal—, maqashid belum menjadi sebuah bidang ilmu
yang independen. Maqashid masih dipraktikkan, dikontekstualisasikan dalam
bentuk kesadaran laku-laku keseharian. Dalam hal ini, maqashid tertuang jelas
dalam al-Quran serta Sunah Nabi Saw. Dalam al-Quran, misalnya dalam surat
al-Hajj ayat 39 yang berbunyi “Udzina lilladzîna yuqâtalûna biannahum
dhulimû, wa innallâha ‘alâ nashrihim laqadîr”. Dalam ayat ini terdapat ilat
bolehnya dilakukan pembunuhan; karena mereka berbuat zalim dan mengusir kaum
muslimin dari kota dengan cara yang tidak benar. Contoh lain penerapan maqashid
dalam Sunah, ketika Nabi menganjurkan untuk melihat calon istri yang akan
dinikahi. Dalam hal ini, “melihat” merupakan salah satu cara untuk
merealisasikan maksud dan tujuan dari pernikahan, yang dalam hal tersebut ialah
langgengnya keberlangsungan akad nikah itu sendiri. [10]
Ketika
membincang tentang masa-masa awal Islam, maka sahabat merupakan sasaran yang
kerap kali menjadi bidikan. Ketika Rasulullah masih hidup, segala permasalahan
yang ada langsung dipegang oleh beliau, tidak ada pertentangan tentang solusi
atas pemecahannya. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat berijtihad sesuai
dengan pemahamannya masing-masing atas permasalahan yang umat Islam hadapi.
Seperti pembunuhan atas kaum-kaum yang membangkang untuk membayar zakat,
pengumpulan al-Quran, serta pembangunan Baitul Mal. Dalam hal ini, maqashid
tertuang dalam bentuk pemecahan masalah yang dihadapi, di mana hal tersebut
merupakan spontanitas laku atas berbagai fenomena yang jika tidak dilakukan
tindakan atasnya, maka hal tersebut akan mengancam keberlangsungan umat Islam.
Pada
masa ini, para sahabat belum mengistilahkan maqashid dengan lantang. Oleh sebab
itu, maqashid belum bisa dikatakan “ada”, menurut teori diskursif Foucault. [11] Meskipun
secara makna, maqashid telah hadir bahkan dalam bentuknya yang sempurna, karena
apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah merupakan bentuk syariah (pensyariatan)
yang paling sempurna.[12] Dari sini, dapat kita telisik bahwa di sela-sela tiga
abad pertama setelah Nabi wafat telah ada pemikiran maqashid syariah. Meski saat
itu maqashid hanya dilafalkan dengan kata-kata seperti hikmah, sebab,
penyesuaian, tujuan, maupun makna-makna lain yang digunakan oleh para ulama
usul dari berbagai mazhab fikih. [13]
Kemudian,
istilah-istilah pada cakupan makna maqashid syariah latah digunakan, lebih
lantang diujarkan pada masa munculnya Imam Mazhab yang empat. Masih pada kontinuitas
yang berlangsung sejak masa Nabi, istilah-istilah yang sering mereka gunakan
pada masa itu merupakan bentuk lain dari pengungkapan maqashid syariah secara kontekstual.
Yakni, sebuah perkataan lain dari maqashid syariah, penggunaan istilah yang pada
dasarnya merupakan bentuk spesifikasi materi maqashid itu sendiri. Namun,
secara pasti, penulis belum menemukan contoh konkret penggunaan istilah
tersebut dalam laku-laku keseharian mereka.
Sebuah
diskursus ilmu tidaklah berjalan baik-baik saja. Tentu dalam proses
epistemifikasinya ia mengalami semacam diskontinuitas yang pada akhirnya mengubah
pemaknaan awal yang dipahami pada masanya. Seperti halnya dengan ilmu-ilmu yang
lain, maqashid juga mengalami keterputusan pemahaman, dalam artian bahwa
maqashid dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari asalnya. Keterputusan
pemahaman di sini mutlak tidak dipahami bahwa ia sama sekali berbeda dengan
makna awal kemunculannya, atau sebagai sesuatu yang berbeda jauh secara
konteksnya. Secara luwes, keterputusan di sini ditandai dengan adanya pembakuan
maqashid sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Sebuah ilmu yang tidak hanya
dipraktikkan oleh laku-laku kesadaran, namun ia telah dibakukan sedemikian
hingga ia menjadi ilmu yang berdiri sendiri, yang seringkali direpresentasikan
dalam buku-buku yang membahasnya secara detail dan menyebutnya dengan istilah
“maqashid”.
