Saturday 29 October 2016


Wacana dan Epistemifikasi Maqashid Syariah
Oleh: Hamidatul Hasanah



Latar Belakang
Segala sesuatu tidak pernah berangkat dari ruang kosong. Selalu ada sebab, yang entah bagaimana bentuknya, hal tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah titik tolak atau wacana awal sebuah fenomena. Misalnya, ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat agar mereka tidak shalat Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraizah. Perintah Rasul ini menimbulkan dua kelompok sahabat yang berbeda pendapat. Kelompok pertama memahami perintah tersebut sebagai sesuatu yang jelas; tidak boleh menunaikan shalat Ashar sebelum mereka sampai di Bani Quraizah. Sedangkan kelompok kedua memahami perintah Rasul tersebut mengandung makna, bahwa mereka harus mempercepat jalan agar segera sampai, bukan malah menunda atau memperlambat jalan hingga habis waktu shalat.
Fenomena yang terjadi seputar pelaksanaan shalat Ashar tersebut awalnya hanyalah sebagian dari bentuk laku-laku keseharian yang alami, terjadi begitu saja tanpa adanya sebuah dorongan untuk menjadikannya sesuatu—dalam hal ini pengistilahan maqashid. Tentunya, mereka melakukannya dengan sebuah maksud, tujuan dan arah tertentu yang ingin dicapai olehnya. Barulah akhir-akhir ini, setelah melalui berbagai macam proses yang tidak mudah, dapat ditelisik bahwa ternyata fenomena pada masa Islam awal, yakni masa sahabat, merupakan titik tolak dari wacana maqashid syariah yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah bidang keilmuan yang independen seperti sekarang ini.
Sayangnya, kapan istilah maqashid itu ditetapkan, penulis belum mendapatkan sumber yang menyebutkannya dengan jelas dan pasti. Bahkan pada masa sahabat, hingga masa setelah Imam Mazhab yang empat pun belum muncul istilah tersebut. Hanya saja, istilah-istilah yang masuk dalam cakupan lingkup maqashid sudah latah digunakan. Seperti ilat, nasikh-mansukh, ‘âm-khash, dan lain sebagainya. Pertanyaan selanjutnya bukanlah bagaimana fenomena pada masa sahabat terjadi, apa sebabnya, serta pertanyaan-pertanyaan lain yang senada. Namun, bagaimana fenomena saat itu bisa menjadi sebuah diskursus di masa kini, apa urgensi dari independensi sebuah diskursus ilmu, serta mengapa sebuah wacana dapat menjadi sebuah diskursus ilmu yang matang.


Definisi Umum
Maqashid syariah erat kaitannya dengan fikih dan usul fikih. Maqashid merupakan sesuatu di balik adanya sebuah hukum. Dalam praktik keseharian, segala tindak-tanduk manusia tertuang dengan rapi dalam bentuk fikih, yang bentuk pensyariatannya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang mengatakan bahwasanya Dia tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.[1] Dari sinilah kemudian mata rantai antara maqashid, syariah, usul, serta fikih dibentuk. Sehingga, segala sesuatu yang berkaitan dengan maqashid selalu berkelit-kelindan dalam istilah-istilah tersebut, merangkai satu kesatuan yang saling terikat satu sama lain. Tidak bisa seseorang memahami maqashid syariah tanpa mengetahui usul fikih. Sebagaimana mustahil bagi seseorang untuk mengetahui usul fikih, tanpa memahami fikih-nya terlebih dahulu.[2]
Maqashid syariah merupakan bentuk susunan murakkab idlâfi. Istilah tersebut terbentuk dari kata maqashid dan syariah. Menurut bahasa, maqashid merupakan bentuk jamak dari kata maqshad, yang artinya maksud, tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan syariah ialah agama, manhaj dan cara. [3] Secara bahasa, pada dasarnya kata syariah menunjuk pada metode, atau tempat sejenis mata air.[4] Imam al-Farra’ mengatakan bahwa syariah dilegitimasikan untuk agama dan manhaj. Sedangkan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa syariah, di antaranya ialah bentuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, serta kepada para pemimpin umat. [5]
