Saturday 8 October 2016

Romantisme Empat Junaih di Ujung Sabi'

Kiranya kejadian ini telah berlalu begitu jauh. Terlambat sudah rasanya untuk menuliskannya. 

Sabtu siang, 24 September 2016, di bus kesayangan, delapan puluh coret.

Keningku berkerut, reflek dari sengatan matahari yang begitu hangat. Setelah beberapa lama, kerutanku mulai mengendur ketika melihat punggung bus perlahan muncul, mendekati kami, para penumpang yang menantikannya sedari tadi. Tangan saya sudah melambai, namun pak Supir terus melajukan busnya, hingga benar-benar berhenti setelah dekat dengan belokan. Yah, batinku. Saya pun lari berebut dengan penumpang yang lain. Terpaksa, karena bus berhenti meleset dari perkiraan pertama tadi. Dengan bergegas saya naik, alhamdulillah ada kursi satu kosong, di samping ibu-ibu. 
Namun, beliau sepertinya sudah mem-booking kursi itu untuk temannya, terlihat matanya mengisyaratkan kepada seseorang di depan saya. Karena saya masuk dari pintu belakang, bus sudah hampir penuh, tempat duduk sudah ada yang punya semua, mata saya hanya tertuju pada satu kursi tersebut. Eh.. ibu itu memberinya untuk orang lain. Ya sudah. Akhirnya, saya maju ke depan, mencari tepat berdiri di samping penumpang yang putri. Setidaknya, hal itu satu-satunya posisi nyaman ketika naik bus, selain duduk tenang tentunya. 

Tak sengaja, saya berdiri di samping ibu-ibu dari Nigeria, dua kursi panjang diduduki mereka. Saya ada di kursi yang pertama dari depan. Samping saya ada ibu-ibu paruh baya Nigeria dengan anak kecilnya, Maryam namanya. Di samping ibu-ibu itu, ada bapak-bapak, pakaiannya rapi, berkaca mata, terlihat intelek. Ah, beliau dosen kayaknya, pikir saya. Ternyata benar, beliau sedang mengoreksi sejenis tesis atau disertasi tentang syair Jahili. Hehe, saya tertarik melihatnya. Dan, saya menikmati dengan ke-berdirian saya. Nggak rugi, berarti. Hehe.

Bus melaju, dan melaju. Perjalanan di bus siang itu, sangat mengesankan bagi saya. Pasalnya, saya merasa ada sebuah romantisme yang sangat indah. Saya berdiri, di samping saya ada ibu-ibu Nigeria tiga yang--masya Allah-- sepanjang jalan ngobrool terus. Suara mereka tinggi, dan, mereka sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Serasa bus itu milik mereka kayaknya. Heu
Anehnya, saya tidak merasakan kebisingan itu, perhatian saya terfokus pada bapak dosen yang sedang mengoreksi risalah tadi. Dengan lihainya beliau mencoret, menambahi, dan memberikan hal seperlunya di risalah tadi menggunakan pensil. 

Risalah itu berbicara tentang hewan dan burung yang disebutkan dalam syair Jahili. Penyebutan berulang yang apaa gitu, saya belum begitu paham. He. Intinya, karena itu risalah membahas tentang bahasa, saya langsung terkesiap dibuatnya. 

Beliau seorang dosen di universitas kami, Universitas al-Azhar. Keteduhannya selaras dengan usianya yag matang, berwibawa. Badan beliau besar, berisi, tidak begitu tinggi, putih, wajahnya teduh. Mungkin, beliau sesosok ayah yang penyayang. Mungkin juga, beliau seorang dosen yang bijaksana. Ah iya, beliau seorang yang santun, dan mampu menenpatkan diri sesuai kondisi. Hal ini terlihat ketika ada penjual yang menjual coklat ke para penumpang, beliau membelinya. Meski, kami pun tau, beliau membeli itu untuk menghormati dan menyenangkan hati penjual itu. Beliau tersenyum, penjual itu pun tersenyum. 

Bus terus melaju, sebagaimana terus mengalirnya obrolan -yang entah membahas apa- ketiga ibu-ibu paruh baya tadi. Saya hanya bisa tersenyum, menyadari betapa indahnya suasana siang itu. Betapa kuasanya Sang Maha Pencipta. Ia menciptakan manusia dengan berbagai macam sifat, bentuk warna serta wataknya. Ya Allah..

Saat yang sama, melihat perangai bapak itu, sata teringat dosen saya sewaktu di markaz lughah. Beliau ustadzah Marwa, sosok yang langka di dunia ini. Aku membayangkan, mungkin mudanya, bapak ini seorang penuntut ilmu yan ulet seperti beliau. Beliau juga penyayang seperti ustadzah itu. Atau mungkin, beliau ialah ayahnya ustadzah. Ah, semua hal dan ingatan terbaik muncul mengerucut begitu saja menuju ke satu orang, ustadzah Marwa. 

Kegigihan, ketekunan, kerja keras, semuanya beliau tanamkan kepada kami saat belajar di markaz dulu. Hingga, saat inipun, saya malu jika mengulur-ulur waktu. Saya malu ketika saya mengaku anak didik beliau, namun tidak mewarisi tingkah laku kerja keras beliau. Hingga, hari-hari itu masih berputar bersama waktu yang kini berjalan bersamaku.

Aku berharap, suatu saat aku bertemu dengan bapak dosen itu. Aku penasaran dengan isi dari risalah itu. Atau, paling tidak, aku berharap bisa menyaksikan sidang akhir risalah itu. Intinya, aku ingin belajar dengan bapak dosen itu. Kebanyakan itu-nya, he. Sepanjang jalan, aku tersenyum melihat terangnya siang hari itu. Seterang kepercayaanku akan masa depan, dengan kerja keras belajar yang membuatku pantas, tak hanya sekadar berangan. 

Saat mendekati Sabi', perlahan penumpang mulai berkurang, hingga aku bisa duduk di kursi sebelahku tadi, satu kursi. Aku terus memperhatikan bapak tadi, dengan segenap asa bahwa Allah selalu menghendaki kebaikan terhadap hamba-Nya.  Lalu, dengan bergegas pula aku turun, di belakang beliau, ingin tahu arah yang beliau tuju. Sederhana, beliau masukkan risalah itu ke tas kresek tebal, hitam bercampur putih di bagian tangan. Beliau menuju arah yang sama, namun di seberang jalan yang berbeda. Aku masuk Tremco, duduk, sambil terus terpaku pandanganku pada bapak dosen itu. Ketika hendak membayar mobil, ya Allah. Saya baru teringat, ternyata ongkos bus saya tertinggal empat Junaih di bus tadi. Ah, sayang. Saya bayar lima le tapi sang kondektur belum ada kembalian. Hingga sampai turun pun, karena perhatian saya tertuju pada bapak itu, saya lupa meminta kembalian itu. Ah, sungguh. Semoga empat Junaih itu kembali dengan pertemuanku dengan bapak dosen tadi. 

Allaah al-Musta'aan.

No comments:

Post a Comment

Bapak telah Memilih

 24 Februari 2023 Hari ini, tepat sebulan aku berada di Bangkok. Aku dan suami berangkat ke Thailand 24 Januari lalu. Sebelumnya, 18 Januari...