Diskontinuitas
maqashid dapat dilihat pada masa setelah kemunculan Imam Mazhab yang empat. Kitab
Mahâsinu al-Syarî’ah karya Abu Bakr al-Qaffal al-Kabir merupakan kitab pertama
yang menyebut kata maqashid secara langsung.
“…maka dari
itulah, Allah memilih orang-orang pilihannya di setiap zaman untuk membawa
syariat-Nya, memuliakan mereka dengan pemahaman, menerangi hati mereka dengan
keimanan, yang dengannya mereka mampu menyelami setiap detail keilmuan,
memahami maqashid syariah-Nya, menjelaskan kebaikan di dalamnya, cara
pencapaian yang benar, serta hikmah di balik pensyariatan terhadapnya.”[14]
Setelah
kitab al-Qaffal ini, lahirlah beberapa kitab lain yang membahas maqashid,
seperti Maqâshid al-Shalât karangan al-Hakim al-Tirmidzi. Kemudian
muncul Imam al-Juwaini sebagai orang pertama yang mengarang kitab usul fikih
dan menjelaskan di dalamnya. Beliau masyhur dengan kitabnya, al-Burhân fî
Ushûli al-Fiqhi. Selanjutnya bahasan tentang hal ini (maqashid) terus
meluas, mulai dari Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Amadi, al-‘Izz ibn
Abdissalam, Imam al-Qarrafi, Imam al-Thufi, hingga sampai kepada Imam Syathibi,
di mana beliau dikenal sebagai perintis, peneliti, serta tokoh yang menjadikan
maqashid syariah sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Karya beliau, al-Muwâfaqât,
merupakan saksi atas perjuangannya membakukan ilmu tersebut. [15]
Maqashid
syariah merupakan salah satu keilmuan Islam. Dalam mempelajarinya, seseorang
harus mengetahui bahasa Arab dengan baik serta memahami rahasia-rahasia
maqashid syariah.[16] Generasi
sahabat ialah generasi terbaik dalam tingkatan umat Nabi Muhammad Saw. Mereka
dapat menyeimbangkan keduanya. Pertama, mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah
untuk mendalami bahasa Arab, karena mereka ialah bangsa Arab asli. Lebih dari
itu, mereka ialah generasi pertama. Kedua, hampir keseluruhan dari mereka memahami
maqashid syariah dengan cara membersamai Nabi sepanjang hidupnya.[17]
Namun
sayangnya, generasi setelah sahabat mengalami kemandegan dalam mewarisi tradisi
keilmuan generasi sebelumnya. Kebanyakan dari mereka hanya memahami bahasa Arab
saja, tanpa paham seluk-beluk maqashid syariah. Terhitung sejak abad kelima
Hijriah, berbagai bidang keilmuan Islam hanya ditopang oleh pemahaman terhadap
bahasa Arab, tanpa pendalaman tentang maqashid syariah; sebuah ketimpangan yang
sangat memprihatinkan. Kemandegan ini terus berlangsung hingga datanglah Imam
Syathibi pada abad ke-delapan Hijriah yang menutupi ketimpangan ini dengan
mengembangkan konsep maqashid syariah, menganalisis serta menjabarkannya secara
lebih sistematis. Beliau menjabarkan konsep tersebut dalam enam puluh dua
persoalan, terperinci dalam empat puluh sembilan bab yang termaktub dalam kitab
al-Muwâfaqât. Kitab tersebut menjelaskan secara gamblang bagaimana
sebuah syariat terbangun atas kemaslahatan umat. [18]
Seperti yang dikatakan oleh Jasser Auda, bahwasanya
cakupan pokok produk maqashid syariah mengalami keajegan hingga abad kelima
Hijriah. Kemudian, barulah pada abad ke-delapan Hijriah pandangan-pandangan
tentang maqashid matang sepenuhnya secara keseluruhan (mengecualikan
perkembangan yang terjadi pada abad ke-dua puluh Masehi). [19]
Konsep pengembangan maqashid syariah yang ditawarkan
oleh Imam Syathibi merupakan sebuah napas baru atas kemandegan teori yang
berlangsung sejak tiga abad pertama, hingga ia matang secara keseluruhan pada
abad kedelapan. Hal ini jelas, mengingat dari beberapa imam yang membahas dan
berkecimpung di dalamnya, Imam Syathibi merupakan pionir yang paling penting
dalam epistemifikasi maqashid itu sendiri. [20]
Urgensi Epistemifikasi
Maqashid Syariah
Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwasanya nas terbatas, sedangkan fenomena yang terjadi selalu berkembang. [21] Sebagai bagian
dari ilmu pokok yang mengatur segala gerak-gerik manusia, baik dalam kaitannya
dengan ibadah maupun muamalah, maqashid syariah mengalami perkembangan dan
penyesuaian terhadap persoalan yang terjadi pada masanya. Maka dari itu,
menjadi suatu keniscayaan baginya untuk menjawab hajat masyarakat, meski harus
mengalami berbagai macam spesifikasi.
