Friday 28 October 2016

Sebuah Cerita di Balik (Esai) Hari Santri

Barusan, Masisir memperingati Hari Santri Nasional dan Hari Sumpah Pemuda, kerja sama PCINU Mesir dengan Sahah Indonesia di Solah Kamil, Hay Sadis, kampus al-Azhar II. 
Seperti biasanya, dalam peringatan hari-hari tertentu, kita selalu dituntun untuk menuju satu kawasan; ingatan masa lalu. Jika masa lalu kita dulu begitu kelam, runyam dan terserak dalam komponen yang semestinya, maka masa kini bukanlah masa dulu, masa lalu, masa itu. Sebenarnya, dalam dialog kebangsaan yang baru saja digelar, saya menunggu sedikit kritikan (atau banyak) tentang kaum santri. Iya, memang momennya ialah peringatan HSN, yang artinya, dalam kata tersebut ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang berjasa. Pasalnya, lambat laun, generasi berubah dan nilai-nilai (terkesan) meluruh bersama gelombang global yang bergemuruh. Banyak yang bergeser dari pemaknaan asli yang semestinya.
Santri, semoga selalu kuat menjaga dan mempertahankan jati diri, santri yang ngindunisi. Santri Nusantara, me-nyantri tanpa mencerabut nilai-nilai pribadi bangsa.

***
Alhamdulillah, malam ini Allah menganugerahkan rizqi yang tak terduga. Di tengah ratapan nasib (ngga meratap juga kali, hehe) karena Samsung tercinta telah berpulang kepada Sang Pemilik Senin lalu, 17 Oktober 2016, tepat di stasiun Ramsis, hendak bertolak ke Zaitun, menemui Dr. Samih. Malam ini, esai yang saya tulis beberapa waktu lalu, membisikkan sebuah semilir keceriaan. Meski awalnya saya agak malas datang ke Solah Kamil, karena memang badan ini lagi belum fit dari beberapa hari yang lalu, karena ngga enak dengan senior NU dan teman-teman, akhirnya saya paksakan, ngurmati hajat sendiri. He.


kiri ke kanan: Dr. Usman Syihab (Atdik Kairo), Dr. Mustafa Abdurrahman, MA (Mustasyar PCINU Mesir, Wartawan Senior Kompas, Syekh 'Alaa, mas Nora Burhanuddin, Lc. Dipl


Alhamdulillah, urutan pertama mengizinkan saya mendudukinya, dengan tulisan yang sepertinya tidak begitu berbobot. Saya hanya nulis saja malam itu, kurang lebih 8 jam sebelum deadline akhir, 18 Oktober 2016. Waktu itu saya gelo karena telat daftar lomba MQK, padahal kemarinnya saya udah wanti-wanti diri sendiri, ini terakhir daftar. Eh, ndilalah, ada banyak gawean lain yang akhirnya saya lupa mengontak panitia. Ingat ketika jam 12 malam kurang 10 menitan. Saya baru pulang, terus ke hamam, lalu mengirim pesan. Karena wifi lagi mutung sama orang serumah, akhirnya pesan itu terkirim setelah 9 menit berlalu dari jam 12 malam batas akhir pendaftaran waktu itu. Huft, ya sudahlah. 
Opaba. Agenda ini benar-benar tak terlupakan. Iya, pasalnya, pikiran tenaga tercurahkan ke sana, hingga agak nyuekin lomba esai itu. Cuma baca-baca sekadarnya aja, gak tenanan nyari sumbernya. Akhirnya, di delapan jam terakhir itu saya coba gerakkan jemari ini menulis, niat belajar mengggali sejarah Hari Santri. Yah, jujur sih, memang dengan ke-gelo-an tadi, karena sebenarnya saya lebih tenang hatinya (eciee, haha) ketika saya ada di baca kitab Nihayatussuul karya Imam Isnawi. Yaa Robb. MQK kecelik, hape ilang,  alhamdulillah esaiku masih perhatian. 
Jurinya tiga, pak Tubagus, pak Murtadlo, mas Nova (atau mas Nora lupa persisnya saya, he). Alhamdulillaah. Semoga manfaat. 



pascaacara, bersama Syekh 'Alaa Mustafa Na'imah.
Mungkin, yang perlu ditekankan di sini ialah bukan pada menang atau tidaknya. Saya yakin, teman-teman lain banyak yang jauh lebih berpotensi dari saya, jelas. Hanya, mungkin mereka belum menuangkannya dalam tulisan, untuk kemudia mendapat ruang tersendiri di lingkup khalayak lain. Mungkin saja, ini sebuah kebetulan-meski ngga ada yang kebetulan, semua sudah tertuliskan-, atau hemat saya, sebuah rizqi yang mengarahkan betapa rizqi itu sudah ditetapkan, namun kita harus berusaha menguatkan wujud keberadaan ketetapan tersebut. Saya beberapa kali gagal menulis cerpen, karena akhir yang saya buat selalu sad ending. Saya tidak terlalu yakin jika cerita itu kubuat bahagia selamanya seperti di dongeng-dongeng sebelum tidur. Nyatanya, apa yang saya tuliskan di cerpen saat itu ialah bentuk peyakinan diri sendiri atas posisi nyata yang kini saya hadapi. Selalu ingin kubuat akhir yang bahagia, namun nyatanya, pena lari dengan sendirinya. Berkata: Kamu belum pantas mempunyai cerita yang bahagia, karena tokoh dalam cerita bahagiamu itu telah tiada. Sama saja, kan? He.
Akhirnya, cerita itu hanya berputar di lingkup itu-itu saja. Ketakutan berimajinasi karena terlanjur berporos pada fakta membuat suatu kubangan tentang suatu harapan yang tak kunjung terealisasikan. Mungkin, tak berani keluar dari apa yang telah nyata dihadapi. 
Ah, lagi-lagi meracau. 
Sesungguhnya ketika cinta lenyap dari hati Sang Empunya, terkadang runyamnya kehidupan menerobos masuk ke dalam tempat di mana seharusnya cinta itu berada. 


Kuutarakan doa
Senandung doa yang tak bersuara
Merajut mega litani pagi
Memangggil Sang Empunya segenggam hati

Dinginnya malam-malam akhir Oktober,
Semoga doa seluruh alam menghangatkan semangat kita,
Semangat melalui hidup-mati
Membalut merajut kembali serat yang tercerabut
Menganggit
Mendekap kembali untaian asa langit

Semoga dikuatkan. 
Jumat malam, 28 Oktober 2016. pukul 10.58 PM CLT. 

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...