Menurut Jasser Auda, maqashid syariah merepresentasikan adanya hikmah di balik sebuah hukum.[6] Maqashid juga merupakan suatu tujuan yang diharapkan oleh adanya pensyariatan dengan berbagai macam bentuk pelarangan serta pembolehan sebagai cara untuk mewujudkannya. Misalnya, pelarangan khamr merupakan salah satu cara menjaga akal manusia. [7]
Wacana ialah sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan epistemifikasi[8] dapat diartikan sebagai proses pembakuan suatu diskursus ilmu. Setiap diskursus ilmu yang matang tentu mengalami epistemifikasi. Dalam prosesnya, epistemifikasi mengalami berbagai macam cara yang berbeda. Ada kalanya, sebuah diskursus ilmu matang secara episteme terlebih dahulu, namun ia belum menemukan istilah yang tepat atas episteme tersebut. Seringkali bentuk semacam ini muncul sebagai laku keseharian yang alami. Misalnya, tasawuf dan usul fikih. Istilah tasawuf baru muncul di akhir abad kedua Hijriah.[9] Sedangkan usul fikih, sebelum masa Imam Syafii, ia belum muncul sebagai istilah yang merujuk pada makna tertentu. Kemudian setelah beliau wafat, para ulama setelahnya mulai menelisik bahwa apa-apa yang dahulu dipraktikkan oleh Imam Syafii merupakan kontekstualisasi dari istilah usul fikih itu sendiri. Sebelum dibakukan dengan istilah keduanya, masing-masing istilah tersebut merupakan kesadaran sehari-hari yang begitu saja terjadi, dipahami secara komunal dalam suatu lingkungan tertentu tanpa adanya istilah yang tersemat seperti sekarang ini.



Epistemifikasi Maqashid Syariah secara Umum
Pada mulanya, maqashid syariah muncul bersamaan dengan adanya nas yang tertuang dalam al-Quran dan Sunah. Ada yang dimaksud di sini bukanlah ada secara istilah, namun ada secara tematik. Banyak ayat yang menyiratkan maqashid tersebut, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 185, al-Maidah ayat 6, al-Hajj ayat 78, dan masih banyak lagi. Selain hukum-hukum Islam secara umum, dalam al-Quran juga tertuang hukum-hukum yang lebih spesifik, meski ternyata juga masih dalam bentuk umum yang nantinya akan diperjelas dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Nabi, seperti shalat, puasa, zakat, dan lainnya.
Berangkat pada tesis bahwa maqashid syariah muncul bersamaan dengan munculnya Islam, maka pada saat itu—masa-masa Islam awal—, maqashid belum menjadi sebuah bidang ilmu yang independen. Maqashid masih dipraktikkan, dikontekstualisasikan dalam bentuk kesadaran laku-laku keseharian. Dalam hal ini, maqashid tertuang jelas dalam al-Quran serta Sunah Nabi Saw. Dalam al-Quran, misalnya dalam surat al-Hajj ayat 39 yang berbunyi “Udzina lilladzîna yuqâtalûna biannahum dhulimû, wa innallâha ‘alâ nashrihim laqadîr”. Dalam ayat ini terdapat ilat bolehnya dilakukan pembunuhan; karena mereka berbuat zalim dan mengusir kaum muslimin dari kota dengan cara yang tidak benar. Contoh lain penerapan maqashid dalam Sunah, ketika Nabi menganjurkan untuk melihat calon istri yang akan dinikahi. Dalam hal ini, “melihat” merupakan salah satu cara untuk merealisasikan maksud dan tujuan dari pernikahan, yang dalam hal tersebut ialah langgengnya keberlangsungan akad nikah itu sendiri. [10]
Ketika membincang tentang masa-masa awal Islam, maka sahabat merupakan sasaran yang kerap kali menjadi bidikan. Ketika Rasulullah masih hidup, segala permasalahan yang ada langsung dipegang oleh beliau, tidak ada pertentangan tentang solusi atas pemecahannya. Setelah Rasulullah wafat, para sahabat berijtihad sesuai dengan pemahamannya masing-masing atas permasalahan yang umat Islam hadapi. Seperti pembunuhan atas kaum-kaum yang membangkang untuk membayar zakat, pengumpulan al-Quran, serta pembangunan Baitul Mal. Dalam hal ini, maqashid tertuang dalam bentuk pemecahan masalah yang dihadapi, di mana hal tersebut merupakan spontanitas laku atas berbagai fenomena yang jika tidak dilakukan tindakan atasnya, maka hal tersebut akan mengancam keberlangsungan umat Islam.