Maqashid syariah bukanlah suatu hal yang dapat dipahami
dalam satu atau dua halaman pembahasan. Setiap masa membutuhkan penjelasan
tambahan tentang berbagai hukum yang ada sebelumnya. Sehingga, epistemifikasi
hingga ia menjadi ilmu yang independen merupakan sebuah keharusan, mengingat
fikih ialah ilmu yang berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Setidaknya,
dengan epistemifikasi ini, bahasan dalam maqashid syariah menjadi lebih
sistematis, lebih gamblang dan lebih mudah untuk dipelajari. Lebih dari itu,
proses ini memudahkan penguasaan makna maqashid syariah secara benar dan tepat.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bagi siapa pun untuk terus
mengembangkan apa yang telah dibakukan di masa kini. Karena maqashid akan terus
berkembang mengikuti perkembangan masa, perluasan lingkup bahasannya, serta
kompleksitas persoalannya. [22]
Penutup
Epistemifikasi merupakan
sebuah keniscayaan atas ilmu-ilmu yang telah berdiri sendiri. Dalam prosesnya,
berbagai ilmu mengalami sejenis diskontinuitas yang merupakan simpul penting
sebelum sampai pada tahapan bahwa ilmu tersebut telah (mampu) berdiri sendiri.
Terkait dengan hal tersebut, maqashid syariah hadir, mengalami epistemifikasi
dalam perannya menjawab hajat masyarakat.
Tentunya, sebagaimana maqashid itu sendiri, terdapat
tujuan dari pembakuan maqashid syariah dari usul fikih. Kembali menelisik pada
masa Islam awal. Saat itu berbagai macam permasalahan langsung teratasi dengan
adanya kehadiran Rasulullah di tengah-tengah mereka. Zaman berlalu, masa
berganti, ternyata maqashid syariah tidak pernah bisa lepas dari pengembangan
dan pembaharuan. Meski menurut arkeologi Foucault saat itu maqashid belum
muncul, namun menurut penulis, bukan suatu urgensi untuk menyebutkan sebuah
istilah ataupun sematan nama. Lebih dari itu, makna yang terkandung dalam laku
keseharian merupakan pengistilahan yang sejati. Nama ataupun istilah tidak akan
ada artinya jika tidak ada bentuk kontekstualisasinya secara nyata.
Mengingat maqashid merupakan ilmu yang membuka lebar
terhadap berbagai macam pengembangan, pun karena kejumudannya merupakan
kemandegan tradisi pemikiran Islam, maka sebenarnya hal ini merupakan
kesempatan bagi para pencari ilmu untuk terus menganalisis pokok-pokok bahasan
ilmu tersebut. Mengembangkannya secara terus menerus sesuai hajat masyarakat
ialah sebuah keniscayaan yang tidak bisa lepas dari khazanah keilmuan Islam.
Akhirnya, penulis bukanlah orang yang tepat untuk
menjelaskan bagaimana epistemifikasi maqashid syariah secara gamblang.
Epistemifikasi merupakan proses yang sangat panjang dan menuntut keakuratan,
yang dalam hal ini penulis belum mengantongi bekal yang cukup untuk
menjabarkannya. Wallâhu A’lamu.
Daftar Pustaka
1. Abadi, Muhammad ibn Ya’qub ibn Siraj al-Fairuz, Al-Qâmûs
al-Muhîth, bab (ش- ر- ع), vol. I, Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1994
2.
Abdul
Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Quran al-Karim,
Lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1994
3.
Abdul
Dayim, Abdul Jalil Muhammad, Tathawwur al-Fikri al-Tasyrî’i al-Islâmi wa
Musykilâti al-Hadlârah, Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Tsaqafah, 2011
4.
Afifi,
Abul ‘Ala, Al-Tashawwuf al-Tsawrah al-Rûhiyyah fî al-Islâm, Kairo: Maktabah
Usrah, 2013
5.
al-Ghazali,
Imam, Al-Mushtashfâ min ‘Ilmi al-Ushûl, ditahkik oleh Hamzah ibn Zuhair
Hafidh, Madinah Munawwarah: al- Jami’ah al-Islamiyyah Kulliyyat al-Syariah, tt
6.
Al-Jauziyyah,
Ibnu al-Qayyim, I’lâmu al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, vol. I, Dar
Ibnu al-Jauzi, cet. I, tt
7.
Al-Kabir,
Al-Qaffal al-Syasyi, Mahâsinu al-Syarî’ah, vol. I, disertasi yang
ditujukan untuk memperoleh gelar doktoral di bidang Fikih, ditulis oleh Kamal
Hajj Falatu al-‘Arusi, Makkah: Universitas Ummul Qura’, 1992
8.
Al-Syathibi,
Abu Ishaq, Al-Muwâfaqât fii Ushûli al-Syarî’ah, ditahkik oleh Abdullah
Darraz, vol. I, Wizarah al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa
al-Irsyad, tt
9.
Al-Yubi,
Muhammad ibn Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah
wa ‘Alâqatihâ bi al-Adillah al-Syar’iyyah, Dar al-Jahrah li al-Nasyr wa
al-Tauzi’, cet. I, 1998
10.
Auda,
Jasser . Maqâshid al-Syarî’ah Dalîlun li al-Mubtadi’, diterjemahkan oleh
Abdul Lathif Khayyath, London: al-Ma’had al-Alami li al-Fikri al-Islami, cet.
I, 2011
11.
Foucault,
Michel, Arkeologi Pengetahuan, (diterjemahkan dari buku The
Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New York, 1976), Yogyakarta:
Diva Press, cet. I, 2012
12. Najjar, Abdul Majid, Maqâshidu al-Syarî’ah
bi Ab’âdin Jadîdah, Tunis: Dar al-Gharb al-Islami, cet. III, 2012
13.
Rajab,
Syekh Abdul Aziz, Târîkhu Nasy’ati Maqâshidi al-Syarîah wa Tathawwurihâ,
dalam jaringan alukah.net, diambil pada Rabu, 21 September 2016 pukul 11.26 CLT
[2] Imam
al-Ghazali, al-Mushtashfâ min ‘Ilmi al-Ushûl, ditahkik oleh Hamzah ibn
Zuhair Hafidh, al-Jami’ah al-Islamiyyah Kulliyyat al-Syariah, Madinah
Munawwarah, tt., hlm. 8
[3] Muhammad ibn Sa’ad ibn Ahmad ibn
Mas’ud al-Yubi, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alâqatihâ bi
al-Adillah al-Syar’iyyah, Dar al-Jahrah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, cet. I,
1998, hlm. 29
[4] Muhammad ibn
Ya’qub ibn Siraj al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, bab (ش- ر- ع), vol. I, Maktabah
al-Ashriyyah, Beirut, hlm. 810
[6] Jasser Auda, Maqâshid
al-Syarî’ah Dalîlun li al-Mubtadi’, diterjemahkan oleh Abdul Lathif
Khayyath, al-Ma’had al-Alami li al-Fikri al-Islami, cet. I, 2011, hlm. 13
[8] Lihat KBBI, kata epistemifikasi
dapat dirangkai dari kata episteme dan logos. Episteme artinya
batas, dasar. Logos berarti ilmu. Kemudian, dimaknai bahwa epistemifikasi ialah
proses penentuan batas-batas serta dasar ilmu pengetahuan. kbbi.web.id/epistemologi
[9] Abul ‘Ala Afifi, al-Tashawwuf al-Tsawrah
al-Rûhiyyah fî al-Islâm, Maktabah Usrah, Kairo, 2013, hlm. 135
[10] Syekh Abdul Aziz Rajab, Târîkhu
Nasy’ati Maqâshidi al-Syarîah wa Tathawwurihâ, dalam jaringan alukah.net,
diambil pada Rabu, 21 September 2016 pukul 11.26 CLT
[11] Michel Foucault, Arkeologi
Pengetahuan, diterjemahkan dari buku The Archaeology of Knowledge
Harper and Row Publisher, New York, 1976, Diva Press, cet. I, 2012, hlm. 5
[12] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâmu
al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, vol. I, Dar Ibnu al-Jauzi, cet. I, hlm.
56
[14] Al-Qaffal
al-Syasyi al-Kabir, Mahâsinu al-Syarî’ah, vol. I, disertasi yang
ditujukan untuk memperoleh gelar doktoral di bidang Fikih, ditulis oleh Kamal
Hajj Falatu al-‘Arusi, Universitas Ummul Qura’, 1992, hlm. 10
[16] Al-Syathibi, al-Muwâfaqât fii
Ushûli al-Syarî’ah, ditahkik oleh Abdullah Darraz, vol. I, Wizarah
al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, tt., hlm. 4
[21] Abdul Jalil Muhammad Abdu al-Dayim,
Tathawwur al-Fikri al-Tasyrî’i al-Islâmi wa Musykilâti al-Hadlârah,
al-Majlis al-A’la li al-Tsaqafah, Kairo, 2011, hlm.189
[22] Abdul Majid Najjar, Maqâshidu
al-Syarî’ah bi Ab’âdin Jadîdah, Dar al-Gharb al-Islami, Tunis, cet. III,
2012, hlm. 50
No comments:
Post a Comment