Pada masa ini, para sahabat belum mengistilahkan maqashid dengan lantang. Oleh sebab itu, maqashid belum bisa dikatakan “ada”, menurut teori diskursif Foucault. [11] Meskipun secara makna, maqashid telah hadir bahkan dalam bentuknya yang sempurna, karena apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah merupakan bentuk syariah (pensyariatan) yang paling sempurna.[12] Dari sini, dapat kita telisik bahwa di sela-sela tiga abad pertama setelah Nabi wafat telah ada pemikiran maqashid syariah. Meski saat itu maqashid hanya dilafalkan dengan kata-kata seperti hikmah, sebab, penyesuaian, tujuan, maupun makna-makna lain yang digunakan oleh para ulama usul dari berbagai mazhab fikih. [13]
Kemudian, istilah-istilah pada cakupan makna maqashid syariah latah digunakan, lebih lantang diujarkan pada masa munculnya Imam Mazhab yang empat. Masih pada kontinuitas yang berlangsung sejak masa Nabi, istilah-istilah yang sering mereka gunakan pada masa itu merupakan bentuk lain dari pengungkapan maqashid syariah secara kontekstual. Yakni, sebuah perkataan lain dari maqashid syariah, penggunaan istilah yang pada dasarnya merupakan bentuk spesifikasi materi maqashid itu sendiri. Namun, secara pasti, penulis belum menemukan contoh konkret penggunaan istilah tersebut dalam laku-laku keseharian mereka.
Sebuah diskursus ilmu tidaklah berjalan baik-baik saja. Tentu dalam proses epistemifikasinya ia mengalami semacam diskontinuitas yang pada akhirnya mengubah pemaknaan awal yang dipahami pada masanya. Seperti halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, maqashid juga mengalami keterputusan pemahaman, dalam artian bahwa maqashid dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari asalnya. Keterputusan pemahaman di sini mutlak tidak dipahami bahwa ia sama sekali berbeda dengan makna awal kemunculannya, atau sebagai sesuatu yang berbeda jauh secara konteksnya. Secara luwes, keterputusan di sini ditandai dengan adanya pembakuan maqashid sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri. Sebuah ilmu yang tidak hanya dipraktikkan oleh laku-laku kesadaran, namun ia telah dibakukan sedemikian hingga ia menjadi ilmu yang berdiri sendiri, yang seringkali direpresentasikan dalam buku-buku yang membahasnya secara detail dan menyebutnya dengan istilah “maqashid”.
Diskontinuitas maqashid dapat dilihat pada masa setelah kemunculan Imam Mazhab yang empat. Kitab Mahâsinu al-Syarî’ah karya Abu Bakr al-Qaffal al-Kabir merupakan kitab pertama yang menyebut kata maqashid secara langsung.
“…maka dari itulah, Allah memilih orang-orang pilihannya di setiap zaman untuk membawa syariat-Nya, memuliakan mereka dengan pemahaman, menerangi hati mereka dengan keimanan, yang dengannya mereka mampu menyelami setiap detail keilmuan, memahami maqashid syariah-Nya, menjelaskan kebaikan di dalamnya, cara pencapaian yang benar, serta hikmah di balik pensyariatan terhadapnya.”[14]
Setelah kitab al-Qaffal ini, lahirlah beberapa kitab lain yang membahas maqashid, seperti Maqâshid al-Shalât karangan al-Hakim al-Tirmidzi. Kemudian muncul Imam al-Juwaini sebagai orang pertama yang mengarang kitab usul fikih dan menjelaskan di dalamnya. Beliau masyhur dengan kitabnya, al-Burhân fî Ushûli al-Fiqhi. Selanjutnya bahasan tentang hal ini (maqashid) terus meluas, mulai dari Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Amadi, al-‘Izz ibn Abdissalam, Imam al-Qarrafi, Imam al-Thufi, hingga sampai kepada Imam Syathibi, di mana beliau dikenal sebagai perintis, peneliti, serta tokoh yang menjadikan maqashid syariah sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Karya beliau, al-Muwâfaqât, merupakan saksi atas perjuangannya membakukan ilmu tersebut. [15]
Maqashid syariah merupakan salah satu keilmuan Islam. Dalam mempelajarinya, seseorang harus mengetahui bahasa Arab dengan baik serta memahami rahasia-rahasia maqashid syariah.[16] Generasi sahabat ialah generasi terbaik dalam tingkatan umat Nabi Muhammad Saw. Mereka dapat menyeimbangkan keduanya. Pertama, mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mendalami bahasa Arab, karena mereka ialah bangsa Arab asli. Lebih dari itu, mereka ialah generasi pertama. Kedua, hampir keseluruhan dari mereka memahami maqashid syariah dengan cara membersamai Nabi sepanjang hidupnya.[17]
Namun sayangnya, generasi setelah sahabat mengalami kemandegan dalam mewarisi tradisi keilmuan generasi sebelumnya. Kebanyakan dari mereka hanya memahami bahasa Arab saja, tanpa paham seluk-beluk maqashid syariah. Terhitung sejak abad kelima Hijriah, berbagai bidang keilmuan Islam hanya ditopang oleh pemahaman terhadap bahasa Arab, tanpa pendalaman tentang maqashid syariah; sebuah ketimpangan yang sangat memprihatinkan. Kemandegan ini terus berlangsung hingga datanglah Imam Syathibi pada abad ke-delapan Hijriah yang menutupi ketimpangan ini dengan mengembangkan konsep maqashid syariah, menganalisis serta menjabarkannya secara lebih sistematis. Beliau menjabarkan konsep tersebut dalam enam puluh dua persoalan, terperinci dalam empat puluh sembilan bab yang termaktub dalam kitab al-Muwâfaqât. Kitab tersebut menjelaskan secara gamblang bagaimana sebuah syariat terbangun atas kemaslahatan umat. [18]
Seperti yang dikatakan oleh Jasser Auda, bahwasanya cakupan pokok produk maqashid syariah mengalami keajegan hingga abad kelima Hijriah. Kemudian, barulah pada abad ke-delapan Hijriah pandangan-pandangan tentang maqashid matang sepenuhnya secara keseluruhan (mengecualikan perkembangan yang terjadi pada abad ke-dua puluh Masehi). [19]
Konsep pengembangan maqashid syariah yang ditawarkan oleh Imam Syathibi merupakan sebuah napas baru atas kemandegan teori yang berlangsung sejak tiga abad pertama, hingga ia matang secara keseluruhan pada abad kedelapan. Hal ini jelas, mengingat dari beberapa imam yang membahas dan berkecimpung di dalamnya, Imam Syathibi merupakan pionir yang paling penting dalam epistemifikasi maqashid itu sendiri. [20]

Urgensi Epistemifikasi Maqashid Syariah
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya nas terbatas, sedangkan fenomena yang terjadi selalu berkembang. [21] Sebagai bagian dari ilmu pokok yang mengatur segala gerak-gerik manusia, baik dalam kaitannya dengan ibadah maupun muamalah, maqashid syariah mengalami perkembangan dan penyesuaian terhadap persoalan yang terjadi pada masanya. Maka dari itu, menjadi suatu keniscayaan baginya untuk menjawab hajat masyarakat, meski harus mengalami berbagai macam spesifikasi.
Maqashid syariah bukanlah suatu hal yang dapat dipahami dalam satu atau dua halaman pembahasan. Setiap masa membutuhkan penjelasan tambahan tentang berbagai hukum yang ada sebelumnya. Sehingga, epistemifikasi hingga ia menjadi ilmu yang independen merupakan sebuah keharusan, mengingat fikih ialah ilmu yang berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Setidaknya, dengan epistemifikasi ini, bahasan dalam maqashid syariah menjadi lebih sistematis, lebih gamblang dan lebih mudah untuk dipelajari. Lebih dari itu, proses ini memudahkan penguasaan makna maqashid syariah secara benar dan tepat. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bagi siapa pun untuk terus mengembangkan apa yang telah dibakukan di masa kini. Karena maqashid akan terus berkembang mengikuti perkembangan masa, perluasan lingkup bahasannya, serta kompleksitas persoalannya. [22]

Penutup
Epistemifikasi merupakan sebuah keniscayaan atas ilmu-ilmu yang telah berdiri sendiri. Dalam prosesnya, berbagai ilmu mengalami sejenis diskontinuitas yang merupakan simpul penting sebelum sampai pada tahapan bahwa ilmu tersebut telah (mampu) berdiri sendiri. Terkait dengan hal tersebut, maqashid syariah hadir, mengalami epistemifikasi dalam perannya menjawab hajat masyarakat.
Tentunya, sebagaimana maqashid itu sendiri, terdapat tujuan dari pembakuan maqashid syariah dari usul fikih. Kembali menelisik pada masa Islam awal. Saat itu berbagai macam permasalahan langsung teratasi dengan adanya kehadiran Rasulullah di tengah-tengah mereka. Zaman berlalu, masa berganti, ternyata maqashid syariah tidak pernah bisa lepas dari pengembangan dan pembaharuan. Meski menurut arkeologi Foucault saat itu maqashid belum muncul, namun menurut penulis, bukan suatu urgensi untuk menyebutkan sebuah istilah ataupun sematan nama. Lebih dari itu, makna yang terkandung dalam laku keseharian merupakan pengistilahan yang sejati. Nama ataupun istilah tidak akan ada artinya jika tidak ada bentuk kontekstualisasinya secara nyata.
Mengingat maqashid merupakan ilmu yang membuka lebar terhadap berbagai macam pengembangan, pun karena kejumudannya merupakan kemandegan tradisi pemikiran Islam, maka sebenarnya hal ini merupakan kesempatan bagi para pencari ilmu untuk terus menganalisis pokok-pokok bahasan ilmu tersebut. Mengembangkannya secara terus menerus sesuai hajat masyarakat ialah sebuah keniscayaan yang tidak bisa lepas dari khazanah keilmuan Islam.
Akhirnya, penulis bukanlah orang yang tepat untuk menjelaskan bagaimana epistemifikasi maqashid syariah secara gamblang. Epistemifikasi merupakan proses yang sangat panjang dan menuntut keakuratan, yang dalam hal ini penulis belum mengantongi bekal yang cukup untuk menjabarkannya. Wallâhu A’lamu.








Daftar Pustaka

1.      Abadi, Muhammad ibn Ya’qub ibn Siraj al-Fairuz, Al-Qâmûs al-Muhîth, bab  (ش- ر- ع), vol. I, Beirut: Maktabah al-Ashriyyah, 1994
2.      Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Quran al-Karim, Lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1994
3.      Abdul Dayim, Abdul Jalil Muhammad, Tathawwur al-Fikri al-Tasyrî’i al-Islâmi wa Musykilâti al-Hadlârah, Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Tsaqafah, 2011
4.      Afifi, Abul ‘Ala, Al-Tashawwuf al-Tsawrah al-Rûhiyyah fî al-Islâm, Kairo: Maktabah Usrah, 2013
5.      al-Ghazali, Imam, Al-Mushtashfâ min ‘Ilmi al-Ushûl, ditahkik oleh Hamzah ibn Zuhair Hafidh, Madinah Munawwarah: al- Jami’ah al-Islamiyyah Kulliyyat al-Syariah, tt
6.      Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim, I’lâmu al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, vol. I, Dar Ibnu al-Jauzi, cet. I, tt
7.      Al-Kabir, Al-Qaffal al-Syasyi, Mahâsinu al-Syarî’ah, vol. I, disertasi yang ditujukan untuk memperoleh gelar doktoral di bidang Fikih, ditulis oleh Kamal Hajj Falatu al-‘Arusi, Makkah: Universitas Ummul Qura’, 1992
8.      Al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwâfaqât fii Ushûli al-Syarî’ah, ditahkik oleh Abdullah Darraz, vol. I, Wizarah al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, tt
9.      Al-Yubi, Muhammad ibn Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alâqatihâ bi al-Adillah al-Syar’iyyah, Dar al-Jahrah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, cet. I, 1998
10.  Auda, Jasser . Maqâshid al-Syarî’ah Dalîlun li al-Mubtadi’, diterjemahkan oleh Abdul Lathif Khayyath, London: al-Ma’had al-Alami li al-Fikri al-Islami, cet. I, 2011
11.  Foucault, Michel, Arkeologi Pengetahuan, (diterjemahkan dari buku The Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New York, 1976), Yogyakarta: Diva Press, cet. I, 2012
12.  Najjar, Abdul Majid, Maqâshidu al-Syarî’ah bi Ab’âdin Jadîdah, Tunis: Dar al-Gharb al-Islami, cet. III, 2012
13.  Rajab, Syekh Abdul Aziz, Târîkhu Nasy’ati Maqâshidi al-Syarîah wa Tathawwurihâ, dalam jaringan alukah.net, diambil pada Rabu, 21 September 2016 pukul 11.26 CLT





[1] ((أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون)) QS. Al-Mukminun: 23
[2] Imam al-Ghazali, al-Mushtashfâ min ‘Ilmi al-Ushûl, ditahkik oleh Hamzah ibn Zuhair Hafidh, al-Jami’ah al-Islamiyyah Kulliyyat al-Syariah, Madinah Munawwarah, tt., hlm. 8
[3] Muhammad ibn Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud al-Yubi, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa ‘Alâqatihâ bi al-Adillah al-Syar’iyyah, Dar al-Jahrah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, cet. I, 1998, hlm. 29
[4] Muhammad ibn Ya’qub ibn Siraj al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, bab  (ش- ر- ع), vol. I, Maktabah al-Ashriyyah, Beirut, hlm. 810
[5] Muhammad ibn Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud al-Yubi, Op., Cit., hlm 29
[6] Jasser Auda, Maqâshid al-Syarî’ah Dalîlun li al-Mubtadi’, diterjemahkan oleh Abdul Lathif Khayyath, al-Ma’had al-Alami li al-Fikri al-Islami, cet. I, 2011, hlm. 13
[7]  Ibid., hlm. 14
[8] Lihat KBBI, kata epistemifikasi dapat dirangkai dari kata episteme dan logos. Episteme artinya batas, dasar. Logos berarti ilmu. Kemudian, dimaknai bahwa epistemifikasi ialah proses penentuan batas-batas serta dasar ilmu pengetahuan. kbbi.web.id/epistemologi
[9]  Abul ‘Ala Afifi, al-Tashawwuf al-Tsawrah al-Rûhiyyah fî al-Islâm, Maktabah Usrah, Kairo, 2013, hlm. 135
[10] Syekh Abdul Aziz Rajab, Târîkhu Nasy’ati Maqâshidi al-Syarîah wa Tathawwurihâ, dalam jaringan alukah.net, diambil pada Rabu, 21 September 2016 pukul 11.26 CLT
[11] Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku The Archaeology of Knowledge Harper and Row Publisher, New York, 1976, Diva Press, cet. I, 2012, hlm. 5
[12] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâmu al-Muwaqqi’în ‘an Rabbi al-‘Âlamîn, vol. I, Dar Ibnu al-Jauzi, cet. I, hlm. 56
[13] Jasser Auda, Op., Cit., hlm. 36
[14] Al-Qaffal al-Syasyi al-Kabir, Mahâsinu al-Syarî’ah, vol. I, disertasi yang ditujukan untuk memperoleh gelar doktoral di bidang Fikih, ditulis oleh Kamal Hajj Falatu al-‘Arusi, Universitas Ummul Qura’, 1992, hlm. 10
[15] Syekh Abdul Aziz Rajab, Op., Cit., hlm. 2
[16] Al-Syathibi, al-Muwâfaqât fii Ushûli al-Syarî’ah, ditahkik oleh Abdullah Darraz, vol. I, Wizarah al-Syu’un al-Islamiyyah wa al-Awqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, tt., hlm. 4
[17] Ibid., hlm. 4
[18] Ibid., hlm. 5
[19] Jasser Auda, Op., Cit., hlm. 41
[20] Ibid., hlm. 43
[21] Abdul Jalil Muhammad Abdu al-Dayim, Tathawwur al-Fikri al-Tasyrî’i al-Islâmi wa Musykilâti al-Hadlârah, al-Majlis al-A’la li al-Tsaqafah, Kairo, 2011, hlm.189
[22] Abdul Majid Najjar, Maqâshidu al-Syarî’ah bi Ab’âdin Jadîdah, Dar al-Gharb al-Islami, Tunis, cet. III, 2012, hlm. 50

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...